Rabu, 15 Juli 2015

Menularkan Asa, Memantik Prestasi: Pondok Pabelan 2015

Menularkan Asa Memantik Prestasi
IAA0078

Perjalanan Santri Pondok Pabelan Memaknai Hidup
28 Agustus 2015
Pondok Pabelan Press
Pabelan, Magelang, Jawa Tengah
Indonesia

Menularkan Asa Memantik Prestasi
Perjalanan Santri Pondok Pabelan Memaknai Hidup
@Penyunting: Muhammad Nasirudin
Desain Cover: Danang Tejo Bintoro







Panitia Lengkap Buku

Penasihat: KH Drs. Ahmad Mustofa, KH Ahmad Najib Amin, KH Muh Balya
                             Penyunting: H. Muhammad Nasirudin, M.A.
                             Ketua: Nurul Faizah, S. Ag.; Drs. H. Jumari al-Ngluwary
                             Sekretaris: Drs. Nurhamid Effendi; Masruchin, S. Pd. I.
                             Bendahara: Nur Afiyati, S. Pd.,S.Th. I



Diterbitkan Oleh:
Pondok Pesantren Pabelan
Pabelan, Mungkid, Magelang
Cetakan I
28 Agustus 2015

Menularkan Asa Memantik Prestasi
Perjalanan Santri Pondok Pabelan Memaknai Hidup

Sambutan Pimpinan Pondok Pabelan
Pengantar Ketua Yayasan Wakaf Pabelan
Prolog: Catatan Penyunting

Angkatan 1993-2000
Muhammad Testriono: Pabelan dan Mimpi Amerika
Miftahussa’adah: Gabungan Pesantren dan Madrasah
Eko Prasetio: Insan Berdaya Jual Tinggi
Meldo Andi Jaya: Menggapai Cita
Tiara Rubiati: Siapa Bertahan Dia Pemenang

Angkatan 2001-2005
Fatoni Afrianto: Kenangan Menjadi Santri
Sulistyawati: Mengelola Dana Pondok
Edi Susilo: Belajar Hidup Ikhlas
Lisa Noviana: Terhindar dari Salah Pergaulan
Muhammad Citradi: Pabelan Membanggakan
Malikhatun Nisa’: Prepare The Future
Arlian Buana: Inspirasiku Pabelan
Qurota Ayuni: Warna Pendidikan di Pabelan
Riansyah Tuahunse: Berdisiplin dari Dalam
Laras Pirukya Kinanti: Seniwati Nyantri Keseimbangan

Angkatan 2006-2010
Setyawan Saputra: Pesantren dan Impianku
Fikri Fahrul Faiz: Darah Daging Pabelan
Ahmad Nabil Athoillah: Menyantri di Kenya
Yasser Azka Ulil Albab: Segala Hal Dibelajarkan
Isnatul Arifah: Bekal Hidup dari Pabelan
Mega Saputra: Laboratorium Kehidupan
Lutfi Hani Kusumawati: Membiasakan Berjiwa Terbuka

Angkatan 2011-2015
Agusviani Nurhayati: Jatidiri Terbentuk di Asrama
Hibatul Wafi: Keliling Dunia dari Pabelan
Rizqi Anggita Lailatul Hikmah: Atsar dari Rumah Kedua
Syahril Huda Andriyan: Allah Menuntunku
Zaima Bunga Wijayanti: Dari Pabelan ke Jepang
Muhammad Syafii: Paradigma Keluarga Harmonis
Ima Ganis Mutiasari: Warna Hidup dari Pabelan

Biografi Ringkas Penyumbang Naskah
Epilog: Catatan Akhir
Catatan Penyunting
Buku ini merupakan kelanjutan dari buku terdahulu dengan jarak terbit tujuh tahun. Buku terdahulu (Kiai Hamam Dja’far dan Pondok Pabelan, Agustus 2008, Jakarta: Pustaka Jaya. Editor: Ajip Rosidi) telah memotret Pondok Pabelan pada 28 tahun pertama sejak bangkitnya (1965-1993) dan buku ini secara dini menilik hal yang sama namun pada rentangan 22 tahun berikutnya (1993-2015). Buku ini hadir untuk melengkapi buku terdahulu sehingga rentangan 50 tahun menjadi utuh bagi hadirnya Pondok Pabelan di Indonesia. Tentu buku ini dimaksudkan sebagai kado dan syukuran pada momentum Milad ke-50 Pondok Pabelan tepatnya pada 28 Agustus 2015.
Penyumbang naskah buku ini ada 28 orang alumni. Mereka secara leluasa menulis mengenai prosesnya sebagai santri Pondok Pabelan khususnya dalam pencarian-penemuan jatidiri dan peran pendidikan pondok bagi hidup berkarier di masyarakat selanjutnya. Ada yang kritis intelektual, ada yang bersemangat ekspresif, ada yang lurus tenang baku dan ada yang warna-warni. Alhamdulillah mereka cukup mewakili atas ribuan santri alumni yang dihasilkan Pondok Pabelan pada fase kedua. Berdasarkan waktu tahun pendidikannya mereka cukup merata sejak rentang angkatan tahun 1993-2000 (5 orang), angkatan 2001-2005 (9 orang), angkatan 2006-2010 (7 orang), dan yang terakhir angkatan 2011-2015 (7 orang). Keragaman profesinya juga cukup mewakili keanekaragaman yang ada, mulai dari bidang pendidikan (dosen, guru, ustadz), keamanan (tentara), mandiri-swasta (arsitek, dokter, muharrik, pengusaha), keagamaan (kiai, badal, pembimbing ummat, pengasuh), hingga yang belum berkarier-berprofesi karena masih dalam proses penyelesaian pendidikan (mahasiswa S1, S2, S3). Mereka sungguh relatif masih muda usia, terentang umurnya 19-33 tahun, tentu masih akan panjang langkah hidup berikutnya.
Pendidikan di pondok pesantren hidup secara mengalir dengan cakupan yang utuh-menyeluruh hingga sering dicap sebagai berselisihan dengan ‘sekolah-isme’. Semua penyumbang naskah dalam buku ini nyata merasakan serta mengalami itu semua juga memahami signifikansi pola asuh kekeluargaan-tradisional serta pentingnya model pendidikan pondok pesantren. Ada yang melihat pola asuh saat menjadi santri dahulu sebagai pengekangan, serba-aturan, aneh bahkan tidak logis, namun kemudian menyadari betapa pentingnya hal itu dalam fase hidup berikutnya. Ada pula yang sedari awal mengikuti pola asuh santri sebagai suatu keharusan, kebenaran, atau sebagai pilihan bebas bahkan petualangan hidup baru sehingga merasa nyaman saja santri dalam menjalaninya. Santri sebagai seeker ‘pencari’, pejalan. Lantas terbukalah wilayah-wilayah ‘batiniah’ baru yang dirambah para santri belia baik yang berkaitan dengan psikologi, sosiologi, budaya, filsafat, agama, hukum, namun juga ekonomi, teknologi, kesehatan, kemasyarakatan, realitas hidup dan kehidupan. Terbukti ada rambahan yang kemudian dipilih alumni sebagai wilayah-pengabdian atau ‘profesi’ sesuai dengan panggilan sejarah hidupnya. Santri sewaktu di pondok sungguh nyata dididik untuk menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi orang lain.
Organisasi Pelajar Pondok Pabelan (OPPP) baik putra maupun putri disebut-sebut oleh para penyumbang naskah sebagai signifikan dalam mewarnai karakternya, menguatkan jatidirinya. OPPP dari tahun ke tahun secara nyata merupakan ‘pabrik-pengurus’ apalagi dengan berbagai kegiatan santri ikutannya yang menjadi ‘pabrik-panitia’. Tidak ada seorang pun santri yang tidak terlibat ataupun melibatkan diri di dalamnya, bahkan lebih cenderung satu orang santri memainkan beraneka peran-posisi yang tersedia.  Cipta, karsa dan rasa santri dengan aktif di OPPP dan kepanitiaan ini menjadi terpetakan secara jelas, namun juga terasah, terkuatkan bersama santri lain dengan pendamping juga dengan pihak-pihak lain. Namun penting disadari bahwa jabatan pengurus dan panitia itu barulah jalan, sarana dan proses untuk menjadi pemimpin. Tidak (belum) setiap pengurus atau panitia adalah pemimpin. Pondok dengan segala aktivitasnya itulah yang kemudian memfasilitasi (Jawa: Ngangremi, diibaratkan induk ayam menetaskan telur) agar setiap pengurus-panitia, calon-calon pemimpin itu mampu untuk (dalam) melahirkan dirinya sendiri menjadi pemimpin sejati. Pemimpin sejati adalah insan pengambil keputusan, manusia pengemban amanah dan tanggung jawab lengkap segala risikonya setelah melihat realitas kehidupan (tidak ideal, sakit, kurang) yang didorong oleh kesadaran akan kekhalifahan dan kehambaannya. Oleh karena itulah pemimpin sejati selalu lahir dari masalah-masalah guna mengatasi masalah.   
Pabelan sesuai misinya mendidik dan mempersiapkan santri untuk menjadi manusia mandiri yang berkhidmat kepada masyarakat, negara dan agama. Selama di pondok santri dididik dan diantar untuk mampu mengenali jati diri dan lingkungannya serta mempunyai motivasi dan keberanian untuk memilih peran di masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Karenanya Pabelan secara sadar terus menanamkan dan meningkatkan disiplin santri untuk melaksanakan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari; juga menanamkan jiwa keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah Islamiah, mandiri dan bebas; serta dengan menyelenggarakan pendidikan formal berdasarkan kurikulum pesantren yang disesuaikan dengan kurikulum pendidikan nasional. Visi dirumuskan: Terdidiknya santri menjadi mukmin, muslim dan muhsin yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas.
Arah gerak Pabelan sejak berdirinya tidak pernah bergeser sedikitpun. Meskipun dalam proses tampak ada fase-fase perjalanan ataupun fluktuasi keberadaan, semua itu disadari tidak pernah bisa dipertukarkan dan selalu beralur maju secara berjenjang sesuai sunnatullah ‘hukum alam’. Mungkin proses yang diikhtiari dari waktu ke waktu dan alur yang terjadi tampak berbeda dari harapan namun semuanya disadari dan diniati untuk selalu menjadi lebih baik, lebih benar dan lebih indah. Ketika arah gerak tidak bergeser dan ikhtiar-usaha yang dilakukan selalu menuju kebaikan tentu nalar manusia menyimpulkannya sebagai proses yang naik atau meningkat. Benarkah demikian? Kehidupan di dunia ini terus mengalir dan tidak datar, tidak hanya satu sisi, melainkan banyak sisi, ada pula yang berpola siklis dengan berbagai dimensi lengkap. Maka, apapun dan bagaimanapun keadaannya proses menuju kesejatian, kemurnian dan idealitas selalu penting dilakukan siapapun.
Tidak terasa rentang perjalanan Pabelan berkhidmat sudah 50 tahun. Pabelan selama itu terus saja berikhtiar hidup-menghidupkan, bergerak-menggerakkan tidak pernah berhenti menularkan asa-harapan dan juga memantik prestasi santri. Ada santri yang memang berkualifikasi sebagai bintang lantas jadilah bintang terang kuat, namun ada juga yang memilih menjadi rembulan lembut, tak terkecuali ada yang menjadi matahari di komunitas-lingkungan masing-masing. Tentu apapun posisi dan peran pilihan para santri-alumninya semoga selalu mampu memberi manfaat di masyarakatnya. Khairun nas anfa’uhum lin nas ‘Sebaik-baik manusia yang bermanfaat bagi sesamanya’. Bicara posisi dan peran, Pabelan sebagai pondok pesantren memuat hadirnya posisi-peran yang sentral, posisi-peran utama, selain banyak posisi dengan peran pelengkap dan penyerta.
KH Hamam Dja’far tidak terbantah berposisi dan berperan sentral lagi utama di Pondok Pabelan sejak perintisan, pendirian, peraihan menuju puncak-puncak hingga wafatnya tanggal 17 Maret 1993. Selama 28 tahun itu posisi-peran utama beliau tidak akan pernah tergantikan. Masa itu disebut sebagai pola kepemimpinan tunggal. Kemudian muncul generasi penerus-pelanjut estafeta Pondok Pabelan, yakni kepemimpinan tritunggal yang hadir dengan pola kolektif-kolegial hingga saat ini, Kiai Ahmad Mustofa, Kiai Ahmad Najib Amin dan Kiai Muh Balya. Maka selama 50 tahun bisa dibedakan adanya dua fase, kepemimpinan tunggal dan kepemimpinan tritunggal. Mengenai lama-waktu ada yang patut direnungkan karena nyaris selama 50 tahun selalu hadir dengan posisi-peran sentral di Pabelan yang tanpa jeda, tanpa kenal putus-sambung yakni Kiai Muh Balya. Pada fase awal beliau berposisi-peran optimal sebagai Sekretaris Pondok Pabelan yang tak pernah tergantikan dan pada fase kedua menjadi pimpinan Pondok Pabelan, bagian dari tritunggal. Bagaimana respons beliau? “Saya selamanya hanya sebagai anshor,” kata Kiai Muh Balya.
Milad ke-50 Pondok Pabelan tahun 2015 ini merupakan momentum untuk bersyukur yang sarat akan maksud dan kepentingan baik. Bersyukur adalah melipatgandakan nikmat yang diterima dengan hati-akalnya hingga lebih berkualitas. Tuhan Allah SWT nyata-nyata telah memberikan kesempatan dan anugerah yang banyak sekali kepada Pabelan untuk berkhidmat, berkarya; namun Pabelan juga masih berharap diberi-Nya kesempatan untuk mampu terus berkhidmat, berkarya bagi Indonesia masa depan. Milad ke-50 ini sungguh merupakan momentum penting untuk evaluasi-diri, hitung-hitung namun juga kesempatan untuk menyerap aspirasi serta usulan guna lebih baiknya keadaan di masa depan. Rencana besar telah dibuat, proses mulia telah mulai dilakukan dan peraihan target-target selalu diupayakan optimal serta pemfokusan pada kebermaknaan terus diikhtiari tanpa henti.  Panta rei. Bismillah, walhamdulillah. Wala haula wala quwata illa billah.

Pabelan, 29 Juni 2015
Muhammad Nasirudin, penyunting




Angkatan 1993-2000


Pabelan dan Mimpi Amerika
Muhammad Testriono


Tarikh menunjukkan paruh kedua dekade 1990-an. Bersama ratusan santri lainnya, saya memulai kehidupan baru di Pabelan. Berseragam putih hitam, kami duduk sejajar di alun-alun masjid tua yang berdiri kokoh di jantung pesantren. Semua mata tertuju pada seorang kiai muda di atas podium. Dalam ceramahnya di Khutbah Iftitah untuk menyambut para santri baru itu, Kiai Ahmad Najib Amin memperkenalkan sejumah alumni yang kala itu telah berkiprah di pentas nasional. “Contohlah kakak-kakak kalian itu,” demikian pesan Kiai Najib sembari menyebutkan beberapa nama seperti Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dan Prof. Dr. Bahtiar Effendy, yang masing-masing memperoleh gelar doktornya di Turki dan Amerika Serikat.  
Tujuh belas tahun sudah berlalu sejak saya mendengarkan nasihat itu. Kini saya sedang menempuh studi tingkat master di Amerika Serikat atas beasiswa dari PRESTASI (Program to Extend Scholarships and Training to Achieve Sustainable Impacts)-USAID (United States Agency for International Development), sebuah program beasiswa milik pemerintah Amerika Serikat untuk anak-anak muda Indonesia. Di Amerika, saya belajar politik perbandingan di jurusan ilmu politik, Northern Illinois University, di Dekalb, Illionis. Seperti kebanyakan santri lainnya, saya tak pernah membayangkan sebelumnya akan belajar di negeri Paman Sam.
Sebuah peristiwa seringkali memiliki akar-akar musabab yang menghunjam jauh ke masa silam. Ketika masih nyantri di Pondok Pesantren Pabelan, mimpi Amerika tak pernah hadir secara gamblang. Ia baru saya sadari belakangan, ketika saya coba menyusun penggalan-penggalan kenangan di Pabelan. Dalam kilas balik itu, mimpi Amerika saya temukan tautannya dengan berbagai momen pengalaman menjadi santri di Pondok Pabelan belasan tahun lampau.
Pesan Kiai Najib di Khutbah Iftitah itu adalah momen yang paling awal. Tapi wejangan itu tak hanya muncul sekali itu. Kiai Najib menyampaikan pesan serupa dalam ceramah-ceramahnya di kuliah Subuh, Khutbah Wada’ (khutbah akhir tahun atau perpisahan), dan berbagai kesempatan lain. Dan memang, wejangan yang disampaikan secara terus-menerus dan berulang-ulang itu jadi tak mudah dilupakan. Di mata kami para santri, Kiai Najib memang sosok kiai sekaligus motivator hebat. Pidatonya lugas dan runut. Intonasi bicaranya lembut namun tegas. Ditambah lagi, ia pandai menyelipkan bumbu cerita dalam ceramahnya. Semua itu membuat pesan-pesannya tak membosankan, mudah dicerna, dan terus diingat.
Pabelan dan Imajinasi Pesantren di Jawa
Mengenal beberapa contoh profil alumni lewat ceramah Kiai Najib itu jadi fase penting dalam kehidupan saya sebagai santri Pabelan. Saya makin yakin bahwa nyantri di Pabelan adalah pilihan yang tepat. Keyakinan itu membuat saya mampu bertahan terpisah dari keluarga. Magelang terpaut jarak lebih dari 1000 km dari Palembang, tempat saya lahir dan dibesarkan. Belajar tentu jadi tak nikmat jika saya menjalani hari-hari penuh penyesalan dan tekanan karena salah ambil keputusan. Untungnya itu tidak terjadi.
Menjadi santri pesantren di Jawa adalah dorongan pribadi saya sejak awal. Saya dan mungkin juga banyak santri lainnya, memang sebelumnya tak pernah tahu seperti apa dan bagaimana sosok Pondok Pabelan sesungguhnya. Pabelan adalah pilihan berdasarkan tawaran yang disodorkan ke saya oleh bapak saya.
Ketika masih belajar di Pesantren Ar-Riyadh Palembang, saya membayangkan bisa mondok di Jawa, di sebuah pesantren yang asri di tengah desa dengan lingkungan yang damai dan jauh dari hiruk pikuk kota. Saudara bapak di Purworejo sempat mengantar ke Pesantren Assalaam, Pabelan, Sukoharjo, Jawa Tengah. Tapi pesantren ini tidak sesuai dengan bayangan saya ketika itu. Fisik dan bangunannya terlalu megah dan modern. Lalu saya diantar ke Pondok Pabelan di Magelang. Berbeda dari sebelumnya, kali ini saya menjumpai sebuah pondok modern dengan lingkungan yang masih hijau. Gedung-gedung kelas dan asrama yang sederhana mengelilingi sebuah masjid tua yang tampak anggun. Beberapa bangunan gedhek juga masih dipertahankan.
Perpaduan yang serasi antara arsitektur modern dan tradisional itu membuat saya langsung tertarik. Bagi saya ketika itu, Pabelan adalah perwujudan imajinasi saya tentang sebuah pesantren di Jawa. Fisik pondok yang selaras dengan lingkungan pedesaan terlihat jelas dari keterbukaan Pondok. Selain menyatu dengan lingkungan desa Pabelan, Pondok dibelah oleh jalan umum yang digunakan warga desa untuk beraktivitas. Tak ada pagar keliling yang membatasi Pondok dengan rumah warga sekitar. Para santri bisa berbelanja ke warung-warung di sekitar pesantren untuk barang-barang yang tidak tersedia di koperasi Pondok.
Keterbukaan itu tidak hanya tercermin secara fisik. Materi-materi pelajaran yang diterima santri juga jauh dari eksklusivisme. Kami diperkenalkan kitab Bidayatul Mujtahid, sebuah kitab fikih perbandingan karya filsuf dan pemikir Muslim Ibnu Rusyd. Para kiai selalu mengingatkan bahwa Pondok tidak condong pada salah satu aliran, ormas Islam, apalagi partai politik tertentu. Kami juga selalu diceritakan tentang persahabatan Kiai Hamam Jakfar dengan Romo Mangunwijaya.
Pabelan dan Jendela Dunia
Di Pabelan, pengetahuan tak hanya saya peroleh dari kelas. Meski penting, ia bukan satu-satunya tempat saya menimba ilmu dan wawasan. Kelas kedua saya di Pabelan adalah perpustakaan. Mungkin karena fungsinya yang sentral itu, Kiai Hamam mendirikan perpustakaan di tengah-tengah pesantren. Di Amerika pemandangan serupa juga saya temukan, di mana perpustakaan umumnya dibangun di tengah areal kampus dan menjadi jantung bagi proses transmisi pengetahuan.
Saya kemudian mengenal lebih jauh beberapa nama alumni Pabelan yang kerap disebut Kiai Najib lewat buku-buku karya mereka yang tersimpan di Perpustakaan Pondok. Komaruddin Hidayat yang belakangan pernah menjadi Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta adalah pemikir dan penulis prolifik yang di tahun 1990-an telah menelurkan sejumlah buku tentang visi keislaman dan keindonesiaan. Dekade 1990-an, Bahtiar Effendy yang belakangan pernah menjadi Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta adalah analis politik yang pikiran-pikirannya menghiasai banyak koran dan majalah. Kedua orang ini menjadi ikon intelektual Muslim saat itu: anak desa, lulusan pesantren, memperoleh gelar doktor di luar negeri, dan produktif menulis. Saat itu, saya baca tulisan-tulisan mereka dengan kagum.
Tak hanya itu, perpustakaan pondok membuka mata saya pada dunia. Berbagai pengetahuan baru saya peroleh lewat koleksi perpustakaan yang kaya dan beragam. Momentum itu makin terasa ketika saya dipercaya menjadi pustakawan perpustakaan pondok. Saat itu, pengelolaan perpustakaan diserahkan sepenuhnya kepada santri. Setiap tahun pengurus senior melakukan perekrutan dan pelatihan pustakawan baru. Saya di antara yang terpilih ketika itu. Salah satu keuntungan menjadi pustakawan adalah saya bisa leluasa masuk ke perpustakaan, meminjam buku apa saja, serta mengeksplorasi setiap koleksi perpustakaan.
Kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Saya lalu menggunakannya untuk membaca buku-buku yang menurut saya menarik mulai dari pemikiran Islam, sastra, sejarah, politik, sampai biografi. Di perpustakaan itu saya bisa membaca karya-karya Hamka, Rendra, Goenawan Mohamad, Muhammad Iqbal, Jalaluddin Rumi, Kahlil Gibran, Doestoyevski, hingga Nietszche. Saya juga membaca biografi Soekarno, Tjokroaminoto, Gandhi, Nasser, Mussolini, Castro, dan para tokoh dunia lain. Dan tentu saja, saya menemukan karya-karya intelektual Muslim seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, selain Komaruddin Hidayat dan Bahtiar Effendy.
Koleksi koran dan majalah seperti Kompas, Tempo dan Panji Masyarakat juga menghiasi perpustakaan pondok. Suatu ketika, saat sedang membaca koleksi majalah lama, saya menemukan sebuah esai—jika tidak salah di Majalah Tempo—tulisan Bahtiar Effendy tentang pengalamannya menjadi peserta AFS (American Field Service). Ini adalah Program Pertukaran Pelajar yang memberi kesempatan kepada anak SMA yang terpilih untuk belajar di Amerika. Bahtiar waktu itu masih kelas dua setingkat SMA di Pabelan dan memperoleh kesempatan belajar setahun di Amerika. Ia cerita tentang berbagai tantangan yang harus ia hadapi sebagai pelajar internasional di Amerika dan keseharian hidup yang ia jalani. Esai itu memuat gambarnya ketika sedang main tenis.
Tulisan itu sempat membuat saya tergerak ingin mendaftar jika program AFS kembali ditawarkan di Pabelan.Tapi sayangnya, hingga saya tamat pada tahun 2000, program AFS tak pernah saya dengar. Mungkin karena sejak 1997 Indonesia sedang kacau dihantam krisis ekonomi serta dalam transisi menuju demokrasi. Ketika sedang kuliah di UIN Jakarta, saya sempat mendengar bahwa ada beberapa santri yang memperoleh kesempatan dikirim ke Amerika lewat program AFS. Sesuatu yang dulu pernah saya impikan.
Pabelan dan Kebebasan
Meski para kiai kerap menyebut beberapa contoh alumni dalam nasihatnya, tak ada sedikit pun anggapan bahwa satu profesi lebih baik dari lainnya. Di Pabelan inilah justru saya menemukan kebebasan berpikir dalam arti yang sesungguhnya. Tak ada ideologi yang ditanamkan, juga tak ada doktrin yang dibenamkan dalam pikiran santri. Mereka bisa belajar dan mempelajari apa saja selama di Pabelan. Ada banyak kegiatan ekstrakurikuler yang bisa diikuti di luar kelas. Selain olahraga dan pramuka, ada teater, musik, bahasa, drumband, jurnalistik, dan lain-lain yang bisa dipilih secara bebas. Para santri bisa memilih kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan minatnya tanpa ada batasan berapa pun jumlahnya. Cara ini mendorong para santri untuk menemukan minat dan bakatnya sebaik-baiknya.
Jiwa dan pikiran bebas memang menjadi fondasi pembelajaran. Segera setelah menjadi santri, kami diperkenalkan Panca Jiwa Pondok (Keikhlasan, Kesederhanaan, Ukhuwah Islamiyah, Berdikari, Bebas) dan Motto Pondok (Berbudi Tinggi, Berbadan Sehat, Berpengetahuan Luas, Berpikiran Bebas). Bagi saya, Panca Jiwa dan Motto Pondok adalah semangat hidup yang menjadi dasar bagi semua pencarian jatidiri dan pengembangan minat selama di Pabelan.
Suasana jiwa bebas dan berpikiran bebas benar-benar saya rasakan di Pabelan. Saat menjadi ketua pengurus Organisasi Pelajar Putra (OPP) Pondok Pabelan, saya bersama-sama para pengurus lain dapat leluasa membuat program kerja untuk kegiatan harian santri. Para kiai hanya memberi arahan dan bimbingan di awal. Dan setelah program kerja selesai kami rapatkan, Kiai tinggal memeriksa dan memberikan persetujuan.
Hal serupa saya alami ketika saya menjadi Pemimpin Redaksi Buletin DIALOG. Tidak pernah ada intervensi dari kiai dalam menentukan headline, reportase, dan isi setiap edisi. Tak ada sama sekali arahan apa yang boleh dan tidak boleh. Apalagi sensor, sama sekali tak ada dalam kamus kehidupan di Pabelan. Pengelola buletin dengan leluasa menentukan berita-berita apa saja yang akan dimuat dan artikel-artikel apa saja yang akan diterbitkan. Saya merasa Kiai menganggap bahwa para santri dewasa sudah bisa menilai baik dan buruk, dan memutuskan mana yang positif dan negatif. Di atas semuanya, keleluasaan itu adalah bagian dari jiwa bebas yang menjadi sokoguru pendidikan di Pabelan.
Aktivitas di buletin DIALOG itu adalah salah satu yang membuat saya merasa beruntung bisa nyantri di Pabelan. Sejak SD saya sudah tertarik dengan dunia tulis-menulis. Di Pabelan saya memperoleh lingkungan yang mendukung pengembangan minat itu. Muhammad Nasirudin, guru bahasa Indonesia yang menjadi mentor kegiatan jurnalistik santri ketika itu, menjadi inspirasi minat saya itu. Tulisan-tulisannya kerap terbit di harian Republika dan koran Kedaulatan Rakyat. Beliau yang membimbing saya dan teman-teman jurnalis santri di buletin DIALOG, mengajarkan cara menulis yang benar. Setiap kali terbit edisi DIALOG terbaru, beliau orang pertama yang kami tunjukkan dan beliau selalu senang menerimanya.
Suatu waktu beliau cerita, “Ketika saya tunjukkan buletin kalian ke teman-teman saya, mereka bilang ini bagus sekali.” “Padahal,” demikian ujarnya ke koleganya, “Saya tidak banyak intervensi. Mereka berkreasi, dan melakukan improvisasi sendiri.”
Bukti paling nyata dari jiwa dan pikiran bebas saya rasakan pada acara ulang tahun Pondok Pabelan tahun 2000. Di acara dirgahayu pondok terbesar yang saya alami saat masih nyantri itu, saya berkenalan dengan banyak alumni dari berbagai generasi dan daerah. Mereka juga berasal dari berbagai latar belakang profesi, seperti akademisi, pegawai negeri, pengusaha, jurnalis, pekerja seni, hingga aktivis lembaga swadaya masyarakat. Keragaman alumni jadi bukti bahwa santri bisa menjadi apa saja tergantung minat dan cita-citanya. Karena itu pula, acara ulang tahun pondok itu tak melulu berisi seminar. Sejumlah alumni tampil bermain musik, menyanyi, bahkan melawak. Mereka adalah bukti bahwa Pondok Pabelan menciptakan alumni yang beragam dan mampu berkiprah di masyarakat.
Bagi saya, perjumpaan dengan alumni jadi momentum pemompa semangat. Dalam satu sesi seminar di acara itulah saya jadi mengenal Ali Munhanif yang baru saja menyelesaikan studi masternya di Amerika. Beliau bercerita tentang pengalaman lucunya ketika baru sampai di Amerika dengan bahasa Inggris yang belum lancar. Sayang, waktu itu saya tak sempat berkenalan dan berbicara lebih lanjut dengannya. Namun, tanpa saya duga saya kemudian bertemu lagi dengannya di UIN Jakarta. Beliaulah di antaranya yang terus memotivasi dan membantu saya untuk memperoleh beasiswa ke Amerika.
Kuliah di UIN Jakarta
Selepas tamat dari Pabelan, saya memutuskan kuliah di UIN Jakarta. Kampus ini memang menjadi tujuan utama para santri yang ingin kuliah di luar Yogyakarta. Banyak alumni yang lulus dari UIN Jakarta kemudian menjadi dosen di almamater itu.
Pilihan ke Jakarta sesungguhnya atas dorongan Kiai Muh Balya. Ketika menghadap beliau untuk pamit, beliau berpesan “Kalau kamu mau kuliah pilihlah universitas di Jakarta, jangan di Yogya.” Selain memberi contoh alumni lulusan kampus Jakarta yang banyak berkiprah di pentas nasional, beliau mengatakan bahwa Jakarta adalah ibukota yang membuka banyak peluang dan akses informasi. Pesan ini saya ikuti, meski banyak teman seangkatan memilih kuliah di Yogya.
Kiai Balya adalah intelektual Pabelan. Di rumahnya ia memiliki perpustakaan pribadi. Pengetahuannya luas, khususnya pemahamannya terhadap sejarah Indonesia. Itu mengapa saya memilih kelas IPS ketika harus mengambil jurusan di kelas tiga Aliyah. Beliau menginspirasi saya untuk mencintai ilmu sejarah.
Saya sering bertemu dengan Kiai Balya di rumahnya untuk sekadar ngobrol dan meminta wejangan. Saya juga kerap mewawancarai beliau untuk keperluan liputan buletin DIALOG. Bertemu dengan Kiai Balya selalu menarik dan memberi energi baru pada motivasi belajar saya. Gaya bicaranya berapi-api, penuh semangat, keyakinan, dan optimisme. Wawasan beliau luas, membuat beliau bisa bicara banyak hal. Beliaulah yang seringkali meladeni wartawan atau mahasiswa yang ingin mencari tahu tentang Pabelan, atau menanyakan respons Pondok Pabelan atas isu-isu tertentu.
Inspirasi dari Kiai Balya pula di antaranya yang mendorong saya mengambil jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) di UIN Jakarta. Dalam beberapa hal, belajar sejarah seperti melanjutkan bacaan-bacaan yang pernah saya baca ketika di Pabelan. Minat yang tumbuh di Pabelan itu dikembangkan dan diperdalam di UIN Jakarta.
Selain itu, interaksi dengan para dosen lulusan Eropa dan Amerikadi jurusan sejarah itulah yang membangkitkan kembali lintasan-lintasan motivasi yang pernah muncul waktu di Pabelan. Perlahan-lahan saya memimpikan untuk dapat melanjutkan studi ke luar negeri. Di tambah lagi, semasa kuliah ini saya aktif di kelompok diskusi bernama Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) di mana banyak aktivisnya yang melanjutkan kuliah ke luar negeri. Motivasi belajar ke Amerika semakin menguat.
Menjelang tamat kuliah, penguji skripsi saya, Dr. Jajat Burhanudin, menawarkan saya untuk menjadi asisten peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta. Ini adalah salah satu lembaga penelitian terkemuka di bawah UIN Jakarta di mana banyak intelektual UIN Jakarta menjadi peneliti utamanya. Saya tak pernah berpikir sebelumnya akan memperoleh kesempatan seperti itu. Yang paling pokok, beraktivitas di lembaga penelitian ini membuat motivasi saya untuk melanjutkan kuliah terus terjaga.
Yang juga tak kalah penting, di lembaga penelitian inilah saya jadi kenal lebih dekat beberapa alumni Pabelan yang sebelumnya hanya saya kenal namanya, baik ketika masih di Pabelan maupun setelah kuliah. Selain Bahtiar Effendy, di PPIM saya bertemu dengan Jamhari Makruf, Ali Munhanif, dan Hendro Prasetyo. Lulus dari UIN Jakarta, mereka menjadi dosen di almamater ini dan menjadi peneliti di PPIM. Pendidikan pascasarjana mereka peroleh dari kampus-kampus di Amerika, Kanada, Eropa, dan Australia.Nama-nama yang dulu kerap saya dengar lewat wejangan-wejangan Kiai Najib itu, kini jadi senior dan kolega saya di PPIM UIN Jakarta. Mereka terus mendorong saya untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri.
Demikiankah, pengalaman-pengalaman selama di Pabelan turut membuka jalan saya untuk melanjutkan studi di Amerika. Tahap ini jadi fase lanjutan dari perjalanan mencari pengetahuan, setelah sebelumnya nyantri di Pabelan lantas kuliah di UIN Jakarta.
Ada satu syair Imam Syafi’i dari pelajaran mahfuzhat di Pabelan yang terus lekat dalam memori: “Merantaulah, kau akan mendapatkan ganti dari kerabat dan kawan yang kau tinggalkan; bekerja keraslah karena manisnya hidup hanya terasa setelah lelah berjuang … Singa tak akan pernah dapat mangsa jika tak meninggalkan sarang; anak panah tak akan pernah mengena sasaran jika tidak meninggalkan busur.” Para kiai dan guru-guru di Pabelan selalu mengingatkan kami santri-santrinya untuk berani menghadapi hidup, meninggalkan kampung halaman, keluar dari zona nyaman, demi mencari ilmu seluas-luasnya dan setinggi-tingginya. Pesan yang akan selalu saya ingat.


Gabungan Pesantren dan Madrasah
Miftahussa’adah


Ketika saya diberitahu oleh kakak saya, Drs. Nurhamid Effendi –staf guru Pondok Pabelan- bahwa saya diminta untuk menuliskan kesan-kesan selama menjadi santri di Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan guna penerbitan buku dalam rangka peringatan 50 tahun berdirinya balai pendidikan tersebut, saya merasa mendapatkan tugas berat mengingat saya belum dapat memberikan kontribusi yang berarti baik untuk pondok sendiri maupun untuk masyarakat yang lebih luas. Begitupun untuk merangkai kenangan yang terbingkai dalam pikiran dan menuangkannya dalam sebuah tulisan adalah juga hal yang tidak mudah. Namun demikian, saya berusaha untuk mengurai satu persatu kesan-kesan yang sudah hampir 15 tahun mengendap.
            Saya adalah satu-satunya anak perempuan dalam keluarga, bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakak saya menyelesaikan pendidikan menengahnya di sekolah umum. Ketika saya lulus dari SDN Pabelan I, orang tua saya, terutama ibu saya, bersikukuh untuk menyekolahkan saya di Pondok Pabelan. Padahal sebelumnya saya dan ibu sudah sempat ngobrol dan sepakat bahwa saya boleh meneruskan pendidikan di sekolah menengah umum. Entah mengapa begitu saya lulus SD, ibu tiba-tiba berubah pikiran dan mendaftarkan saya di Pondok Pabelan. Mungkin karena saya adalah satu-satunya anak perempuan sehingga ibu dan bapak ingin saya tetap dalam pengawasan, mungkin juga karena mereka ingin saya memiliki bekal ilmu agama untuk masa depan saya. Paklik dan Bulik saya, Dr. Hj. Juwariyah, Dr. H. Mahfudz Masduki, dan Drs. H. Mahsun Masduki, yang semuanya juga merupakan alumni Pondok Pabelan, sangat mungkin juga merupakan inspirasi bagi orang tua saya sehingga saya dimasukkan ke Pondok Pabelan.
            Saya mulai terdaftar sebagai santri Pabelan padan tahun 1994, setahun setelah wafatnya K.H. Hamam Dja’far. Karena saya asli berasal dari desa Pabelan, maka seperti santri-santri melaju yang lain, saya tidak tinggal di asrama. Kegiatan saya sebagai santripun relatif tidak terlalu padat. Kegiatan formal pembelajaran dikelas dimulai pukul 07.00-12.00 dan dilanjutkan pukul 13.30-15.00. Khusus hari Kamis, pembelajaran di kelas selesai pukul 11.00 yang dilanjutkan dengan kegiatan amal – membersihkan lingkungan Pondok - bersama-sama sampai sekitar pukul 12.00. Pada hari Kamis itu pula kegiatan ekstra kurikuler berupa pramuka dilaksanakan dari pukul 13.00-16.00. Kegiatan Pondok yang merupakan ciri khas dan membedakan dengan institusi pendidikan umum adalah Muhadhoroh. Dari kegiatan inilah kami, baik santri berasrama maupun santri melaju, ditempa untuk dapat menjadi pribadi yang percaya diri ketika harus berbicara, menyampaikan ide pemikiran di depan audiens, walaupun saat itu audiens masih sebatas teman sebaya. Dari ajang muhadhoroh ini pulalah saya merasa bahwa kemampuan berbahasa asing saya, yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, mulai terasah.
            Bagi saya, tahun pertama di Pondok merupakan tahun adaptasi, penyesuaian diri dari dunia pendidikan dasar ke pendidikan menengah. Pada rentang waktu inilah saya mulai belajar subyek-subyek baru, termasuk bahasa Arab dan Bahasa Inggris, dengan dibimbing oleh mbak-mbak guru, yaitu santri putri senior yang telah menyelesaikan pendidikan formal sampai dengan kelas enam ( kelas III MA) di pondok. Sebuatan mbak guru ini awalnya bagi saya terdengar cukup aneh. Namun, justru dengan istilah ini, saya merasa jarak antara saya sebagai murid dan mbak guru sebagai pengajar menjadi tidak begitu jauh. Secara psikologis saya merasa mereka tidak seperti guru formal yang biasanya mengambil jarak dengan muridnya, tetapi mereka juga berperan sebagai kakak yang membimbing adik-adiknya dalam naungan sebuah keluarga bernama Pondok Pesantren Pabelan. Selain karena kegiatan muhadhoroh, saya juga menemukan minat saya dalam belajar Bahasa Inggris pada masa ini.
Saat itu, untuk pertama kalinya saya belajar Bahasa Inggris dengan dibimbing oleh  mbak  Mudzakiroh, salah seorang mbak guru yang sedang membuktikan pengabdiannya kepada pesantren dengan jalan praktik mengajar. Hari demi hari dengan penuh kesabaran beliau membimbing sekaligus memupuk motivasi akan arti penting penguasaan Bahasa Inggris untuk bekal masa depan. Hingga tak terasa masa pengabdiannya selesai, sedangkan pemahaman saya pun belum seberapa. Mungkin beliau paham akan kegalauan dan rasa penasaran saya terhadap Bahasa Inggris, sehingga sebuah buku grammar self study  diberikan oleh mbak Mudzakiroh kepada saya ketika beliau hendak meninggalkan pondok. “Semoga ini bisa menjadi teman belajarmu” Begitulah kira – kira yang beliau katakan. Dari titik tolak buku pegangan mbak Mudzakiroh itulah saya mulai terbuka untuk belajar Bahasa Inggris dengan lebih serius didampingi kakak – kakak dan dengan bimbingan guru-guru senior di Pondok Pabelan. Bekal kemampuan berbahasa Inggris inilah yang di kemudian hari mempermudah jalan saya ketika saya mencoba apply beasiswa dari pemerintah Australia.
            Mata pelajaran lain yang baru saya dapatkan ketika belajar di Pondok adalah mahfudlot. Subyek ini mengajarkan tentang kata mutiara, peribahasa dalam bahasa Arab yang mengandung nilai-nilai kebijaksanaan dalam hidup. Saat ini, baru saya tahu. ciri sekolah modern yang berkarakter hebat pastilah mengajarkan mahfudlot, dan, Pabelan telah mengajarkannya sejak awal berdirinya, 50 tahun yang lalu.
Masih seputar mahfudlot.  Ketika saya mulai terjun ke dunia yang sebenarnya, dalam kehidupan bermasyarakat, saya mendapati dan baru dapat meresapi bahwa nasehat-nasehat yang diungkapkan dalam peribahasa-peribahasa mahfudlot tersebut memang benar-benar berlaku dalam kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Pada rentang waktu 2006-2008 saya berkesempatan untuk melanjutkan studi pada jenjang master di Flinders University South Australia dengan beasiswa dari AUSAID. Salah satu topik yang saya ambil adalah Knowledge Management. Topik ini membahas tentang pengelolaan pengetahuan yang salah satu strateginya adalah dengan knowledge sharing atau berbagi pengetahuan. Dalam kelas itu seketika saya teringat dengan salah satu mahfudlot yang pernah saya pelajari di Pondok yaitu ‘al-ilmu bilaa ‘amalin ka assyajari bilaa tsamarin’.  Bukankah knowledge sharing itu kurang lebih selaras dengan konsep mahfudlot tadi? Disiplin ilmu Knowledge Management baru dirintis sekitar dekade 80-an, sedangkan para pujangga Islam telah menuliskan kata bijak tersebut ratusan tahun yang lalu. Saya menjadi merasa sangat beruntung telah berkesempatan belajar mahfudlot di Pondok Pabelan.
            Sejak didirikannya pada tahun 1965, Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan memang tidak pernah meminta iuran pendidikan dari santri-santrinya yang asli berasal dari Pabelan. Kegiatan yang bisa dikatakan sebagai sebentuk kecil usaha balas jasa serta khidmah para santri melaju pada pondok adalah dengan diadakannya kanis atau kegiatan amal dengan membersihkan, menyapu lingkungan pondok sehabis shubuh. Setiap pagi, selepas sholat shubuh, para santri melaju putri yang dibagi menjadi tiga area, Pabelan Utara, Pabelan Tengah, dan Pabelan Selatan, berbagi tugas untuk menyapu halaman masjid, halaman rumah kyai, dan jalan utama pondok. Hal ini adalah salah satu hal yang secara pribadi sangat berkesan  bagi saya. Bagaimana tidak, di pagi buta yang masih gelap dan berembun, belum lagi kalau gerimis menyertai, kami, santri-santri melaju putri dengan memakai seragam putih dan jilbab yang khas, berbondong-bondong membentuk barisan berderet-deret, meninggalkan jejak kaki dan goresan sapu lidi yang tergambar rapi di halaman masjid dan didepan rumah kyai. Kegiatan tersebut selalu kami lakukan dengan langkah yang ringan dan hati yang senang.  Hal lain yang mungkin bisa dianggap sebagai proses khidmah para santri putri melaju adalah kegiatan pada hari raya Idul Fitri. Setiap kali Lebaran tiba, pada hari pertama sampai hari ketujuh, para santri putri melaju yang duduk di kelas lima dan enam (II dan III MA) bergantian berjaga di rumah kiai untuk melayani tamu yang datang dengan menghidangkan minuman dan makanan kecil. Secara tidak langsung di sini kami mendapatkan pendidikan toto kromo, bagaimana bersikap baik ketika menerima tamu.
            Menginjak kelas lima (II MA), kami santri melaju baru diwajibkan untuk tinggal di asrama. Bersama dengan teman-teman seangkatan yang memang sudah berasrama sejak awal, kami diberi tugas untuk mendampingi adik-adik kelas. Secara personal, bagi saya tugas ini adalah tantangan yang besar. Sebelumnya sebagai bungsu dalam keluarga, hampir segala kemauan saya dapat dipenuhi. Bukan dalam hal materi, namun lebih pada kemauan yang bersifat prinsip kebiasaan. Sebagai contoh, ketika ujian tiba, maka di rumah, saya akan melahap semua materi ujian sejak dari waktu pulang sekolah sampai dini hari (SKS:Sistem Kebut Semalam). Saya sadar bahwa cara belajar seperti ini sebenarnya tidak baik. Tapi seperti itulah saya selalu melewati ujian sekolah. Karena membutuhkan konsentrasi penuh, maka ketika saya belajar, saya menjadi sangat egois. Orang tua dan kakak-kakak saya harus mau mengalah dengan menjaga ketenangan, tidak boleh mengobrol dan menyalakan televisi terlalu keras. Maka, ketika saya harus tinggal di asrama, saya ‘terpaksa’ harus belajar untuk tidak egois dan berbaur dengan teman-teman sekamar dan merubah kebiasaan saya. Suatu saat, ujian sekolah tiba dan saya sudah harus tinggal di asrama. Dilematis untuk saya karena, di satu sisi saya ingin benar-benar belajar dan butuh keheningan, tapi di sisi lain saya harus beradaptasi dengan kondisi kamar yang tentu saja tidak bisa sesuai dengan harapan saya pribadi. Di samping itu, peraturan yang ada mengharuskan lampu kamar sudah dipadamkan pada pukul 11.00. Padahal belum seberapa materi yang saya baca. Di hari yang lain saya berinisiatif untuk menyalakan lilin ketika lampu sudah dipadamkan dan teman-teman sudah tidur. Namun ternyata hal tersebut juga bukanlah solusi terbaik, karena penjaga malam (bulis) menggedor pintu kamar dan mengingatkan untuk memadamkan lilin. Semenjak itulah kemudian sedikit demi sedikit saya mencoba untuk merubah kebiasaan belajar ala SKS. Puncaknya, pada ujian EBTANAS, walaupun tidak bisa mendapatkan hasil yang maksimal, tetapi Alhamdulillah saya dapat lulus dan masuk peringkat tiga besar terbaik.
            Kegiatan-kegiatan santri putri yang tidak terlalu jauh berbeda dengan kegiatan santri putra mengisyaratkan bahwa pondok memberikan kedudukan yang setara antara santri putra dan santri putri. Santri putri juga diberikan kekebasan untuk berkreasi. Setiap akhir tahun, para santri diberikan kesempatan untuk berkreasi dan berekspresi dalam sebuah ajang pentas seni. Dalam wadah inilah bakat seni para santri diakomodasi. Santri tidak hanya berekspresi dalam seni yang bersifat religious, namun juga dalam balutan budaya pop modern. Di sini terlihat bahwa Pondok Pabelan tidak resisten terhadap kultur modern. Balai pendidikan ini mendidik santrinya untuk bersikap terbuka terhadap perubahan dan modernitas, mengambil nilai positif yang dikandungnya dengan tetap menyiapkan filter bagi hal-hal negatif yang mungkin dibawanya. Namun demikian, pondok juga tetap menekankan bahwa nilai spiritualitas, religiusitas serta benteng akidah yang kuat harus tetap dijadikan pegangan dan pedoman dalam setiap tindakan dan pengambilan keputusan.
            Menurut cerita salah satu alumni senior, dalam sebuah kesempatan, K.H. Hamam Dja’far pernah mengatakan bahwa mendidik santri putri berarti mendidik dua generasi, yaitu dirinya sendiri dan anak-anak serta keluarganya. Kenyataan bahwa santri putri juga diberikan wadah untuk berorganisasi menunjukkan diakuinya peran mereka sekaligus memberikan bekal dalam bersosalisai dan bermasyarakat kelak. Nilai berpikiran bebas sebagai salah satu motto pondok juga memberikan andil bagi terbukanya cakrawala dan pemikiran para santri putri bahwa tanggung jawab mereka sangatlah besar. Tidak dapat disangkal bahwa peran perempuan sebagai manajer pengelola rumah tangga memang tidak dapat tergantikan. Namun, sumbangsih mereka dalam pembangunan masyarakat juga sangat diharapkan. Pada saat ini, hasil dari pola pendidikan yang diterapkan oleh pondok Pabelan telah melahirkan perempuan-perempuan hebat  yang mempunyai peran besar dalam masyarakat.
            Secara pribadi, kurun waktu 6 tahun belajar di Pondok tentunya memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi pembentukan karakter diri saya mengingat  rentang waktu tersebut adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa remaja. Periode kritis (critical period) dimana seorang anak mencoba menemukan jati dirinya dan memerlukan bimbingan untuk membentuk kepribadian, saya lalui dengan menuntut ilmu di pondok, tentu dengan berbagai macam bumbu problematika khas masa peralihan. Di pondok jugalah sedikit banyak saya belajar mengenai kepemimpinan dan berorganisasi. Dalam beberapa kesempatan saya pernah didaulat untuk menjadi ketua kepanitiaan serta OPP putri melaju. Masih sangat jauh dari sempurna. Namun sungguh banyak hal yang saya pelajari dari amanah-amanah yang diberikan kepada saya tersebut. 
            Dalam usianya yang telah memasuki 50 tahun, Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan telah  melahirkan ribuan alumni yang sukses dalam berbagai bidang dan tersebar diseluruh penjuru nusantara. Jumlah alumni yang sangat besar ini tentu saja merupakan aset luar biasa bagi Podok maupun bagi sesama alumni. Jaringan yang luas yang mencakup multidimensi karier dalam segala lini kehidupan serta profesionalime para alumninya sangat layak untuk dipandang sebagai kekuatan internal yang selanjutnya dapat membantu pengembangan mutu pondok di masa mendatang serta peningkatan kualitas alumni secara umum. Berkaitan dengan jaringan alumni yang luas ini, dalam fase kehidupan saya selanjutnya, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga) pada fakultas Tarbiyah. Di perguruan tinggi ini saya bertemu dengan dosen-dosen  alumni Pondok Pabelan yaitu Drs. H. Zainal Arifin Ahmad, M.Ag  dan Dr. Radjasa Mu’tasim, M.Si. Melalui beliau berdualah jalan saya untuk melanjutkan pendidikan master menjadi terbuka. Dengan nasehat dan bimbingan beliau berdua saya dapat melampaui tahapan-tahapan seleksi beasiswa Australia Partnership Scholarship.  Hal ini hanyalah contoh kecil betapa jaringan alumni Pondok Pabelan sangatlah masif dan dapat saling memberikan kemanfaatan dalam rangka pengembangan diri. Dan tentu saja masih ada beribu-ribu alumni Pabelan lainnya yang bertebaran di seluruh penjuru Indonesia bahkan di luar negeri yang sedia untuk saling memberikan support dan kemanfaatan bagi kebaikan bersama.
            Pada masa kini Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan berada di bawah pengelolaan badan wakaf dengan tiga orang pimpinan, yaitu K.H. Drs. Ahmad Mustofa, S.H., K.H. Muh Balya, dan K.H. Ahmad Najib Amin. Memang ada perbedaaan yang signifikan dalam hal jumlah santri pada masa kepemimpinan K.H. Hamam Dja’far dengan masa sekarang. Namun, hal ini tentunya tidak boleh menyurutkan niat dan dedikasi para pengelola untuk tetap meneruskan cita-cita yang telah dirintis oleh K.H. Hamam Dja’far.
            Ciri khas dari sebuah pondok pesantren adalah adanya sosok kiai yang kharismatik. Ketika orang berbicara tentang sebuah pesantren yang sukses mendidik para santrinya, maka selalu yang akan ditanyakan selanjutnya adalah siapakah sosok kiai yang membimbing pesantren tersebut. Pada masanya, K.H. Hamam Dja’far telah berhasil menancapkan fondasi kekuatan pondok Pabelan dengan segala nilai toleransi, keterbukaan, dan kharismanya. Beliau menjadi figur sentral yang mengarahkan segala kebijaksanaan terkait dengan lembaga. Pun pada masa akhirnya, K.H. Hamam Dja’far juga sedikit demi sedikit telah mengalihkan fokus kepemimpinan pondok dari tangan beliau sendiri untuk dikelola secara bersama-sama oleh badan wakaf.
Ketika lembaga dijalankan oleh sekelompok individu sebagai sebuah organisasi dengan pembagian job description yang beragam, maka kelemahan yang biasanya terjadi adalah adanya persepsi bahwa “the enemy is out there” (Senge: 2006). Dalam persepsi ini, individu -atau secara lebih luas kelompok kerja- akan cenderung untuk menyalahkan pihak lain apabila terjadi ketidakberesan yang mempengaruhi kinerja maupun produk organisasi secara menyeluruh.  Persepsi ini sebenarnya merupakan hasil dari sebuah keyakinan diri bahwa “I am my position” (Senge:2006). Dengan keyakinan ini, individu atau kelompok kerja hanya berfokus pada pekerjaan dan tugas pribadi mereka sehingga yang terjadi adalah minimnya rasa tanggung jawab atas produk atau hasil akhir institusi. Hal ini juga terjadi karena cara pandang yang non-sistemik sehingga masing-masing individu hanya berkutat pada posisi mereka tetapi tidak dapat melihat arti besar andil mereka untuk suksesnya lembaga.
            Persepsi-persepsi tersebut dapat diubah apabila institusi atau organisasi dapat bertransformasi menjadi organisasi pembelajar  yang kuncinya antara lain adalah shared vision (visi bersama) dan system thinking (pemikiran sistemik). Dalam shared vision, seluruh stakeholder  yang terlibat dalam keberlangsungan lembaga harus mempunyai visi bersama. Bukan sebatas pada visi dan pemenuhan tujuan individu dan kelompok, namun visi dan tujuan individu harus selaras dan mendukung tercapainya visi lembaga secara menyeluruh. Ketika segenap individu yang terlibat dalam organisasi mempunyai visi yang sama, maka mereka akan saling terhubung  dan terikat dalam sebuah aspirasi bersama, membentuk harmoni serta landasan kesatuan dalam beragam aktivitas. System thinking pada saat yang bersamaan juga sangat diperlukan untuk dapat melihat fenomena sebagai sebuah sistem, gambaran yang utuh. Pola cara pandang sistemik ini menuntut seluruh anggota organisasi untuk melihat permasalahan secara lebih luas, bahwa ketidakberesan bukanlah hanya karena kesalahan seseorang atau kelompok kerja tertentu. Umumnya anggota organisasi menganggap tugas atau pekerjaan mereka adalah untuk ‘mengelola posisi’ mereka, terpisah dari sistem. Padahal yang dibutuhkan sebenarnya adalah bagaimana posisi tersebut berperan dan berinteraksi dalam sistem yang lebih luas, dalam hal ini organisasi yang menaunginya.
            Sebagai organisasi pendidikan Islam, Pondok Pesantren Pabelan, yang sebenarnya merupakan gabungan dua model pendidikan yaitu pesantren dan madrasah, harus tetap dapat bertahan di tengah tantangan yang semakin kompleks. Meskipun ciri utama pesantren, yaitu kyai kharismatik sudah tiada, namun dengan kepemimpinan kolektif kolegial ala Pesantren Pabelan yang diterapkan saat ini sekaligus dengan penguatan visi bersama dan pola pemikiran sistemik, saya optimis lembaga pendidikan ini dapat mengulang lagi masa kejayaannya. Pada akhirnya, saya alumni berharap, apa yang telah diwariskan dan menjadi amanah K.H. Hamam Dja’far, yaitu Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan, dapat terus jaya, melahirkan alumni-alumni yang tangguh, yang dengan bekal akidah yang kuat dapat berkiprah dalam pembangunan bangsa dan negara serta mensyiarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘aalamiin.


Insan Berdaya Jual Tinggi
Eko Prasetio

Pabelan oh Pabelan. Satu nama yang tak terlupakan selalu ada di hati
Bermula dari kegalauan orang tua yang takut kalau saya terbawa arus pergaulan yang tidak baik di Jakarta, diantarlah saya ke Pabelan setelah lulus dari SMP tepatnya tahun 1996. Entah bagaimana bisa sampai ke sana karena tidak ada referensi dari siapapun sebelumnya. Saya yakin Allah SWT telah menuntun saya ke Pabelan dan di sanalah saya harus diproses, di sanalah saya akan berkembang.
Saya mengakhiri pendidikan di Pabelan pada tahun 2000 dengan rasa puas. Kepuasan saya saat itu Pabelan telah menjadi solusi bagi permasalahan saya. Masalah saya beragam dari arti hidup, kebersamaan, kedisiplinan, memecahkan masalah dengan banyak cara juga kesulitan merumuskan tujuan. Itu yang saya rasakan saat masih nyantri di Pabelan. Maka saat pergi meninggalkan pondok untuk kembali ke rumah merupakan hal paling berat lagi terhebat. Saat itu ada pertempuran dalam hati, ingin menangis, senang, marah tapi bahagia semua terbungkus dalam haru yang sebenarnya itu adalah ekspresi kepuasan bagi saya.
Proses Mencari Jatidiri
Saya mencoba bergaul dengan banyak orang di Pabelan, teman sesama santri, senior, junior dan masyarakat Pabelan asli. Di sana saya banyak belajar bagaimana menghadapi karakter banyak orang yang saya coba kenal. Di sana pula saya belajar bagaimana arti pertemanan dan kebersamaan yang mendalam. Saya sungguh sudah mendapat sangu hidup dalam hal bagaimana bergaul yang baik. Kongkow di bawah pohon nangka dekat Ancient dan di kantin putra adalah tempat favorit kami untuk sekedar berbagi cerita. Keluh kesah diselingi canda tawa juga yang sedih untuk diakhiri, itu akhirnya mengakar dalam diri kami para santri. Saya yakin momentum itu ‘ngangeni’ sampai saat ini.
Saat berkunjung ke rumah teman sesama alumni, kami masih sering ngopi segelas berdua bahkan bisa berlima. Kalau habis buat lagi dan minum segelas berlima lagi.  Terasanya tuh di sini….! Moment awal yang membuat rasa betah, sebab rasa tidak lagi sendiri, rasa berkumpul dan semua rasa ter-ladeni. Semua masalah mendapat aneka solusi, dan rasa sakit yang ada bisa tersembuhkan hanya dengan obrolan ringan dan penuh canda.
Menemukan Jatidiri
Semakin hari dirasakan semakin nyaman dan kerasan. Saya ingat yang saya dapatkan saat itu adalah hebatnya kebersamaan, rasa percaya diri tinggi karena semua orang merasa dihargai dan saling menghargai satu sama lain. Bagi saya itulah awal proses penemuan jati diri saya, yang sebelumnya saya tidak mengerti bagaimana harus bersikap dan bagaimana harus bertindak menghadapi banyaknya permasalahan.Saya ingat pesan ayah saya,” Kalau kamu belajar, jadilah seperti spon dan rendahkan hatimu,” kalimat tersebut baru saya sadari setelah saya masuk Pabelan. Ternyata dengan menjadi spon diharapkan saya bisa menyerap ilmu lebih banyak dan lebih cepat dan merendahkan hati diharapkan bisa lebih dihargai dalam pergaulan.
Mulai Mencintai Pabelan
Proses panjang berjalan, semakin hari saya semakin mencintai tempat tinggal saya. Saya belajar, tidur, makan, berbaur dan membaur di Pabelan. Sebenarnya awalnya saya sangat tidak mencintai hal yang beraturan bahkan saya membencinya karena saya selalu melompat-lompat dan tak beraturan dalam hal berpikir dan bertindak. Saya pikir saya mempelajari hal baru di sana. Sistem yang diterapkan di Pabelan ternyata mampu membuat banyak hal yang tidak tertata menjadi tertata, membuat seseorang yang sulit bergaul menjadi mudah bergaul, membuat seseorang yang berkepribadian tertutup menjadi ramah. Itulah efek positif sistem pondok yang sangat sulit dipahami tapi terjadi. Itulah Pabelan.
Kepemimpinan dan pola kehidupan keseharian yang diciptakan oleh Kiai Hamam begitu mengakar kuat sehingga menjadikan Pabelan semakin maju di masa kepemimpinan penerusnya yaitu Kiai Ahmad Mustofa, Kiai Najib dan Kiai Balya. Saya lebih senang menyebut  sebagai “Era Kebangkitan Pabelan”. Pada era tersebut kami merasakan betul dengan masuknya santri yang kembali meningkat, banyak, juga fasilitas pendidikan yang semakin beragam serta maju. Pola pengajaran lebih terorganisasi dan penempatan pengajar yang memang tepat di bidangnya. Saya merasa Pabelan generasi penerus ini is My New World.  
Menurut saya peran ketiga pimpinan terlihat pada semua aspek dan sistem. Kiai Najib untuk urusan internal Pabelan, beliau adalah sosok yang humanis, visioner, Tegas dan kharismatik. Saya rasa sangat cocok peran beliau di dalam pondok karena semua santri membutuhkan sosok seperti beliau dalam menerapkan ilmu kemasyarakatan di dalam pondok. Seperti kata bijak “Kebiasaan berawal dari rumah”, jadi santri akan belajar dasar ilmu bermasyarakat dan berakhlakul karimah berawal dari Pabelan. Kiai Najib mengajarkan banyak hal tentang bagaimana bersikap dalam pergaulan, bagaimana menghormati orang yang lebih tua, bagaimana menjalankan suatu kedisiplinan, dan bagaimana cara memecahkan masalah dengan potensi yang ada, serta setiap kesalahan pasti ada konsekuensinya.
Beberapa kalimat yang sering saya ingat : “Kalian belajar di Pabelan, dengan harapan dapat menjadi pribadi-pribadi yang unggul, karena kalian semua adalah bintang”. Beliau mengajarkan tentang kepercayaan diri, bahwa kita adalah bintang di manapun dan kapanpun kita berada, dan mengajarkan bahwa jika belajar betul di Pabelan maka kita akan menjadi insan yang bermanfaat bagi banyak orang. “Siapa yang melakukan kesalahan harus berani tunjuk hidung sendiri dan selalu ada konsekuensi yang harus dijalani”. Perkataan ini mengajarkan betapa pentingnya sebuah tanggung jawab yang harus dijalani, dan sebagai manusia yang berakhlak harus berani mengakui kesalahannya sendiri dan bukan menunjuk orang lain atas kesalahan yang dibuatnya. “Kesuksesan diawali dengan sebuah proses panjang yang harus dilalui, salah satunya proses belajar di Pabelan”. Kalimat ini mengajarkan bahwa kehidupan dan kesuksesan tidak ada yang instan, semuanya harus berproses, tujuan bukan yang utama tapi yang utama adalah prosesnya. Menikmati proses sama halnya kita sedang menaiki anak tangga yang diujung anak tangga tersebut adalah pintu keberhasilan.
Kalimat lainnya adalah: “Bagus itu baik tapi kalo gemagus itu elek, ayu itu baik tapi kalau kemayu elek”. Kalimat ini begitu familier mengajarkan kami tentang Akhlak yang baik, tidak boleh sombong dan tidak boleh berlebihan. “ Semua santri Pabelan itu ganteng-ganteng, cantik-cantik menurut…. Orang tua masing-masing”. Kalimat itu lucu dan pasti pada awal mendengarnya membuat kita tersenyum, kalimat tersebut mengajarkan tentang sebuah sikap percaya diri tinggi sehingga kita tidak merasa rendah diri di hadapan sesama. “ Jodoh kalian itu bukan yang ada di sini (sambil menunjuk santri putra/putri yang sedang di masjid) jodoh kalian itu yang sekarang masih SD “. Kalimat di atas beliau menegaskan bahwa di Pabelan adalah tempat belajar jadi fokuslah belajar dan selesaikan proses belajar dengan baik, sebenarnya menurut penafsiran saya sama sekali tidak menyinggung tentang masalah perjodohan, tapi lain hal yang dimaksudkan.
Kiai Ahmad Mustofa adalah adik dari Kiai Hamam Dja’far sosok fisik beliau hampir mirip dengan almarhum Kiai Hamam. Sejauh yang saya tahu beliau berperan sebagai Penasehat serta Pembimbing dalam hal Etika terhadap santri. Saya merasakan betul beliau adalah sosok yang Tegas, Disiplin dan Berwibawa. Ada kata-kata beliau yang masih saya ingat: “Orang suka memukul itu, karena kehabisan cara dan tidak pintar bicara”. Kalimat tersebut mengajarkan kami bahwa memukul adalah tindakan tidak cerdas, sebenarnya semua masalah bisa selesai jika kita bisa berpikir cerdas dan gunakan banyak cara selain memukul. “Kepribadian seseorang itu bisa dilihat dari cara dia menyampaikan sesuatu”. Mengajarkan kami tentang ilmu psikologi, bagaimana cara cepat mengetahui kepribadian seseorang sebelum menjalin suatu hubungan.
Kata-kata beliau masih saya pegang hingga saat ini dalam hal bagaimana mempelajari karakter seseorang sebelum menjalin sebuah hubungan dalam hal pertemanan dan bisnis. Saya tafsirkan kata-kata beliau sehingga saat ini saya berhasil mendapatkan banyak teman dan mitra dalam usaha. Saya juga mengerti bagaimana membaca al-quran yang benar juga berawal dari beliau.  Saat mengajar membaca al-quran di rumahnya beliau sangat tegas, ”Salah ya salah”, kata beliau. “Sudah tahu salah kok diulangi”, lanjutnya “Kamu itu mencoba fokus dulu agar salah terus”. Apalagi saat membaca al-quran bersamaan dengan santri putri seangkatan. Di situlah strategi beliau untuk berupaya agar santri yang sudah senior ya harus bisa ngaji. Dengan strategi seperti itu ternyata membuat saya belajar betul, sebab malu dimarahi terus saat ada banyak santri putri.
Kiai Balya, mempunyai peran yang penting di Pabelan yaitu sebagai administrator pusat dan keuangan pondok. Sosok yang sederhana, low profile dan penuh Ilmu serta cepat terlihat saat beliau pernah berbicara di dalam forum. Semua masalah yang ada beliau tanggapi dengan cepat dan lihai sesuai dengan keilmuan yang beliau miliki. Bicaranya tidak terlalu banyak tapi tepat sasaran. Sedikit yang saya tahu tentang beliau karena memang jarangnya beliau berinteraksi langsung dengan santri, tapi saya mengerti karena beliau orang yang sangat disiplin dalam tugas yang diberikan oleh Kiai Hamam.
Model Pendidikan Pabelan
Salah satu kegiatan yang sangat saya sukai di Pabelan adalah Pramuka. Ini adalah kegiatan ekstra yang mendidik saya dalam hal pengembangan fisik dan mental. Dengan digojlok, berdisiplin waktu, juga berketrampilan dan bersuka ria adalah bagian dari kepramukaan di Pabelan. Saya lihat dan rasakan pramuka di pondok memiliki banyak nilai lebih daripada umumnya karena ditambah nilai ukhuwah, akhlak dan patriotisme. Kegiatan yang satu ini membuat saya menjadi lebih terampil dan cepat memutuskan sesuatu dalam kehidupan bermasyarakat. Juga sangat berpengaruh dalam kehidupan berumah tangga dalam hal ber-akhlakul karimah sesama anggota keluarga.
Muhadharah kegiatan yang berpengaruh terhadap profesi dan karir saya. Saya memutuskan sebagai pesyiar Baitullah yang tugasnya mengajak lebih banyak orang yang ingin berangkat ke tanah suci untuk menjalankan Umroh dan Haji tapi terkendala biaya dengan cara mudah. Muhadharah melatih saya untuk bisa percaya diri, berani berbicara di depan umum serta berimprovisasi dalam menyampaikan sesuatu. Dulu saya sangat takut mengikuti muhadharah karena merasa tidak bisa dan canggung berhadapan dengan banyak orang. Dorongan teman-teman akhirnya saya mau, selalu kegagalan yang saya dapatkan yaitu sorak kecewa dari para audiens. Tapi tidak gentar walau masih mengalami kegagalan lebih dari lima belas kali akhirnya saya bisa menguasai panggung/podium. Saya yakin itu buah dari terus mencoba dan berlatih.
Model pendidikan di Pabelan sangat berwarna dan beragam. Semuanya bermanfaat dan ada nilai lebihnya masing-masing jika dibandingkan dengan pendidikan umum yang monoton. Kegiatan ekstrakurikuler tersebut dapat menambah semangat santri dalam belajar dan menggali potensi yang ada dalam diri. Terbukti dengan banyaknya kegiatan pendidikan di Pabelan membuat saya pribadi menjadi lebih betah berada di pondok, minat saya pada bidang Organisasi dan Komunikasi tergali di sana mungkin karena sistem di Pabelan yang sudah berhasil membuat saya mengikuti semua kegiatan dengan rasa senang.
Mendewasakan Diri Sendiri
Pabelan adalah tempat saya bertumbuh dan menuju kedewasaan, pikiran dan akal, serta kemandirian. Kehidupan yang saya jalani saat ini tidak lepas dari pengaruh belajar selama di Pabelan. Setelah saya keluar dari Pabelan saya lalu bergabung dengan sebuah komunitas bisnis di Semarang, karena saya sangat senang berhubungan dengan orang, dari segi komunikasi, teknik pergaulan, teknologi dan penyerapan ilmu dapat menyesuaikan dengan cepat di manapaun dan kapanpun. Semua tidak lepas dari bimbingan Kiai Najib yang fokus di dalam pengurusan santri secara langsung. Melalui perpanjangan tangannya yaitu OPP, saya belajar organisasi secara menyeluruh dan selalu dimonitor oleh beliau. Dua tahun menjadi OPP dan saya dipercaya menjadi bagian keamanan di tahun pertama dan di tahun kedua saya dipilih sebagai bagian kesenian. Di sana saya belajar betul bagaimana mengeksplore kemampuan saya untuk membangun minat santri dalam hal bermusik saat jadi bagian kesenian.
Saya memiliki pengalaman yang cukup menggemparkan OPP.  Saat itu saya menduduki seksi kesenian, bermitra dengan dua teman. Saya mengusulkan pengadaan alat musik (alat band) pada tahun 1998 karena belum ada saat itu. Saya bersama dua orang teman menghadap ke Kiai Ahmad Mustofa yang saat itu memegang santri putra. Tanggapan beliau datar saja. Tapi keinginan kami begitu menggebu. Waktu terus berjalan dan kami mulai melobi Ustadz Abdul Syukur sebagai Kepala MA KMI saat itu untuk mendukung niatan kami, karena beliau memiliki hobi dalam bermusik. Tanggapan positif kami dapatkan dari beliau walau masih harus kami perjuangkan ke pak Kiai. Langkah selanjutnya kami mengumpulkan kuisioner kepada para santri untuk menuliskan hobi mereka dan apa yang mereka inginkan di dalam pondok. Bagai gayung bersambut saya melihat banyak santri yang senang di bidang seni, lalu kertas kuisioner keinginan para santri saya kemas dalam satu amplop besar. Lalu saya coba kirimkan kepada Kiai Ahmad dan beliau menerima.
Kami tunggu sampai dua minggu belum ada jawaban. Kami bertemu lagi dengan Ustadz Abdul Syukur untuk mendiskusikan strategi yang harus kami lakukan. Pak Syukur mendukung kami sehingga beliau mengatakan, “Nanti malam saya akan menghadap pak Kiai Ahmad Mustofa dan mencoba membicarakan ini”. Alhamdulillah saya sangat senang mendengarnya. Malamnya kami menunggu kedatangan ustadz Abdul syukur dari Nusa damai tempat tinggal kami. Akhirnya beliau sampai dan sebelum masuk rumah kiai, beliau memberikan jari jempol pada kami. Cukup lama beliau berbincang, dan kami putuskan untuk belajar di kamar, sampai-sampai beliau pulang kami tidak melihat.
Besoknya kami segera menemui beliau. ”Pada dasarnya pak Kiai Ahmad setuju, tetapi belum menjadi prioritas untuk pengadaan alat musik tersebut, kalian sabar saja tapi terus berusaha” itu yang saya ingat perkataan beliau. Dua tiga bulan tidak ada realisasi, kami bersemangat lagi untuk melancarkan strategi. Kali ini saya mengkoordinasi semua ketua kamar untuk datang ke Nusa damai, saya instruksikan untuk semua santri membuat surat permintaan pengadaan alat musik, dan langsung mengirimkannya ke kotak pos yang ada di samping rumah Kiai Ahmad Mustofa. Rencana berjalan lancar sehingga kotak pos penuh bahkan sampai jatuh-jatuh di tanah. Tentu ini cukup mengundang perhatian beliau.
Walhasil, kami bertiga dipanggil ba’da magrib, kami berpikir ada jawaban positif ternyata benar, positif dimarahi. Pak kiai, berkata, “Ini pemaksaan, ini penggrudukkan,” lalu kami dinasehati. Akhirnya kami menyadari bahwa yang kami lakukan itu salah. Besoknya kami disuruh menghadap bersama ustadz Abdul Syukur. Datanglah kami berempat, kami sudah ketakutan tapi ustadz Syukur selalu bilang “Tenang saja, kalau tidak diizinkan, tahun depan dicoba lagi”. Kami masuk ruangan dengan keringat sebesar jagung. Kiai Ahmad datang dengan langkah yang tegas lalu duduk di depan kami. Kali ini beliau tidak marah tapi menasehati kami, akhirnya keringat sebesar jagung berubah menjadi sebesar kacang ijo. Ini benar terjadi dan masih melekat dalam ingatan saya.
Beliau mengatakan pada kami berempat, “Berapa dana yang dibutuhkan?”,  “Coba dirincikan per item,” lanjutnya. Seperti tidak percaya lalu kami saling berpandangan satu sama lainnya. Pak Abdul Syukur tersenyum, membuat keringat tadi mengering dan tubuh menghangat kembali. Lalu kami kembali ke kamar untuk berdiskusi. Dengan bersemangat kami rinci semua kebutuhannya, lalu menyerahkan ke pak Kiai Ahmad dan beliau menerimanya. Berselang kira-kira empat bulan alhamdulillah akhirnya alat musik tersebut datang lengkap satu set, dua gitar listrik, satu gitar bass listrik dan drum yang saya lupa mereknya. Sayangnya saat alat itu datang kami sudah tidak lagi di bagian kesenian, sudah regenerasi. Bagian kesenian yang baru meletakkan alat musik tersebut di salah satu ruang kecil di gedung presiden.
Ilmu Amaliah bukan Teori
Secara tidak langsung belajar organisasi di OPP membuat saya mampu menguasai banyak ilmu seperti komunikasi, strategi, negoisasi, diskusi dan kepemimpinan.  Di kehidupan luar untuk mendapatkan semua ilmu tersebut seseorang harus membayar mahal.  Tapi di Pabelan saya dapatkan dengan gratis dan ilmunya bukan lagi teori tapi praktik langsung lapangan. Itu yang mahal sedangkan jika kuliah biasanya yang ditempuh selama empat tahun, teori dan praktek. Ilmu negoisasi atau lobi-lobi sangat diperlukan pada saat seseorang menjadi pengusaha yang biasanya melakukan bisnis dengan cara bermitra. Saya pernah terapkan dalam dunia usaha yang saya jalankan hingga saat ini. Dulu di Pabelan saya belajar bagaimana cara bernegoisasi dengan guru, teman dan sesama anggota organisasi OPP, saat ini saya negoisasi dengan konsumen, produsen, supplier dan agen. Memang di Pabelanlah saya belajar semua itu, karena sebelumnya saya tidak mengetahui apapun aspek di kehidupan nyata.
Pada bidang kepemimpinan atau leadership pernah saya terapkan pada masa kuliah dan saya dipercaya menjadi ketua Senat Mahasiswa travel dan perhotelan di salah satu universitas di Jakarta. Di masyarakat saya juga pernah dipilih menjadi ketua RT. Ini bukan kesombongan tapi lebih kepada keberhasilan Pabelan dalam mendidikkan ilmunya pada semua santrinya sehingga saya sering mendengar kesaksian para alumni melalui media sosial tentang keberhasilan mereka di dalam kehidupan dan bersosial.
Hebatnya kebersamaan yang diciptakan saat di Pabelan membuat ikatan persaudaraan antar alumni di kehidupan nyata sangat erat. Saya memiliki beberapa teman yang juga lulusan pesantren tapi bukan dari pabelan. Saya melihat pertemanan mereka tidak sekuat kita alumni pabelan, canda mereka memiliki tendensi tertentu misalnya memojokkan seseorang yang berbeda pandangan, cara bergaul mereka tidak seluwes alumni pabelan. Entah kenapa bisa begitu, itu berarti sistem pabelan berhasil diterapkan dan aplikatif.
Jadi tidak terlambat untuk berbangga menjadi alumni Pabelan, kalau bisa segera ambil keputusan untuk menyerahkan anak-anak kita kepada Pabelan agar mereka juga menjadi bintang yang kelak akan bersinar di kemudian hari. Alumni yang sampai saat ini masih merasa “memiliki” Pabelan maka sebarkanlah kebaikan tentang Pabelan, semoga kita semua bisa menjembatani keinginan banyak orang untuk menjadikan putra-putrinya insan yang berguna bagi agama, keluarga, masyarakat dan bangsa Indonesia yang berakhlak mulia.
Banyak berkah yang saya dapatkan saat menempuh belajar di Pondok Pabelan di antaranya saya rasakan saat ini: Mendapatkan beragam Ilmu untuk bekal di kehidupan bermasyarakat; Memiliki pertemanan dengan alumni sebagai motivator dalam menjalani permasalahan kehidupan; Memiliki pertemanan dengan alumni sebagai mentor yang mengarahkan hidup ke arah lebih baik dari hidup yang penuh dinamika; Memiliki wadah untuk saling berbagi kebaikan dan tukar informasi; Memiliki pertemanan/link hampir di seluruh nusantara Indonesia; Memiliki inspirasi dari tokoh-tokoh Pabelan; Berhasil menemukan jodoh dan berhasil jadi pasangan hidup. Alhamdulillah kita masih dan akan terus bersinergi dalam banyak hal sampai kapanpun. Insyallah


Menggapai Cita
Meldo Andi Jaya:

Menjadi seorang santri di pesantren sebenarnya telah terpikir ketika saya masih SD. Ketika itu masih di kelas 5 SD di Palembang. Saya mengungkapkan keinginan untuk merantau di Jawa dan tidak mau sekolah kalau tidak di Jawa ke orang tua. Tidak teringat apa jawaban orang tua saat itu. Namun setelah menamatkan SD, orang tua menanyakan kembali keinginan sekolah di Jawa. Tanpa ragu saya mengiyakan dan merasa sangat senang karena keinginan saya terkabulkan. Meskipun saya belum tahu ke pesatren mana saya akan dititipkan.
Tahun 1994, awal pertama kali saya menginjakkan kaki di pulau Jawa, melalui perjalanan darat bersama kedua orang tua. Dari Palembang menggunakan kereta api ke Lampung kemudian menyeberang melalui pelabuhan Bakauheni Lampung. Setelah menyeberangi selat Sunda, melanjutkan pejalanan ke stasiun Gambir guna naik kereta ke Yogyakarta. Sampai di Yogyakarta pagi hari dan perjalanan langsung menuju Muntilan. Di Muntilan menginap satu malam untuk beristirahat dan membeli perlengkapan sehari-hari untuk di pondok. Esok harinya perjalanan menggunakan angkot menuju desa Pabelan, tempat Pesantren  dimana saya akan belajar selama bertahun-tahun.
Dalam perjalanan, saya mendengar sopir bercerita kepada orang tua saya tentang pondok Pesantren Pabelan. Tidak banyak yang saya ingat pembicaraan mereka, yang saya ingat sang sopir memberitahu kalau pimpinan pondok Pesantren Pabelan baru saja meninggal tahun lalu. Yang ada dalam pikiran saya saat itu adalah ternyata pimpinan pondok pesantren pabelan sangat terkenal, sampai-sampai sopir angkot pun mengenal beliau. Setelah beberapa menit di perjalanan, angkot pun berhenti dan sang sopir memberi tahu kalau kami telah sampai. Yang saya ingat ada papan nama yang menginformasikan letak Pondok Pesantren Pabelan sekian meter jauhnya. Namun rasanya papan nama tersebut tidak sebesar sekarang dengan tulisan yang lebih besar dan jelas.
Perjalanan ke desa Pabelan dilanjutkan dengan menaiki andong, perjalanan yang unik dan menyenangkan karena saya belum pernah lihat transportasi jenis ini di Palembang apalagi menaikinya. Mungkin terasa seperti koboi di film-film Amerika. Sesampai di Pondok Pabelan, saya dikenalkan dengan kak Mulyadi, santri dari Palembang, yang menjadi bagian penerima tamu di OPP. Beliau banyak membantu dan mengenalkan santri-santri asal Palembang ke saya.
Hari pertama di Pondok terasa sangat asing namun ramai. Terasa sangat berbeda dengan kebiasaan sehari-hari di Palembang. Dari soal menu makan yang kurang cocok di lidah, karena sayur dan lauk di pondok terasa manis, yang tentu kurang cocok dengan lidah orang Palembang yang cenderung menyukai makanan pedas. Begitu juga udara yang dingin, khususnya di malam hari. Apalagi harus bangun subuh untuk shalat berjamaah, udara terasa sangat dingin ditambah ketika menyentuh air wudhu badan terasa menggigil. Ditambah dengan kondisi masih mengantuk membuat perjalan menuju masjidterasa sekali sangat berat.
Hari kedua di pondok saya bersama orang tua bejalan-jalan ke Candi Borobudur menggunakan andong dari Batikan. Sekali lagi saya merasakan layaknya koboi Amerika. Perjalanan yang menarik selama menuju candi Borobudur melewati persawahan di sisi kanan dan kiri jalan. Akhirnya sampai juga di Borobudur, candi terbesar di Indonesia menurut buku yang saya baca dan cerita yang saya pernah dengar. Perjalanan “liburan” yang menyenangkan, atau mungkin perjalanan perpisahan yang saya tidak sadari, karena esok harinya orang tua akan menitipkan saya di Pondok.
Ternyata benar besok harinya orang tua berpamitan untuk pulang ke Palembang dengan Bus di terminal Muntilan. Awalnya biasa saja, tidak merasa kehilangan atau merasa ditinggalkan sendirian. Namun setelah shalat Ashar perasaan kehilangan mulai terasa, galau, sedih, kalut menjadi satu. Ingin rasanya menyusul ke terminal Muntilan dan ikut pulang ke Palembang. Tapi saya urungkan karena saya tidak tahu bagaimana cara menuju terminal dan hanya bisa menangis.
Hari keempat, perasaan sedih dititipkan di pondok sudah tidak begitu terasa lagi. Mungkin karena sudah mendapatkan teman  dan mulai membiasakan diri hidup jauh dari orang tua. Ketika itu kegiatan belajar mengajar belum dimulai secara formal. Namun sebenarnya  kegiatan belajar sudah dimulai dari kamar. Ketika itu saya menghuni kamar presiden A, yang merupakan pengelompokan santri-santri berdasarkan umur, yaitu santri seumuran saya. Di kamar saya banyak mengenal santri-santri dari berbagai daerah di Indonesia. Sesuatu yang sangat menyenangkan berkenalan dengan mereka, karena banyak mengetahui budaya dan karakter orang dari daerah lain.
Bisa dikatakan pelajaran dan pendidikan pertama dimulai dari kamar. Dari membiasakan menyiapkan keperluan sehari-hari, pengenalan organisasi sampai pelajaran berbahasa asing. Semuannya diajarkan dan langsung dipraktekkan mulai dari kamar. Setiap kamar diasuh oleh kakak kelas lima atau yang disebut Mujanib. Yaitu kak Muntazirin asal Jambi dan santri melaju kak Fathur dan Ahmad Faisal.
Pembelajaran Bahasa asing, Arab dan Inggris dimulai dengan menghapal kosakata yang diberikan oleh Mujanib. Awalnya terasa berat karena ini adalah pertama kali belajar bahasa asing. Untuk menghapal lima kosakata harus dihapalkan dalam satu hari, karena setiap malam akan diuji oleh mujanib setiap habis shalat isyak dan selalu menambah hapalan kosakata untuk malam selanjutnya. Kegiatan menghapal sebanyak mungkin kosakata sebagai langkah awal dalam menyiapkan santri untuk berbicara bahasa asing dalam percakapan sehari-hari. Sehingga beberapa bulan selanjutnya para santri diwajibkan menggunakan percakapan bahasa asing setiap hari.
Mewajibkan menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari tentu membuat saya menjadi berat menjalani pendidikan di pondok. Namun usaha berbicara berbahasa asing harus dipaksa tak peduli tata tahasa benar atau salah yang penting bisa dipahami. Sebenarnya di pondok sendiri mempunyai strategi yang cukup baik menghapal kosakata yaitu di pagi hari setelah shalat subuh. Dengan meneriakkan berulang-ulang kosakata menjadi lebih efektif untuk diingat.
Persoalan bahasa memang menjadi hal yang menakutkan untuk santri kelas satu. Apalagi harus menggunakannya dalam latihan pidato (muhadharah). Memang beberapa bulan pertama santri dilatih berpidato menggunakan Bahasa Indonesia namun beberapa bulan selanjutnya harus menggunakan bahasa Arab dan Inggris. Untuk santri kelas satu, latihan pidato yang diadakan dua kali dalam seminggu menjadi hal yang mengerikan dan tidak diharapkan. Terlebih jika mendapat jadwal berpidato bisa membuat kalut dan mencoba mencari alasan untuk tidak hadir di malam muhadhoroh.
Kesulitan berpidato dalam menggunakan bahasa Arab dan Inggris  terjadi sampai awal kelas dua. Setiap mendapat jadwal pidato saya mengalami kesulitan, terutama dalam menulis draft pidato. Karena tidak ada yang mengkoreksi sebelum dihapalkan. Untungnya ketika itu uztadz Zamharir, yang juga pengajar bahasa Arab di kelas memberikan bantuan untuk mengkoreksi draft pidato yang sudah saya buat. Baik itu bahasa Arab atau bahasa Inggris. Ketika itu beliau menyediakan sejenis kotak surat di gedung barat Alhambra. Jadi setiap saya mendapatkan jadwal pidato, draft pidato saya masukkan ke kotak. Yang kemudian beliau koreksi dan diberikan kembali esok harinya.
Bimbingan ustadz Zamharir membuat saya tertarik belajar bahasa Arab. Setiap pelajaran bahasa Arab (Tamrinul Lughoh) di kelas saya dapat mengikuti dengan baik materi pelajaran yang diberikan dan mendapatkan nilai yang cukup baik. Di samping itu, ustad Bahar banyak membimbing dalam belajar bahasa Inggris sehingga pelajaran bahasa Inggris menjadi pelajaran favorit. Ketika kelas satu kedua pelajaran ini terasa sangat sulit.  Ketertarikan akan belajar bahasa Arab dan Inggris menjadikan muhadharah yang awalnya merupakan kegiatan yang menakutkan menjadi sebuah tantangan dan kegiatan yang menarik.
Masa di kelas dua dan tiga menjadi masa belajar yang menyenangkan bagi saya. Persoalan bahasa bukanlah menjadi hambatan lagi. Justru dengan belajar bahasa Arab pelajaran lainnya yang berbahasa Arab menjadi lebih mudah. seperti pelajaran Fikih KMI. Bisa dikatakan kelas satu, dua, tiga merupakan periode awal pembentukan jatidiri dan ketertarikan akan bidang tertentu.  Setelah menyelesaikan kelas tiga para santri akan memilih bertahan di pondok atau melanjutkan pendidikan di luar pondok.
Seleksi tahap awal terjadi secara alamiah. setalah EBTNAS (UN) kelas tiga banyak para santri memilih untuk melanjutkan pendidikan sekolah umum sedangkan yang bertahan di pondok sangatlah sedikit. Seingat saya yang tetap memilih belajar di pondok  hanya saya, Suratmin, Ahmad Rifai, Suharsoyo, Heru Susanto, Fajri Rahmadiansyah, Kristianto, Sulistianto, dan Fikri al-Amin dari sekian banyak santri.
Setelah EBTANAS saya kembali ke Palembang untuk liburan akhir tahun ajaran. Godaan untuk melanjutkan pendidikan di luar pondok sempat membuat bingung, apalagi bujukan dan cerita kakak tentang SMA-SMA favorit di Palembang sungguh menyenangkan, yang kebetulan nilai EBTANAS saya memenuhi standar nilai untuk diterima di SMA tersebut. Meski sempat galau, akhirnya saya putuskan untuk kembali ke Pabelan dengan pertimbangan yang sangat sederhana yaitu jika memilih sekolah di Palembang akan membuat saya sulit untuk kembali ke Jawa.
Masuk di kelas empat merasakan suasana baru karena kelas digabung dengan santri-santri dari kelas Takhasus. Awalnya memang ada sedikit egois karena saya dan teman-teman satu angkatan dari kelas satu merasa lebih dulu masuk pondok dibanding santri-santri yang dari Takhasus yang baru setahun di Pondok. Namun perlahan sikap egoistis itu hilang dengan sendirinya karena kehidupan sehari-hari di kamar yang menyatu dan membaur tanpa melihat angkatan.
Menjalani pendidikan di kelas empat terasa mulai menurun dan berdampak pada nilai yang kurang baik. Padahal di masa ini pilihan melanjutkan pendidikan setelah dari pondok mulai terpikirkan. Sempat terpikir tidak memilih sekolah di Palembang adalah sesuatu kesalahan karena jika melihat kebanyakan santri yang tamat dari pondok melanjutkan ke IAIN. Dan pondok tidak menyiapkan para santri untuk mampu bersaing ke PTN.
Perasaaan menyesal karena tidak memilih sekolah di SMA semakin menjadi ketika memasuki kelas lima. Saya merasa pelajaran umum yang diajarkan di pondok tidak membuat saya siap untuk melanjutkan pendidikan di PTN. Padahal saya lebih tertarik untuk melanjutkan kuliah di jurusan non-agama. Kondisi ini semakin membuat saya khawatir akan masa depan, sehingga saya mengutarakan ke orang tua untuk keluar dari pondok dan berniat untuk sekolah SMA di Yogyakarta. Apalagi saya melihat ada santri pondok Pabelan yang melanjutkan sekolah di Yogyakarta setelah kelas empat dan masih sering mengunjungi pondok sehingga membawa cerita-cerita kehidupan yang terdengar menyenangkan sekolah di sekolah umum. Mendengar alasan saya, akhirnya orang tua menyetujui niat saya untuk melanjutkan sekolah di Yogyakarta dengan syarat setelah kelas lima. Namun untuk kesekian kali saya urungkan niat keluar dari pondok. Dengan alasan rasa kebersamaan di pondok membuat saya betah tinggal di pondok.
Bisa dikatakan menjadi santri kelas enam adalah hal yang paling menyenangkan di masa mondok. Di masa inilah para santri diberikan tanggung jawab lebih besar karena akan manjabat pengurus OPP yang merupakan organisasi santri yang paling tinggi. Layaknya pemerintahan kecil, OPP adalah lembaga eksekutif yang mengatur kegiatan sehari-hari santri. Seluruh aktivitas keseharian para santri dijalankan dan dimonitor dari gedung Nusa Damai, bangunan lama yang berdinding anyaman bambu dan berlantai semen. Di OPP yang diketuai oleh Testriono saya dipilih untuk mengemban bagian Penggerak Bahasa berduet dengan Kristanto yang kebetulan bagian baru di OPP. Masa-masa di OPP adalah masa-masa di mana dididik mencapai dan menjalankan organisasi dengan kerjasama, kesetiakawanan, dan tanggung jawab.
Di samping sebagai pengurus OPP, saya juga aktif di buletin Dialog yang memperkenalkan saya tentang dunia jurnalistik. Kegiatan ini sangat menyenangkan, apalagi ketika masa pencetakan bulletin. Ketika itu pencetakan buletin dilakukan di Yogyakarta, merupakan kesempatan untuk keluar pondok sambil jalan-jalan ke Yogyakarta. Apalagi ketika pengambilan cetakan bulletin yang sudah selesai, percetakan sering memberikan ongkos untuk sekedar makan-makan. Biasanya yang mengambil cetakan buletin saya dan Testriono, kesempatan itu kami gunakan untuk makan pempek di seputaran Malioboro, sekedar mengobati rasa kangen makanan tradisional Palembang sambil menikmati sore hari di jalan Malioboro.
Masa-masa kelas enam, kekhawatiran untuk melanjutkan pendidikan di luar pondok semakin terasa, apalagi tidak adanya les tambahan persiapan EBTANAS membuat beban menghadapi EBTANAS sangat berat. Meskipun saat itu ada juga santri yang mendapat ijin mengikuti Les tambahan di Muntilan. Untuk menyiasati kekurangan jam belajar dan modul pelajaran dalam menghadapi EBTANAS, saya belajar dari bukusoal-soal EBTANAS bekas milik kakak saya yang dibawa dari Palembang dan meminjam modul soal-soal dari teman-teman yang mengikuti les BIMBEL (Bimbingan Belajar) di Muntilan.
Meskipun hal itu telah dilakukan tetap saja membuat tidak siap dalam menghadapi EBTANAS. Bahkan ada Kekhawatiran tidak akan lulus EBTANAS. Pada akhirnya kekhawatiran tersebut tidak terjadi setelah pengumuman hasil nilai EBTANAS di perpustakaan, walaupun dengan nilai yang sangat mengecewakan. Nilai mata pelajaran yang diharapkan dapat mendongkrak nilai yang kecil, seperti bahasa Indonesia dan bahasa Inggris juga tidak banyak membantu. Justru nilai bahasa Inggris sedikit lebih besar dibanding bahasa Indonesia.
Walaupun telah dinyatakan lulus EBTANAS kekhawatiran tidak hilang bahkan semakin menjadi-jadi. Dengan hasil nilai EBTANAS yang kurang baik menjelaskan ketidaksiapan dalam mengikuti UMPTN. Bagi santri berperan di masyarakat atau mengikuti UMPTN merupakan langkah selanjutnya yang sangat penting setelah dinyatakan lulus EBTANAS. Karena ini merupakan langkah awal bidang yang akan ditekuni di masyarakat nantinya. Mengikuti  UMPTN dan bisa lulus menjadi harapan saya, apalagi ketertarikan saya untuk menekuni bidang non-agama. Harapan dapat kuliah di jurusan umum di PTN ibarat pepatah mengatakan jauh panggang dari api atau besar pasak dari pada tiang. Tekanan juga datang ketika orang tua menanyakan rencana lulus dari pondok. Pertanyaan yang sulit dijawab jika melihat dari nilai EBTANAS. Perasaan bingung, khawatir dan tidak ada arah kemana tujuan setelah lulus dari pondok.
Setelah pengumuman kelulusan, para santri kelas enam dikumpulkan dan mendapatkan amplop yang berisikan kertas rencana setelah tamat dari pondok. Ada dua pilihan yaitu pertama ; mengabdikan diri di pondok, kedua; melanjutkan peran di luar pondok. Pada saat itu saya memilih pilihan pertama bersama Kristianto, Fajri Rahmadiansyah, Rahmad Syaumi, Amriludin, Heru Susanto, M. Rifai dan beberapa santri melaju. Pada awalnya orang tua sempat mempertanyakan keputusan itu karena akan menghabiskan satu tahun lagi di pondok, namun setelah diberi penjelasan bahwa dengan mengabdi saya bisa mempersiapkan satu tahun untuk menghadapi UMPTN pada akhirnya orang tua menyetujui.
Seperti tradisi di pondok santri yang mengabdikan diri akan diberi tanggung jawab mengajar dengan mengemban mata pelajaran di pondok. Semua teman-teman yang mengabdi mengemban setidaknya satu mata pelajaran, kecuali saya. Awalnya sempat juga bertanya pada diri sendiri kenapa hanya saya yang tidak mengemban mata pelajaran dan sepertinya saya akan banyak menganggur selama satu tahun di pondok, mungkinkah keputusan mengabdi adalah keputusan yang salah. Namun “kekurangberuntungan” itu saya anggap sebagai peluang, setidaknya saya mempunyai waktu lebih untuk mempersiapkan UMPTN dan bisa merencanakan mengikuti les persiapan UMPTN di Muntilan. Namun sayangnya teman-teman menyadari kalau cuma saya yang tidak mengajar yang akhirnya memberikan “hiburan” dengan menunjuk  saya sebagai ketua TPA di pondok.
Masa pengabdian saya lalui di gedung sebelah timur rumah KH Ahmad Mustofa ditemani oleh Fajri Rachmadisyah, Kristianto dan Mawardi. Mengelola TPA sedikit banyak menguras waktu, sehingga rencana untuk mengikuti les di Muntilan tidak terwujud. Meskipun demikian saya sempat mengikuti les intensif persiapan UMPTN beberapa bulan sebelum UMPTN. Merasa pengusaan materi soal-soal UMPTN belum siap terutama pelajara IPA yang memang ketika itu di pondok untuk waktu palajaran tersebut dirasa sangat kurang. Satu tahun dilalui dengan mulai mempelajari soal-soal UMPTN dan modul-modul soal yang dipinjam dari Fajri yang telah lebih dulu mengikuti les di Muntilan. Kebetulan saya sempat membaca berita-berita di Koran langganan pondok, koran Republika membahas tentang santri di salah satu pondok pesantren yang lulus UMPTN di jurusan favorit di PTN favorit memotivasi diri dan meningkatkan kepercayaan diri. Ternyata santri juga mampu tembus UMPTN yang selama ini didominasi dari sekolah umum.
Masa kelas enam dan pengabdian setahun membuat pencarian tujuan setelah tamat dari pondok menjadi pertanyaan yang selalu menghantui. Mau kemana tujuan saya setelah ini? Melanjutkan kuliah di IAIN atau PTN. Kuliah di Jawa atau pulang ke Palembang. Memang tidak mudah bagi santri untuk bisa kuliah di PTN apalagi dengan jam pelajaran umum di kelas sangat kurang.
Saat itu ada sedang ada pembangunan gedung kelas baru atas bantuan pemerintah Jepang. Karena setiap hari melihat pembangunan gedung tersebut menarik saya untuk mengamati pekerjaan pembangunan hampir setiap hari. Suatu hari ketika lagi  mengamati pengamatan pembangunan gedung datang seorang ustad yang mengajar bahasa Inggris berkata “Enak kerja jadi kontraktor, penghasilannya besar” sambil melihat sang kontraktor yang mengendarai mobil Jimni. Setelah percakapan itu membuka pikiran saya bahwa tidak harus kuliah di jurusan agama, tapi ada alternatif lain yaitu jurusan teknik. Apalagi saya sempat mendengar dan membaca berita kalau pondok Pabelan pernah mendapatkan pernghargaan Arsitektur. Ditambah hobi menggambar menjadi bekal dasar untuk berani mengambil jurusan teknik.
Di akhir masa pengabdian saya sempatkan mengikuti UMPTN di Yogyakarta. Persiapan satu tahun akhirnya terpenuhi dengan diterima/lulus di Teknik Arsitektur Universitas Sriwijaya sehingga mengharuskan pulang ke Palembang. Sebelum masa kuliah ada kekhawatiran tidak bisa mengikuti perkuliahan dengan baik karena memikirkan kelemahan di bidang eksakta. Namun kekhawatiran itu ternyata hanya ada di pikiran saja dan tidak pernah terjadi, justru kuliah di jurusan arsitektur merupakan pengalaman yang mengesankan, karena jurusan ini unik, merupakan perpaduan antara ilmu teknik, seni, dan sosial.
Pendidikan organisasi yang didapat semasa di pondok dilanjutkan di tingkat universitas. Dipercaya oleh teman-teman untuk mengemban ketua Ikatan Mahasiswa Arsitektur Universitas Sriwijaya merupakan tanggung jawab yang harus dijalankan selama satu tahun kepengurusan. Di samping aktif di ikatan jurusan saya mencoba meneruskan kegiatan jurnalistik di kampus dengan bergabung di Lembaga Pers Mahasiswa. Tidak banyak waktu untuk aktif beroganisasi di kampus karena letak kampus sejauh 32 km dengan jarak tempuh satu jam. Akibatnya kegiatan kampus tidak begitu aktif setiap harinya.
Selama di Palembang hubungan dengan teman-teman masih tetap terjaga, khususnya dengan santri asal Palembang, Fajri Rachmadiansyah dan Testriono. Acara buka bersama dan Idul fitri menjadi momen untuk berkumpul dan bercerita tentang masa-masa di Pabelan. Persaudaraan yang tetap terjaga meski sudah tidak menjadi santri lagi. Faktor inilah yang menjadi kelebihan santri Pabelan yang selalu menjaga tali silaturahmi dimana mereka berada. Solidaritas sesama santri demikian kuat.
Didikan di pondok tentang mencari ilmu itu harus sampai akhir hayat selalu memotivasi untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Sehingga ketika ada kesempatan untuk melanjutkan kuliah di pascasarjana ITB tidak disia-siakan, meski harus melepaskan pekerjaan yang telah dijalankan selama ini. Dengan keyakinan bahwa Allah meletakkan orang yang berilmu pada derajat yang tinggi. Harapan dengan melanjutkan pendidikan lebih tinggi dapat mengembangkan diri di dunia profesi, akademik, dan masyarakat. Sadar akan peran santri tidak hanya di bidang agama namun juga di bidang yang ditekuni dengan serius dapat berdampak positif bagi diri sendiri dan  masyarakat. Apalagi profesi yang ditekuni adalah hobi yang menghasilkan.


Siapa Bertahan Dia Pemenang
Tiara Rubiati

 Menginjakkan kaki di bumi Pabelan, Juni 1993.
 Hari itu, aku, kakak dan bapakku bersiap-siap akan berangkat menuju Pondok Pesantren Pabelan Mungkid-Magelang Jawa Tengah. Sebenarnya ini bukan hal pertama bagiku untuk bepergian keluar kota, karena sebelum-sebelumnya, aku sudah pernah mengunjungi kampung halaman kakek di Medan Sumatera Utara. Tapi keberangkatanku hari ini menuju Pondok Pesantren Pabelan adalah yang pertama bagiku dan yang lebih terasa spesial adalah karena aku akan menjadi santriwati, menyusul kakakku yang sudah lebih dulu menimba ilmu di sana.
 Ya, pada akhirnya kami empat bersaudara (Damar Restu Sari, Tiara Rubiati, Ridwansyah Rakhman dan Yunia Larasati) menimba ilmu di Pondok Pesantren Pabelan semua, dengan berbekal ridho orang tua dan harapan orang tua agar kami bisa menjadi manusia yang berguna, juga mengerti dan memiliki bekal ilmu agama yang lebih dibanding anak-anak yang bersekolah di sekolah umum biasa.
Perjalananku dari Jakarta dengan bus malam terasa sangat menyenangkan, karena dalam benak dan bayanganku semua pasti indah dan nyaman di sana, terlebih bila melihat kakakku yang ketika berangkat “mondok” dalam keadaan kurus, begitu pulang liburan sudah menjadi gemuk, pasti sangat menyenangkan sekali.
Pagi keesokan harinya, sampailah kami di Batikan, tempat menginjakkan kaki setelah turun bus yang juga merupakan gerbang menuju Pondok Pesantren Pabelan, yang biasa ditempuh dengan jalan kaki atau dengan naik dokar. Karena waktu masih sangat pagi, kami mampir di warung makan kecil milik penduduk sekitar, untuk minum teh panas dan sarapan sekaligus. Wah, dinginnya menusuk tulang. Aku semakin penasaran seperti apa tempatku menimba ilmu nanti. Tidak lama setelah kami sarapan, datanglah dokar yang ditunggu-tunggu. Kami bertiga naik lalu kakakku bilang pada pak kusir, “Ruang tamu pondok, Pak,”.
Tidak berapa lama sampailah kami di depan ruang tamu pondok pesantren Pabelan yang berada di sebelah timur rumah Kiai Ahmad Najib Hamam. Kami turun, lalu memasuki ruang tersebut. Kakakku berkata pada bapak, “Bapak, nanti tidurnya disini ya?... Tiara saya ajak ke kamarnya dulu”. Setelah itu kami berpamitan pada bapak. Lalu kakak menunjukkan kamar yang disediakan untuk santriwati baru, kamar Kalpataru kala itu. Sampai di sana ternyata sudah banyak teman-teman sesama santriwati baru, kami saling berkenalan, aku masih malu-malu, maklumlah ini kali pertama aku harus hidup sekamar dengan orang-orag yang belum aku kenal sebelumnya. Ada yang berasal sama denganku, Jakarta. Ada juga yang berasal dari Semarang, Cirebon, Majalengka, Muntilan, Magelang, Sumatera dan lain-lain. Dalam kamar tersebut, santriwati baru tidak hanya lulusan SD tapi juga banyak yang lulusan SMP yang nantinya masuk kelas Takhasus.
Hari itu, aku diajak kakakku berkeliling pondok, dikenalkan dengan teman-teman kakak, diberitahu juga tempat-tempat penting seperti tempat mencuci pakaian, tempat menjemur, kamar mandi, dan tempat-tempat lain yang ada di sekitar pondok. Yang membuatku agak merasa tidak nyaman adalah ketika pertama masuk ke kamar mandi pondok, aneh menurutku. Tempatnya sangat kecil dan tidak ada ruang cukup untuk kita berdiri dan mandi karena wc tepat berada di bawah badan kita. Tembok juga berlumut di sana-sini. Hal tersebut yang akhirnya memaksaku mandi di tempat mencuci pakaian selama seminggu, sebelum akhirnya aku berhasil menyesuaikan diri dengan kondisinya.
Hari kedua di pondok, bapak bertolak kembali ke Jakarta. Perasaan sendiri tanpa siapa-siapa sangat terasa menjelang tidur malam, yang biasanya di rumah ada ibu, bapak dan adik- adik. Mulai malam itu tak kudengar lagi suara-suara mereka. Sedih sekali, terasa hampa walau banyak teman di sekelilingku. Yang pertama menghiburku seorang teman yang juga berasal dari Jakarta, Iswatun Hasanah namanya, biasa dipanggil Iis. Selain Iis, ada juga teman-teman yang lain, yang ikut menghiburku. Pada akhirnya, hampir setiap hari aku menangis karena membayangkan ibu bapak dan adik-adik di rumah. Walau di pondok aku memiliki seorang kakak, Damar Restusari, namun kami tidak terlalu akrab. Bahkan mungkin bisa kubilang sifat kami banyak bertolak belakang, dia juga banyak membantu dan menghiburku di masa awal masuk pondok.
Hari keempat, aku menjalani tes lisan dan tertulis untuk penempatan kelas. Selanjutnya masa perkenalan, kami diajari bermacam-macam lagu pondok, ada lagu Oh Pondokku, Relakan, Cuk Ma Ilang dan lain-lain, juga dijelaskan tentang Panca Jiwa Pondok dan lain-lainnya. Setelah itu lima hari berturut-turut Khutbatul Iftitah. Saat itu, santriwati duduk di sebelah santriwan dengan dibatasi sehelai kain hijau. Peserta Khutbatul Iftitah adalah seluruh santriwan dan santriwati. Penceramahnya adalah tiga orang Pimpinan Pondok Pesantren Pabelan yang mengisi secara bergantian. Sungguh pengalaman baru bagiku, kala itu aku lebih sering mendengarkan khutbah sambil terkantuk-kantuk.
 Departemen Agama dan Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah
 Selesai khutbatul Iftitah, pembagian kelas pun diumumkan, aku mendapat kelas 1A2. Saat itu kelas satu ada tiga kelas terdiri satu kelas putra dan dua kelas putri; sedang untuk lulusan SMP atau Takhasus ada dua kelas, putra dan putri. Kami menempati kelas papan di sebelah gedung Alamsyah yang sekarang sudah menjadi kamar-kamar.
Sungguh pengalaman luar biasa kala itu, bersekolah di kelas papan yang bukan standar kelas, tapi kami amat menikmatinya. Bahkan kami pernah, sambil menunggu guru pengajar datang, kami memanjat pohon kedondong yang berada di belakang kelas kami dan memakannya beramai-ramai. Pernah kami jahil kepada pak guru yang akan masuk. Kelas kami kunci dari dalam sehingga bapak guru tersebut tidak bisa masuk ke kelas kami, tapi bisa melihat kami dari jendela kelas yang memang tidak tertutup papan.
Ada yang unik dari pembelajaran di Pondok Pesantren Pabelan, antara guru dan murid layaknya seperti teman, kami sering bercanda, sering bergurau dan berdiskusi tanpa canggung. Juga di sana ada istilah yang mungkin tidak akan ditemukan di Pondok Pesantren manapun, yaitu istilah “mbak guru”. Istilah mbak guru ini disandang oleh ustadzah-ustadzah junior dari santriwati yang sudah lulus KMI dan diharuskan mengabdi satu tahun di Pondok untuk berbagi ilmu kepada adik-adik kelasnya. Dan yang hebat, mbak guru di Pondok Pesantren Pabelan itu seperti pejuang-pejuang wanita di masa lalu, mereka harus mengenakan kebaya tanpa melepas jilbab dalam mengajar dan juga tanpa make up. Terbayang kan zaman itu, jilbab saja masih menjadi sesuatu hal “aneh” bagi kalangan luar, tapi itu sudah menjadi tradisi dan budaya turun temurun dalam Pondok kami dan masih berlanjut hingga kini. Bravo Pabelanku!
Untuk sistem pembelajarannya, Pondok Pesantren Pabelan kala itu menggunakan dua kurikulum, yaitu kurikulum dari Departemen Agama dan dari Kulliyatul Muallimin Al-Islamiyah (KMI) yang berkiblat ke Gontor. Setiap semester, kami mendapat dua buah rapor. Yang pertama rapor dari hasil pelajaran ilmu umum di bawah Departemen Agama, dan yang satunya lagi rapor KMI yang didasari kelakuan dan akhlak. Kelas kami pun terpisah antara santriwan dan santriwati. Penggabungan hanya ada di kelas 3 Aliyah atau kelas 6 KMI dikarenakan sudah ada penjurusan. Dan aku beserta angkatanku menjadi angkatan pertama setelah wafatnya KH. Hamam Dja’far.
Seiring waktu berjalan, kurikulum Pondok Pabelan mengalami pasang surut, ada tambal sulam dalam pembelajaran, beberapa mata pelajaran yang ada tergeser atau berganti dengan mata pelajaran lain. Guru-gurunya pun banyak tambal sulam, selain guru-senior yang berasal dari alumni Pondok sendiri, banyak pula guru-guru senior yang berasal dari luar alumni Pondok dan itu sangat mewarnai pembelajaran yang ada. Banyak hal-hal yang bisa dijadikan support dari guru-guru senior di luar, karena dari beliau-beliau itulah kami mendapat banyak informasi terbaru tentang dunia luar. Maklum, di Pondok kami tidak sebebas anak-anak yang bersekolah luar. Kami punya jadwal menonton televisi, yakni hanya pada hari Jumat ketika libur.
Pembelajaran di Pondok Pabelan itu liburnya hari Jumat, sedangkan hari Ahad masuk sekolah seperti biasa. Selain itu, media kami hanyalah Perpustakaan. Saat pertama datang ke Pondok, perpustakaannya kurang berfungsi maksimal, tapi tiga empat tahun kemudian semua berubah. Kami memiliki buletin intern pondok, juga diadakan pelatihan pustakawan dan pustakawati untuk mengelola perpustakaan, serta ada pelatihan Jurnalistik.
 Santri yang bisa mengikuti pelatihan tersebut hanya santriwan dan santriwati yang dipilih oleh kakak-kakak angkatan. Dan alhamdulillah, aku termasuk santri pilihan yang bisa mengikuti pelatihan-pelatihan tersebut. Aku pernah diutus oleh KH. Ahmad Najib Hamam bersama Eni Rondi Asmorowati, santriwati dari Semarang, adik kelasku, untuk mewakili Pondok Pesantren Pabelan dalam Pelatihan Jurnalistik Pondok Pesantren Putri se-Indonesia yang diadakan oleh Departemen Agama di Bogor Jawa Barat. Aku dan Eni diantar sampai tempat pelatihan di Bogor oleh Ustad Hanafi dan Ustad Hamid. Sungguh luar biasa pengalaman tersebut, bertemu dan berkenalan dengan teman-teman santriwati Pondok Pesantren putri se-Indonesia. Akhir pelaksanaan tersebut, aku menduduki peringkat 42 dari 185 peserta.
Bangun tidur sampai kembali tidur
Selain pendidikan yang menggunakan dua kurikulum, dalam keseharian kami pun mulai dari bangun tidur sampai kembali tidur, semua terjadwal. Bangun tidur jam 04.00 wib, sholat Subuh berjamaah di masjid bersama, dilanjutkan olah raga pagi dengan jadwal bergantian antara jalan pagi sampai Batikan dan Senam Kesegaran Jasmani di lapangan gedung Alamsyah. Yang tidak mengikuti olah raga pagi hanya santriwati yang piket kamar saja, karena mereka punya tugas membersihkan kamar, menyapu, mengepel dan mendekorasi kamar.  Mulai dari kasur, bantal dan guling yang dibentuk bermacam-macam, ditambah hiasan-hiasan kertas krep dan lain-lain untuk mempercantik kamar masing-masing, dan ini dilombakan setiap hari yang dinilai oleh bagian kesehatan Organisasi Pondok Putri.
Setelah berolah raga, kami sibuk dengan persiapan menjelang sekolah, mandi, mencuci dan sarapan. Tepat jam 07.00 wib kami sudah harus keluar dari kamar menuju kelas. Sekolah kami berada dalam satu lingkungan Pondok. Kami bisa melihat dengan jelas bila ada bapak atau ibu guru yang berjalan menuju kelas. Kegiatan belajar mengajar formal dimulai jam 07.00 wib dan berakhir jam 12.00 wib, kami langsung melaksanakan sholat Dhuhur berjamaah di masjid. Setelah itu, barulah kami menyantap makan siang.
Tepat jam 13.30 wib kami sudah mulai disibukkan dengan berbagai kegiatan ekstra, mulai dari qiro’ah, kaligrafi, teater dan lain-lain sampai jam 16.00 wib. Semua itu pengajarnya adalah mbak-mbak guru. Untuk sholat Ashar dilakukan secara berjamaah di kamar masing-masing dan diimami secara bergantian. Begitu pula dengan sholat Isya. Sholat Maghrib dilakukan berjamaah di masjid. Setelah sholat Isya, kami belajar sampai pukul 21.00 wib. Sebelum tidur, kami harus merapikan dekorasi kamar yang dipasang selama sehari itu. Baru kemudian kami bisa tidur setelah memasang sprei di kasur masing-masing. Setiap kamar kami didampingi oleh kakak-kakak kelas dua Aliyah atau lima KMI dan kelas tiga Aliyah atau enam KMI sekitar dua-tiga orang. Itulah jadwal harian yang kami jalani selama bertahun-tahun yang mempunyai dampak sangat besar dalam kehidupan selanjutnya.
Dalam aktivitas harian, semua hal yang menyangkut pribadi harus kami kerjakan sendiri, mulai dari mencuci alat makan, mencuci, menjemur dan menyetrika pakaian. Kami yang tidak melaksanakan aturan atau melanggar ketentuan pasti akan mendapatkan sanksi. Bermacam-macam sanksi yang diberikan pada para pelaku pelanggaran. Mulai dari menambahi hafalan, menyapu sekeliling asrama, menyapu dan mengepel masjid, bahkan sampai menyapu dan mengepel area asrama santriwan.
Kejadian Lucu di Masjid
Pernah suatu sore, kami diharuskan masuk ke dalam masjid untuk melaksanakan sholat maghrib. Tiba-tiba datang seorang wanita cantik, tinggi semampai menggelar sajadah di sebelahku. Lalu beliau bertanya-tanya padaku tentang bagaimana aku sejak masuk pondok ini, betah atau tidak, dan lain-lain. Selesai beliau bertanya, gantian aku yang melayangkan pertanyaan kepadanya. “Emang Tante dari mana? Mau jenguk siapa?”. Lalu beliau menjawab, “Bukan tante, tapi ibu”. Kemudian beliau menunjuk ke sebuah arah,”Itu rumah ibu.” Arah yang ditunjuk adalah rumah pimpinan Pondok, KH. Ahmad Najib Hamam. Aku tercekat, tak mampu bersuara, hanya menunduk malu dan diam. Batinku, “O, inilah yang namanya Ibu Ulfa”. Akhirnya kami selesai sholat berjamaah lalu membubarkan diri masing-masing. Pengalaman tak terlupakan.
Organisasi Santri
Hidup di asrama dengan jumlah orang banyak, tidak mungkin bisa seirama tanpa adanya organisasi. Sejak menginjakkan kaki ke bumi Pabelan, organisasi dalam Pondok sudah ada dan sudah berjalan jauh sebelum aku hadir di pondok ini. Organisasi tersebut bernama OPP. Dikelola oleh santriwan yang putra dan santriwati yang putri. Terpisah namun saling bersinergi, saling bantu membantu dan bekerjasama dalam beberapa hal. Setiap santriwati ada acara malam, pasti akan ada yang berkeliling di kompleks santriwati untuk mengecek keamanan lingkungan santriwati. Karena memang dulu, ketika aku datang ke Pabelan, pondok belum diberi pagar atau tembok untuk pembatas dengan masyarakat, sehingga kami sering berinteraksi dengan masyarakat sekitar pondok.
Banyak sisi positifnya tapi juga ada sisi negatifnya, salah satunya memudahkan santriwan dan santriwati pergi keluar dari Pondok, entah sekedar untuk jajan atau bertemu dengan seseorang yang istimewa alias meeting. Aku ingat, dulu setiap pagi ada mbah-mbah tua yang untuk berjalan saja harus dibantu dengan menggunakan tongkat, tapi beliau tidak pernah mengeluh setiap pagi dan sore mencari nasi-nasi bekas para santriwati untuk dibawa pulang dan dijadikan makanan bagi ayam-ayam peliharaannya. Selain itu, beliau pun ramah dan mau diajak ngobrol. Pernah beliau bercerita bahwa beliau hidup sejak zaman penjajahan Belanda. Walau sudah sangat tua tapi masih hafal cara bicara para penjajah di bumi pertiwi ini. Kadang beliau bercerita dengan diselingi bahasa Belanda. Menurutku mbah tersebut hebat karena hidup sejak zaman penjajahan hingga saat itu tanpa terlihat kemalasan dalam dirinya.
Suatu hari, aku tidak melihat si mbah tua itu datang dengan tongkatnya, kutunggu sore dan keesokan harinya, pun juga tak terlihat. Akhirnya kuputuskan mendatangi rumahnya yang kebetulan berada di belakang kamar asramaku sambil membawakan nasi-nasi bekas pagi itu. Dengan mengajak dua orang temanku, kami bertiga berjalan menuju rumah mbah tua tersebut. “Assalamu’alaikum”, kami mengucap salam sambil mengetuk pintu, tak terdengar sahutan. Lalu kami ulangi lagi kedua kali, tetap tidak ada sahutan. Kuputuskan untuk membuka pintu sedikit, mungkin si mbah tidak mendengar salam kami. Begitu terbuka, ternyata mbah tua tersebut tergeletak lemah di ranjang reyotnya sendirian. Kami bertiga mendekat padanya sambil mengucapkan salam dan mengajak bicara, “Mbah sakit ya?”  Si mbah hanya mengangguk pelan. Lalu kami mengajaknya bicara sebentar. Kami berpamitan sambil meletakkan nasi bekas yang kami bawa tadi. Begitu memasuki area Pondok, ternyata kami sudah ditunggu oleh Bagian Keamanan OPP, kami langsung digiring ke gedung Alamsyah untuk disidang. Kami menceritakan segalanya, tapi pada akhirnya kami kena sanksi karena keluar area pondok tanpa izin Bagian Kemanan OPP.
Organisasi santri dikelola oleh santriwan dan santriwati. Selain ada ketua sebagai penanggung jawab organisasi, juga ada beberapa bidang yang dibawahi ketua, seperti sekretaris, bendahara, bagian olah raga, bagian kesehatan, bagian keamanan, bagian pendidikan, bagian pengajaran, bagian kantin dan bagian koperasi. Setiap bagian, memiliki bidang kerja berbeda. Ketua dipilih secara LUBER. Sebelum pemilihan ada beberapa kandidat calon yang diharuskan menyampaikan visi misi. Disini, dalam organisasi semua santri belajar bertanggung jawab atas tugas dan bidang kerja masing-masing, juga belajar mengukur kemampuan diri masing-masing. Banyak sekali kegiatan yang dibawahi oleh OPP, seperti Muhadhoroh atau pidato, dilakukan dua kali dalam seminggu, tiap Ahad malam dan Kamis malam. Juga ada teater, drum band, merangkai bunga, muhadatsah dan lain-lain. Zamanku dulu, teater dan drum band tidak terlalu aktif, karena tidak ada pelatihnya. Tapi kakak-kakak mengajarkan kami cara memainkan alat drum band yang biasa digunakan ketika ada acara-acara tertentu seperti Upacara bendera maupun upacara pramuka.
 Untuk teaternya pun sama, kakak-kakak langsung yang melatih kami, tanpa pelatih profesional, walau terseok-seok kegiatan tersebut tetap berjalan seadanya. Itulah semangat yang kami punya sebagai santri, semangat kebersamaan. Selain itu beberapa kegiatan ekstra mulai berubah-ubah, ada yang tadinya diwajibkan seperti kitab kuning, akhirnya menjadi pilihan dan peminatnya jelas sangat berbeda dibandingkan ketika semua diwajibkan untuk mengikutinya. Aku menjadi Bagian Olah raga ketika duduk di kelas 4 KMI dan Bagian Pengajaran ketika di kelas 5 KMI.
Di Pondok juga ada Pramuka Penggalang dan Penegak. Semua santri wajib mengikuti kegiatan Pramuka. Setiap tahun kami mengadakan Latihan Tingkat juga api unggun. Kami biasa berjalan berkilo-kilo jauhnya dari Pondok untuk mencari jejak atau renungan malam. Ketika kelas 5 KMI, semua santriwan dan santriwati wajib mengikuti KMD (Kursus Mahir Dasar) Pramuka, karena setahun kemudian, ketika kelas 6 KMI harus menjadi Pembina Pramuka untuk adik-adik kami sendiri. Banyak hal yang pada akhirnya kukagumi dari pembelajaran dalam pondok, selain kemandirian, percaya diri, hampir seluruh kegiatan ekstra pondok itu dilakukan swadaya, dari dan oleh santri sendiri.
Tiga Orang Pimpinan Pondok Pesantren Pabelan
Tidak dipungkiri, setelah wafat KH. Hamam Dja’far, pondok diasuh oleh tiga orang yaitu KH Ahmad Najib Hamam, KH Ahmad Mustofa dan KH Muh Balya. Di bawah tiga orang pimpinan itu pondok terasa sangat berwarna, kebijakan-kebijakan masing-masing ikut mewarnai harmonisasi pondok. KH Ahmad Najib Hamam, yang secara eksplisit membawahi semua santriwati dan  santriwan kelas 5 dan 6 KMI, KH Ahmad Mustofa membawahi semua santriwan, sedangkan KH Ahmad Balya lebih pada pembangunan infrastruktur Pondok.
Ada nasihat-nasihat yang sering disampaikan oleh mereka dalam kesempatan khutbah. KH. Ahmad Najib Hamam, dengan gaya khas candanya, pernah memberi nasihat begini. “Hidup di Pondok itu, yang ada hukum alam, siapa bertahan dialah pemenang. Kalau tidak betah satu tahun, dicoba dua tahun, kalau tidak betah dua tahun dicoba tiga tahun, begitu terus sampai tujuh tahun. Nah kalau sudah tujuh tahun tidak betah, ya silakan pulang.” Meledaklah tawa para santri. Lalu pernah lagi, beliau memberi nasihat sindiran khusus kepada santriwati, “Kalau bahasa Inggrisnya perempuan cantik, itu pretty. Tapi jangan kempreti, ayu tapi jangan kemayu, pinter tapi jangan keminter”. Beliau juga mengingatkan tentang adab bertamu dan lain-lain.
Lain lagi dengan KH Ahmad Mustofa yang akrab disebut Pak Mad. Beliau selalu menyempatkan mengingatkan para santri dalam khutbahnya mengenai aliran agama. “Pondok Pesantren Pabelan tidak menganut aliran apapun, tidak NU, tidak juga Muhammadiyah. Jadi aliran apapun boleh belajar dan menjadi santri di Pondok Pesantren Pabelan ini. Kalau ada yang bertanya, katakan Pondok Pesantren Pabelan tidak menganut aliran apapun. Begitu juga dengan cara berpakaian, berpakaianlah yang biasa-biasa saja. Yang laki-laki ya pakai celana panjang atau sarung, dan atasannya kaos atau kemeja. Yang perempuan, ya pakaian rok dan kerudung. Jangan pakai penutup wajah; itu orang curang karena dia bisa melihat orang lain, tapi orang lain tidak bisa melihat dia”. Pak Mad juga pernah berseloroh dengan canda ketika memarahi santriwan. “Mas santri, mas santri. Kempluuuuu.” Sedangkan khutbah KH Muh Balya biasa mengingatkan tentang nasionalisme dan pluralitas sebagai rakyat Indonesia. Juga santri itu ojo kagetan ojo gumunan.
Bicara tentang Kiai atau Pimpinan Pondok Pesantren Pabelan, juga berbicara tentang sejarah tata-letak bangunan dalam Pondok. Konon, KH Hamam Dja’far  membangun pondok mengikuti alur hidup manusia sesuai ajaran Islam. Dari timur ke arah barat: Gedung paling timur di pondok, adalah perpustakaan, filosofinya adalah mencari ilmu mulai dari buaian. Perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad ketika diangkat menjadi nabi adalah Iqra’ ‘bacalah’. Jadi begitu lahir kita sudah mulai belajar, belajar tentang apa saja. Sebelah barat perpustakaan ada lapangan, yakni mencari penghidupan, mengarungi hidup. Kemudian ada masjid, dimaksudkan untuk selalu beribadah kepada Sang Pencipta, menjalankan shalat sehari-hari setelah mengarungi hidup dan setelah belajar.Lalu di sebelah barat masjid ada kuburan, yaitu pada akhirnya manusia juga akan kembali kepada Sang Pencipta. Setelah mencari ilmu, hidup dan beribadah pada akhirnya semua manusia akan berpulang kepada-Nya lagi.
Pak Pos Pondok, Wo Nah dan Mbok Urip
Tidak adil rasanya bila aku tidak mengenalkan Almarhum Pak Badrun yang sangat berjasa besar  bagi para santri. Ketika ATM belum ada, semua hal yang berkaitan dengan uang masih dikirim dengan wesel. Begitupun denganku. Setiap kali pak Badrun terlihat berjalan di dalam area pondok, hampir semua anak bergembira sambil mengerubungi pak Badrun, ada yang bertanya, adakah wesel atau juga surat. Pak Badrun selalu dengan sabar melayani dan menjawab pertanyaan kami. Betapa gembira kami hingga menjerit bila mendapat kiriman surat ataupun wesel.
Lalu Wo Nah, tukang masak di pondok putri. Wonah ditemani dua orang rekannya menjadi juru masak bagi kami santriwati. Mereka memasak sesuai jadwal makan kami sehari tiga kali. Hampir tiap pagi Wo Nah juga menggoreng tempe dan pisang untuk dijual. Karena dinginnya udara pagi kala itu, untuk menghangatkan badan dengan segelas teh ditemani tempe dan pisang goreng menjadi favorit kami. Sedangkan di area santri putra, kami mengenal mbok Urip dan dua orang rekannya sebagai juru masak pondok. Mengenal mereka sungguh menyenangkan, orangnya ramah-ramah dan senang guyon.
1993-2000 Perjalananku
Aku masuk Pondok tahun 1993, dimulai kelas satu Tsanawiyah dan selesai setelah kelas tiga Aliyah di Pondok Pesantren Pabelan tahun 1999. Semua kulalui dengan baik,  ada suka, duka, bahagia, sedih, dan lain-lain. Banyaknya teman, kakak-kakak dan adik-adik kelasku membuatku belajar dengan berbagai tipikal manusia. Banyaknya kegiatan organisasi dan kegiatan ekstra di pondok, membuatku menjadi seorang remaja yang mandiri, percaya diri dan bertanggung jawab. Selulus itu kami mengikuti micro teaching.
Saatnya tiba kami menggunakan kebaya berkerudung, melakukan belajar-mengajar di hadapan teman-teman seangkatan. Lulus micro teaching, aku mengabdikan diri di pondok setahun. Beberapa temanku memilih melanjutkan kuliah lebih dulu sebelum melaksanakan pengabdiannya, dengan perjanjian hitam di atas putih. Aku memilih menyelesaikan dulu pengabdianku karena khawatir kalau tidak bisa kembali lagi ke pondok untuk mengabdi.
 Setahun terakhir ini, aku menyandang gelar “Mbak Guru” yang dulu terdengar aneh tapi khas. Pada tahun ini pula aku mengenal seorang pria, sesama santri di Pondok Pabelan, yang akhirnya menjadi partner hidupku hingga saat ini. Awal perkenalan kami ditahun 1997, kami beberapa kali bertemu pada pelatihan pustakawan/pustakawati Pondok Pabelan, juga pada pelatihan Jurnalistik yang diadakan di dalam Pondok. Lukman Fahmi namanya, berasal dari Salatiga. Beliau masuk Pondok tahun 1995 dari kelas Takhasus. Menyatakan perasaannya padaku tahun 1998, saat itu kami sama-sama duduk di kelas dua Aliyah atau kelas lima KMI. Kami mengabdi di tahun yang sama 1999-2000. Selesai pengabdian, kami melanjutkan kuliah masing-masing. Dia kuliah di STAIN Salatiga, dan aku meneruskan ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kami tetap menjaga komunikasi dan sesekali saling mengunjungi ketika liburan semester.
Tahun pertama kuliah aku sudah aktif di buletin kampus tingkat Jurusan. Senang rasanya mendapat kepercayaan seperti itu. Kuliahku di Fakultas Hukum dan Syariah Jurusan Jinayah Siyasah Program Studi Pidana Islam. Di kost, aku mengenal beberapa mahasiswi lain, yang juga kuliah di UIN Syahid Jakarta tapi berbeda Fakultas denganku. Ada kakak angkatan yang aktif membina anak jalanan Jakarta, street based katanya. Suatu hari aku ditawari bergabung membina anak-anak jalanan di Jakarta, tepatnya di Klender. Sebenarnya berawal dari rasa ingin tahu saja maka aku memutuskan bergabung, tapi pada akhirnya aku menikmati kegiatan ini.
Tahun 2001 menjadi awal aku aktif membina anak-anak jalanan di wilayah Klender Jakarta Timur. Banyak alasan yang membuat anak-anak tersebut harus di jalanan walau sebenarnya kebanyakan tidak menginginkannya. Tahun 2005 di sela-sela pekerjaanku aku mendapat tawaran bekerja di KONTRAS (Komisi Anti Kekerasan dan Orang Hilang) yang digawangi oleh almarhum Munir. Sebagai volunteer, tugasku memonitor kasus HAM yang diproses di pengadilan. Tidak sampai 3 bulan, aku mendapat tawaran kerja penelitian film di Jakarta. Ternyata bukan penelitian tapi dokumentasi. Satu bulan percobaan, aku diberi tugas sebagai unit manajer sebuah Production House dan mendapatkan tugas membuat film dokumenter para kiai se-Indonesia. Selesai film dokumenter pertama di kota Pati, Kiai Sahal Mahfudz, almarhum, kami kembali ke Jakarta. Ketika rapat dengan para Produser Film, aku dinyatakan sukses dalam masa percobaan dan disahkan menjadi unit manajer andalan untuk pembuatan film-film dokumenter para kiai selanjutnya. Aku meminta izin untuk menyelesaikan skripsi dulu di UIN Syahid Jakarta. Alhamdulillah dalam waktu tidak terlalu lama skripsi bisa kuselesaikan dengan baik. Aku mengambil judul skripsi Perlindungan Anak menurut Hukum Islam dan UU No. 4 Tahun 1979 Studi Kasus: Kekerasan Seksual pada Anak Jalanan. Selesai menjalani sidang skripsi dan wisuda, aku melanjutkan studi di Pendidikan Khusus Profesi Advokat di UIN Syahid Jakarta sambil bekerja. Alhamdulillah, semua selesai dengan baik dan aku kembali aktif sebagai unit manaer lagi.
Maret 2006 Lukman datang ke Jakarta dan memintaku sebagai isteri kepada orang tuaku. Tanpa kendala macam-macam, tepat bulan Juli kami melangsungkan pernikahan. Jadilah aku diboyong ke Kota Salatiga, kutanggalkan semua karierku di Jakarta. Banyak teman dan sahabat yang menyayangkan keputusanku, tapi aku meyakini bahwa inilah takdir yang harus aku jalani. Praktis sejak 2006 aku berdomisili di kota Salatiga. Tidak punya teman dan tidak kenal siapapun, membuatku merasa sendiri, akhirnya kuputuskan untuk kembali kuliah, mengambil akta IV di IAIN Walisongo Semarang. Suamiku, bekerja di Pemkot Kota Salatiga, Bagian Humas.
 Berliku-liku pula perjalanan pernikahan kami. Aku pernah mengajar les private untuk anak pejabat di Kota Salatiga. Pernah pula diminta bergabung dengan  tim Konsultan Hukum di Kota Salatiga, tapi aku masih belum mau karena aku belum mendapatkan SIM sebagai advokat. Tahun 2009, aku bergabung dengan Partai baru, PIS (Partai Indonesia Sejahtera) dan mencalonkan diri sebagai caleg 2009-2014. Sayang, suara partaiku di kecamatan tersebut kurang 2.000 suara, kalah, aku tidak berhasil menjadi legislatif. Politik itu, setiap saat bisa berubah, teman bisa jadi lawan dan lawan bisa jadi teman. Selesai pencalegan, aku kembali pada aktivitasku sebagai ibu rumah tangga biasa. Datang tawaran padaku untuk menjadi staf ahli dua buah partai yang lolos melenggang ke gedung Dewan, tapi aku tolak.
Datang padaku tawaran untuk menjadi pengasuh Panti Asuhan Putri Aisyiyah di Tuntang. Entah kenapa, aku malah langsung menyetujuinya. Aku membuat surat lamaran, lalu menjalani wawancara, stressing dan lain-lain. Pada akhirnya aku lulus, resmilah aku menjadi pengasuh di panti tersebut. Saat itu, 2010 anak-anak asuh yang berada di asrama ada 52 orang. Sistem yang kuterapkan adalah sistem yang dulu aku dapatkan dari pondok,  bangun pagi jam 04.00 wib sampai menjelang tidur jam 21.00 wib. Banyak perbedaan antara di pondok dan di panti. Hampir tiap tiga hari anak-anak asuh kukumpulkan dan kuberi nasihat dan support. Berbekal kehidupan di Pondok yang menempa kemandirian, kepercayaan diri juga bertanggung jawab, akhirnya semua bisa kuatasi dengan baik. Kuterapkan reward dan punishment bagi anak-anak asuhku dan menyenangkan.
 Kegiatan kutambah dengan drumband, rebana lalu hafalan juz amma, khitabah dan organisasi. Alhamdulillah semua merespons baik, anak-anak bisa diarahkan dengan baik, walau ada yang bandel. Lama kelamaan panti yang kuasuh mulai berkembang. Drumband mulai diminta tampil di mana-mana dan ikut serta berperan dalam acara-acara organisasi keagamaan maupun organisasi masyarakat. Hingga saat ini, aku masih berperan sebagai Pengasuh Panti Asuhan Putri Aisyiyah Tuntang. Anak asuhku sekarang berjumlah kurang lebih 70 orang. Kami bertekad mencetak mereka menjadi orang yang berpendidikan dan sukses pada masa depannya. Ya, panti kami memberikan pendidikan hingga bangku kuliah untuk anak-anak asuh. Kami ingin mereka menjadi manusia berpendidikan dan berakhlaqul karimah. Itu semua kujalani dengan dukungan suamiku tercinta.
 Kini kami sudah memiliki dua orang putri cantik-cantik. Nawal Zahira Elfahmi lahir 11 Maret 2008 dan Balqis Humaira Elfahmi yang lahir pada 3 September 2012. Kami juga tinggal di dalam asrama, menemani anak-anak asuh panti 24 jam, layaknya orang tua mereka. Aku menjadi ibu asrama. Inilah perjalanan hidup yang kujalani, aku sangat bersyukur karena dulu, orang tuaku memilihkan pendidikan pesantren untukku, sehingga aku sekarang bisa seperti ini.
Pondok Pabelan sangatlah berarti bagiku, karena di sana aku ditempa untuk menjadi manusia yang ber-Panca Jiwa Pondok. Ternyata benar nasihat yang pernah kudapat dari para pimpinan Pondok. Salah satunya, siapa bertahan dialah pemenang. Ya, akulah pemenang! Bertahan menjalani hidup di pondok, hingga saatnya aku harus keluar dan aku pemenang hati seorang pria yang juga alumni Pondok Pabelan. Kini aku pemenang bagi anak-anak asuhku di Panti Asuhan Aisiyah Tuntang.   

Angkatan 2001-2005

Kenangan Menjadi Santri
Fatoni Afrianto

Saya masuk Pondok Pabelan tahun 2000 bulan Juli tepatnya tanggal 26. Masuk di kelas Takhasus, persiapan untuk ke Aliyah selama setahun. Bersama teman dari berbagai macam karakter kita dituntut belajar menjadi orang yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan keadaan. Berbeda kepala berbeda isinya, apalagi dari berbagai asal daerah. Tapi dari sinilah masing-masing kita terbentuk, bahkan dari keadaan tersulitpun orang mampu bangkit. Asrinya Pabelan pada saat itu memang mendukung kita untuk asyik menikmati belajar dan termenung sambil mengantuk-ngantuk. Dan itulah indahnya hidup. Coba kalau difilemkan enaknya nostalgia tidak terkirakan.

Kelas takhasus berlangsung selama satu tahun, dituntut pelajaran agama, bahasa Arab dan Inggris. Awalnya ditempa untuk tahu arti hidup dan belajar berbicara di depan umum dan mengendalikan diri bersama teman-teman. Ada teman senior atau santri lama, demikian juga yang senasib sama-sama orang jauh atau perantauan untuk menuntut ilmu.  Mahfudzot demi mahfudzot, Vocab demi Vocab dihapalkan, pidato demi pidato kami buat walau arahnya tidak jelas, yang penting bunyi kata kata prosedur tetapnya itu-itu melulu. Dari ujung kelas terdengar I’ll change my speech by indonesian language. Atau terdengar saubaddil kalami bil indonesiy. Lha siap-siap dipanggil OPP bagian pengajaran dan pendidikan. Iqob lagi, iqob lagi. Tidak apa yang penting tidak digundul aja. Pidatonya jadul, berbicaranya sedikit saja tetapi sambil menendang meja berkali-kali. Itulah seni mengajarkan keberanian, keberanian yang ngawur. Tetapi lambat launpun akan belajar bagaimana pidato yang baik dan bagus.  Apalagi masih muda dan sedang berproses mencari jati diri.
Dulu ustadz-ustadzah sering berkata, kamu sekalian sedang cari jadi diri dan karakter, namun saat itu masih bingung jati diri itu apa. Pertanyaan pendek yang jawabannya perlu proses yang panjang dalam hidup. Ternyata lambat laun paham dengan apa hakikat hidup, mau kemana dan mau jadi apa. Ditanya mengenai cita-cita, bingung mau jawab apa. Tapi hal itu terjawab setelah apa yang kita laksanakan dan arah kemana akan kita tuju. Setahun Takhasus penuh kegelisahan pisah dengan keluarga dan sanak saudara. Tapi tergantikan dengan teman-teman yang banyak di Ponpes. Setahun berlalu masuklah di Madrasah Aliyah (MA) banyak hal ajaib yang terjadi. Dari kelas satu MA pelajaran demi pelajaran berlangsung, persaingan demi persaingan tak dapat dielakkan untuk menjadi yang terbaik. Tapi tidak dengan cara yang curang. Ditempa di kelas ditempa juga di organisasi. Organisasi Pelajar Pondok (OPP) bagi santri baru terdengar dan erkesan sangar dan menakutkan, tapi bukan sekedar itu saja.

Waktu blm masuk OPP, kami berpikiran bahwa OPP berisi senior yang kaku, galak dan suka sekali menghukum (iqob, iqob, iqob). Sejatinya bukan iqob saja yang didengungkan tapi pembentukan karakter santri yang harus mampu dan berani menghadapi apa yang menjadi risiko dari perbuatan. Tidak juga menjadikan seorang santri bebal dan kebal karena saking seringnya dihukum. Iqob yang proporsional bertujuan membentuk santri sadar akan reward and punishment. Lain syakartum Laazidannakum Walain Kafartum inna adzabi lasyadiid. Orang yang lurus dan ikut alur peraturan akan selamat tapi yang suka mbalelo dan suka melanggar peraturan yang ditetapkan mau tidak mau dihukum agar ikut jalan yang lurus.

Kelas satu MA sudah masuk menjadi pengurus OPP. Ternyata menjadi pemian tidak segampang yang dibayangkan penonton. Persis seperti uad orang mengobrol di warung kopi semua orang lain disalahkan, dari presiden, menteri, pimpinan, pengurus dll.  Namun setelah mereka menjadi pengurus maka perang-batin dimulai, yang dulunya tidak suka di-iqob karena salah, kini ya harus di-iqob tapi harus lihat dulu kesalahan apa dan latar belakang anak tersebut. Secara halus dinasehati atau kesalahan tersebut harus dengan nada keras dan pedekatan yang intensif. Setelah dimarahi jangan langsung dibiarkan begitu saja, akan membuat dia merasa minder dan ketakutan serta tidak percaya diri. Jadilah didekati dan ditunjukkkan secara benar bahwa dia salah, apa salahnya dan untuk itu sebaiknya melakukan dengan pendekata 3S ( salam, sapa, santun). Santri kelas 5 belajar menjadi pengurus OPP sampai dengan kelas 6..

Kiai-kiai dan ustadz/ustadzah menjadi teladan dalam memberikan segenap ilmunya. Proses transfer ilmu tanpa batas, tapi terkadang muridnya yang terbatas. Kebanyakan masih harus mencari jati dirinya dan mau jadi apa ke depannya. Hafalan dan pengetahuan terus digali. Itu merupakan bekal untuk hari nanti. Masih ingat kata-kata ustad Musyafa’ (alm) beliau menyampaikan: ma tazakkir yanfaaka ‘apa yang kamu tabung atau simpan akan bermanfaat bagi kamu’. Menabung bukan sekedar uang, tapi ilmu pengetahuan, belajar, hafalan. Menabung ilmu pengetahuan jangka pendeknya dipanen saat menghadapi ujian atau menjawab pertanyaan guru. Tabunagn ini sangat besar manfaatnya bagi pembentukan karakter dan jati diri seorang santri. “Mau menjadi lulusan yang pah-poh, ngowoh, atau menjadi pucuk tombak di masyarakat, tergantung pribadi masing-masing saat mengenyam belajar. Hasilnya akan berbanding lurus dengan yang diusahakan, prosesnya bagus hasil akan bagus, prosesnya asal lewat maka dia akan terlewatkan juga. Persaingan kehidupan ke depan akan semakin sulit”.
Pak Nasir pernah berbicara di depan kelas, kalau kita tidak berlari dan hanya berhenti maka akan tergilas, itu isi puisi karya filosof Mohammad Iqbal dari Pakistan dan juga isi puisi Chairil Anwar yang saya lupa judulnya. Semakin maju zaman kita harus berlari mengejar mimpi. Hidup memang diawali dari mimpi, dari mimpi pun orang bisa menjadi besar. Lulus kelas 6 saya dipercaya pegang uang makan bersama mas Komeng. Suka duka pegang uang makan. Itu adalah amanat harus kita tunaikan, junjung tinggi dan kita jaga sekaligus menjadi pengurus OPP (jadi pengurus selama dua tahun tidak bosan, meskipun sesungguhnya kelamaan tetapi tanggung jawab harus diemban suka tidak suka, enak tidak enak). Tanggung jawab harus diemban dan dilaksanakan dan percaya bahwa itu bukan dari manusia tapi tugas dari Allah SWT lewat manusia. Intinya jangan sewenang- wenang.

Kelas 6 berjalan di penghujung tahun ada Ujian Akhir Nasional (UAN). Itulah jalan hidup Pabelan yang berubah dari sekadar KMI. Nilai standar dicanangkan dan semua siswa sama-sama bingung. Walaupun sudah disiapkan, pelajaran sudah dipelajari-ulang, buku-buku bahan didatangkan dan dibagikan secara kelompok untuk dipelajjari. Jadilah SKS,  Sistem Kebut Sakkarepe. Terpenting ada nyantol di otak, dan hal tersebut merupakan seni belajar yang tiada tanding. Terbukti siswa-siswa malah antusias dalam belajar, banyak yang mojok, cari wangsit, maksudnya ketenagan, di masjid, di kantin, ada pula yang di WC bawa buku, sampai ada juga yang ngalong naik pohon, bahkan ada yang di kuburan. Secara tidaksadar siswa mengalahkan dirinya untuk tidak menuruti keinginan nafsu. Seumur remaja maunya santai, malas, berkumpul dengan teman-teman, tapi waktu yang ada dimanfaatkan untuk belajar, tirakat dan prihatin.
Dari kesulitan seperti itu timbullah hal-hal luar biasa dan menakjubkan yang menjadikan para santri kuat menghadapi masa depan. Ujian telah berlalu, seni belajar telah dipraktikkan para santri, giliran seni menerima hasil ujian berupa amplop yang dibagikan pada santri. Diawali dengan Kutbah oleh Pimpinan pondok dan diakhiri pembagian amplop menuju masa depan. Banyak seni ekspresi terjadi, ada yang langsung sujud tanda kesyukuran, ada yang berteriak baru sujud, ada yang pelan-pelan nariknya setelah dilihat langsung pingsan padahal lulus.  Selesai lulus, bingung lagi mau kemana, mau lanjut perguruan tinggi bapak kayaknya tidak mampu.  

Hari itu Jumat batas santri laporan ke pimpinan Pondok mau ikut mengabdi atau melanjutkan ke perguruan tinggi. Hari Kamis saya dipanggil Pak Najib, saya izin mau tanya orang tua dulu. Tetapi setelah itu bingung, saya mau bertanya ke orang tua pakai apa, telepon orang tua tidak punya. Pakai surat lama sampainya, pakai telepati? Ternyata setelah Jumatan dipanggil mendadak ke rumah Kiai Ahmad Mustofa, dan disana sudah ada Kiai Najib dan Kiai Balya. Kembali saya ditanya mau ngabdi atau lanjut kuliah, bingung bercampur spontanitas saya jawab, “Mengabdi, Pak kiai.” Walaupun sehabis itu juga bingung, namun yang penting menjalani dulu, toh skenario sudah dibuat Allah SWT tinggal kita menjalankannya.

Allah sudah menetapkan jalan kita. “Nikmati prosesnya walaupun dengan bercucuran air mata’. Hasilnya akan kita nikmati, man yazrok yahshud. Tanaman kita tanam, prosesnya membuat kita capai, kalau digarap dengan baik maka hasilnya akan baik juga. Seperti hidup kita, jalani prosesnya walaupun menyakitkan tapi kita siap ditempa guna menghadapi masa depan yang berat persaingannya.

Selama mengabdi panggilan menjadi “Ustadz”, keren kayaknya. Padahal kalau dicermati panggilan tersebut berat dipikul, karena perbuatan, perkataan, tindak-tanduk, teladan dan performa harus mencerminkan yang harus diemban. Sering dikatakan sebagai Center of Excelence. Tugas saya memegang uang SPP santri putra dan mengajar Bahasa Inggris. Belajar cara mengajar kepada sama bu Jauharoh dan belajar memegang uang SPP kepada masternya pak Nurhamid. Selama mengabdi saya berkeinginan out of the box, sesuatu hal yang baru, mendaftar di Akademi Militer.

Tanggal 24 Maret 2005 ada kabar pedaftaran Akmil dari wali santri Ibu Wahyu dari Ungaran. Beliau SMS ke teman saya, Didik Supriyanto. “Assalamualaikum. Kak Didik tolong beri tahu Kak Fatoni bahwa ada pendaftaran Akmil yang ditutup tanggal 31 Maret 2005.” Bingung bercampur tidak percaya, ini adalah kehendak Allah yang harus dijalankan.  Bagaimana tidak, Didik dari Jakarta bermain ke Jawa hanya mau menunjukkan SMS tersebut kepada saya.  Walaupun jarak waktunya tinggal satu minggu, maka tanggal 25 Maret saya memfoto kopi ijazah dan nilai raport kurang lebih setebal jilidan al-Quran. Saya mengahadap ke TU meminta untuk dilegalisasi.  “Banyak sekali Ton?” tanya pak Hedi, Kepala MA. “Iya Pak, rencana mau mencari bea siswa”, jawab saya belum jujur. Setelah itu saya browsing di Telecenter tentang pendaftaran akmil dan mencari info dari koran di perpustakaan. Alhamdulillah nilai Rata-rata NEM kelulusan MA memenuhi syarat dan rata-rata raportpun memenuhi syarat. Sehingga tinggallah saya menyiapkan fisik, mental dan akademik serta psikologi.

Setelah itu saya menghadap ke Kiai Najib. Saya beranikan berbicara, “Mohon izin Pak, saya minta izin pulang untuk menyiapkan berkas guna mendaftar di Akmil”.  Antara percaya atau tidak, pak Najib bertanya, “Opo? Akmil? Yakin Kamu, Ton?” Saya menjawab, “Iya Pak, saya mau mendaftar di Akmil, mencoba dulu”. Kemudian saya menghadap ke pak Ahmad dan ke Pak Balya. Alhamdulillah saya mendapat restu dari beliau bertiga.

 Jarrib wa lahidh takun arifan. Seperti dalam film keluar dari pondok saya naik andong. Sampai Batikan saya naik bus jurusan Semarang menuju Kodam IV/Dipponegoro, mencari tahu pendaftaran. Selasa tanggal 29 Maret 2005 saya mendaftar diri. Saat mendaftar di Ajendam IV/Dipponegoro memakai pakaian ala ustadz praktek tanpa dasi dan lengkap sepatu vantofel,  persis orang melamar pekerjaan. Tapi itulah yang menjadi nilai positif dan dijadikan percontohan, karena setelah saya mendaftar ada yang mendaftar dengan baju dikeluarkan langsung diusir dari tempat pendaftaran bahkan ada yang memakai kaos oblong dan celana levis tanpa ampun langsung disuruh pulang. Datang harus rapi dan siap untuk mendaftar. Pendaftaran selesai dilanjutkan penyiapan fisik sebelum test, akademik, psikologi, mental ideologi dan lain-lain. Selesai mendaftar, kembali lagi ke Pabelan sambil menunggu test berikutnya.

Ada kejadian sewaktu saya latihan fisik, berlari. Mulai jam 12.30 WIB setelah salat dhuhur, rencana mau lari ke Mendut lewat Pabelan I tembus ke desa-desa. Uang sudah saya siapkan di atas lemari untuk ongkos naik bus dan membeli minum setelah sampai Mendut. Kumulai start lari dari depan Telecenter sebelumnya pemanasan, berlanjut lari sampai di Mendut. Cuaca cerah panas jam 13.15 sampai Mendut. Merasa capai, haus, dan dalam pikiran saya di kantong celana ada uang. Setelah kucari-cari di kantong celana,  jangan kan uang 5000 rupiah, bahkan 100 rupiahpun tidak ada. Kuingat-ingat, ternyata uang tertinggal di atas almari. Ya, meskipun capai, haus, perjalanan masih harus kulanjutkan dan jauh hingga di Pabelan. Siang itu akhirnya berjalan kaki lagi dan sampai di Pabelan sudah jam 15.30 WIB. Sungguh kejadian yang mengesankan penderitaan.

Alhamdulillah test demi test terlewati. Ada test subdaerah, test daerah, akhirnya sampai test pusat di Bandung. Beribu-ribu orang yang mendaftar dari seluruh Indonesia, dan yang diterima hanya 300 orang. Alhamdulillah saya termasuk di dalamnya, Masuk pendidikan Akmil tahun 2005-2008. Semua gratis, makan dan gizinya terjamin. Perlengkapan seluruh prajurit dibagikan. Pertengahan 2009 saya mendapat penugasan di Ambon sampai dengan sekarang. Saya tidak lupa mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT, salawat kepada Nabi besar Muhammad SAW, ucapan terimakasih kepada pimpinan pondok dan jajarannya, para ustadz-ustadzah yang telah menghantarkan kami menuju masa depan yang lebih cerah, juga teman-teman yang memberikan dukungan, Simbah Ngah (almarhumah), Mbok Urip, Mbah Empang, Mbah MK dan semuanya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Saya belum bisa membalas kebaikan dan kearifan Pabelan kepada saya, namun saya bangga sebab dari sanalah saya dilahirkan kembali.

Kepada adik-adik OPP jaga dirimu, jaga adik-adikmu, kamu diberi kepercayaan yang tidak mudah-ringan mengembannya. Kamu harus bisa membagi waktumu, waktu belajarmu, waktu bermainmu dan waktu untuk mengurus organisasi dan mengurus adik-adikmu. Jangan sia-siakan waktumu, jangan merasa hebat. Jangan sewenang-wenang saat kamu diberikan tanggung jawab. Laksanakan tugas dengan senang hati insyaAllah akan ada manfaatnya di kemudian hari baik kamu sadari ataupun tidak. Ingat pimpinan Pondok pernah mengatakan ketika engkau menunjuk orang maka satu jari telunjuk menuju ke orang yang kamu tunjuk dan sisa jari lainnya menunjuk ke kamu sendiri. Itu tandanya kita disuruh untuk lebih introspeksi diri sebelum kita menyalahkan orang lain.

Kepada adik-adik tetaplah gapai ilmu yang engkau inginkan. Jadilah dirimu sendiri jangan meniru gaya orang yang tidak jelas. Selama baik maka lanjutkanlah asalkan sesuai norma dan aturan yang berlaku. “ Kun nafsak” dan “ Laisal fataa man yaquulu kaa na abii,, walakinnal fataa man yaquulu ha ana dza”. Seorang pemuda bukan yang mengatakan inilah bapakku, tapi hakikat seorang pemuda adalah yang mengatakan inilah saya (Bukan sombong tapi penuh semangat dan percaya diri bahwa dia bisa berdiri di atas kaki sendiri tidak bergantung pada orang lain) al i’timadu alan nafsi asasunajah.
Jangan membeda-bedakan cara guru mengajar tapi bagaimana kamu menerima ilmu dengan baik. Jangan hanya menyenangi guru yang baik pada kamu dan memujimu saja tapi sayangilah semuanya. Cara guru mengajar berbeda-beda, cintai guru dan hormati mereka niscaya ilmumu berkah. Jangan hanya prestasi keilmuan semata yang kamu gapai, tapi kesiapan mentalitas jiwa pantang menyerah juga harus kamu pupuk. Banyak orang berorientasi bahwa nomor satu adalah segala-galanya, tapi saat gagal rasanya dunia kiamat atau Tuhan tidak adil. Ini kisah nyata dari SMA dia ranking satu sampai di PT dia masih juaranya tapi pada saat kelulusan dia nomor dua, dia berketetapan dosen tidak adil. Kisah dapat kita simpulkan yang dia cari hanya popularitas semata dan akhirnya dia stress. Ada yang dia lupakan yaitu mentalitas untuk menghadapi kegagalan, tapi bukan itu saja  hakikat hidup. Jalan hidup masih panjang bukan berhenti pada saat ketika kita gagal, masih banyak keberhasilan-keberhasilan yang lain yang bisa kita capai.
Ada ungkapan, ‘Banyaknya pekerjaan yang belum ditemukan sebanyak lagu yang belum diciptakan.’ Saatnya kamu berhasil disyukuri dan saatnya kamu gagal atau jatuh lantas bangkit lagi. Mudah dikatakan, tetapi kakakpun mencoba untuk mempraktikkannya walaupun susah. Jangan berhenti berusaha, berjalanlah terus jangan sekali pun menengok ke belakang. Jika kamu berhenti maka kamu akan tergilas. Lari, lari dan lari, kata Pak Nasirudin suatu ketika dengan penuh semangat. Pak Bob berkata (kata orang yang bosan kaya): Kita hidup tidak hanya kita jalani, namun harus ada inovasi agar sukses. Berjalanlah terus menjalani hidup. Jika kamu jatuh maka bangkit lagi, jatuh lagi bangkit lagi, jatuh lagi ya bangkit lagi sampai kamu bisa berlari menggapai masa depannmu. Jangan mudah menyerah, Sehebat apapun kamu jika memiliki sifat pantang menyerah hidupmu tiada berarti. Lampaui batas kemampuannmu.
Masa depan kita rencanakan sebaik mungkin dan Allah sudah memberikan yang terbaik bagi kita semua. Amien, amien. Ya rabbal alamien...


Mengelola Dana Pondok
Sulistyawati

Saya salah satu alumi Pondok Pesantren Pabelan lulusan tahun 2003. Alhamdulillah saya dapat menyelesaikan masa pembelajaran saya di Pondok Pabelan hingga 7 tahun,  Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan setahun masa pengabdian. Banyak pengalaman dari pembelajaran yang saya dapatkan selama mondok di Pabelan. Pembelajaran-pembelajaran tersebut hingga sekarang masih saya rasakan manfaatnya. Selain itu Pondok Pabelan juga tidak hanya sebagai tempat bagi saya selama itu untuk menuntut ilmu namun juga merupakan rumah kedua dan keluarga besar bagi saya hingga saat ini, bahkan selamanya.
Awalnya saya masuk Pondok Pesantren Pabelan mengikuti kakak laki-laki saya yang terlebih dahulu mondok di Pabelan. Pada awal-awal saya merasa kesulitan mengikuti kegiatan pondok yang cukup padat mulai dari bangun pagi pagi sebelum subuh, shalat berjamaah, berolahraga, sarapan, sekolah dari pagi sampai siang, berjamaah Dhuhur. Makan siang, tambahan pelajaran, shalat Ashar, olah raga sore, shalat maghrib berjamaah di masjid hingga belajar malam di asrama dan sholat malam.  Belum lagi beberapa kegiatan ekstrakulikuler yang harus diikuti disela sela kegiatan rutin tersebut, seperti pengajian kitab kuning, etika keputrian, muhadhoroh (pelajaran berpidato), pramuka, dll. Namun entah mengapa kegiatan rutin tersebut yang kadang kini saya rindukan.
Kegiatan rutinitas yang cukup padat selama di pondok menjadikan saya pribadi yang berdisiplin serta mengajarkan saya agar dapat membagi waktu dengan baik. Selain itu kegiatan ekstrakulikuler yang pernah saya ikuti juga memberi dampak positif bagi kepribadian saya, seperti kegiatan etika keputrian, pembelajaran yang merupakan pembekalan tingkah laku (atitude) dalam kehidupan (cara duduk, makan, sopan santun, dll.) yang tidak akan saya dapatkan bila sekolah di luar pondok. Kegiatan muhadharah juga banyak membantu saya agar tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan berani tampil, selain mengajari saya  bagaimana cara berorasi (pidato) dengan baik.
Setelah terbiasa dengan segala rutinitas sehari-hari tersebut selama empat tahun, tibalah bagi kami pengalaman yang sangat berkesan dan memberi pembelajaran yang   sangat berharga dalam  kehidupan saya, Organisasi Pelajar Pondok (OPP) Putri. Saat itu saya dipercaya menjadi ketua OPP. Di sinilah saya belajar bagaimana cara berorganisasi, berhubungan dengan patner kerja (teman), anak buah (adik-adik kelas) dan atasan (bapak kiai) serta bagaimana mengatur agar kegiatan rutinitas pondok dapat berjalan dengan baik dan lancar. Ketika kemudian saya dipercaya untuk memegang uang makan santri putri dan ketua koperasi, di sini saya belajar harus benar-benar amanah untuk menjalankannya dan teliti, jujur dan dapat mengolah dana dengan baik. Saya diajari oleh bu Ulfa banyak ilmu praktis dalam memegang uang dan mengelolanya.  Pengalaman itulah tanpa saya sadari telah membentuk diri menjadi seperti sekarang ini serta membantu menguatkan bidang pekerjaan yang sedang saya tekuni, berhubungan dengan berbagai macam orang dan manajemen keuangan.
Kebahagian saya sebagai santri lebih terasa lagi pada saat saya berada pada masa akhir nyantri , yakni masa pengabdian. Saat itu, saya benar-benar merasakan bahwa pondok adalah keluarga saya. Mungkin perasaan saya dikarenakan perjalanan bersama sama (teman, guru, adik-adik kelas, atasan) yang cukup lama dan intensif hingga menimbulkan suatu ikatan yang kuat.
Demikian sedikit pengalaman, pembelajaran dan kenangan yang saya miliki selama menjadi santri di Pondok Pesantren Pabelan. Semoga pengalaman saya ini dapat memberikan warna-cerita yang lain mengenai pondok kita tercinta, Pabelan.


Belajar Hidup Ikhlas
Edi Susilo

Tidak cukup satu buku untuk kita alumni menulis tentang Pabelan. Jangankan bagi kita yang pernah nyantri, bahkan mereka yang hanya sekedar singgah atau mampir untuk melihat kehidupan santri dan seisi pesantren pasti langsung memiliki kesan tersendiri dalam benak dan hatinya. Bagi saya pribadi yang tujuh tahun (6+1) nyantri di pesantren ini, Pabelan sudah menjadi rumah bagi saya. Bahkan hingga kini rasanya saya ingin selalu kembali pulang ke Pabelan; ingin kembali merasakan masa-masa nyantri dan bergelut dengan rutinitas yang ada di pondok mulai dari bangun pagi hingga bangun pagi lagi, begitu setiap harinya.
Dulu tidak pernah terpikir akan sampai tujuh tahun saya di Pabelan. Sebab pada masa awal menjadi santri semua terasa begitu berat dan susah untuk dijalani. Hal pertama yang dirasakan setiap santri baru adalah homesick ‘kangen rumah’, rindu orang tua dan kondisi kehidupan di lingkungan rumah yang sudah biasa kita temui setiap hari namun sekarang harus berganti dengan kehidupan di asrama dan aturan ini-itu yang tidak pernah kita temui di rumah kita. Menjadi santri baru artinya kita harus mengikuti kegiatan Khutbatul Iftitah, saat kita diperkenalkan dengan kehidupan di Pabelan dan seluruh isinya yang waktu itu saya masih bener-bener blank. Setidaknya dalam Khutbah Iftitah santri diingatkan-diajarkan untuk ikhlas, ikhlas meninggalkan rumah demi menuntut ilmu dan mencari pengalaman baru yang belum pernah ditemui. Juga ikhlas meninggalkan orang tua dan keluarga besar di rumah dengan segala kenyamanan dan kebebasannya. Sebab di Pabelan kami santri tidak lagi bisa menikmati acara di teve setiap harinya, tidak lagi bisa main video game yang bisa aku mainkan bahkan sampai lupa waktu dan mandi. Tidak lagi bisa tidur kapan saja ketika kantuk menyerang dengan tiba-tiba, tidak lagi bisa pergi bersama teman-teman untuk main layangan di lapangan ataupun sekedar jalan-jalan di mall ataupu pasar malam bersama dengan temen-teman satu gank. Santri harus ikhlas meninggalkan semua kebiasaan selama di rumah dan ikhlas berganti dengan rutinitas baru sebagai santri di Pabelan.
Meskipun berat dan susah, tapi membiasakan diri untuk melakukan semua kegiatan dengan ikhlas dan penuh suka cita membuat semuanya menjadi terasa lebih mudah dan ringan. Apalagi bila dikerjakan dengan santri, teman-teman yang senasib dan seperjuangan. Pabelan mengajarkanku untuk ikhlas dalam menjalankan segala aktivitas yang ada di pesantren, agar hasilnya juga manis seperti kata mahfudzot yang artinya “Kesabaran itu pahit, bahkan lebih pahit dari  empedu. Namun hasilnya akan manis, bahkan lebih manis dari madu”.
            Selama di Pabelan kita juga diajarkan untuk selalu berlaku sederhana dan tidak berlebih-lebihan, karena pada dasarnya Islam tidak menyukai yang berlebih-lebihan. Lebih dari itu, dengan kesederhanaan kita akan lebih menghargai sesuatu yang kita miliki. Kita juga dihindarkan dari yang namanya sombong atau takabur. Kesedarhanaan selama di Pabelan bisa kita rasakan dalam setiap sendi kehidupan kita sebagai santri. Tidak ada yang berlebihan dari sosok Pabelan, mulai dari bangunan yang sederhana, berbentuk sama, bahkan ada beberapa bangunan yang masih menggunakan dinding kayu dan anyaman dari bambu. Setahu saya hingga saat ini masih ada yang dipertahankan keasliannya dan merupakan contoh bagaimana Pabelan mengajarkan kesederhanaan. Makan hanya dengan lauk tahu-tempe, bahkan dalam berbusana santri, Pabelan mengajar untuk berbusana sederhana. Saya sampai sekarang setiap pergi ke masjid menggunakan sarung, persis cara mengenakan yang dulu diajarkan oleh kakak-kakak pengurus ketika Khutbatul Iftitah. Yang tidak saya temukan di luar Pabelan adalah cara mengenakan jilbab santri putri saat bersekolah. Itu merupakan salah satu ciri khas Pabelan yang sederhana namun tetap bersahaja. Karena sederhana bukan berkecil hati atau mengecilkan diri sendiri, sederhana adalah sebuah sikap yang bijak dan mulia.
            Tinggal di asrama artinya kita harus melakukan segalanya sendiri (mandiri). Mandiri artinya mengerjakan segala sesuatu sendiri/dengan usaha sendiri, bukan egois tapi lebih kepada melakukan hal-hal yang besifat pribadi/personal tanpa harus mengandalkan orang lain. Mencuci pakaian, mengantre makan, mengerjakan PR dan lainnya. Meskipun manusia adalah makhluk sosial, namun kemandirian merupakan sesuatu hal yang lebih bersifat personal bukan publik. Kita tidak akan sering mati kalau kita bisa mandiri, sebagai contoh ketika dulu kita di rumah banyak pakaian kotor kita tinggal minta asisten rumah tangga untuk mencuci pakaian. Di Pabelan kita harus mencuci sendiri, tidak ada yang mencucikan pakaian lantas terucap “Mati aku!”. Itu sekali mati, coba kalau setiap hari harus mencuci pakaian, berapa kalikah kita akan mati?  Sekarang di Pabelan kita harus mencuci sendiri, meskipun di rumah tidak pernah mencuci sendiri. Kita bisa minta diajari teman atau kakak pendamping. Kalau mau kita bisa belajar dari melihat teman yang mencuci, lama kelamaan juga akan terbiasa dan kita pasti akan bisa mencuci sendiri. Memang membiasakan diri itu awalnya berat, namun setelah terbiasa kita kan merasakan ringan.           
Pertama kali di Pabelan dan berkenalan dengan teman-teman, juga kakak-kakak saya kaget karena tidak hanya orang Jawa saja, melainkan dari seluruh pelosok tanah air.  Seingat saya setelah menyelesaikan pendaftaran dan diantar oleh kakak yang mengurusi pendaftaran ke Gedung Presiden, kamar C. Di kamar Presiden C ini aku berkenalan dengan beberapa teman yang sama-sama masuk ke MTs, dan yang masuk ke Takhasus. Ada si Soffa Zainuddin yang dari Sleman, Wahyu Purwo dari Wonogiri, Kak Arhaman Sudur dari Medan, Kak Arif yang alergi kasur-berkapas dari Jakarta dan beberapa teman lagi. Aku tidak pernah menyangka akan memiliki keluarga baru dari seluruh pelosok negeri di pesantren ini. Keluarga baru yang hingga tujuh tahun aku di pesantren memiliki kesan tersendiri dan menjadi bagian dari kehidupanku yang sangat membekas di jiwa ini. Pernah waktu kuliah di UNNES, saat aku mengikuti pelatihan pembuatan video pembelajaran dan film pendek yang diadakan oleh Pusat Pengembangan Media Pendidikan UNNES, saya ditanya oleh salah satu instruktur saat istirahat. Beliau bertanya dulu sekolah di mana, saat aku jelaskan kalau aku sekolah di Pesantren Pabelan, belianya langsung memotong penjelasan saya dan langsung bilang kalau beliau juga dulu di Pabelan meskipun tidak sampai lulus Aliyah. Beliau juga bertanya kabar Ustad Balya, bagaimana pesantren pada saat itu, masih seringkah aku ke Pabelan, kalau ke sana titip salam untuk semuanya. Seingat saya beliau ini berasal dari Sumatra, Riau atau lupa pastinya. Meskipun sekarang saya lupa nama beliau, ternyata Pabelan begitu plural isinya dan begitu membekas dalam setiap sanubari santrinya. Entah dari profesi dan kesibukan apapun kita, pasti jiwa dan rasa Pabelan begitu membekas bagi diri kita masing-masing.
Pabelan mengajarkan kepada kita bagaimana menghormati dan menyikapi sesama, entah itu dari satu suku ataupun berbeda suku, dari satu daerah (konsul) atapun dari beda asal-usul. Di Pabelan kita belajar tentang ukhuwah Islamiyah, karena semua yang ada di Pabelan semua beragama Islam. Namun Pabelan tidak melupakan bahwa di luar Pabelan harus tetap dihormati, termasuk yang memiliki kepercayaan berbeda. Bahkan tak jarang  mereka yang memiliki kepercayaan berbeda datang dan berkunjung ke Pabelan, membantu perkembangan Pabelan. Semua itu adalah ajaran Islam yang kita pelajari di pesantren agar  menghormati sesama manusia, sesama umat beragama, sesama bangsa Indonesia ataupun sesama masyarakat dunia.
Aturan dibuat untuk membantu kita belajar berdisiplin dan membagi waktu. Aturan yang mungkin sampai sekarang paling diingat oleh para alumni adalah aturan tidak tertulis namun paling ditaati oleh semua santri, yaitu bel depan masjid. Saat bel masuk masjid, maka semua santri harus segera ke masjid untuk mempersiapkan diri mengikuti sholat berjama’ah, khutbah/nasehat rutin, muhadoroh, ataupun bel saat makan tiba. Kalau kita tidak menaati bunyi bel yang ada, maka hukuman akan berlaku bagi kita yang melanggar aturan ini. Selain itu masih banyak lagi aturan yang harus kita taati selama di pesantren, seperti kita harus selalu berbicara bahasa Arab atau Inggris dengan sesama santri, ustadz, juga ustadzah. Tidak boleh pergi keluar kompleks pesantren tanpa seizin bagian keamanan dan pengurus. Aturan jam belajar yang harus ditaati oleh semua santri demi  mempersiapkan diri menghadapi pelajaran atuapun ujian esok hari.
Meskipun banyak aturan di pesantren namun kita memiliki kebebasan untuk menentukan akan menjadi apa kita kelak. Pabelan tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada kita, tidak ada seorang ustad/zah pun yang memaksa saya menjadi ustad ataupun kiai. Pabelan tidak memaksa kita mengikuti salah satu golongan yang ada, namun Pabelan justru memberikan pandangan yang begitu luas kepada kita untuk bijak dalam memilih akan jadi apa kita kelak. Bahkan kalau kita merasa bimbang untuk menentukan pilihan, kita juga difasilitasi untuk bertanya atau meminta bimbingan kakak-kakak kita di asrama atau kepada ustad/zah.  
Selama di Pabelan, kita juga tidak melulu menyanyikan lagu-lagu yang berbau Islam seperti sholawat, nasyid, ataupun qosidah. Kita bisa mengekspresikan diri kita dalam berkesenian melalui lagu apapun selama itu masih dalam batas wajar dan tidak melanggar aturan yang ada di pesantren. Bahkan Pabelan memfasilitasi kita untuk mengembangkan jiwa seni kita, ada ruangan studio band, santri putri ada kegiatan marching band, yang suka melukis bisa mengembangkan bakatnya melukis. Bagi kita yang suka basket, kita juga bisa mengikuti club basket yang ada di Pabelan, bagi yang suka sepak bola kita dipersilahkan mengembangkan bakat di club sepak bola, dan banyak lagi bakat yang bisa kita kembangkan selama menjadi santri di Pabelan. Semua itu contoh kecil bagaimana Pabelan memberikan kita kebebasan untuk menemukan jati diri kita. Pabelan tidak pernah memaksakan kita harus menjadi ustad/zah setelah lulus aliyah. Pada dasarnya jiwa manusia itu jiwa yang bebas, dan saat direnggut, maka efeknya adalah pemberontakan. Aturan yang ada di pesantren Pabelan dibuat hanya sebatas untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, untuk menjadikan kita disiplin dan dapat membagi waktu.
Ketika kita menginjak masa tahun kedua di pesantren, kita memiliki adik baru yang juga perlu mendapatkan bimbingan dan contoh teladan yang baik dari kita. Sebagi seorang kakak kelas, sekiranya kita harus memberikan contoh yang baik kepada adik-adik kita di pesantren, terutama bagi kita yang menjadi pengurus OPP, pengurus organisasi lainnya. Apalagi kita yang menjadi pendamping kamar. Semua pengalaman dan ilmu yang kita dapatkan sekarang saatnya kita tularkan kepada adik-adik kita yang menjadi tanggung jawab kita. Begitu dari tahun ke tahun berikutnya.
Saat kelas lima adalah saat kita mendapatkan giliran tanggung jawab untuk menjadi pendamping kamar. Peran kita sebagai seorang kakak yang dianggap lebih dewasa secara fisik dan psikis dapat dan mampu membimbing adik-adik kita yang lebih kecil. Saat inilah kita diberikan kesempatan untuk menjadi kakak sekalian belajar menjadi guru bagi adik-adik kita. Karena saat itulah kita bisa membagikan ilmu kita kepada adik-adik kita. Contohnya saat malam setelah isya’ biasanya ada kegiatan belajar di kamar ataupun ada forum organisasi. Saya masih ingat betul ketika menjadi santri baru dulu, mufrodat yang pertama diberikan oleh pendamping kamar saya kak Talkhis  (dari Jepara) adalah dalwun (ember). Saat menjadi pendamping inilah kita juga berperan sebagai guru (meskipun belum mejadi ustad/zah) kita bisa memberikan bimbingan atapun membantu menjelaskan tentang materi pelajaran kepada adik-adik kita. Kalau perlu, sebelum mereka (adik-adik) meminta, kita biasanya menawarkan bantuan kepada mereka, dan mereka dengan senang hati tanpa harus malu meminta pendamping kamar untuk menjelaskan hal yang belum dipahami.
Selain menjadi pendamping kamar, biasanya kelas lima memiliki tugas rangkap sebagai seorang pengurus OPP. Sebagai seorang pendamping kamar, kita bertanggung jawab atas adik-adik kita dalam lingkup kecil, sedangkan sebagai pengurus OPP kita diberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar lingkupnya. Tanggung jawab sebagai seorang pengurus OPP merupakan kesempatan kita untuk belajar organisasi dalam level yang lebih luas. Kesempatan menjadi pendamping kamar ini ternyata sekarang sangat bermanfaat ketika menjadi guru di SMA. Selain bertugas mendidik dan mengajar, guru juga harus bisa berperan sebagai pembimbing yang memberikan nasehat kepada murid-murid. Sebagai seorang guru, saya kadang berperan sebagai seorang kakak, bahkan teman bagi murid-murid saya. Karena permasalahan dari murid-murid tidak melulu soal pelajaran saja, namun jauh lebih luas, termasuk tentang kejiwaan dan personal mereka. Disinilah saya mempraktikkan kembali ilmu dan pengalaman yang didapatkan ketika menjadi pendamping kamar. Meskipun kondisi dan situasi di pesantren berbeda dengan kondisi di sekolah pada umumnya, namun bisa dikatakan kejiwaan dari murid seumuran sekolah adalah hampir sama. Mereka sama-sama mengalami masa kadang malas, masalah terbesar mereka, cinta monyet menjadi penghias perkembangen kedewasaannya, juga perselisihan dengan teman. Di sinilah peran seorang guru tidak hanya sebagai seorang guru, tapi lebih bisa menjadi seorang teman, kakak, pembimbing bahkan orang tua bagi muridnya. Pengalaman menjadi seorang pendamping, apalagi dulu pernah setahun mengabdi menjadi ustad di Pabelan saya praktikkan dalam kehidupanku sebagai seorang guru di sekolah.
Pengalaman menjadi pengurus OPP, menjadi ketua dewan ambalan (Pramuka) dan ketua konsulat pekalongan sangat berperan besar ketika saya mengikuti kegiatan organisasi. Di kampus dulu pernah menjadi ketua himpunan mahasiswa (HIMA/HMJ) jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Unnes, di tingkat nasional pernah menjadi bagian organisasi Ikatan Mahasiswa Teknologi Pendidikan Se-Indonesia (IMATEPSI), menjabat sebagai seksi informasi dan komunikasi. Pengalaman organisasi di pesantren adalah akar dari keberanian saya untuk mengikuti kegiatan organisasi di kampus bahkan di luar kampus. Belajar berorganisasi di pesantren artinya kita dididik dan diajarkan untuk selalu bijak dalam menentukan aturan yang akan dijalankan, baik oleh diri sendiri ataupun khalayak ramai. Pabelan mengajarkan kita berorganisasi  dengan benar, baik dan bijak agar apa yang kita putuskan tidak merugikan dan mengecewakan pihak lain.
Dalam organisasi pasti ada sedikit-banyak perselisihan paham atapun ketidak sesuaian pemikiran kita terhadap pihak lain. Kita diajari untuk selalu berbesar hati dalam menerima keputusan hasil mufakat, diajari bagaimana tidak mengecilkan pihak yang tidak sesuai dengan kita. Saat dalam organisasi, mungkin akan terjadi perdebatan dan perselisihan pendapat sebelum mencapai mufakat, namun itu semua bagian dari pembelajaran yang ada di Pabelan. Perselisihan dalam berogranisasi wajar adanya asal tidak sampai terbawa keluar dari organisasi. Kalaupun ada perselisihan, kita pun bisa menyelesaikan dalam forum yang telah kita tentukan sebelumnya; kita memiliki seorang pemimpin yang kita percayai mampu memberikan dan mengantarkan kita kepada kesepakatan yang baik. Bagi adik-adik yang sekarang sedang belajar berorganisasi khususnya di Pabelan, gunakanlah kesempatan itu untuk mendapatkan ilmu dan pengalaman yang baik, kalian dapat mempraktikkan ilmu dan pengalaman organisasi kalian selama di pesantren. Jadilah pemimpin yang baik dan bijaksana. Pada dasarnya, belajar berorganisasi adalah belajar menjadi pemimpin yang hebat lagi bijaksana, taat kepada agamanya dan ia yang tahu dan mau bergaul dengan yang dipimpin.
Pabelan mengajarkan bagaimana kita untuk selalu berbuat dengan ikhlas, berpenampilan sederhana dalam kemandirian hidup, berbuat baik kepada sesama, dan bebas dalam menentukan pilihan hidup. Pabelan dan seisinya juga mengajarkan dan memberikan warna dalam hidup agar selalu memberikan manfaat bagi sesama dan seluruh makhluk hidup di dunia ini. Pabelan mengajarkan untuk memiliki budi yang tinggi, seperti dalam sebuah mahfudzot yang diajarkan di kelas “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”, Lebih luas lagi, kita bisa memberikan manfaat kepada masyarakat tempat kita berada. Belum lengkap rasanya hidup ini kalau kita belum bisa memberikan manfaat bagi masyarakat, bagi orang lain, bagi sesama makhluk-Nya. Ada sebuah ungkapan “Biar miskin harta, asal jangan miskin jasa, biar miskin benda, asal jangan miskin budi dan jasa”. Itulah sikap seorang yang berbudi tinggi.
Salah satu yang paling saya sukai dari Pabelan adalah saat sore dan pagi hari, tidak ada yang namanya waktu kosong. Semua suka berolahraga menyegarkan pikiran sejenak dari segala rutinitas. Semua lahan, bahkan dulu belakang asrama  Presiden pun sering digunakan untuk bermain sepak bola, meskipun dengan bola. Lahan paling favorit adalah lapangan di depan workshop yang sering dijadikan rebutan bila saat berolahraga tiba. Setelah sholat ashar semua santri keluar kamar untuk bermain sepak bola, basket, sepak takraw, batminton dan bermacam-macam olahraga lain. Bahkan sampai sekarang pun pasti masih ada lapangan tenis meja terkuat di dunia yang mungkin hanya ada di Pabelan, begitu kata pak Najib saat memberikan nasehat di khutbatul iftitah. Olahraga yang kita lakukan adalah salah satu cara agar kita bisa menjaga kesehatan badan kita untuk dapat melakukan segala aktifitas sehari-hari, karena jiwa yang sehat tedapat dalam badan yang sehat.
Pabelan adalah tempat saya mengenal olahraga favorit saya, sepak bola, olahraga paling populer di seantero dunia. Waktu di Pabelan sempat terbersit cita-cita menjadi atlet meskipun sekarang kandas karena Allah mengarahkan haluan hidup saya di pendidikan.  Saya tidak pernah menyesalinya, karena tanpa Pabelan mungkin saya tidak pernah akan tau siapa itu Zinedine Zidane yang saat itu menjadi pemain termahal di dunia. Pertanyaan tentang siapa pemain termahal di dunia ini saya ketahui saat kegiatan mencari jejak dalam kepramukaan di pesantren. Saya masih ingat betul, di daerah Santan ada pos mencari jejak dan regu saya harus menyelesaikan soal-soal yang ada di pos itu. Salah satu pertanyaan kegiatan kepramukaan di Pabelan itu tadi. Ya, kegiatan kepramukaan di Pabelan paling menyenangkan dibandingkan dengan sekolah pada umumnya. Kalau di sekolah mungkin kita tidak akan pernah merasakan kegiatan pramuka di bawah guyuran hujan setiap hari Kamis sore.
Selain Pramuka, kita diajari bagaimana berbicara di depan publik melalui kegiatan muhadoroh. Kegiatan ini sangat membantu saya secara pribadi dalam memupuk kepercayaan diri dan kemampuan berbicara di depan orang lain. Apalagi saya sebagai guru, harus mampu memberikan penjelasan kepada murid-murid saya ketika di dalam kelas, atapun kepada wali murid atau rekan guru saat ada kegiatan rapat atau pertemuan dengan wali murid. Dalam kegiatan muhadoroh, kita tidak hanya diajarkan untuk dapat berbicara di depan umum, tapi juga harus mampu mempersiapkan bahan. Dalam mempersiapkan materi kita dituntut untuk mampu menemukan materi yang memancing audiens bersedia mendengarkan pembicaraan kita. Oleh karena itu, materi yang kita buat harus berbobot, unik dan tentu saja mengandung pengetahuan yang luas. Di sinilah salah satu tempat agar pengetahuan kita tentang apapun dapat kita implementasikan sebagai isi muhadoroh.
Santri Pabelan diharapkan memiliki pengetahuan yang luas. Pengetahuan keagamaan pasti kita dapatkan dari kegiatan di pesantren, sedangkan pengetahuan umum bisa kita dapatkan pula saat kegiatan di kelas pagi. Pabelan juga memfasilitasi kita dengan adanya perpustakaan yang menyediakan buku-buku serta informasi dari koran ataupun majalan yang bisa kita baca saat tidak ada kegiatan wajib yang harus kita ikuti. Saya sendiri adalah salah satu dari pengurus perpustakaan pada tahun 2004-2005  bimbingan Ibu Maria dan Pak Jamal. Kesempatan menjadi pengurus saya manfaatkan untuk membaca buku, koran, majalah atapun koleksi lain selain belajar sebagai seorang pustakawan. Pengetahuan yang luas akan sangat membantu kita dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam pergaulan dengan sesama teman sebaya, bergaul dengan kolega atapun dengan mereka yang lebih tua. Selain itu pengetahuan yang luas akan membuat kita memiliki derajat yang lebih tinggi di sisi Allah SWT, karena orang yang berpengetahuan (berilmu) adalah mereka yang tahu mana yang baik dan buruk.
Ajaran Pabelan yang terakhir adalah untuk selalu memiliki pemikiran yang bebas. Berpikiran bebas tidak berarti beripikiran sebebas-bebasnya (liberal). Kebebasan berpikir yang diajarkan Pabelan adalah bagaimana kita mampu menerima segala sesuatu dengan segala keterbukaan, namun tetap memegang teguh prinsip-prinsip hidup kita, terutama prinsip sebagai seorang muslim yang selalu berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Berpikiran bebas merupakan lambang dari kematangan dan kedewasaan kita, berpikiran bebas adalah hasil dari pendidikan yang telah kita tempuh selama di Pabelan.  Ajaran untuk berpikiran bebas adalah implementasi dari ajaran-ajaran  sebelumnya yaitu berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahun luas serta berpikiran bebas.
Bila kita perhatikan, semua hal yang telah saya sampaikan di atas merupakan ajaran yang tertuang dalam Panca Jiwa dan Motto Pondok yang begitu familiar dan melekat pada diri kita santri Pabelan. Semenjak santri baru, hingga kini saya telah menjadi seorang guru, Panca Jiwa dan Motto Pondok secara sengaja ataupun tidak telah banyak menuntun saya dalam menjalani kehidupan. Secara tidak langsung saya juga mengajarkan kepada murid-murid saya untuk melakukan lima plus empat ajaran dari pesantren Pabelan.  Karena saya tidak ingin apa yang telah saya dapatkan hanya buat saya pribadi tanpa diamalkan dan disebarluaskan. Melalui sekolah tempat saya mengajar inilah salah satu tempat saya bisa membagikan ilmu dan pengalaman hidup saya selama di Pabelan.
Terima kasih Pabelan telah mengajari saya tentang keikhlasan dalam melakukan sesuatu hal, baik bagi diri saya pribadi maupun bagi orang lain. Terima kasih Pabelan telah mengajarkan bagaimana menjalani hidup dengan sederhana dan selalu mensyukuri segala karunia Allah yang telah ada pada diri saya. Terima kasih Pabelan telah menegakkan dan menguatkan sendi-sendi kaki saya agar semakin kokoh berdiri di atas kaki sendiri. Terima kasih Pabelan karena telah mengajarkan saya tentang bagaimana menghormati dan menyayangi semua makhluk Allah, terutama mereka yang seiman. Terima kasih Pabelan karena telah memberikan saya kebebasan dalam memilih jalan hidup saya serta telah membekali saya dengan arti dari kebebasan itu sendiri. Terima kasih Pabelan karena telah mengajarkan saya bagaimana agar saya menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, bagi semua makhluk Allah. Terima kasih Pabelan telah mengenalkan saya kepada sepak bola, dan mengajarkan saya bagaimana cara agar kita tetap memiliki badan dan jiwa yang sehat untuk terus mencari ilmu, menambah pengetahuan agar memiliki pemikiran yang bebas namun tetap memegang teguh prinsip-prinsip agama Islam.




Menghindari Salah Pergaulan
Lisa Noviana

“Pondok Pesantren”, nama yang sungguh “gak keren”. Begitulah  persepsi saya sebelum mengetahui lebih dalam tentang institusi pendidikan pondok pesantren. Tahun 1999 setelah lulus dari SMP Negeri 1 Ciputat saya –dengan sengaja- dititipkan di pondok pesantren tepatnya di Pondok Pesantren Pabelan oleh orang tua tercinta. Guna tidak mencederai hatinya, maka menurutlah saya. Terselip pada waktu itu suatu pembenaran secara sepihak, dari saya, bahwa saya adalah “korban” yang ‘perlu dibengkeli’. Menurut saya tidak seharusnya pada usia muda kebebasan (baca: kebahagiaan) saya tergadai (di pondok pesantren). Sungguh awal yang sulit bagi saya dari sisi manapun untuk mampu menerima pilihan kehidupan di Pondok Pesantren Pabelan secara utuh.
Banyak ketidaksesuaian yang dengan cepat muncul. Baru kali itu saya merasa sangat sulit beradaptasi dengan lingkungan baru setelah sebelumnya saya merupakan sosok yang supel dan mudah familiar dengan siapa saja. Pergaulan di Pabelan sangat berbeda dengan mekanisme pergaulan saya di kehidupan sosial sebelumnya. Belum lagi saya harus mengenakan kerudung (hijab rambut dan sebagian kepala untuk menutupi aurat perempuan). Hal yang sempat menjadi bahan olokan saya dan kawan-kawan saya dahulu. Intinya, sebaik dan sesempurna apapun materi yang Pabelan tawarkan dan asosiasikan kepada saya selalu naif dan sia-sia. Bagaimana saya dapat menerima semua itu jika awalnya saja saya sudah menganggap bahwa masuk pesantren adalah sebuah kesalahan. Akhirnya saya merasa terbelenggu. Merasa kesepian. Merasa tak tahu yang harus dilakukan kecuali mungkin bersikap seperti “robot” dan berharap semua hal ke-pesantren-an ini akan selesai dengan cepat.
Sampai kemudian saya menemukan sesuatu yang menarik dan layak untuk dijalani di Pabelan. Ternyata ruang gerak dan kebebasan saya tidak terkekang seperti saya bayangkan sebelumnya. Pabelan tidak pernah melarang siapapun santri yang ingin mengaktualisasikan dirinya, selama itu positif bagi kemajuan dirinya dan bagi lembaga. Bahkan saya tidak melihat lembaga pesantren seperti “penjara”. Aturan dan disiplin yang dibuat di Pabelan saya rasakan tidak untuk membatasi, namun untuk mengajarkan para santri agar bertanggungjawab atas segala hal yang dilakukan baik ucapan maupun perbuatan.
Setelah hari demi hari saya jalani kehidupan di Pabelan, persepsi saya tentang pondok pesantren ternyata kian keliru. Selama ini saya telah melakukan sebuah praduga tak bersalah terhadap sebuah institusi pembelajaran berbentuk pondok pesantren. Di luar itu semua, ternyata Ponpes Pabelan justru memberikan hal-hal positif, yang  tidak akan saya dapatkan bila menuntut ilmu di sekolah biasa (bukan pondok pesantren). Menariknya adalah, saya lantas tersulut untuk mencari. Pernyataan saya di awal yang menegasikan model pondok pesantren, khususnya Pabalan, menjadi relatif terbuka hingga jadi sebuah pertanyaan. Jika saya sendiri merasa ada hal positif dan negatif ketika berada di dalamnya ataupun andai saat itu saya tidak berada di dalamnya, mengapa?
            Pabelan nyata memiliki potensi besar dalam memberikan pendidikan formal, nonformal dan pembinaan agama kepada santri dengan tujuan agar menjadi muslim yang bertakwa kepada Allah SWT, mendidik santri memiliki kepribadian baik, juga mendidik santri menjadi manusia tangguh, mental dan spiritualnya hingga berkemampuan memberikan pengaruh positif di masyarakat yang pluralistis. Melalui berbagai kegiatan dan pendidikannya,  bukan tendensius, nyata terjadi proses eksperimentasi pribadi yang saya lakukan. Pabelan telah memberikan banyak manfaat pada kehidupan saya dalam lingkup masyarakat luas yang memiliki banyak perbedaan kepercayaan, keyakinan, prinsip, sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik. Pabelan telah memberikan dasar dan bekal yang layak.
            Santri mengikuti kegiatan muhadhoroh, suatu agenda nonformal yang dikemas secara apik sebagai sarana pelatihan public speaking. Pabelan sadar bahwa tidak semua orang memiliki kecakapan berbicara di muka umum dan tidak semua orang mempunyai kepercayaan diri untuk “menjadi yang pertama”. Kegiatan muhadhoroh ini menstimulasi  santri untuk berani unjuk gigi di depan umum tanpa malu-malu meski tak menafikan ada yang mendadak maridl karena takut tampil. Kegiatan muhadhoroh pada zaman saya tidak hanya sebatas pidato atau ceramah saja, namun ada juga yang berperan sebagai Master of Ceremony, entertainer (menyanyi atau puisi) dan audience. Meski berbeda-beda tugas dalam sebuah ruangan kelas yang dimodifikasi sedemikian atraktifnya, namun semua mampu memainkan peranan masing-masing dengan baik. Pembelajaran satu lagi yang didapatkan setelah muhadhoroh selesai yaitu, sinergi! Meski saya harus jujur bahwa manfaat terakhir ini baru akan terasa ketika saya berpisah dengan Pabelan dan meneruskan interaksi kehidupan di tempat lain. Tema dari setiap muhadhoroh pun dibuat dalam tiga varian bahasa yaitu bahasa Arab, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada pukul 19.30 WIB, bakda Isya sampai selesai. Saya paling benci mendapat tugas menyanyi karena saya sadar kualitas suara pas-pasan dan sanggup membuat bad mood orang yang mendengarnya. Tapi apa boleh buat, karena sudah ditunjuk akhirnya menyanyi  juga.
            Selesai dari Pabelan saya menjadi seseorang yang sesungguhnya tidak lagi saya kenal. Maksudnya positif, saya menjadi orang yang lebih bertanggungjawab dengan apa yang saya lakukan, dengan apa yang saya katakan. Jika sebelum menyantri di Pabelan saya adalah anak manja dengan ruang fasilitas yang tersedia dari orangtua, di Pabelan sebaliknya. Saya dituntut mengerjakan segala sesuatu sendiri, merapikan tempat tidur, mencuci dan menyetrika pakaian, hingga harus bergiliran untuk melakukan piket kamar tidur setiap satu minggu dua kali. Hal yang selama ini saya jumpai di rumah namun asing dilakukan. Semakin lama saya semakin nyaman dengan pola keteraturan di Pabelan dengan segala harmoni dan dinamikanya. Saya belajar bagaimana memakai kerudung (hijab rambut yang merupakan aurat perempuan yang harus ditutupi) dengan baik. Jika dulu saya menganggap dan berpendapat bahwa dengan kerudung pasti akan membatasi ruang gerak perempuan dalam bersosialisasi, ternyata keliru. Justru dengan berkerudung saya telah berupaya melindungi diri saya di dalam frame keislaman. Di Pabelan sekali lagi, saya dapatkan sesuatu yang berupa nilai ukhrowi, melengkapi nilai keduniawian yang selama ini saya jalani.
            Tahun demi tahun berjalan, ujian demi ujian dihadapi, baik formal (Madrasah ‘Aliyah) maupun nonformal (Takhasus, pondok). Sampailah saya dan kawan seangkatan pada akhir masa nyantri kami. Semua dilanda euforia, kendati perasaan kami jelas tak serupa. Bagi saya pribadi, empat tahun eksperimentasi nilai dan norma pesantren tanpa terasa telah mengganti kekecewaan saya belakangan dengan rasa antusias tinggi dalam menjalani kehidupan sebagai santri puteri di Pabelan. Walau telah berpisah dari Pabelan selama dua belas tahun, sebagai alumni yang masih belum dapat memberikan sumbangsih signifikan untuk Pabelan tercinta, saya merasa bahwa Pabelan menjadi bagian dari identitas saya.  Apabila di tahun pertama menyantri di Pabelan saya merasa begitu sulit menyesuaikan diri dan menerima nilai-nilainya untuk ditanamkan dalam euforia kebebasan masa-masa muda, ternyata justru di tahun terakhir jauh lebih sulit dari yang terbayang. Di tahun terakhir saya merasa Pabelan telah menjelma sebagai rumah kedua bagi saya setelah kediaman orangtua. Di tahun terakhir saya merasa ingin agar Pabelan lebih mendewasakan diri saya lagi. Di tahun terakhir saya merasa tidak ingin berpisah dengannya. Saya sudah nyaman. Saya merasa aman. Saya masih ingin dua perasaan itu tergali lebih dalam. Jujur, di tahun terakhirlah justru saya semakin haus ingin menempa diri lebih dalam.
            Cukup lama merenungkan perjalanan saya di Pabelan maka selama itu kenangan yang kuat sebagai santri sampai lulus. Di ujung pelepasan saya dan sejawat satu angkatan ‘99 sebagai “calon alumni santri” ponpes Pabelan, kami dikumpulkan dan diwejang oleh para kiai, guru dan pimpinan lembaga di sebuah ruangan “workshop” tepat di samping asrama Presiden depan kediaman Bapak KH Ahmad Mustofa, SH. Saya mungkin lupa detail acara tersebut namun saya dan kawan-kawan sesungguhnya diarahkan dan diberikan cakrawala pengetahuan bahwa hidup pasti akan terus berlanjut. Para Kiai, Guru dan Pimpinan percaya bahwa setiap alumni Pabelan akan turun dan terlibat aktif serta memberikan corak khusus terhadap dunia yang akan digeluti di luar. Karya terbaik adalah ketika nilai-nilai dan pesan Pabelan bisa tersampaikan dengan baik dan diterima oleh orang-orang lain. Pabelan telah memberikan pembelajaran yang terbaik sebagai bekal penting untuk tidak dilupakan oleh para alumni siapapun. Selanjutnya adalah tugas alumni, tugas kami seangkatan untuk membawa pesan Pabelan kepada dunia yang sangat beragam di luar otoritas Pabelan. Saya masih ingat perasaan lega itu. Setelah berakhirnya acara pelepasan tersebut membuat saya tidak lagi berat untuk berpisah dengan Pabelan, karena yang terpenting dari segalanya adalah akankah saya kehilangan nilai-nilai Pabelan yang sekian tahun disemai atau apakah saya terapkan dan kemudian saya bisa survival?.            
            Saat ini saya tengah dan masih akan terus berkarya di sebuah institusi negara. Di  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Penganalisis Masalah Hukum. Prinsip dan nilai-nilai Pabelan pun masih saya terapkan dalam keseharian, baik ketika berkarya di institusi atau saat berkumpul di tengah keluarga. Alhamdulillah saya telah menikah dan memiliki dua putera yang lucu dan menggemaskan. Kebetulan yang indah bahwa suami saya adalah alumni Pabelan. Kami  seangkatan dan suami saya dulu menjadi Ketua OPP Putra dan kebetulan saya Ketua OPP Putri.  Kami menikah tahun 2009 yaitu enam tahun setelah lulus dari Pabelan. Saat ini suami masih terus berkarya sebagai seorang peneliti di sebuah lembaga riset bernama Purusha Cooperatives di Jakarta sekaligus dosen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional di beberapa Universitas seputaran Jakarta Selatan, salah satunya adalah Universitas Paramadina.


Pabelan Membanggakan
Muhammad Citradi

Ketika panitia penerbitan buku ini menghubungi saya dengan menyertakan Term Of Reference (TOR)-nya langsung terbayang tingkat kesulitan penulisannya bagi saya. Bagaimana tidak, buku yang direncanakan terbit ini mempunyai harapan menjawab sebuah pertanyaan besar, Bagaimana Pondok Pesantren Pabelan pada kepemimpinan tritunggal? Atau dengan pertanyaan yang historis tetapi bersifat tendensius: Bagaimana Pondok Pesantren Pabelan sepeninggal KH Hamam Dja’far?.
Bagi saya pribadi berarti tulisan harus menggambarkan bagaimana kepemimpinan yang dijalankan oleh Bapak saya, Kakak saya dan seorang alumni yang dari kecil tentu saya sudah kenal, yaitu Pak Balya. Sudah barang tentu masyarakat, alumni dan orang selalu bercermin dan membandingkan dengan masa kepemimpinan sebelumnya yaitu masa kepemimpinan pakdhe KH Hamam Dja’far. Timbul masalah baru bahwa saya sendiri tidak tahu banyak tentang kepemimpinan beliau. Mungkin saya masih terlalu kecil saat beliau meninggal. Sulit saya menuliskan hal-hal di atas secara objektif. Namun, sebagai alumni Pondok Pabelan siapa yang tidak bangga ketika diminta menuliskan tentang almamater tercinta?
Tidak tahu mengapa seteah lulus dari SLTP Negeri 1 Muntilan Bapak dan Ibu saya mengharuskan saya mondok jika ingin tetap sekolah. Ya, mengharuskan. Artinya saya tidak boleh melanjutkan sekolah jika tidak di sebuah pondok pesantren. Padahal dua kakak saya belajar di SLTP dan SLTA Negeri. Sedikit cerita tentang SLTP Negeri 1 Muntilan. Entah sengaja atau tidak, kecuali KH Najib Amin, semua pimpinan Pondok Pabelan pernah menyekolahkan putranya di SLTP ini. Mas Faiz (KH Hamam Dja’far), Mas Faisol dan Mas Rois (KH Balya), Mas Adi, dan Saya (KH Ahmad Mustofa). Hanya Mas Faisol dan Saya yang setelah lulus SLTP Negeri 1 Muntilan melanjutkan ke Pondok Pabelan. Maka setelah lulus SLTP saya masuk ke Pondok Pabelan. Di kemudian hari saya sempat melanjutkan ke Pondok Modern Gontor tapi karena satu dan lain hal saya kembali ke Pondok Pabelan.
Mungkin Bapak dan Ibu merasa penting anaknya ada yang sekolah di Pondok Pabelan. Banyak wali santri yang memercayakan anaknya dididik di lembaga ini. Maka Bapak sebagai salah satu pimpinam tentunya juga harus percaya pada pendidikan lembaga yang dipimpinnya. Itu pemahaman saya ketika itu. Belum terbayangkan seperti apa model pendidikan di Pondok Pabelan ini. Walaupun dari kecil rumah dan hidup saya di dalam Pabelan tapi secara resmi saya tidak pernah tahu seperti apa pendidikan dalam pondok ini.
Saya mendaftar masuk Pondok Pabelan diantar oleh Kak Feri Husni, dia santri pengabdian atau disebut ustadz praktek. Seingat saya pendaftaran saat itu di depan Gedung Perpustakaan. Seperti santri lain yang masuk setelah lulus SLTP, saya harus masuk kelas persiapan atau disebut kelas takhasus. Saya mendaftar sebagai santri asrama, bukan santri melaju. Artinya harus tinggal di asrama bersama santri dari luar daerah, bukan pulang ke rumah seperti santri asli Desa Pabelan. Pada praktiknya saya lebih banyak pulang ke rumah. Baru nanti mulai kelas lima KMI saya benar-benar berasrama penuh.
Berbeda dengan ketika di SLTP teman-teman baru yang saya dapatkan berasal dari berbagai daerah. Tidak hanya penduduk sekecamatan atau se-kabupaten. Dari kecil saya tahu jika santri Pabelan berasal dari banyak penjuru nusantara, bahkan dari luar negeri. Tapi baru kali inilah saya mengalami secara langsung sebagai santri dan mempunyai teman dari berbagai daerah. Pada awal-awal sekolah, tidak ada yang tahu jika saya asli Pabelan. Tidak butuh waktu lama mereka tahu bahwa saya asli Pabelan dan anak salah satu pimpinannya. Tepatnya hanya setelah Khutbah Iftitah selesai. Itu saat orang-orang yang sebelumnya saya kenal sebagai tetangga ataupun “Mas Santri dan Mbak Santri” menjadi ustadz-ustadzah saya dan kakak-adik kelas saya. Jujur ada perasaan lucu dan aneh. Paling rancu adalah ketika harus bertemu Mas Najib sebagai pimpinan dan Mbak Ulfa sebagai guru English Lesson di kelas. Karena saya harus memanggil keduaya dengan pak-bu atau ustadz-ustadzah. Saya harus terbiasa memanggil kakak kelas yang menjadi pengurus OPP (Organisasi Pelajar Pondok) dengan panggilan “Kak”. Saya harus memanggil guru-guru dengan “Tadz”. Senioritas sangat terasa di pondok. Hal yang tidak saya rasakan ketika di SLTP dahulu. Saya belum paham bahwa kakak-kakak OPP inilah yang sehari-hari membantu pimpinan menjalankan roda pendidikan pondok. Ternyata berbeda jauh dengan tugas pengurus OSIS di sekolah umum. Para pengurus OPPP ini yang membantu adik-adiknya belajar. Mereka mengajar kegiatan ekstrakulikuler, sedangkan ustadz praktek membantu mengajar pada jam KBM. Itu semua sudah sering saya dengar namun sangat asing dijalankan. Tentu seperti santri lainnya, saya juga membanggakan atau paling tidak membandingkan Pondok Pabelan dengan sekolah saya sebelumnnya.
Melihat santri tidur di kelas, seragam yang ketika itu masih diperbolehkan bebas asal warna bawahan lebih tua dari warna atasan, apalagi melihat nilai akademis santri, saya merasa superior dibanding mereka. Nilai saya lebih bagus. Saya merasa bahwa banyak kekurangan lembaga pendidikan ini. Pokoknya beda sekali dengan sekolah umum. Tetapi yang aneh, teman SLTP saya bercerita sebaliknya. Di kemudian hari saya menyadari bahwa santri-santri Pabelan ini walau dengan nilai yang pas-pasan ketika masuk tapi mereka adalah manusia-manusia super. Coba saja bandingkan jumlah pelajaran dan kegiatan para santri dengan para siswa sekolah umum. Hebatnya setiap tahun masih saja Pondok Pabelan masuk menjadi salah satu sekolah dengan nilai kelulusan terbaik bahkan berkali-kali menjadi yang tertinggi di tingkat kabupaten. Dengan berjalannya waktu terbukti jika nilai ijazah pemerintah tidak menjadi jaminan seorang santri kuat atau mampu dalam pelajaran pesantren yang penuh ini. Saya yang masuk dengan nilai tertinggi hanya naik kelas dengan predikat negatif. Sebuah standar kenaikan yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya. Selama ini hanya ranking. Sedangkan di Pondok Pabelan, ada predikat lain, positif, negatif, percobaan dan tinggal kelas.
Semakin lama nyantri, semakin lupa sekolah saya terdahulu. Mindset sudah berubah dengan cara-cara santri. Lidah saya tidak kaku lagi memanggi guru dengan kata “ustadz”. Saya sudah semakin terbiasa memosisikan diri. Tentu saja walaupun saya mengaku bahwa saya sama dengan santri lain, tetap saja banyak kekhususan bagi saya. Lagipula siapa yang akan mengejar saya kabur jika saya pulang ke rumah? Hal tersebut yang di kemudian hari baru saya sadari merupakan kerugian terbesar bagi saya sendiri.
Selama nyantri, banyak hal berubah dalam pandangan saya terhadap pelajaran. Dulu selalu memikirkan bagaimana nilai ujian, niai ulangan, terutama pelajaran-pelajaran kedinasan seperti Matematika, Sejarah, Geografi dan lain-lain. Ternyata pelajaran-pelajaran kedinasan tersebut masih jauh lebih mudah dibanding pelajaran Pondok. Belum lagi ujian lisan, santri harus bertatap langsung dengan guru penguji. Hal ini yang menurut saya membuat para santri Pondok Pabelan bermental lebih tangguh. Para santri terbiasa dengan proses interview dan menghadapi ujian langsung. Kenaikan kelas di Pondok Pabelan tidak hanya ditentukan oleh nilai pelajaran semata. Kelakuan dan akhlak lebih mendominasi. Itulah suluk. Seberapapun nilai kita, sepintar apapun kita tidak ada gunanya jika pada rapat kenaikan yang dipimpim langsung oleh ketiga pimpinan menentukan bahwa solah bawa muna muni kita tidak baik. Paling mentok kalau naik kelas, hanya mendapat predikat percobaan.
Bukanlah pelajaran kelas apa yang saya dapat yang paling berkesan, tapi bagaimana saya hidup bergaul dengan santri-santri lain itu yang paling berkesan. Dalam kehidupan berasrama, tanpa disadari para santri dididik menjadi pemimpin-pemimpin masa depan. Para santri diajari cara menyelesaikan permasalahan hidup. Paling penting adalah kemandirian, tetapi sayang, justru itu hal yang paling tidak saya dapatkan. Saat memasuki kelas lima KMI, saya menjadi Pengurus OPP. Masuk dalam struktur sebagai Bagian Keamanan. Setelah dua tahun saya belajar untuk diatur-dipimpin. Sekarang saatnya belajar mengatur-memimpin. Inilah menurut saya saat-saat paling berpengaruh bagi seorang santri Pondok Pabelan. Di sini pula santri akan terpengaruh pola kepemimpinan pimpinan pondok. Para pengurus harus bertanggung jawab atas bagian masing-masing sekaligus bertanggung jawab atas jalannya roda pendidikan dan kedisiplinan pondok. Meskipun sudah menjadi pengurus, posisinya masih sama, yaitu seorang santri yang masih belajar di kelas.
Jikalau pengurus OSIS di sekolah mengurusi ketika jam sekolah, maka pengurus OPPP membantu pimpinan mengurusi santri dalam waktu 24 jam. Semua disiplin, agenda, acara-acara pondok OPP inilah yang menjalankan. Bahkan untuk beberapa pengurus sudah ada yang ikut membantu mengajar pelajaran sore atau les. Hal-hal di atas membuat pengurus harus berani mengeksekusi aturan atau bahkan memutuskan sesuatu. Tentu dibutuhkan keberanian untuk memutuskan apa saja. Di sinilah santri ditempa jiwa kepemimpinannya. Satu sisi mereka masih santri yang dididik oleh pimpinan dan ustadz, pada sisi lain mereka harus turut mendidik adik-adik kelasnya. Tanggung jawab pengurus OPPP dapat dikatakan berlipat ganda. Ini menjadikan kenaikan kelas lima KMI menuju kelas enam merupakan momentum yang sakral lagi menentukan. Banyak santri yang keluar di kelas-kelas ini. Jika mereka tidak naik kelas, maka mereka akan menjadi teman sekelas “anak buah”-nya, orang yang dulu mereka urus. Tekanan seperti itu menurut saya menjadikan para alumni Pondok Pabelan lebih dewasa.
Sebagai bagian keamanan, saya bertanggung jawab atas keamanan, kedisiplinan yang berjalan di Pabelan. Mulai dari membangunkan santri hingga menertibkan santri untuk tidur, belum lagi tugas jaga malam yang digilir untuk semua pengurus. Mencari anak yang kabur, menindak pelanggaran yang terjadi, membuat laporan pelanggaran yang disampaikan pimpinan. Namun sebagai seorang santri juga tentunya saya dan para pengurus lain masih melakukan pelanggaran. Di situ saya banyak belajar tentang organisasi dan juga hierarki organisasi. Harus tahu diri dan dapat memosisikan diri dengan tepat. Harus tahu mana urusan pribadi dan urusan bersama (organisasi). Sayar rasa proses-proses inilah hal yang membekas bagi santri. Ini terbukti dengan banyaknya alumni yang menduduki posisi-posisi penting di organisasi pada waktu setelahnya seperti di kampus atau di masyarakat. Para alumni terbiasa dengan pengorganisiran suatu hal. Hemat saya paling tidak ada tiga atau empat teman seangkatan yang menduduki posisi tertinggi organisasi di kampusnya.
Semester genap kelas enam KMI pengurus OPPP digantikan oleh adik kelasnya. Kini kelas enam KMI tidak lagi berwewenang mengurusi kedisiplinan Pondok, guna fokus pada Ujian Nasional (UN). Selain menggunakan sistem KMI seperti Gontor, Pabelan menggunakan sistem kedinasan, MTs dan MA. Santri tertua tapi tanpa kedudukan apa-apa, maka saatnya menjadi manusia yang empan papan. Mereka harus rela diatur kembali oleh adik-adiknya. Tentu saja post power syndrome merupakan sebuah keniscayaan. Tanpa disadari, mungkin ini membantu para santri menjadi tahu diri dan tidak gila kekuasaan. Dari seorang yang punya hak penuh mengurusi, menjadi seorang yang tidak punya hak lagi. Dimulai dari sini pula para alumni membandingkan antara angkatannya dengan angkatan-angkatan setelahnya. Ini pula yang di setiap acara alumni menjadi ajang perbincangan menarik tentang pengalaman mondok masing-masing.
Setelah lulus dari Pabelan, saya mencoba mendaftar kuliah di Universitas di Jogja. Saya tidak melakukan pengabdian. Ternyata tidak diterima, saya dan beberapa teman seangkatan nekat mendaftar untuk kuliah di Mesir, Universitas Al-Azhar. Ketika sampai di Mesir itulah terasa bahwa teman-teman saya jauh lebih mandiri dibanding saya yang nyantri di rumah. Mereka terbiasa jauh dari rumah. Mereka lebih mandiri dan dewasa menghadapi permasalahan dibandingkan dengan saya. Jiwa berdikari yang ditanamnkan Pabelan terejawantahkan penuh di sini.
Tidak tahu mengapa, ternyata tidak saya temukan kakak kelas yang kuliah di Al-Azhar. Ada satu orang teman seangkatan saya yang mendapat beasiswa ke Al-Azhar dari tingkat Madrasah Aliyah. Di sinilah kepercayaan diri saya mulai runtuh. Sebuah pesantren sebesar Pabelan tidak mempunyai jaringan alumni di Mesir. Sedangkan banyak pondok lebih muda atau lebih kecil sudah mempunyai jaringan alumni yang kuat. Kami serombongan diminta untuk menerjemahkan kembali ijazah kami dengan menjadikannya sebagai Madrasah Aliyah Negeri (Hukumiyah). Selama nyantri setahu saya ijazah Pondok Pabelan sudah mu’addalah ‘diakui, disamakan’ seperti Gontor ternyata tidak.
Mulailah tersasa bahwa Pabelan tertinggal dari pondok lain. Saya berpikir, paling tidak sampai pada angkatan ketika saya lulus sudah ada empat orang yang berangkat ke Amerika untuk pertukaran pelajar. Namun hanya satu orang yang ke Mesir. Mungkin saya salah, tapi bukankah seharusnya Pabelan seperti lembaga Islam lain bekerjasama atau mengirim alumninya ke Timur Tengah lebih prioritas dibanding ke Amerika atau Eropa? Bukankah sebagai salah satu pondok alumni Gontor, seharusnya Pabelan masih berada dalam satu rel? Jika dilihat dari sistem pendidikan, sistem pondok modern adalah mengikuti sistem pendidikan Al-Azhar. Ketika di Mesir saya mengikuti tausiyah Ustadz Syukri Zarkasyi pengasuh pondok Gontor. Beliau selalu berkata bahwa Gontor adalah kepanjangan tangan dari Al-Azhar di Indonesia.
Saya dapat membandingkan perbedaan alumni Pabelan generasi pertama dengan alumni generasi kedua. Sangat terasa jika dalam dirasat islamiyah alumni generasi kedua berbeda. Ini saya rasakan dalam mengikuti perkuliahan di Mesir. Teman-teman alumni seperjuangan di Kairo pun merasakannya jika pelajaran di pondok kami tertinggal. Hal ini tentu membuat kami down, kesulitan mengikuti pelajaran. Tapi bukan alumni Pabelan kalau masalah seperti itu saja menjadi minder. Walaupun dalam akademis tidak, alumni Pabelan cukup memberi warna di organisasi-organisasi mahasiswa di Mesir. Sayangnya setelah angkatan kami  pulang, belum ada alumni yang melanjutkan jenjang pendidikannya ke Mesir.
Ketika di Mesir setiap mendapat info dari rumah yang memberi tahu kalau ada alumni senior hadir di Mesir untuk perjalanan dinas maupun penelitian, kami usahakan menemuinya. Beberapa yang saya ingat adalah Pak Uki Sukiman yang melakukan penelitian, begitu juga dengan Bu Annisa Ridwan. Kak Andi mantan ketua IKPP Jakarta yang dulu rumahnya dijadikan markas IKPP sempat akan mengambil S2 namun karena masalah birokrasi menjadi gagal. Rasanya senang sekali bertemu sesama alumni Pabelan. Terakhir bertemu dengan Profesor Sangidu, guru besar UGM yang ditugaskan menjadi atase pendidikan KBRI Kairo. Walau tidak sampai tamat beliau pernah mondok di Pabelan untuk beberapa tahun.
Sepulang dari Mesir saya ikut nyantri di Pondok Pesantren Darussalam Ciamis, Pimpinan KH Fadhil Munawwar Mashur. Beliau alumni Pabelan, juga putra- putri beliau.  Di Ciamis saya mendapat cerita tentang Kiai Hamam dari Kiai Fadhil. Pesantren Darussalam Ciamis adalah pesantren modern juga. Saya menemukan papan nama pesantren yang sama dengan Pabelan, menggunakan kata “Balai Pendidikaan Pondok Pesantren”. Setelah dari Ciamis saya ditugaskan Kiai Fadhil mengajar di pesantren beliau di Yogyakarta, yakni Pesantren Darul Hikmah di Pakem, Sleman. Tidak pernah saya bayangkan dalam mengajar di pesantren ini hampir tidak menggunakan pelajaran kuliah saya. Justru lebih banyak menggunakan pengalaman nyantri di Pabelan. Apa yang saya lakukan di Pakem sini lebih ke arah membangun sistem pesantren itu sendiri. Apa yang saya didikkan ke santri adalah apa yang saya dapatkan di Pabelan dahulu seperti muhadhoroh, organisasi, disiplin dan hal-hal keseharian santri.
Latihan mengurus santri ketika menjadi OPP membuat saya terbiasa mengurusi santri. Hal-hal yang saya anggap remeh ketika dulu nyantri ternyata sangat berguna dalam penerapannya sekarang. Tidak semua orang dapat menjalankannya. Namun dengan bekal nyantri di Pabelan sedikit demi sedikit saya dapat menerjemahkan bagaimana saya harus mengajar. Kadang hal yang sepele bagi seorang alumni pondok merupakan hal yang lebih bagi orang lain.
Semua alumni Pondok Pabelan tentu tahu apa itu Khutbah Iftitah, atau Khutbatul ‘Arsy. Setiap awal tahun seluruh santri termasuk para ustadz dan ustadzah wajib mengikutinya. Ceramah dari tiga pimpinan dengan isi yang diulang-ulang. Seorang alumni yang lulus Pabelan pasti mengikuti rangkaian Khutbah Iftitah sebanyak minimal empat kali jika masuk setelah SLTP atau enam kali jika masuk dari SD/MI. Seolah membosankan namun justru sekarang saya memetik hasilnya. Ternyata Khutbah Iftitah yang berulang-ulang itulah yang mendoktrin santri hingga paham betul apa itu pondok lantas menjadikan sunah-pondok terjaga hingga saat ini. Sekarang saya jadi tahu mengapa santri yang tidak mengikuti Khutbah Iftitah akan dihukum berat bahkan mungkin dikeluarkan.
Jika mengingat masa-masa nyantri di Pabelan tidak jarang timbul keinginan untuk mengulang masa-masa itu lagi. Masa paling berkesan dan membekali diri saya dengan ilmu-ilmu kehidupan yang sangat berguna untuk bekal terjun ke masyarakat. Setelah menjadi alumni dan bertemu dengan banyak alumni Pabelan, ada alumni yang merasa makin ke sini makin banyak berubah. Kedisiplinan santri biasa menjadi hal hangat untuk dibicarakan atau dibandingkan. Sebab  kedisiplinan ini akan berpengaruh langsung pada kualitas santri. Kritik-kritik yang konstruktif maupun yang destruktif akan selalu terlontar.
Namun renungan setelah saya mengajar di pondok lain adalah semenurun apapun atau sejelek apapun perbandingan zaman saya nyantri dibandingkan dengan zaman setelahnya, ternyata itu masih jauh lebih baik dibanding mondok di tempat lain. Mungkin kita lupa bahwa perubahan zaman tidak akan pernah bisa dihentikan. Seperti kata KH Hamam Dja’far, hal yang tidak akan pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Namun saya yakin jika alumni dapat menerjemahkan nilai-jiwa Pabelan di manapun tempat dan di setiap waktu mereka berada. Sebab didikan selama nyantri di Pondok Pabelan membuat para alumninya fleksibel tanpa kehilangan ketegasan pada prinsip-prinsipnya. Pabelan memang membanggakan.


Prepare The Future
Malikhatun Nisa’

Jika dicermati keberadaanya pesantren merupakan institusi pendidikan yang melekat dalam kehidupan warga Indonesia. Pesantren yang dengan sistem dan karakteristiknya, telah menjadi bagian dari masyarakat, umumnya di pedesaan. Pabelan salah satunya. Hal khusus yang melekati Pabelan adalah diperbolehkan anak aseli desa Pabelan untuk turut serta mengenyam ilmu di Pesantren Pabelan. Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) Pondok Pesantren Pabelan tidak hanya merupakan rumah bagi para santri untuk menimba Ilmu Dunia dan Akhirat, akan tetapi juga sebagai “Community Learning Centre” bagi masyarakat Desa Pabelan pada umunnya.
Penulis tidak dapat mendiskripsikan model pendidikan di Pondok Pabelan dengan objektif karena penulis merasa menikmati setiap detail proses pembelajaran yang ada. Pembelajaran yang terjadi humanis, elegan, terpadu dengan lingkungan masyarakat desa Pabelan.  Lunak, tidak kaku, dan selalu menemukan inovasi sesuai perkembangan dunia pendidikan. Itulah yang dapat saya pahami sejauh saya belajar di Pabelan. Dari sisi akademik, Kulliyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (KMI) sudah disetarakan dengan SMA/SMU/MA sesuai dengan SK Mendiknas tahun 2005. Maka dapat dibayangkan berapa banyak jumlah mata pelajaran yang kami ikuti dalam setiap minggu, perpaduan materi nasional plus materi KMI.
Tidak ada yang berbeda dalam proses belajar dan mengajar meski kami terkategorikan santri Asrama dan santri Melaju. Semua diperlakukan sama, beban pelajaran yang sama, halaman hafalan sama, dan deadline hafalan sama. Semua indah, semua sempurna bagi saya, belajar Ilmu Agama, Sosial dan Manajemen kepribadian. Bagi saya yang terkategorikan santri Melaju alias Pabelan asli tetap berpendapat bahwa pembelajaran di Pondok Pesantren Pabelan adalah 24 jam. Jangan tanyakan apa saja yang kami lakukan seharian, termasuk di rumah dan keluarga yang terampas hak bermainnya karena beban pelajaran.  Namun kami sangat menikmati setiap detail proses yang ada, terutama kegiatan ekstrakurikulernya.
Model  extracurricular wajib dan  extracurricular pilihan membuat saya serasa sedang memilih Education Games. Tidak ada kompromi, extracurricular wajib harus kami ikuti, no matter how tired we are! We just asked to do it. Akan tetapi, semua rasa lelah saat itu, sungguh bisa saya rasakan saat ini manfaat yang sangat luar biasa. Meskipun tidak berasrama, tapi kegiatan ekstra kami santri Pabelan dimulai sejak subuh. Yang paling membuat saya disiplin secara pribadi adalah kanis pagi, menyapu halaman pesantren dari segala penjuru, di pagi-pagi buta tepat seusai adzan subuh dan menggunakan seragam resmi sekolah full jilbab resminya. How fantastic we are!. Kegiatan ini hanya untuk para santri melaju yang asli Pabelan. Bagi saya, kanis pagi mengajarkan saya sebagai anak putri untuk dapat bangun sepagi mungkin dan bergerak positif sebaik mungkin.
Proses pendidikan sekolah dengan waktu terpanjang hingga tujuh tahun. Itu semua terkontrol dan tersistem dalam hidup saya. Masa Madrasah Tsanawiyah (MTs) selama tiga tahun, selanjutnya masa Madrasah Aliyah (MA) selama 3 tahun ditambah masa pengabdian satu tahun tidak menjadikan bosan ataupun jenuh.  Masa pengabdian adalah the real down to earth kami dengan seluruh santri dan juga masyarakat, terutama para ibu-ibu penyetor lauk penyemangat makan para santri. Tidak ada yang sia-sia ketika semuanya dilakukan dengan hati ikhlas. Gambaran tentang beratnya pelajaran dan banyaknya kegiatan justru membuat diri ini semakin tertempa dengan baik. Berada di Pabelan membuat saya belajar banyak hal; bersosialisasi dengan ratusan karakter yang berbeda, bertoleransi dengan sebaik-baiknya dan belajar mensiasati diri sendiri ketika dihadapkan dengan masalah, baik secara pribadi maupun organisasi.
Banyak faktor bagaimana seseorang berproses untuk menemukan jati dirinya masing-masing. Bagi saya, berorganisasi di Pondok Pabelan adalah faktor utama yang membuat saya mengerti tentang dewasa diri, hati dan pola berfikir. Berorganissai sejak dini di Organisasi Pelajar Pondok (OPP) luar biasa manfaatnya bagi saya. Organisasi yang dibangun bukan hanya untuk menduduki jabatan, tetapi untuk dapat mengekspresikan ide-ide dan gagasan demi kelancara setiap program-program kerja yang ditawarkan pada setiap bagian. Proses di OPP adalah proses pendewasaan menyeluruh.
Menjadi ketua OPP putri melaju saya jalani pada tahun 2004 – 2005. Pada tahun inilah pendewasaan saya dimulai, melatih menyelesaikan sengketa pendapat teman seorganisasi, mendampingi para santri melaju belajar bertanggung jawab atas semua kegiatan yang ada. Sungguh itu pengalaman mahal yang pernah saya lalui di Pondok Pabelan. Menjadi ketua OPP melaju tak ubahnya menjadi “lurah kecil” dengan masyarakat santri melaju putri. Dari proses membuat program kerja, melaksanakan sekaligus mengamati serta tentu saja kami semua belajar mengevaluasi setiap kegiatan yang telah disahkan dan telah dilaksanakan. Yang paling mendasar adalah memiliki tanggung jawab benar-benar terasah di sini.
Tidak, mungkin saya dapatkan proses pendewasaan di atas jika saya hanya “biasa” saja di Pondok Pabelan. Pondok Pabelan, terima kasih atas segala proses di dalammu.
The most favourite extra curricullar in my mind, Mukhadhoroh. Kegiatan yang dilaksanakan seminggu dua kali pada malam Senin dan malam Jum’at itu luar biasa bisa membantu saya secara pribadi belajar public relation secara alami, tanpa terencana. Mengikuti mukhadloroh pada awalnya memberatkan, terlebih ketika mendapat bagian bertugas pidato, entah itu bahasa Arab atau Inggris. Meskipun demikian, secara pribadi saya sangat menikmati proses yang ada.
Berbicara di depan publik bagi sebagian orang adalah hal yang paling ditakuti, bukan karena tidak bisa, akan tetapi malu.  Sebagai cerita, ketika awal masa kuliah, ada malam keakraban atau lebih dikenal dengan istilah Makrab. Setiap kelompok diminta mengirimkan perwakilannya untuk mengikuti English Speech Contest. Diskusi pun dimulai, dan tidak ada satupun dari kami bersepuluh yang bersedia mengikuti lomba. Akhirnya saya mengajukan diri untuk menjadi perwakilan, bukan karena saya terpandai, akan tetapi saya merasa tidak ada yang aneh dengan English Speech. Bertahun-tahun itu saya lalui di Pabelan, maka tidak ada alasan bagi saya untuk menolak mempraktikkan ilmu di luar Pabelan.  Ternyata ar hal tersebut membuat saya merasa dilihat “beda” oleh teman-teman, karena  dipandang lebih percaya diri.
Setelah resign menjadi Ketua OPP melaju putri, pada tahun 2005 saya diberi amanah untuk menjadi ketua karang taruna Ikatan Generasi Islam Pabelan (IGIP) Pabelan Empat. Bukan perkara mudah, karena hal ini saya rasakan terlalu awal, dengan status anak kelas dua MA. Singkatnya, semua saya jalani sampai habis masa satu tahun, dengan pola kegiatan yang tidak jauh berbeda ketika menjadi ketua OPP Melaju putri. Benar-benar ilmu yang luar biasa.  Memulai forum, mengantarkan forum dan menutup forum dengan sangat hati-hati dan percaya diri.
Saya meneruskan pendidikan di bidang pendidikan. Saat selesai dengan percaya diri mendaftarkan diri untuk kembali ke pesantren. Tidak ada yang saya kurangi metode yang pernah saya dapatkan ketika menjadi santri, selain hanya memodifikasi beberapa metodenya. Benarlah, saya merasakan bahwa ketika saya berdiri di depan kelas, nampaklah betapa mata para santri itu sama seperti saya dulu: memiliki harapan besar dan membutuhkan ilmu untuk diaplikasikan setelahnya. Karena pilihan memang harus dipilih, maka tiga tahun kemudian, saya memutuskan untuk melanjutkan pengabdian saya di luar pesantren.
Banyak pengaruh pembelajaran di Pabelan yang saya rasakan pada dunia kerja saya sekarang, meskipun berbeda dari disiplin ilmu saya. Ada hafalan mahfudlot yang selalu menginspirasi, “ Cobalah dan perhatikanlah, maka kamu akan menjadi orang yang mengerti”. Kini dan mendatang saya akan tetap percaya diri untuk menyelesaikan pekerjaan dalam disiplin atau bidang apapun. Tidak saya bayangkan, banyaknya hafalan mahfdulot dulu itu justru dapat saya pahami dan alami dalam dunia nyata setelah 10 tahun kemudian.

Inspirasiku Pabelan
Arlian Buana
Sering saya gelisah melihat perilaku orang yang mengaku muslim di internet.  Di tengah kesibukan saya mengelola mojok.co, sebuah media online, hampir setiap jam saya menyaksikan kebencian dan kemarahan yang direproduksi atas nama Islam. Orang-orang yang mengaku muslim itu gemar sekali berteriak penuh kemurkaan, dan mudah mengafirkan orang lain.    
Perkembangan teknologi memang seperti dua mata pisau. Ia bisa bermanfaat, bisa juga  berbahaya. Termasuk internet. Di satu sisi ia berguna untuk mempermudah komunikasi. Namun di sisi lain, seperti akhir-akhir ini kita saksikan, internet adalah media paling efektif yang digunakan Islamic State of Iraq-Syiria (ISIS) untuk menebarkan propapaganda kebencian dan peperangan. Termasuk di negeri ini, kita dengan mudah menemukan “ustadz-ustadz” yang gemar sekali menebar amarah dan ancaman.
Menimbang fenomena tersebut, saya tidak tahu akan seperti apa wajah Islam-Indonesia ke depan. Indonesia adalah negara demokratis dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dan Islam-Indonesia, selama ini dikenal sebagai Islam yang ramah, yang rahmatan lil ‘alamin, bukan yang hobi marah-marah. Namun rasanya, citra yang baik tersebut mungkin perlahan-lahan akan hilang jika melihat apa yang menjadi mainstream di berbagai media sosial seperti Facebook dan Twitter:  munculnya gelombang besar generasi muslim yang membabi-buta, suka menyerang kelompok yang berbeda. Padahal kalau ditelusuri, pemahaman agama kelompok ini hanya sebatas didapatkan dari Google.
Untuk menahan derasnya arus kebencian itu, beberapa orang harus mengambil inisiatif dengan membuat dan memperbanyak konten yang mencerahkan. Saya percaya, banyak sekali orang baik yang jengah terhadap ulah para makelar kebencian. Dan saya yakin, kelompok santri adalah kelompok yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk melawan pendangkalan Islam di internet, kemampuan berdakwah dengan cara yang baik, dengan mau’izhah hasanah
Ketika beberapa teman mengampanyekan Gerakan #AyoMondok di berbagai media sosial, dengan senang hati saya mendukung dan ikut bersuara. Gerakan itu penting, agar anak-anak muda—yang selama ini menerima informasi-informasi yang keliru tentang Islam—mau belajar di Pondok Pesantren, mendalami Islam dengan cara yang benar, belajar sampai ke akar-akarnya, bukan belajar dengan metode serampangan mengandalkan mesin pencari. Ketika mendapati orang-orang yang sibuk bilang bahwa si X kafir atau si Y bukan Islam, saya selalu ingat lagi kisah yang pernah saya dapat semasa nyantri dulu. Kisah Kiai Hamam ketika mendirikan Pondok Pabelan selalu menginsipirasi saya.
Di usia 25 tahun, beliau berkeliling ke rumah warga di desanya yang ketika itu kebanyakan tidak memiliki jendela. Sebagian besar warga Pabelan masa itu meyakini: rezeki masuk lewat pintu, lantas jendela dan segala jenis ventilasi akan membuat rejeki itu kabur lagi ke luar. Kiai Hamam dengan sabar memberi penjelasan tentang pentingnya sirkulasi udara dalam rumah, sehingga rumah tanpa ventilasi alih-alih mendatangkan rejeki justru mengundang penyakit. Selain itu, beliau menyampaikan keinginan untuk membangun pesantren dan meminta putra-putri warga Pabelan untuk dididik beliau. Akhirnya ada 35 orang anak Pabelan yang bergabung menjadi santri pemula, salah satunya adalah mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat.
Selain belajar berbagai macam ilmu dasar, ke-35 orang santri itu diajak Kiai Hamam ke Kali Pabelan. “Ayo Islamkan batu-batu itu!” perintah Kiai Hamam. Meng-Islamkan batu? Ah, yang benar? Bagaimana caranya?
Batu-batu di Kali itu kemudian diambil, diangkut ke kompleks Pondok Pabelan. Sebagian dimanfaatkan sebagai fondasi masjid, membuat beberapa bangunan, dan sebagian lain dijual kepada pihak yang memerlukan untuk ditukar dengan alat-alat tulis. Begitulah batu-batu di-Islamkan oleh Kiai Hamam bersama santri awal.
Selama belajar di Pabelan, saya sering sekali mendengar kisah itu diulang-ulang para guru, dengan berbagai varian, berikut pelajaran untuk meng-Islamkan segala sesuatu. Kiai Hamam tidak muluk-muluk dalam mengajarkan Islam kepada santri-santrinya. Cukup dengan menunjukkan bagaimana meng-Islamkan batu, juga meng-Islamkan segala sesuatu, meng-Islamkan seluruh alam, meng-Islamkan sekalian manusia. Hal ini berkebalikan  dengan beberapa orang yang mengaku dan dipanggil “ustadz” tetapi gampang mengafirkan orang lain ataupun melabeli sebagai bukan Islam.
Bila kiai Hamam mengajak meng-Islamkan maka ‘ustadz-ustadz’ di internet itu justru sibuk mem-Bukan-Islam-kan. Saya pikir kita semua mengerti, sikap mana yang harus kita ambil.



Warna Pendidikan di Pabelan
Qurota Ayuni
Dalam dunia pendidikan, keberadaan pesantren merupakan fakta tak terbantahkan dalam keikutsertaannya dalam mewujudkan terciptanya bangsa yang cerdas sesuai dengan pembukaan UUD’45.  Kedudukan pondok pesantren dalam sistem pendidikan Indonesia telah diatur dalam UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 tentang pendidikan keagamaan pasal 30. Bahwa pondok pesantren merupakan salah satu bentuk dari pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan (ayat 1), serta dapat diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal (ayat 3). Pada 28 Agustus 1965 didirikanlah Pondok Pesantren Pabelan oleh K.H. Hamam Dja’far (almarhum). Seiring dengan perkembangannya, wajah Pabelan sedikit berubah setelah adanya perubahan sistem pendidikan dari KMI murni ke sistem pendidikan yang digunakan di sekolah negeri ataupun swasta. Perubahan ini diawali tahun 1989 ketika terdapat tuntutan dari masyarakat untuk menghendaki ijazah yang dulu tidak pernah dipakai oleh Pabelan. Kemudian pada tahun 1991 direalisasikan perubahan tersebut.
Pada awalnya, KMI Pabelan berdiri bersamaan dengan berdirinya Pondok Pabelan dengan kurikulum yang diserap dari pesantren Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Hal ini yang menjadikan persamaan antara Pabelan dengan Gontor.Tapi yang membedakan adalah orientasi Pabelan yang lebih mengacu kepada kemasyarakatan yaitu dengan tidak adanya sekat yang mencolok antara masyarakat dengan pondok. Namun demikian, nuansa sentralistik dalam dunia pendidikan dan adanya keharusan lembaga pendidkan untuk berafiliasi ke pusat, bahkan termasuk lembaga pondok pesantren yang mengelola lembaga pendidikan umum. Perkembangan yang terjadi dari awal berdirinya pesantren hingga saat ini telah diwarnai oleh banyak pola. Pada tahun tujuh puluhan masuk pola pendidikan dan keterampilan, yang menjadikan pesantren memperoleh pengalaman di bidang ini. Lalu pada tahun delapan puluhan, masuk pola Institut Pembangunan Masyarakat (IPM) yang menjadikan para pengasuh lebih mampu menyerap sistem riset dan pengembangan masyarakat. Kemudian pada tahun sembilan puluhan masuk pola Tsanawiyah dan Aliyah hingga sekarang ini (Dialog, 2000). Sesuai dengan misi Pondok Pabelan, yaitu; menyelenggarakan pendidikan formal dengan kurikulum pesantren yang disesuaikan dengan pendidikan nasional.
Hal ini sempat saya alami ketika belajar di Pabelan tahun 2001, saat itu saya masih kelas satu MTs. Nilai rapor atau hasil belajar pada setiap akhir triwulan dikirim langsung ke alamat rumah masing masing siswa. Dengan berbentuk selembar kertas dan ditulis dalam bahasa Arab. Nilai yang ditulis pun benar-benar murni tanpa ada bantuan dari guru mata pelajaran. Ketika saya menginjak kelas 3 Mts, sistem yang diadakan mengikuti Diknas pun berubah. Mulai dari pergantian tri wulan menjadi semester, jumlah pelajaran KMI yang mulai berkurang, hingga sistem pengisian raport yang mulai mengikuti sekolah umum dan swasta lainnya. Dengan masuknya beberapa pola yang ada ini, menjadikan  pesantren mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Setelah wafatnya K. H. Hamam Dja’far pada tahun 1993. Kepemimpinan pesantren berada dibawah K.H. Ahmad Mustofa, K.H. Muh. Balya dan K.H. Ahmad Najib Amin. Perubahan demi perubahan sedikit demi sedikit muncul, sejalan dengan kemajuan pembangunan, Pabelan telah membuka isolasinya terhadap pengatahuan umum, sehingga lengkap lah ilmu pengetahuan yang diperoleh para santri. Pastinya jumlah mata pelajaran pun semakin beragam. Para santri tidak hanya mempelajari pelajaran KMI murni seperti imla’, khot, mahfudzot, mutholaah, balaghah, dll. Tetapi para santri juga mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan umum lainnya seperti; fisika, kimia, matematika, tata negara, sosiologi, dll sebagai penyeimbang antara ilmu duniawi dan ilmu ukhrowi. Dalam hal ini Pondok Pesantren Pabelan telah berperan aktif dalam mencerdaskan masyarakat dan membina lingkungan serta berperan sebagai alat transformasi kultural dalam kehidupan masyarakat.
Mengenai kegiatan-kegiatan pendukung para santri, pasca kepengasuhan K.H. Hamam (alm), juga semakin beragam. Para santri bebas memilih kegiatan ekstra kurikuler yang sesuai dengan minat dan bakat mereka, seperti; karate, marching band, pramuka, band, kesenian, tehnologi digital, dll. Pesantren selalu peka terhadap tuntutan zaman dan berperan bukan saja dalam bidang pendidikan, melainkan juga aspek-aspek lainnya. Heterogenitas pesantren justru dipandang sebagai symbol adanya perubahan yang berarti. Kegiatan-kegiatan di lingkungan pesantren semaking padat dan semakin berorientasi kemasyarakatan (Qomar, 2007).
Dari pertama kali saya belajar di Pabelan tahun 2001 sampai saya lulus tahun 2006, telah banyak perubahan drastis yang dialami Pabelan. Mulai dari sistem pendidikan dan kurikulum yang selaras dengan pemerintah akan tetapi tanpa mengesampingkan nilai-nilai KMI. Kemudian pelatihan-pelatihan untuk para santri, salah satunya pelatihan tentang tehnologi dan informasi yang berpusat di Pabelan Tele-centre, yang saya yakin pasti akan membawa dampak positif bagi santri dan pesantren sendiri dalam menjawab tantangan zaman yang mulai bergerak menuju era digital.
Satu hal yang paling terasa terhadap model pendidikan di Pabelan adalah saat saya kuliah. Saya baru menyadari bahwa sistem pendidikan yang ditanamkan pada saya dan teman- teman selama tujuh tahun ternyata sangat jauh berbeda dengan sistem pendidikan yang dijalani oleh teman-teman kuliah saya. Ketika mereka bercerita bahwa mereka setiap hari belajar matematika, kimia, biologi dalam hati saya berkata kok saya hanya empat jam pelajaran ya dalam seminggu, begitupun dengan pelajaran-pelajaran umum yang lain, dengan jam yang lebih sedikit tetapi dengan target dan standard yang harus sama dengan teman-teman kuliah. Saya menyadari bahwa itu membuat saya belajar lebih keras dari teman2 yang lain dan lebih punya prinsip bahwa semua bisa dipelajari sendiri apabila kita lebih tekun dan berusaha lebih keras.
Saya ingat ketika pak kiai menasehati kami sebelum ujian, betapa paniknya kami saat itu karena tryout yang berkali-kali itu nilai kami jauh dari standar lulus yang ditetapkan pemerintah, saat ujian kami belajar dengan rasa was-was apakah kami bisa melewati UAN. Seolah pak kiai tahu kegundahan kami, lalu beliau memanggil seluruh kelas tiga ke ruang kaca dan mengobrol santai berisi nasehat dan motivasi. Sosok yang kami anggap sebagai ayah itu berpesan jangan pernah takut menghadapi apapun selama tanpa putus berdo’a dan kami menjalani proses belajar dengan baik. Saya bangga ditengah ketidakpastian sistem pendidikan di Indonesia saya tak pernah mengenal kata bocoran dari guru (ya kami melakukan semuanya sendiri) walau sering teman-teman saya tak percaya bahwa mustahil pada saat UAN tidak dapat bocoran, dengan mantap saya bilang benar sedikitpun kami tak pernah tau apa bocoran dan kunci-kunci jawaban itu, kami hanya mengerjakan soal-soal UAN itu sendiri. Pada intinya saya memahami betul proses belajar saat kuliah hampir sama dengan ketika saya kelas 1 MTs, hanya diberi materi dan kami mengembangkan sendiri, dan itu saya sadari ketika diperguruan tinggi  bahwa keterbatasan dalam proses belajar mengajar tak pernah sedikitpun menghalangi kami untuk berkembang.
Pondok Pesantren Pabelan yang merupakan lembaga pendidikan Islam telah tumbuh berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat sekitarnya, oleh karena itu Pondok Pabelan telah menorehkan warna khas bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan dunia pendidikan pada khususnya.

Pencarian dan penemuan jati diri santri
Pondok pesantren merupakan miniatur kehidupan masyarakat Indonesia yang mempunyai beragam budaya, bahasa, adat-istiadat, serta latar belakang. Para santri yang belajar di Pondok Pesantren Pabelan datang dari berbagai wilayah provinsi di Indonesia, dengan latar belakang suku, budaya dan adat, serta ekonomi yang berbeda. Tidak jarang para santri yang datang berasal dari kalangan keluarga pejabat, kiai, politisi, wirausahawan dan keluarga biasa. Tapi itu semua tidak mengurangi hubungan baik antar santri. Dalam bersosialisasi tidaklah mementingkan dari keluarga mana seseorang berasal, tapi bagaimana dia bisa melebur, berkomunikasi, beradaptasi dengan teman-teman dan lingkungan sekitar. Hal ini merupakan aplikasi dari MISI pesantren yang ke-4, yaitu; Mendidik dan mengantarkan santri untuk mampu mengenal jatidiri dan lingkungannya serta mempunyai motivasi dan kemampuan untuk mengembangkan diri sesuai dengan pilihan hidupnya.
Dengan kegiatan-kegiatan di pesantren yang begitu padat dapat mendidik para santri untuk dapat mandiri melakukan aktivitas serta mampu melakukan sosialisasi dan penyesuaian diri terhadap teman-teman di asrama dan lingkungan pesantren. Ketika masih menjadi santri baru yang baru pertama kali tinggal jauh dari orang tua, yang baru pertama kali tinggal satu kamar berisi 20 orang yang belum terlalu dikenal, yang baru pertama kali mencuci baju sendiri, saya merasakan hidup saya akan sangat-sangat berubah terbalik dari hidup saya ketika sebelum memutuskan untuk belajar di pesantren. Banyak sekali kejutan-kejutan yang datang bertubi-tubi. Mulai dari bangun pagi sebelum subuh, antrian panajang ketika mengambil makan atau pun mandi, kegiatan yang terus berganti tanpa habis dari bangun tidur hingga tidur kembali, kerja bakti setiap Kamis yang kami sebut dengan “Amal Massal”, sampai kegiatan yang menurut saya cukup membuat setiap santri merasa sangat-sangat malu yaitu Kolotan, ini merupakan salah satu program kerja BaKes (Bagian Kesehatan) dimana salah satu divisi OPP (organisasi Pondok Pabelan) bertanggung jawab akan pakaian-pakaian santri yang lupa diambil dari jemuran di malam hari. Baju-baju yang ditemukan di luar kamar dan tak bertuan akan diumumkan di depan para santri pada hari tertentu agar diambil oleh yang bersangkutan, apabila tidak ada yang mengakuinya maka pakaian-pakaian tersebut akan dicuci kembali dan disetlika kemudian akan di lelang untuk umum, setiap santri berhak untuk membelinya. Kegiatan ini mengajarkan para santri untuk belajar menghargai barang-barang milik mereka dan menumbuhkan rasa self belonging terhadap apa pun yang mereka miliki. Di sinilah karakter para santri yang meliputi rasa tanggung jawab, disiplin, rajin akan terbentuk. Masih banyak lagi kegiatan-kegiatan di pesantren yang nantinya akan membantu para santri menemukan jati dirinya.
Faktor lain yang mendukung para santri termasuk saya untuk menemukan jati diri adalah lima unsur vital yang ada di pesantren, yaitu Panca Jiwa Pondok. Kelima jiwa pondok ini sangat berperan penting dalam tumbuh berkembanganya karakter para santri. Pertama, keikhlasan, segala sesuatu yang dikerjakan selama di pesantren harus didasari dengan ikhlas yaitu semata-mata bernilai ibadah Lillahi ta’ala. Keikhlasan ketika menjalankan tugas dan kegiatan-kegiatan, ketika dididik oleh para guru-guru yang menguasai ilmu masing-masing. Berkaitan dengan ikhlas, saya teringat akan pengalaman pertama kali menjadi pengurus OPP putri. Ketika itu saya diberi amanah oleh bapak kyai untuk bertanggung jawab dengan segala hal yang berhubungan dengan bahasa. Seperti diketahui bahwa Bagian Penggerak Bahasa (BaPengSa) merupakan divisi dengan status awas ke-3 setelah bagian keamanan dan bagian pengajaran, bisa dibayangkan ketika salah satu dari kami lewat diantara para santri putri, suasana pun seketika menjadi tegang. Mereka seolah-olah melihat momok yang siap menerkam mereka yang tidak berbahasa Inggris atau Arab. Padahal disini kami berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga mahkota pesantren yaitu bahasa. Disinilah keikhlasan saya diuji, seberapa besar kesabaran dan keikhlasan dalam mengemban amanah demi kemajuan kualitas para santri dalam berbahasa Inggris maupun Arab. Jiwa ikhlas akan melahirkan para santri yang siap terjun dan bejuang di jalan Allah kapan pun dan dimana pun.
Kedua, kesederhanaan, para santri yang datang dari berbagai kalangan ketika sudah masuk asrama akan belajar arti kesederhaan. Ketika tidur bukan kasur busa tebal lah yang membuat nyenyak, tapi rasa kantuk itu sendiri. Pun ketika makan, bukan hidangan lauk pauk yang mewah lah yang membuat makanan terasa lezat, tapi rasa lapar itu sendiri. Hal ini lah yang selalu diajarkan oleh pak kiai selama mengenyam pendidikan di pabelan. Di dalam kesederhanaan terdapat kekuatan yang dahsyat yaitu nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi ujian dan aral melintang yang menghadang. Kesederhanaan mengajarkan saya untuk tegar dalam mengahapi ujian perjuangan hidup serta berani maju dan pantang mundur dalam kondisi sesulit apa pun. Ketiga, berdikari yang berarti berdiri dengan kaki sendiri. Ini lah salah satu prinsip yang sampai sekarang masih saya pegang teguh. Ketika awal masuk pondok, segala sesuatu mulai dari yang terkecil harus saya lakukan sendiri. Rasanya berat memang, tapi jika bukan kita sendiri siapa yang akan melakukannya diantara ratusan santri pada waktu itu?. Kesanggupan untuk menolong diri sendiri merupakan salah satu prinsip yang ditanamkan olen Pesantren Pabelan dalam pola hidup santri. Di masa yang akan datang, ketika terjun ke dalam masyarakat yang sesungguhnya, kita tidak akan menyusahkan hidup orang lain karena yakin bahwa kita mampu melakukannya.
Keempat, ukhuwan islamiyah. Suasana kehidupan di Pesantren Pabelan diliputi oleh suasana persaudaraan, keakraban dan saling menghormati satu sama lain. Walau pun tak dapat dipungkiri bahwa gesekan-gesekan social yang terjadi antar santri pasti terjadi. Walau pun demikian, para santri yang berasal dari berbagai daerah, suku, ras yang berbeda tidak mengurangi rasa ukhuwah islamiah. Justru ini akan menguatkan persaudaraan karena pada prinsipnya keberkahan merupakan berkah dari sang Maha Pencipta. Rasa kekluargaan ini tidak hanya berlangsung ketika di pesantren saja, tetapi tetap berlangsung sampai para santri terjun dalam masyarakat. Kelima adalah kebebasan. Unsur jiwa pondok yang satu ini memegang faktor penting dalam pencarian jati diri. Kebebasan dalam berfikir, dalam berbuat, dalam menentukan masa depan, dalam memilih jalan hidup, serta bebas dari pengaruh negatif. Hal menguntungkan ketika saya baru masuk pesantren adalah, saya bebas dari kewajiban untuk tidur siang. Karena pada waktu masih sekolah dasar, saya tidak diperbolehkan untuk bermain dengan teman-teman karena waktu siang adalah jadwal istirahat saya. Alhasil, waktu bermain dengan teman-teman sekitar rumah pun berkurang. Di pesantren saya bebas menetukan kegiatan apa pun yang ingin saya ikuti sesuai dengan minat saya, saya bebas berteman dengan siapa pun, tentunya tanpa mengesampingkan pengaruh negatif yang bisa kapan pun muncul dan menginterfensi kehidupan saya di pesantren. Dengan jiwa bebas yang dimiliki, santri akan berjiwa optimis dalam menghadapi kesulitan tanpa kehilangan arah dan prinsip. Kebebasan yang tetap pada garis yang benar disertai rasa tanggung jawab.
Tujuh tahun bukan lah waktu yang sebentar dalam proses pembentukan karakter seseorang. Jika saya tidak memutuskan untuk belajar di Pabelan, saya tidak akan mempunyai keberanian untuk mengambil keputusan serta menentukan arah hidup. Di Pabelan lah, para santri bernaung, merajut cita membangun pribadi yang tangguh. Disanalah tempat saya dan para santri yang lain dibimbing, ditempa serta hidup berdikari dan mandiri.

Pengaruh Celupan Pendidikan pada Pengembangan Diri dan Peran Sosial di Masyarakat
Ketika khutbatul iftitah bapak Najib pernah menyampaikan kepada seluruh santri, khusunya santri baru, “Jika setelah satu tahun di Pabelan belum juga merasa betah, coba setahun lagi, kalau masih ingin pulang juga, coba setahun lagi dan begitu seterusnya”. Dari ratusan santri baru yang memulai pendidikan nya di Pabelan, sampai mereka menyelesaikan pendidikannya, banyak yang berguguran ditengah jalan ketika melalui proses pendidikan atau seleksi alam. Mengapa disebut seleksi alam? Karena proses pembelajaran di pesantren hampir sama dengan proses kehidupan di masyarakat yang sesungguhnya. Para santri harus mempunyai mental baja, niat yang kuat serta keinginan yang sungguh-sungguh ketika terjun di dalam kawah bernama pesantren. Hanya yang bersungguh-sungguhlah yang dapat memperoleh hasil dengan maksimal dan terjun ke masyarakat. Misi terakhir Pesantren Pabelan adalah mendidik dan mempersiapkan santri untuk menjadi manusia mandiri dan berkhidmad kepada masyarakat, agama, nusa dan bangsa. Pesantren telah membentuk manusia-manusia berbudi tinggi, berpengetahuan luas dengan pemahaman agama yang sesuai dengan Al-qur’an dan Hadist.
Sekembalinya dari Pesantren Pabelan, para alumni di harapkan dapat mengembangkan dan mengamalkan ilmunya di masyarakat luas. Dengan berbekal panca jiwa pondok dan motto pondok, banyak alumni yang telah berkarya dengan warna nya masing-masing. Banyak dari alumni semasa K.H. Hamam (alm) yang telah berkontribusi untuk negri kita tercinta, Indonesia. Namun demikian, diharapkan adanya penerus dari para alumni semasa K.H. Ahamd Najib yang akan terus mengibarkan karyanya di berbagai aspek kehidupan. Pengalaman-pengalaman yang di dapat semasa mondok telah membentuk seseorang dengan karakter yang kuat yang menghargai nilai-nilai kehidupan. Salah satu pengalaman tak ternilai yang saya dapat kan selama menempa ilmu di pesantren adalah kesempatan untuk belajar dan tinggal dengan keluarga di Amerika melalui program AFS-YES bermitra dengan Yayasan Bina Antar Budaya.
Program YES adalah kerjasama departemen luar negri AS dengan Indonesia untuk menjembatani kesalah pahaman antar warga amerika terhadap para muslim pasca kejadian WTC. Setelah saya memberanikan diri untuk mendaftar dan berjuang mengikuti tahapan-tahapan seleksi, rupanya takdir memilih saya dan teman-teman yang lolos untuk mewakili chapter Jogjakarta. Saat itu saya sedang duduk di kelas IV KMI setara dengan kelas 1 MA. Sejak awal seleksi kami telah diberitahu bahwa sekembalinya dari program, saya harus mengulang kelas 3 MA yang berarti bahwa saya akan kehilangan tahun-tahun terakhir bersama teman-teman seperjuangan dari kelas 1 Mts maupun Aliyah. Sedih itu pasti, akan tetapi kesedihan itu tergantikan oleh pengalaman setahun bertemu dengan keluarga baru, teman-teman baru di benua berbeda yang jaraknya ratusan ribu mil dari Indonesia. Saya tinggal bersama keluarga Schwin dan sekolah di Berkelay High School, California. Selama program saya sempat merasakan culture shock atau dinamakan gegar budaya. Hal ini terjadi karena perbedaan nilai, adat, budaya antar negara. Dengan bekal Ilmu yang di dapat selama di pesantren sangat mempermudah saya dalam beradaptasi dengan lingkungan baru. Dengan implementasi dari motto pondok yaitu berpengetahuan luas dan berpikiran bebas, kami saling bertukar ide, pikiran dan pendapat dengan keluarga, teman, guru, di Amerika.  Tentang bagaimana kehidupan di Indonesia dan masyarakat serta budayanya. Berikut adalah testimoni dari keluarga angkat selama saya di Berkeley, California.
IMG                        Sebelas bulan dari keberangkatan saya pada Agustus 2004, Juli 2005 saya kembali menjadi santri di Pabelan untuk menyelesaikan tahun terakhir saya. Banyak hal yang dipelajari ketika saya di Amerika. Amerika adalah negara serikat yang menganut kebebasan, sangat berbeda dengan Indonesia yang masih menjunjung adat ketimuran. Akan tetapi penduduk Amerika yang merupakan imigran dari negara-negara lain mempunyai sikap toleransi yang tinggi. Mereka juga sangat menjaga kebersihan dan penolong, bahkan terhadap hewan sekali pun. Banyak nilai-nilai positif yang patut dicontoh oleh bangsa ini dari Amerika.

Setelah lulus dari Pabelan, saya melanjutkan pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan. Ketika itu saya berniat mengambil jurusan hubungan internasional atau ilmu komunikasi, karena saya melihat jurusan itu sangat-sangat bergensi. Di saat perpisahan khutbatul wada’ pak kiai memberi wejangan “bintang tidak akan terlihat sinarnya ketika dia berada diantara tebaran bintang-bintang yang lain, bintang juga tak akan terlihat sinarnya di langit yang cerah.” Pesan beliau saat itu akhirnya merubah orientasi jangka pendek yang pastinya berakibat pada visi jangka panjang saya. Akhirnya keputusan ditetapkan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris. Selama kuliah saya berusaha memanfaatkan peluang yang ada dan berhubungan dengan bidang saya. Saya aktif di organisasi bahasa inggris EDSA, menjadi panitia dalam seminar-seminar bahasa Inggris baik nasional maupun internasional. Saya yakin banyak ilmu yang akan saya dapatkan ke depannya nanti.

ICONSelain memantapkan pilihan untuk terjun di dunia pendidikan, selama kuliah saya juga tertarik untuk mengikuti program volunteer bernama IIWC (Indonesia International Work Camp). Kegiatan ini berada dibawah naungan UNESCO dan pesertanya merupakan gabungan bilateral antar negara seperti, Indonesia, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika. Kegiatan ini fokus terhadap masalah-masalah social, lingkungan, pendidikan, cagar budaya. Penempatannya pun beragam selama dua minggu di lokasi anak jalanan, lokalisasi prostitusi yang focus terhadap kesehatan mental fisik dan psikis anak-anak, Candi Gedong Songo, habitat mangrove, dan masih banyak lagi. Saat itu saya mendapat amanat bersama teman-teman mahasiswa jepang untuk memberikan penyuluhan, pendekatan social terhadap anak-anak di wilayah lokalisasi Tegal Rejo, Semarang. Kami mengunjungi sekolah untuk memberikan les bahasa jepang dan inggris gratis. Siangnya kami menuju balai desa untuk memberikan pelajaran kerajinan, menggambar, mental recovery, informasi kesehatan, dll. Di akhir pertemuan kami mengadakan farewell party bersama penduduk desa lokalisasi dengan memperkenal kan budaya Jepang dan Indonesia melalui pameran baju daerah, lagu daerah, makanan serta tarian tradisional. Seperti kata pepatah “ sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sekitarnya”, maka saya pun ingin berbagi ilmu, berbagi kebahagiaan kepada sekitar sebanyak yang saya mampu.
CIMG8850Tahun 2010, tepat 4 tahun saya menyelesaikan program S1 dan kemudian saya mengajar di lembaga bahasa Inggris LBPP LIA Palembang sampai sekarang. Jika saya mengingat kembali ke tahun 2001 dimana saya memegang amanah menjadi BAPENSA, saya mengerti mengapa Alloh memilihkan saya bagian tersebut sebagai anggota OPP. Jalan hidup, cita-cita manusia dapat berubah sewaktu-waktu. Kita tidak dapat memilih peran hidup yang diamanahkan Alloh, sang Sutradara kehidupan. Yang dapat kita lakukan adalah menjalankan peran tersebut sebaik mungkin. “Al-‘ilmu bi la ‘amalin, kassajari bi la tsamarin”, inilah kesempatan saya untuk mengamalkan ilmu sebanyak-banyaknya. When you get give, when you learn teach.
Setiap proses belajar yang dialami dalam hidup, setiap karya yang ditorehkan, setiap kontribusi yang dilakukan tidak lain adalah wujud pengaktualisasian diri serta pengabdian terhadap bangsa dan negara. Pada tahun 2013 saya mendapat kesempatan untuk mengikuti program PPAN (Pertukaran Pemuda Antar Negara) ke Malaysia mewakili prov. Sumsel. Program ini berada dibawah kerjasama KEMENPORA RI dan Kementrian Belia dan Sukan Malaysia sejak tahun 1979. Sebagai upaya mewujudkan terbentuknya jejaring, pemahaman, pengertian yang lebih baik dengan kerjasama di  bidang kepemudaan. Kegiatan selama dua bulan program yaitu pre-departure training, diskusi antara pemuda Malaysia dan Indonesia membahas isu terkini dan penanganannya, presentasi pemaparan proposal wirausaha setiap grup (saat itu grup kami mengajuan daur ulang limbah batubara menjadi souvenir), institusional visit, cortesey call (kunjungan ke Kedutaan RI di Malaysia), homestay dengan keluarga di Indonesia dan Malaysia.

Seluruh pencapaian yang didapatkan hingga saat ini tak pernah lepas dari nilai-nilai yang telah didapatkan selama masa pembelajaran di Pabelan. Proses pembentukan manusia untuk menjadi insan berkarakter, becita-cita sesuai jati dirinya tanpa tergerus oleh perkembangan zaman.  Dalam hal ini pesantren sebagai model lembaga pendidikan Islam pertama yang mendukung kelangsungan sistem pendidikan nasional tidak diragukan lagi kontribusinya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus mencetak kader-kader intelektual yang siap untuk mengapresiasikan potensi keilmuan sesuai dengan bidangnya di masyarakat.

Berdisiplin dari Dalam
Riansyah Tuahunse

Asas kedisiplinan pendidikan dalam pondok pesantren Pabelan secara garis besar telah dirumuskan dalam Panca Jiwa dan Motto Pondok. Hanya saja penafsirannya diikuti dengan perkembangan zaman. Panca Jiwa dan Motto Pondok sebagai rel yang mengarahkan kemana arah kereta kedisiplinan dan pendidikan pondok akan dibawa. Dalam implementasinya, dibutuhkan setiap elemen untuk berpartisipasi dalam merealisasikan panca jiwa dan motto pondok. Karena jika salah satu elemen saja tidak bisa ikut berpartisipasi maka susah terbentuknya kedisiplinan pendidikan.
Kedisiplinan pondok yang 24 jam tanpa henti dari bangun tidur sampai tidur lagi yang saya rasakan, benar-benar pendidikan yang sangat membantu pada jenjang-jenjang berikutnya. Kedisiplinan yang ada dipondok adalah pendidikan seumur hidup, long life education. Dalam segi bahasa pun seperti itu. Di sekolah-sekolah umum diajari bahasa asing, tapi di pondok kita bukan hanya diajari, tapi dididik dengan cara menggunakannya setiap hari. Bahkan di waktu libur (Jumat ) santri diperbolehkan untuk berpraktik bahasa langsung dengan native speaker di Borobudur. Di saat sekolah-sekolah lain belajar vocabularies, kita santri pondok sudah berbicara sehari-hari menggunakan bahasa asing. Bukan hanya itu, kita bahkan telah berpidato dengan menggunakan bahasa asing.
Bukan hanya dari segi bahasa, tapi secara keseluruhan kedisiplinan yang ada di pondok adalah pendidikan terbaik yang saya rasakan. Dari bangun tidur sampai tidur lagi diisi penuh dengan kegiatan-kegiatan yang positif dan bermanfaat yang efek ke depannya terasa sangat penting. Namun bagaimana menjalani segala bentuk kedisiplinan dipondok dengan ikhlas? Sungguh tidak mudah, maka tak heran dalam Panca Jiwa pondok yang pertama dan utama adalah keikhlasan. Tanpa ada keikhlasan untuk mengikuti segala bentuk kedisiplinan akan timbul rasa tidak kerasan, sebab tidak akan mengerti maksud baik yang akan ditimbulkan oleh kedisiplinan tersebut.

Dengan berbagai kedisiplinan dan pendidikan yang diberikan oleh pondok, adalah salah satu pembentukan karakter kita untuk membentuk jati diri. Dan segala pendidikan yang diberikan selama di pondok adalah benih-benih jati diri. Tinggal kitalah yang mengemudi ke mana arah tujuan hidup kita dengan bekal yang sangat memadai yang didapat dari pondok. Kemanapun arah yang kita pilih, selama pedoman pendidikan dan kedisiplinan yang pernah didapat di pondok diterapkan pasti akan berhasil.Apalagi pada saat ini segala bentuk sarana telah memadai. Dari laboratorium bahasa yang pasti akan membuat para santri lebih lancar dan fasih dalam berbahsa asing, ada studio band yang bisa menggali lebih dalam bakat-bakat para santri dalam bidang musik. Semua fasilitas yang membantu santri untuk menemukan jati diri telah disediakan di pondok tinggal pengolahan sumber daya dan penanaman benih dasarlah yang penting agar tetap berada dalam rel yang benar.

Jiwa keislaman terlebih dahulu di pondok agar ketika keluar dari pondok dan menjadi apapun kelak, kita tetap membawa ajaran-ajaran Islam. Jadi penulis ya penulis yang Islami, jadi seniman ya seniman yang Islami, jadi pengusaha ya pengusaha Islami. Nilai inilah yang menjadi nilai dasar yang ditanamkan dan terus ditanamkan dari kedisiplinan pondok. Agar kelak jika santri menjadi apapun benih keimanan ini terus dibawa. Apalagi era sekarang yang begitu bebas, semua hal begitu mudah didapat. Tanpa ada pendidikan Islami yang memadai bisa hanyut dalam globalisasi yang negatif. Tapi dengan adanya pendidikan awal yang Islami serta kedisiplinan yang terus ditanamkan selama di pondok bisa menjadi rem untuk mencegah arus negatif dan juga mampu memfilter segala sesuatu yang datang. Karena pendidikan pada masa-masa mondok mampu membentuk karakter kita. Motto paling pertama adalah berbudi tinggi.
Alur kehidupan pondok begitu teratur, saya menyadarinya setelah lulus dari pondok. Bagaimana tidak, tak ada sedetikpun dilewatkan tanpa aktivitas. Dari bangun tidur untuk jamaah sholat subuh, lalu olah raga pagi, terus mandi, makan dan bersiap-siap untuk masuk sekolah. Setelah selesai sekolah pun tak ada waktu kosong, masih ada kegiatan lain seperti pramuka atau olahraga sore. Hingga malam pun masih ada Muhadhoroh. Keseluruhan kehidupan yang ada di pondok adalah proses belajar mengajar. Ada satu hal yang paling tak bisa dilupakan didalam pondok yakni ukhuwah yang terjalin antarsantri. Disadari ataupun tidak, jalinan ukhuwah yang terjadi didalam kehidupan sehari-hari lama kelamaan akan tumbuh dan berkembang, bukan hanya sekedar pertemanan ataupun persahabatan tapi lebih dari itu, keluarga. Ya, jalinan yang terjadi di dalam pondok adalah jalinan kekeluargaan. Pimpinan pondok sebagai orang tua yang mengayomi para santri, para asatidz dan ustadzah sebagai kakak yang membimbing secara langsung para adik-adik santri menjadi adik kita.
Setiap hari, 24 jam kita habiskan bersama teman-teman, dari bangun tidur sampai tidur lagi tak ada waktu yang kita habiskan sendiri, melaikan dengan para teman-teman santri. Tak ada lagi strata ataupun kasta yang menjadi penghalang bagi setiap santri dalam menjalin ukhuwah. Tak ada lagi sekat atas unsur kekayaan, kekuasaan dah jabatan orang tua yang dibawa, karena sama menyandang status “santri”. Tak ada perbedaan dalam pilih kasih, yang salah akan kena iqob, yang berprestasi akan mendapatkan reward. Lantas ukhuwah yang terjadi di pondok bisa terjalin lintas alumni yang terpaut sangat jauh, yang bahkan kita tak sempat bertemu sewaktu didik di Pabelan. Ketika kita bertemu dan tahu kalau ternyata alumni Pabelan, rasa hangat kekeluargaan pun tercipta secara spotan. Tanpa ada rasa kaku ataupun canggung, seakan sudah kenal dalam jangka waktu yang sangat lama. Inilah uniknya jalinan ukhuwah yang terjalin di pondok, semua seakan masuk dalam hangatnya kekeluargaan tanpa pandang usia, status atau apapun. Semua hanyut dalam suasana indahnya kekeluargaan.

Kami pribadi sangat merasakan betapa pentingnya bahasa. Mungkin karena di pondok dulu menjadi Bapengsa (Bagian Penggerak Bahasa ) sehingga setelah lulus dari pondok suka merasakan pentingnya berbahasa asing. Namun saat sekarang semua alumni atau siapapun juga pasti merasakan pentingnya penguasaan bahasa asing. Komunikasi adalah sarana utama untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan. Bagamana kita bisa memenuhi kebutuhan kita jika kita tak mampu berkomunikasi secara baik. Apalagi era globalisasi komunikasi yang dibutuhkan bukan hanya sesama warga Indonesia, melaikan seluruh dunia. Di sinilah letak pentingnya berbahasa asing, alat komunikasi global. Di pondok diajari khoiru an-naas anfa’uhum li naas ‘sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi manusia yang lain. Dengan penguasaan komunikasi bahasa, jangkauan manfaat yang bisa diberikan jauh lebih banyak dan luas. Disamping itu kita dengan mudah mengerti, memahami budaya, peradabaan masyarakat secara luas.
Al-qur’an diturun dalam bahasa Arab, bagaimana kita memahami ajaran Islam tanpa tahu bahasa Arab? Semua itu difasilitasi pondok pabelan dengan kewajiban memakai bahasa asing setiap saat. Bahkan untuk conversation pagi dan latihan pidato digunakan bahasa Inggris dan Arab. Itu semua lebih dari cukup untuk memajukan bahasa para santri di pondok. Apalagi sekarang sudah disediakan laboratorium bahasa, jadi santri lebih mudah mengusai bahasa asing karena fasilitas yang disediakan lebih dari cukup. Sangat disayangkan jika santri bermalas-malasan untuk belajar bahasa. Pada akhirnya setelah keluar dari pondok, banyak alumni yang menyesal tidak belajar sungguh-sungguh. Selama di pondok kita sering kedatangan tamu dari luar negeri. Apalagi ada program pertukaran pelajar selama setahun ke Amerika, Jepang, Kenya, seharusnya dengan ini bisa menjadi motivasi menguasai bahasa asing. Tak ada santri yang tak ingin merasakan pengalaman belajar di negeri asing, apalagi secara gratis. Untuk lolos seleksi tak mudah, walaupun yang bisa bahasa Inggris belum tentu bisa berangkat, apalagi yang tak bisa berbahasa Inggris.
Kami pribadi pernah merasakan hal serupa. Ketika belajar di Mesir tak sedikit dari kami yang kewalahan. Padahal yang diajarkan sebenarnya sudah dipelajari di pelajaran KMI semasa di pondok dulu, hanya saja kali ini pelajarannya jauh lebih lebih detail. Tapi karena keterbatasan berbahasa memaksa kami harus belajar kembali bahasa Arab. Hampir semua dari kami ikut kursus untuk berbahasa Arab. Kami menyesal selama di pondok dulu malas dalam belajar bahasa, kurang disiplin dalam menggunakan.
Pekerjaan yang kami tekuni saat ini mensyaratkan mampu berbahasa Inggris, karena setiap hari berkomunikasi dengan orang asing. Sebenarnya fasilitas sarana berbahasa di Pabelan sudah lengkap, pemberian kosa kata, conversation/muhadatsah, pidato, laboratorium bahasa, sampai praktik berbahasa di Borobudur untuk berbicara langsung dengan para turis. Seharusnya para santri lancar berbahasa Arab maupun inggris. Bahkan bapak kiai pernah bilang “Kalau bisa ngigau pun pake bahasa Arab atau Inggris“. Ini salah satu metode yang sangat membantu para santri agar mau berbahasa, menstimulus mereka agar jangan pernah takut salah.

Indahnya persahabatan sangat membantu para santri menjadi lebih gampang bergaul di masyarakat. Tak sedikit santri pada masa kuliah menjadi menonjol di dunia kampus masing-masing. Santri yang pendiam dan tak terlalu menonjol menjadi begitu bersinar sekeluar dari Pabelan. Saya pun ingat salah satu kata pak kiai “ Di Pabelan semua santri adalah bintang yang bersinar dengan sinarnya masing-masing, maka tidak akan terlihat kemilaunya di antara bintang yang lain. Saat keluar nantilah baru terasa sinarnya”. Kebersamaan yang kita alami selama di podok mengajarkan kita saling menghargai dan perhatian sesama. Pendidikan seperti ini akhirnya para alumni mampu peka terhadap keadaan di sekitarnya, sehingga tak jarang para alumni mampu menunjukan diri menonjol di tengah-tengah masyarakat.
Pendidikan Pabelan ini tidak tepat dipelajari di buku apapun. Ini pendidikan dialami sendiri, bukan lewat pelajaran. Oleh karena itu pondok menjadi balai pendidikan bukan balai pengajaran. Santri dididik secara langsung dengan pengalaman, bukan hanya sekedar diajari lewat buku. Pada awalnya biasa terjadi kesalahpahaman antarsantri  karena latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang dari Sumatera, Sulawesi, Jawa dll. Keberagaman  pada akhirnya memperindah suasana di pondok. Lewat kesalahpahaman itulah antarsantri jadi mengenal satu sama lain, mampu menghargai keberagaman dan akhirnya memasuki masyarakat yang luas pun sudah biasa menerima keberagaman.
Begitu banyak cerita dan warna warni kehidupan di dalamnya. Sistem pendidikan 24 jam, menjadikan para santri terdidik tentang manajemen waktu. Dari bangun tidur  sampai tidur lagi, semua diisi dengan berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran. Semua dilalui bersama kawan–kawan. Karena dilakukan bertahun–tahun selama di pondok maka tidak heran kalau sesama santri sangat mengenal karakter dan pribadi masing–masing. Setelah selesai dari pondok antar-alumni masih terjalin hubungan kekeluargaan Pabelan, hingga ada ikatan alumni yakni IKPP (Ikatan Keluarga Pondok Pabelan). Dengan IKPP para alumni mengenal satu sama lain bahkan lintas generasi. Kadang pada saat lebaran, para santri mengundang IKPP untuk silaturahim bersama masyarakat dengan halal bi halal. Seakan dengan pondok kita bisa menyatukan masyarakat sekitar lewat acara halal bi halal.
Muhadhoroh, satu kegiatan yang mungkin saat menjadi santri awal menjadi hal paling dihindari. Bagaimana tidak, ditunjuk untuk berorasi dengan bahasa Indonesia, Arab ataupun Inggris di depan teman. Karena kecenderungan para santri baru demam panggung, harus berbicara di depan kakak kelas yang sudah berulang-ulang berpidato. Makanya tak jarang anak baru menjadi batu (diam) pada saat berpidato saking grogi dan hapalan yang sudah dipersiapkan lupa. Tapi pendidikan yang terdapat dalam Muhadhoroh ini terasa sekali manfaatnya sekeluar dari pondok. Karena sering dilatih untuk berbicara di depan umum pada saat Muhadhoroh, setelah keluar terbiasa untuk berbicara di depan umum. Kemampuan berbicara tidak bisa dipelajari hanya lewat buku, tapi harus dipraktikkan. Seakan muhadharah hanya masalah kecil, tapi efek yang tercipta sangat luar biasa. Program yang sangat membantu para santri untuk lebih mudah bergaul dan bergabung dengan masyarakat, berani berbicara mengutarakan ide–ide di hadapan orang banyak.

Organisasi Pelajar Pondok (OPP), salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan santri kelas 5 dan sebagian kelas 4. Pengurus OPP dipercaya membantu pimpinan pondok dan para ustadz agar kedisiplinan berjalan. Berbeda dengan OSIS di sekolah umum, OPP menjalankan tugas 24 jam sehari membantu menjalankan disiplin di pondok. Ada yang menduduki jabatan di bagian bahasa, pengajaran, kesehatan, keamanan dan lain-lain.  Semua pengurus saling membantu untuk menjalankan amanat membantu para santri untuk tetap berada dalam jalur kedisiplinan. Menjadi pengurus OPP inilah salah satu pendidikan pondok agar santri tumbuh sikap kepemimpinannya. Ini bukan hal yang mudah, belajar menjadi pemimpin untuk membantu para santri berdisiplin 24 jam, bahkan santri tidur pun para pengurus harus berpiket menjadi bulis malam, menjaga keamanan pondok dan juga membangunkan santri tepat waktu untuk beraktifitas pada pagi hari.
Menjadi pengurus OPP punya beban tersendiri. Pengurus harus bertanggung jawab atas jalannya kedisiplinan para santri, jika ada salah satu program kerja pengurus yang tidak jalan maka akan dipertanggung jawabkan kepimpinan pondok. Pemimpin harus siap dengan segala program-programnya dan menjalakan dengan sepenuhnya. Di pondok kita dilatih mental, jiwa dan otak untuk bagaimana memimpin dan siap dipimpin. Bertanggung jawab penuh membantu pimpinan pondok atas jalannya aturan kedisiplinan santri. Maka tak heran lagi jika banyak sahabat-sahabat, kakak – kakak kelas maupun adik kelas yang telah lulus dari Pabelan mempunyai peranan penting di lingkungannya, baik itu diorganisasi kampus, masyarakat atau apapun juga. Selama di pondok telah mengalami bagaimana mengelola organisasi dan berbekal pengalaman dididik secara langsung secara aktual tentang kepemimpinan selama menjabat menjadi pengurus OPP. Pendidikan kepemimpinan yang ada di pondok yang diterapkan dengan metode  learning by doing melalui OPP.
Saya bersyukur bisa merasakan indahnya pendidikan di Pabelan. Walaupun tidak sedikit dari kawan saya yang tidak kerasan dan akhirnya pindah sekolah. Mungkin pada saat itu, mereka ingin merasakan kebebasan dunia luar. Tapi setelah mereka keluar, tidak sedikit yang menyesal karena sudah keluar. Yang membuat para santri betah dan bahkan menyesal setelah keluar dari pondok adalah jalinan ukhuwah yang begitu kuat. Tak heran jika banyak dan sering sekali para alumni pergi ke Pabelan hanya untuk mengingat indahnya masa lalu. Bahkan acara ulang tahun pondok pun begitu meriahnya dan begitu ramainya dengan para alumni – alumni yang muda ataupun yang tua. Semua berbaur dalam satu ikatan, gak ada kesenjangan antara alumni muda atau yang tua, semua larut dalam indahnya kenangan Pabelan. Itulah magic pendidikan, apapun yang terjadi selama di pondok, baik suka ataupun duka, semua hilang ketika keluar dari pondok. Dan pada saat bertemu sekian lama yang ada hanya rasa rindu, cinta, dan mesra dalam satu keluarga Pabelan.
Selama 4 tahun, mulai dari kelas 3 Tsanawiyah sampai lulus, adalah hal terbaik yang pernah terjadi. Begitu banyak warna–warni yang menghiasi lembaran cerita hidupku, dididik menjadi seseorang yang belum pernah tergambar dalam pikiranku ketika sebelum masuk. Dibekali berbagai macam pengetahuan, umum, agama bahkan bahasa internasional, hingga ditanamkan rasa tanggung jawab dan kepemimpinan. Pada saat itu, semua dilalui dengan rasa terpaksa, karena belum sadar akan masa depan. Maka saat ini terasa 4 tahun itu masih kurang. Banyak yang belum sempat saya rasakan selama menjadi santri di pondok.
Pendidikan di pondok tidak mendikte para santri untuk fokus pada satu jalan saja guna masa depan santri, akan tetapi santri dididik dan dibekali dasar yang mumpuni sehingga ke depan para santri mampu menjadi apapun sesuai cita–citanya. Para santri diberikan kebebasan untuk memilih minat dan bakatnya sesuai apa yang dicitakan. Selama menjadi santri, serasa begitu keras kehidupan di pondok karena banyak aturan yang harus dipatuhi. Jika melanggar pun akan menerima “iqob” dari pengurus, ustadz atau bahkan pimpinan pondok langsung. Tapi setelah keluar baru akan terasa betapa pentingnya disiplin tersebut. Sesudah keluar, tidak ada lagi yang akan mengerem tindakan yang tidak bermanfaat. Susah mencari orang yang peduli mengingatkan salah-benar.
Pada akhirnya setiap santri yang ada di pondok mempunyai pengalaman, sudut- pandang yang berbeda, meskipun tinggal, hidup, belajar dalam satu atap. Bukan hanya karena intelektualitas yang berbeda tapi kecenderungan untuk memilih minat dan bakatlah yang menjadikan setiap orang menjadi fokus, dan akhirnya berkembang pada satu bidang, dan kurang akan bidang yang lain. Tidak hanya satu atau dua alumni yang dulu tidak suka mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di pondok. Tapi setelah keluar dari pondok, berbaur dengan masyarakat, baik di lingkungan tempat tinggal ataupun lingkungan kampus, banyak alumni yang sadar akan pentingnya kegiatan itu.
Sekarang model pendidikan pondok pesantren dijadikan role sekolah bertaraf internasional.  Walaupun berbeda nama, tapi sistem pendidikan sama seperti yang ada di pondok. Pada akhirnya masyarakat sadar bahwa model pendidikan seperti yang diterapkan di pondok sangat baik untuk anak. Diajar dengan baik tanpa dididik dengan moral yang baik, hanya akan menjadikan orang pintar yang merusak. Di podok kita diajari dan dididik dengan disiplin yang ketat agar meciptakan didikan yang berbudi luhur serta berpengetahuan luas seperti motto pondok.
Ketika masuk dalam pondok dan menjadi santri, banyak hal dalam hidup yang berubah. Mendapatkan kawan baru sekaligus keluarga baru, terikat dalam seluruh aspek pendidikan dan kedisiplinan yang mungkin sebelumnya belum didapatkan ketika berada di rumah. Mungkin kita terpikir saat itu begitu berat untuk dijalani. Tapi setelah dijalani dan akhirnya selesai  dan keluar dari pondok, ketika memikirkannya kembali masa–masa itu terasalah sangat membahagiakan dan penuh syukur bisa masuk dan menjadi keluarga besar pondok. Kadang sempat terpikir untuk kembali ke masa–masa itu, masa nyantri di Pondok Pabelan.

Seniwati Nyantri Keseimbangan
Laras Perukya Kinanti

Tidak pernah terlintas bahkan terbayang sedikitpun dalam benak saya untuk melanjutkan studi atau lebih tepatnya penempaan diri di apa yang biasa disebut pesantren. Tahun 2002 menjadi permulaan saya mengenal diri saya sendiri, agama saya, sosialisasi, masalah, kesulitan, kemudahan dan segala tethek bengeknya. Pondok Pabelan, nama yang sungguh asing bagi saya yang berdomisili di kota Yogyakarta dan jujur saja belum ada riwayat keluarga saya yang nyantri , malahan orangtua saya seniman. Informasi diperoleh orangtua yang gencar ingin menyekolahkan saya di pesantren dengan harapan supaya pintar agama dan selamat. Berbagai pesantren di belahan pulau Jawa dijajaki dan akhirnya memantapkan diri untuk memasukkan saya di Pondok Pabelan. Pilihan terakhir yang semoga tidak salah.
Kamar pertama yang saya tempati adalah kamar Bougenville. Kami anak-anak yang baru tamat sekolah dasar mau tidak mau sudah harus bertanggung jawab dengan diri kami sendiri. Ini sungguh pekerjaan yang sulit bagi saya. Malam pertama di Pondok Pabelan terasa sangat panjang, bagaimana tidak ketika sekitar 18 orang teman yang lain masih memanfaatkan dispensasi tidur ditemani orangtua saya harus menahan air mata untuk berpisah dengan orangtua di malam itu juga. Ini langkah awal saya menguatkan diri sendiri. Akhirnya saya mulai kenal dengan istilahnrimo bagaimanapun keadaan kita. Yang masih ditemani ya biar saja ditemani, saya berusaha menguatkan diri saya sendiri meskipun sambil sembunyi-sembunyi menyeka air mata. Intinya tetap supaya kelihatan keren dan tampak tegar sekaligus dewasa di mata teman-teman. Hehehehe..
Hari-hari berjalan dengan baik dan semakin baik dengan keberadaan teman-teman yang merasa saling senasib. Antre ambil jatah makan dengan nampan, antre mandi dengan gayung, kebersamaan dengan teman-teman satu kamar, satu kelas bahkan antar-kamar dan antar-kelas. Semakin lama, hilanglah sekat tersebut. Kami satu, bukan lagi penghuni Wijaya Kusuma, Kalpataru, Berdikari, Anggrek, kelas 1, kelas 2, takhasus dan lain-lain. Kami santri putri Pondok Pabelan.
Pondok Pabelan, saya menyebutnya rumah yang modern dan sangat dinamis.Pembentukan karakter muslim yang dinamis tercermin dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler maupun kegiatan-kegiatan di asrama. Banyak kegitan yang tidak melulu diisi dengan pengajian sepanjang hari. Kami bisa tetap olahraga, bermusik, melakukan hobi kami meskipun dengan waktu yang terbatas. Meskipun nyantri, saya tidak lantas kehilangan minat saya pada seni yang sudah saya akrabi sejak saya masih dalam kandungan. Maklum saja, orangtua saya menggeluti bidang seni. Marching band menjadi pilihan saya dalam menyalurkan hobi berkesenian. Keseimbangan yang ditanamkan sangat berbekas di jiwa saya meskipun tidak pernah disampaikan secara verbal dan naratif oleh Pak Kiai maupun Bu Nyai. Pentingnya menjadi perempuan yang mandiri, berilmu, berkarakter Islami, cakap dan kreatif saya dapatkan di Pondok Pabelan. Ilmu pengetahuan umum tidak luput dari program mata pelajaran di Pondok Pabelan. Berbagai kegiatan seperti pramuka, pencak silat, teater pun pernah saya ikuti. Sungguh bukan pondok pesantren yang kaku seperti apa yang orang lain pikirkan.
Tiga tahun saya menempa diri di Pondok Pabelan, tiga tahun pula saya merasakan bulan Ramadhan di Pondok Pabelan. Begitu juga hari raya Idul Adha yang saya rasakan bersama teman-teman Pondok Pabelan selama tiga tahun. Saat yang paling mengasyikkan ketika kami membakar sate daging qurban secara massal di asrama putri. Meskipun terkadang gosong, kurang matang karena ketidaksabaran, tetapi kami menikmatinya dengan penuh canda tawa, bahagia dan yang terpenting adalah rasa syukur. Tiga tahun yang benar-benar hidup. Tiga tahun yang membentuk diri saya. Tiga tahun saat titik ketika seorang Laras menjadi Laras di masa mendatang.
Keberadaan saya di Pondok Pabelan menjadi hikmah bagi orangtua saya. Orangtua yang terbiasa dengan pentas, seni dan segala hal yang melingkupi termasuk gaya hidup seniman lambat laun berubah. Keberadaan saya sebagai santri memotivasi orangtua untuk mendalami agama Islam secara lebih intens. Pondok Pabelan tidak hanya membentuk saya, tetapi sekaligus menjadi media introspeksi dan refleksi bagi orangtua saya.
Tiga tahun saya dibiasakan dengan disiplin. Disiplin yang paling dekat adalah sholat tepat pada waktunya. Pondok Pabelan benar-benar melatih saya dan menggembleng saya persoalan ini. Istilah pesantren populer dengan sebutan penjara suci, terkesan mengerikan dan “nggak banget” bagi kebanyakan pemuda masa puber. Pesantren penuh dengan kekangan, membatasi gerak, membatasi gairah, dan semacamnya. Mungkin saja beberapa pesantren di penjuru dunia ada yang menerapkan kekakuan-kekakuan peraturan, dan pembatasan yang ekstreem. Namun bagi saya Pabelan bukan penjara, Pabelan masuk akal, Pabelan madrasah, Pabelan ibuku. Peraturan memang harus ada untuk melatih disiplin dan untuk menyamakan persepsi. Bukankah agama Islam ada untuk mengatur kehidupan manusia dan Al-Qur’an Hadits sebagai pedoman?. Pabelan wadah pembelajaran kehidupan kita yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Bagaimana menjalani kehidupan dengan luwes, namun tetap berpegang pada ajaran Islam. Satu hal yang penting untuk diingat, Pabelan tidak mengajarkan aliran maupun penganut ormas tertentu. Pabelan mengajarkan kami menjadi seorang Muslim. Output yang dihasilkan adalah saya yang tidak fanatik pada ormas manapun. Pokoke Islam (titik).
Tiga tahun berselang, tahun 2004 saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan menengah atas di Sekolah Menengah Musik Yogyakarta dengan penuh pertimbangan sebelumnya. Banyak yang menyayangkan keputusan saya untuk tidak melanjutkan studi di Pabelan, tetapi lagi-lagi Pabelan tidak memaksakan kehendak. Saya tidak mengalami kesulitan apapun dalam proses pendaftaran, baik ijazah MTs yang saya miliki, asal usul sekolah sebelumnya yang notabene pesantren tidak menjadi persoalan. Saya tetap bisa melanjutkan studi di sekolah yang saya inginkan, tanpa dipermasalahkan.
Tahun 2007 saya lulus dari Sekolah Menengah Musik dengan instrumen Biola dan melanjutkan studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Minat saya pada musik tidak luntur karena Pabelan tidak menutup akses minat saya pada musik kala itu. Saya tetap bisa berprestasi dalam bidang yang saya tekuni meskipun saya lulusan pesantren. Pabelan tidak pernah menjadi penghalang, pesantren bukan alasan untuk tidak merdeka dan berprestasi.
Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina. Pepatah klasik dari Hadits yang sangat memotivasi hidup saya. Tahun 2012, saya lulus dari ISI Yogyakarta. Belum puas dengan ilmu yang saya miliki, saya melanjutkan studi S2 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Tidak mudah menyamakan persepsi bagaimana kaitan seni dengan religi, tetapi hal tersebut tidak saya ambil pusing. Saya jalani kehidupan saya dengan jalan yang saya pilih dan berusaha tidak ndableg dengan aturan agama. Yang penting tetap dalam koridor agama. Toh dulu di pesantren saya tidak diajari untuk berkaku-kaku ria pikir saya begitu. Tapi benar, Pabelan mengajari kami hidup yang logis. Hidup yang riil, bahwa senyatanya kita juga membutuhkan hal-hal yang sifatnya komplementer. Ilmu agama yang mengatur jalan hidup kita. Habluminallah dan Hablumminannaas. Keseimbangan.
Pabelan bukan sekedar sarana untuk mengikuti aturan yang dibuat pengurus, bukan sekedar menyelamatkan diri dari pergaulan bebas, bukan sekedar belajar mengatur uang, bukan sekedar belajar tidur tanpa orangtua. Pabelan adalah sarana ngelmu bagi saya. Segala hal yang terjadi dan terdapat di Pabelan menyimpan maksud dan pembelajaran yang luar biasa. Saya bisa merasakan dengan sangat nyata setelah raga saya tidak berada di Pabelan. Menerapkan apa yang pernah dilalui sebelumnya di Pabelan. Pabelan mempersiapkan diri saya untuk tangguh menghadapi dunia luar. Kompleksitas peristiwa yang ada di Pabelan saya temui di dunia luar, di masyarakat. Bagaimana cara mengatasi teman yang egois, yang tidak mau piket. Bagaimana mengatasi gayung yang sering di-ghasab. Bagaimana menerima keadaan dengan menu makan yang agak monoton meskipun dibumbui sedikit kenakalan remaja level santri. Hehehe. Kabur dengan teman satu kamar saat itu ukhti Rina Y.S demi semangkuk bakso Santan yang jadi idola dan andalan para santri atau nasi goreng bu As yang bisa kami dapatkan dengan cara menitip pada kakak santri putra yang terjadwal bulis alias jaga malam. Langganan saya saat itu adalah Kak Imam Rosyidin yang sedang menjalani masa pengabdian. Kelabakan tutup pintu rapat-rapat karena takut ketahuan ketika mendengar suara moge dan sorot senternya Bapak Najib yang selalu check situasi di malam hari. Itu adalah salah satu akting terbaik kami. Hehehe (buka kartu). Sensasi sanksi oleh pengurus karena pelanggaran itu luar biasa menyehatkan dan mencerdaskan. Sanksi berupa bersih-bersih komplek asrama atau setor hafalan kata-kata dalam bahasa Arab, Indonesia dan Inggris. Kalau mau cerdas dan sehat, silakan melanggar peraturan. Hehehe, bercanda. Akan lebih terhormat jika kita sehat dan cerdas dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan. Sanksi yang diterapkan pun tetap memilki unsur manfaat bagi santri. Tidak sekedar mempermalukan tanpa tujuan dan maksud yang jelas.
Pabelan, bukan sekedar nama. Pabelan, kesatuan komponen di dalamnya. Pak Kiai, Bu Nyai, asrama, ustadz, ustadzah, masjid, lonceng, speaker, sawo bludru, tahu, gumbingan, nampan makan, gayung, ruang tamu, kelas, semuanya. Pabelan, ternyata orangtua saya tidak salah memilihmu. Ternyata saya tidak salah mencintaimu. Saat ini saya bekerja sebagai salah satu pengajar musik di perguruan tinggi swasta di Banjarmasin. Saya made in Pabelan yang memilih jalan hidup di dunia musik dan tetap menjadi diri saya sendiri yang masih selalu belajar bermental baja seperti yang ditanamkan Pabelan. Bagaimana berpendirian, bagaimana tegas mengambil keputusan, berani mengambil langkah, melihat terus ke depan. Pabelan, terimakasih untuk segala ilmunya. Suatu saat saya ingin kembali padamu dalam wujud yang lain, keturunanku kelak. Semoga Allah merahmatimu. Semoga engkau panjang umur sehingga dapat terus mencerdaskan dan memupuk karakter anak bangsa yang sholehah, mandiri, disiplin, merdeka dan penuh semangat. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin. Salam rinduku padamu Pondok Pesantren Pabelan.


Angkatan 2006-2010

Pesantren dan Impianku
Setyawan Saputra

Bersabar dan ikhlaslah dalam setiap langkah perbuatan
Terus-meneruslah berbuat baik, ketika di kampung dan di rantau
Jauhilah perbuatan buruk, dan ketahuilah pelakunya pasti diganjar,di perut bumi dan di atas bumi
Bersabarlah menyongsong musibah yang terjadi dalam waktu yang mengalir
Sungguh di dalam sabar ada pintu sukses dan impian akan tercapai
Jangan cari kemuliaan di kampung kelahiranmu
Sungguh kemuliaan itu ada dalam perantauan di usia muda
Singsingkan lengan baju dan bersungguh-sungguhlah menggapai impian
Karena kemuliaan tak akan bisa diraih dengan kemalasan
Jangan bersilat kata dengan orang yang tak mengerti apa yang kau katakan
Karena debat kusir adalah pangkal keburukan[1]

Amerika merupakan suatu negara maju dan besar yang sudah tidak asing lagi di telinga santri.  Mendengar ada berita seleksi exchange program yang diselenggarakan oleh Bina Antar Budaya dengan AFS membuat beberapa santri dari pondok Pabelan menggeliat dan bersemangat untuk mengikuti seleksi di Yogyakarta; aku termasuk di dalamnya. Dari sekitar 30 santri pondok Pabelan hanya aku dan satu santri putri yang berhasil lolos ke tahap selanjutnya untuk mengikuti seleksi pusat di Jakarta. Akhirnya kami berdua lolos, dan yang paling membanggakanku adalah karena aku santri putra pertama yang lolos mengikuti seleksi AFS setelah tahun-tahun sebelumnya hanya santri putri yang berhasil menaklukkan ujian itu. Tekad semangat itu terbayar dengan keberangkatanku ke negeri Paman Sam pada tanggal 11 Agutus tahun 2006. Diiringi doa dan restu dari orang tua, ustadz-ustadzah dan saudara-saudaraku di pesantren Pabelan tepat dua hari setelahnya kakiku berhasil menginjak negara industri terbesar itu. Hatiku tergetar tak percaya, bangga sekaligus haru, betapa tidak aku tak membayangkan betapa jauh akan menimba ilmu sampai melewati beberapa benua di belahan dunia. Berkali-kali aku mengucapkan tahmid, tasbih, dan takbir sebagai ungkapan rasa syukur pada Allah yang telah menganugrahkan ini padaku.
            Pengalaman menggembirakan ketika sampai di Amerika, kami diarahkan oleh AFS Program di Hotel Hilton Washington DC dan bertemu dengan peserta exchange program dari seluruh dunia. Di tempat inilah pertemuan kami dengan 50 saudara kami dari Indonesia untuk disebar di seluruh negara bagian di Amerika. Akhirnya saya ditempatkan di keluarga Charles and Luanne Pierson Family yang beralamatkan di 18 Terrace Drive, Orange, Massacuhets (MA), USA 01364 dan belajar di lembaga pendidikan Ralph C. Mahar Regional High School. Berbagai model pembelajaran yang berbeda dengan pembelajaran sekolah di Indonesia aku dapatkan, dan itu aku sukai yang kemudian aku kolaborasikan dengan sistem KMI (Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah) ketika mengabdikan diri sebagai ustadz di pesantren Pabelan.
            Hidup memang sudah diatur Allah dan manusia menjalaninya dengan berikhtiar, berdoa dan tawakkal. Awalnya pun aku tak pernah membayangkan kehidupan pesantren, tidur bersama banyak santri, makan bersama dan segala aktivitas yang penuh aturan, pengawasan dan keharusan menjadi pribadi mandiri. Setelah lulus dari SD aku berniat untuk melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 2 Semarang yang terkenal sebagai sekolah favorit dan diminati banyak orang. Tapi aku gagal masuk karena nilaiku tidak mencapai batas minimum yang ditentukan. Sedikit kecewa aku kembali kerumah dan di tengah perjalanan pulang orang tuaku berkata “Berarti takdirmu ora neng kono, Le” (berarti takdirmu bukan di situ, Nak). Keesokan harinya pamanku datang dan menasihatiku untuk masuk pesantren agar bisa sekolah sekaligus mengaji. Aku tetap termenung, akhirnya orang tuaku kembali angkat bicara “Mondok wae Le ben isa ngaji, sesuk isa ngirim donga wong tua wes ora ana” (mondok saja Nak supaya bisa mengaji dan bisa mengirim do’a ketika orang tua sudah tiada). Akhirnya aku setuju, dengan segenap kebulatan tekad dan keyakinan hati aku memutuskan untuk masuk pesantren, pamanku menyarankanku untuk ke Pesantren Pabelan agar bisa mengaji, sekolah, cakap berbahasa Inggris dan bahasa Arab. Niatku tulus aku ingin mengaji, menanggalkan kebodohan yang menggelapkan hati dan fikiran.
            Gerbang bertuliskan “Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan” terlihat dari kejauhan oleh mataku, hatiku bergetar, antara suka dan sedih bercampur aduk menjadi satu. Senang aku terdampar dalam kebaikan dan sedih karena aku harus berpisah dengan orang tua, saudara dan harus lebih mandiri dan disiplin. Aku benar-benar menjadi santri sekarang, bisikku dalam hati. Momentum istimewa menjadi santri baru adalah khutbatul iftitah (khutbah penyambutan santri baru) saat itu KH Ahmad Najib Amin pimpinan Pondok Pabelan menyampaikan kata-kata motivasi, “ Kalau kamu tidak krasan di pondok cobalah satu tahun, kalau masih belum krasan coba satu tahun lagi, kalau sudah tujuh tahun kok masih belum krasan, keluar saja tidak apa apa.”  Kalimat itu yang akhirnya menjadi cambuk semangatku untuk mengikuti segala kegiatan dengan senang hati. Ketika merasa penat dan ingin pulang aku ingat lagi kalimatnya “coba lagi”. Bagi sahabatku yang merasa terpaksa nyantri mengatakan bahwa pesantren adalah “penjara suci” tapi bagiku pesantren adalah ibu yang mendidik dan membesarkanku, makan, minum tidur di pesantren. Pesantren adalah rumahku “Ma’hady baity, Baity Jannaty, walhasil Ma’hady jannaty” (Pesantren adalah rumahku, Rumahku surgaku, dan akhirnya pesantren adalah surgaku). Keyakinanlah yang membuatku bertahan di pesantren, keyakinan bahwa pesantren akan menuntunku untuk menjadi manusia paripurna, manusia berakhlaq mulia dan kelak manusia yang dipersilahkan masuk ke surga dari pintu mana saja yang dia mau.
Keyakinan dan tekadku benar-benar diuji. Kebiasaan malas yang biasa kujalani di rumah mulai digilas roda kegiatan yang terus berjalan di pesantren. Mulai ayam jago berkokok dan lonceng waktu yang memekakkan telinga, saat itu aku harus  memaksa diri membuka mata. Bergelut dengan dingin air wudlu, sholat subuh berjamaah kami lakukan dan menjadi pembuka kegiatan rutin sehari-hari. Lantunan ayat suci al-Qur’an mulai terdengar di sudut-sudut bilik para santri, sang pembimbing yang selalu setia menemani dan mengajari kami mengeja huruf demi huruf dari Al Qur’an. Kegiatan yang membedakan dengan pondok lain di desaku adalah olah raga setiap pagi, di situlah kami disadarkan pentingnya kesehatan dan kebugaran, kami umat Islam harus sehat, jasmani maupun ruhani, karena dengan kesehatan menunjang peribadatan kita kepada Allah. Hari Selasa pagi kami tidak berolahraga, namun ada kegiatan Muhadatsah (latihan dialog) antara santri junior dengan senior, suka ataupun tidak suka harus dengan dua bahasa internasional kami yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris hingga waktu sarapan tiba. Lantas kami mempersiapkan diri untuk belajar di Madrasah. Waktu yang krusial bagi kami karena sewaktu di rumah kita mandi di kamar mandi sendirian sedang di sini kita bergantian dengan teman yang lain. Al waqtu asmanu mina dzahabi ‘waktu lebih berharga dari pada emas’, mahfudzat yang dipelajari di pesantren bahwa untuk menjadi orang yang tidak merugi harus disiplin. Ketika sarapan belajar untuk bersyukur, mulai dari mensyukuri apa yang ada di depan mata, sepiring nasi dan tahu opor, harus qona’ah ‘merasa-cukup’. Yang unik bagi kawan yang miskin piring dan alat makan, kami makan bersama dalam sebuah baki/ nampan besar. Di situlah kenangan yang tak bisa kami lupakan, indahnya kebersamaan, ukhuwah islamiyah membuat kami selalu saling rindu meski kami sudah terpisah jarak dan telah menjalani kehidupan masing-masing.
KMI (Kulliyatul Mu’allimin al Islamiyah) adalah kurikulum resmi pesanren kami yang diadopsi dari pondok pesantren Gontor Ponorogo. Bukan melawan pemerintah, atau membenci kurikulum nasional, tapi inilah kemerdekaan kami, kemerdekaan dalam berfikir (kalau dalam motto pesantren kami adalah berfikiran bebas) di samping pendiri pesantren kami alumni Pondok Gontor. Kurikulum ini berbeda dengan kurikulum nasional, karena apa yang diajarkan di Madrasah langsung dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari secara teratur dan terstruktur. Contohnya di Madrasah santri diajari Nahwu Sorof, ilmu ini akan dipraktikkan di asrama berbekal vocabulary yang diajarkan kakak-kakak pendamping dan pengurus OPP lewat percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu kelebihan sistem KMI adanya dua sistem ujian santri yaitu ujian tertulis dan ujian lisan; kemampuan santri akan benar-benar diuji. Kemungkinan contek-mencontek dalam ujian tertulis akan terbantahkan dengan adanya ujian lisan; mental santri pun diuji di hadapan ustadz. Sistem KMI juga menyatukan sistem pembelajaran secara berkelanjutan yang dimulai dari kelas satu sampai kelas enam KMI.
Di sela-sela rutinitas kegiatan pesantren, aku mengikuti ekstrakurikuler sepak bola, kegiatan yang membuatku merasa terlepas dari beban. Kita diberi kebebasan memilih ekstrakurikuler apapun yang kita mau dan kita inginkan. Di sini kita mengasah bakat tersembunyi para santri, hingga suatu hari aku mendapatkan sertifikat sebagai pemain belakang terbaik sebuah turnamen yang diadakan oleh pesantren.
Kegalauan, kegundahan sebagai remaja pun tak dapat terhindarkan ketika kami para santri kelas tiga lulus ujian. Sebagian dari kami ada yang pindah ke sekolah lain, aku sempat ingin keluar. Bayanganku tentang sekolah favorit tiba-tiba muncul dan menari-nari di otakku. Namun kebingungan itu hilang ketika orang tuaku dengan tegas memerintahkan aku untuk tetap tinggal, meneruskan kebaikan yang selama ini telah kutapaki. ”Bismillah aku yakin tetap tinggal di pesantren,” begitulah bisikku dalam hati.
Waktu terus bergulir, tak terasa aku kelas IV KMI. Kakak kelasku Qurrota ‘Ayuni santri pertama yang mendapatkan kesempatan belajar di luar negeri memotivasi untuk mengikuti jejakkya. Usaha kecil sudah aku lakukan untuk menempuh asaku, setiap hari Jum’at semua santri diberi kesempatan untuk izin keluar pondok, sebagian kami ada yang shopping, ada yang jalan-jalan kuliner dan sebagainya, namun aku bersama seorang kawanku Maman (Aulia Rahman) meminta izin untuk pergi ke Candi Borobudur. Di samping rekreasi melepas kepenatan, kami juga mengasah kemampuan bahasa asing dengan berdialong bersama para turis dan wisatawan asing. Salah satu trik sukses yang sedang aku perjuangkan yaitu i’malu fauqo ma ‘amilu atau going the extra miles ‘berusaha di atas rata-rata orang lain’. Pada waktu yang bersamaan aku mulai mendapat kepercayaan sebagai pegurus Rayon[2] bagian bahasa, bertugas memberikan vocabulary kepada para santri dengan lima kata setiap hari dihafalkan; setiap pekan sekali para santri mengujikan hafalan kepada pengurus Rayon. Dari sinilah aku mendapat manfat yang begitu banyak. Di samping hafal berbagai vocabulary, aku juga mencari dan menemukan vocabulary baru yang belum diketahui para santri. Hal ini mengingatkanku pada kisah sahabat sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW yaitu Imam Ali RA saat ditanya untuk memilih antara harta dan ilmu, maka beliau memilih ilmu dengan alasan bahwa ilmu akan menjaga pemiliknya sedangkan harta  pemiliknyalah yang menjaga. Ilmu jika diberikan kepada orang lain akan semakin bertambah sedangkan harta jika diberikan kepada orang lain kan berkurang. Sungguh luar biasa, ketika seorang membagi-bagikan ilmunya maka secara tidak langsung dia juga belajar dan kemampuannya akan semkin terasah.
Tahun berikutnya, aku  diberi amanah baru yaitu sebagai pendamping kamar.  Kedewasaanku mulai terlatih dan tertata, seolah-olah aku menjadi kakak, bahkan orang tua bagi adik-adik kamarku. Masalah ketertiban, kebersihan, akulah yang harus mengatasinya, akupun menjadi tempat bersandar setiap mereka diterpa masalah, hubungan kami penuh dengan cinta kasih sebagai keluarga santri pondok pesantren Pabelan.
Tahun kelima di pesantren adalah tahun yang bersejarah dalam hidupku. Pada tahun ini  keseharianku dipenuhi dengan perjuangan keras, tetesan keringat dan semangat membara karena mengikuti seleksi Bina Antar Budaya, program pertukaran pelajar yang diselenggarakan tingkat chapter ‘cabang’ Jogjakarta. Pertama adalah seleksi administrasi, mayoritas semua santri di kelasku mengirim berkas seleksi administrasi sebagai tahapan awal. Dari lima puluh santri yang mendaftar ada sekitar tiga puluh santri yang lolos seleksi administrasi dan berangkat mengikuti ujian tertulis di Jogjakarta. Berbekal vocabulary yang kuhafalkan di pesantren dan kebiasaanku mengisi waktu luang di perpustakaan untuk mengupdate informasi dan pengetahuan umum akhirnya meloloskanujian tertulis ini. Ujian terakhir Chapter Jogjakarta adalah interview, hal yang terberat adalah konferensi pers. Di sini kami diposisikan sebagai muslim di luar negeri, dengan isu terorisme dan radikalisme yang ditakuti dunia barat. Di sinilah kita bisa menjelaskan bahwa kita muslim yang mencintai perdamaian, Islam yang rahmatan lil ‘alamiin. Pada sesi ini kecerdasan kita benar-benar diuji, bagaimana kita menjawab semua pertanyaan dengan argumentasi tepat tanpa terprovokasi isu yang ada, dan bagaimana kita membawa diri untuk tenang tanpa terpancing emosi.
Pada waktu bersamaan aku diangkat menjadi OPP (Organisasi Pelajar Pondok) bagian penggerak bahasa. Tanggung jawab meliputi pengaturan siklus penggunaan bahasa para santri putra, mengadakan debat bahasa, mengajarkan penggunaan bahasa yang baik dan benar. Tanggung jawab ini menjadi momentum belajar yang santai dengan rekreasi bersama santri lain berkunjung ke Borobudur, sebagai ajang praktis penggunaan bahasa dengan turis mancanegara. Tiga bulan berlalu dan tibalah saatnya pengumuman hasil seleksi AFS tingkat Chapter Jogja, seluruh santri yang mengikuti seleksi dikumpulkan oleh pemimpin pondok pesntren KH Ahmad Najib Amin untuk mengetahui hasil seleksi yang diumumkan langsung oleh beliau. “Tahun ini tidak sebanyak tahun kemarin santri yang lolos seleksi namun ada satu kebanggaan karena dari dua santri yang lolos satu di antaranya adalah santri putra.” Inilah kata kata pengumuman dari Kiai yang mencambuk semangatku untuk bisa lolos di tingkat nasional atau pusat. Dua minggu setelah ini  aku bersama sembilan kawan lainnya dari chapter Jogja berangkat ke Jakarta untuk mengikuti seleksi penentuan, dan akhirnya dari sepuluh anak chapter Jogja, tujuh dari kami lolos untuk menerima beasiswa pertukaran pelajar selama satu tahun.
Hari-hari berikutnya di pesantren terasa lebih indah, detik demi detik, hari demi hari menanti keberangkatanku ke Amerika. Ustadz kami bapak KH Ahmad Najib sering mengguyoniku dengan humor-humor renyah di sela-sela pidatonya,  salah satu yang ku ingat saat itu beliau khutbah di depan para santri, “Tahun ini kita akan mengekspor sapu” sejenak para santri terdiam lalu beliau melanjutkan “Sapu itu Saputro, Setiawan Saputro.” Semua tertawa lebar. Hatiku berbunga-bunga serasa menjadi selebritas papan atas, tak ada satu santri pun di pesantren yang tak mengenal namaku, sedikit bangga tidak masalah asal tidak sampai takabur begitu bisikku dalam hati.
Singkat cerita sepulangku dari Amerika, aku mulai mendapat banyak kepercayaan dari pesantren, seperti pembuatan makalah bahasa Inggris, menjadi trainer anak-anak dalam lomba Bahasa Inggris. Sedikit kegalauan menggelayuti jiwaku yang masih labil, aku harus menyelesaikan pendidikan satu tahun lagi di saat teman-teman seangkatanku sudah lulus. Namun semua kujalani dengan cinta, cinta pada pesantrenku. Tahun berikutnya aku dan temanku Isnatul Arifah diwajibkan mengabdi di pesantren satu tahun, bersama teman-teman lainnya yang mengikhlaskan dirinya untuk mengabdikan diri. Aku mulai diberi tanggung jawab sebagai ketua BK (Bimbingan Konseling) serta mengajar Matematika dan Bahasa Inggris untuk kelas 1 KMI).
Dengan diberinya amanah mengorganisasi dan mengamalkan ilmu-pengalaman yang pernah saya dapatkan selama menjadi santri dan pertukaran pelajar, saya membuat inovasi yang belum ada di pondok. Misalnya membuat permit card bagi santri untuk ijin keluar kelas dalam jam pelajaran.  Semua itu terjadi berkat jasa pondokku dan segenap warga yang ada di dalamnya. Terima kasih pondokku, ibuku.

Darah Daging Pabelan
Fikri Fahrul Fais

Banyak orang memandang bahwa Pondok itu mengerikan. Tidak hanya anak yang menolak menjadi santri, tapi para orang tua juga punya berbagai alasan untuk enggan mengirimkan anaknya masuk pondok. Di mata mereka, pondok itu kumuh, nggak keren, banyak peraturan, pengalaman pun cuma sedikit karena lingkungan yang terbatas. “Kenapa harus susah-susah di Pondok, kalau sekolah di tempat lain saja bisa.” Tapi, semua itu sangat berbeda dengan pengalaman saya sebagai seorang alumni Pondok Pesantren Pabelan. Pengalaman yang saya yakini khas dan tidak ada di tempat lain.
Saya mondok hasil dari keputusan saya sendiri. Tidak merasa terpaksa. Mungkin karna orang tua saya sukses menanamkan doktrin-doktrin mondok di otak anaknya yang masih kecil. Wajar memang, karna sebenarnya kehidupan saya juga tidak jauh-jauh dari Pondok Pabelan. Bapak dan Ibu saya pernah nyantri di Pabelan. Begitu saudara saya, beberapa dari mereka juga bekas lulusan Pabelan. Belum lagi, saya sering ikut ngumpul dengan teman-teman orang tua saya yang dulunya di Pabelan. Oleh karena selalu berada di dalam lingkarannya, mungkin saya adalah orang yang Pabelan-nya kaffah.
Saya bisa resapi, ada khas tersendiri dalam gaya pembelajaran di Pabelan. Dipaksa, terpaksa, terbiasa, bisa, luar biasa. Kegiatan santri di Pabelan melahirkan beberapa aturan yang harus diikuti para santri. Aturan ini seperti sebuah paksaan yang mau tidak mau, senang atau tidak, santri harus siap untuk menjalankannya. Tapi akhirnya, paksaan ini menjadi kebiasaan yang berbuah manis. Selaras dengan apa yang sering dikatakan oleh Pak Kiai dalam khutbah beliau, kami para santri bisa karena terbiasa. Salah satu contohnya adalah penggunaan bahasa. Ya, di Pabelan santri harus pakai bahasa Arab dan Inggris. Kandang pergantiannya seminggu sekali. Dengan ancaman hukuman yang akan diterima, santri mau tidak mau harus menggunakan bahasa tersebut. Dengan terbata-bata, bahasa Arab/Inggris yang terkesan medok dan seadanya, yang penting pakai bahasa.
Di pikiran kami para santri, mempraktikkan bahasa itu bukan karena ingin bisa, tapi kaerna menghindari hukuman. Sesederhana itu. Kami juga tidak memilih untuk bisa berbahasa asing. Tapi kebiasaan memakai bahasa membuat kami sedikit demi sedikit bisa. Vocab semakin hari semakin bertambah. Tidak hanya percakapan sehari-hari, lambat laun kami mulai bisa berargumen dengan menggunakan bahasa asing tersebut. Bahkan beberapa dari santri Pabelan berhasil mendapatkan penghargaan karenanya. Pengalaman saya pribadi, saya mendapat juara II dalam lomba bahasa Inggris tingkat Madrasah Aliyah se-Kabupaten Magelang. Selain bahasa, Pabelan juga mendidik santrinya untuk mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Lewat muhadhoroh, santri dituntut untuk berani berbicara di depan banyak orang. Di mata santri, kegiatan ini menajdi kegiatan paling menakutkan dan menyebalkan, harus membuat naskah dan menguasai bahan pidato menjadi rintangan tersendiri. Apalagi diwajibkan menggunakan bahasa Inggris dan Arab. Jika penampilannya dirasa kurang maksimal, hukumanlah yang akan diterima, tak jarang dipaksa berpidato di kuburan dengan suara lantang.
Namun, berkat muhadhoroh kepercayaan diri sedikit demi sedikit dapat dibangun. Santri Pabelan berani berbicara di depan banyak orang tanpa malu. Pemilihan kata dan cara penyampaian juga dilatih dalam kegiatan ini sehingga bisa lebih enak didengar. Dulu, saya pernah mendapatkan juara muhadhoroh di Pondok dan terpilih untuk mewakili Pabelan dalam lomba pidato bahasa Inggris tingkat Sekolah Menegah Atas se-Jawa Tengah di IAIN Semarang. Pulang tidak membawa juara memang, tapi pengalaman ini sangat berharga bagi saya untuk tidak mudah merasa puas dan terus belajar lebih giat.
Tidak hanya itu, banyak ilmu yang bisa santri dapatkan di Pabelan. Termasuk bagaimana santri dididik untuk mempunyai tanggung jawab dan peran dalam kehidupan sosialnya. Ini juga terkait dengan bagaimana santri menemukan jati dirinya. Caranya unik. Para santri diterjunkan langsung dalam organisasi. Hampir setiap kegiatan, para santri terlibat dalam organisasi dan masing-masing mempunyai tanggung jawab mereka sendiri. Mulai dari yang cakupannya paling kecil seperti organisasi kamar, atau Organisasi Pelajar Putra/Putri (OPP) yang  mengatur hampir 24 jam kegiatan santri. Melalui organisasi inilah santri terlibat langsung dalam merancang program kerja, implementasi, dan evaluasi. Memang tidak ada kelas khusus bagaimana cara berorganisasi yang baik dan benar. Tapi justru dengan terlibat langsung di dalamnya para santri tahu benar bagaimana peran dan tanggung jawab mereka. Atau mungkin bisa dikatakan, santri mbelan itu learning by doing. Dalam hal ini, santri dididik untuk berani bermimpi dan berencana, tidak takut untuk memulai, dan bertanggung jawab untuk mengakhirinya.
Para santri juga belajar bagaimana bersosialisasi. Murid-murid yang datang tidak hanya dari satu daerah, melainkan dari segala penjuru Indonesia. Kondisi ini membuat santri mau tidak mau harus berkomunikasi dengan orang yang berbeda daerah. Beda daerah, mungkin beda wataknya. Tapi, semua terlebur dan berbaur menjadi sahabat di bawah naungan Pabelan. Unity in diversity. Ini mungkin tidak terasa oleh para santri. Terlewat begitu saja. Namun ini justru menjadi landasan yang penting bagi para santri jika kembalinya mereka ke masyarakat setelah lulus. Mereka lebih toleran akan perbedaan. Lebih fleksibel, tidak kaku, tidak pilih-pilih dalam berteman. Paham bagaimana bersikap dan menghargai satu sama lain.
Lulusan Pabelan adalah para survivor yang mempunyai mental kuat. Ini telah dididik semasa nyantri di Pabelan. Santrinya bisa saja memilih untuk keluar, menikmati kehidupan yang lebih menyenangkan. Lebih bebas dan dapat jam bermain lebih banyak. Hal yang seperti itu mungkin menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak seusia kami waktu menjadi santri. Tapi dengan memilih untuk bertahan di kehidupan pondok, santri akan lebih mandiri. Terbiasa untuk tidak bergantung pada orang lain dan melakukan kebutuhanya sendiri. Apa yang saya dapatkan di Pabelan juga sangat berpengaruh dalam kehidupan saya setelah lulus. Termasuk saat kuliah. Awalnya sempat bingung untuk menentukan jurusan apa yang akan saya ambil. Tapi akhirnya saya diterima di jurusan Hubungan Internasional kelas internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Senang sekaligus khawatir, karna semua kelasnya menggunakan bahasa Inggris.
Awal-awal kuliah, saya sering ditertawakan oleh sekitar 40 orang teman sekelas karena bahasa Inggris saya masih ecek-ecek. Waktu di Pabelan memang mempraktikkan bahasa, tapi bahasa seadanya. Tidak peduli grammar, yang penting lepas dari hukuman bagian bahasa. Untuk percakapan sehari-hari sudah saya kuasi, tapi itu belum cukup untuk memahami pelajaran Hubungan Internasional dengan bahasa politiknya. Salah spelling, bahasa Inggris yang medok, membuat teman-teman saya begitu geli saat mendengar saya berbicara bahasa Inggris. Tapi saya tidak mau tetap pada keadaan seperti itu. Terngiang khutbah Kiai dulu bahwa “hidup itu seperti di atas rel kereta api: bergerak, atau terlindas.” Dengan pedoman MahfudlotIdza shodaqol azmu wadhohas sabiil” yang dulu wajib untuk dihafal saat mondok, berbagi cara saya lakukan agar tidak menjadi bahan tertawaan lagi. Salah satunya dengan membuat kelompok belajar beberapa teman. Kegiatan kami membaca bahan kuliah yang berbahasa Inggris dan mengartikannya. Secara bergantian, setiap orang bertanggung jawab untuk menjelaskan satu paragraf. Ini terus kami lakukan sehingga kami terbiasa dengan gaya bahasa Inggris yang sering dipakai dalam kelas HI.
Pada akhirnya, kerja keras saya terbayar lunas tuntas. Bahasa Inggris bukan lagi sebagai hambatan. Nilai saya waktu kuliah semakin lama semakin meningkat. Saya juga menjadi salah satu dari tiga orang pertama dari kelas yang berhasil lulus kuliah. Yang lebih spesial lagi, skripsi saya ditulis dengan bahasa Inggris, adalah satu-satunya mendapatkan nilai terbaik. Salah seorang dosen penguji sewaktu sidang skripsi malah merekomendasikan penelitian saya sebagai bahan percontohan bagi teman-teman. Dari sinilah, saya sering diminta untuk berdiskusi oleh teman tentang skripsi mereka. Sikap dan transformasi saya ini berkat ilmu yang Pabelan berikan. Memang bukan materi ilmu spesifik yang Pabelan beri bagi santrinya, melainkan pedoman hidup sehingga lulusan santrinya siap mengejar mimpi mereka. Pabelan tidak memberikan kesuksesan bagi santrinya, tapi lebih penting dari itu: mental dan karakter untuk bisa sukses, apapun bidang yang digeluti santri usai lulus.
Di mata saya Pabelan punya warna yang berbeda dengan pondok pesantren lain. Di saat beberapa pondok pesantren menutup diri, Pabelan justru membuka pintu selebar-lebarnya. Ini dibuktikan dengan seringnya tamu yang datang. Pabelan juga pernah menjadi tuan rumah perkumpulan dari pemuka agama dari beberapa agama, tidak hanya Islam. Inilah yang membuat Pabelan mempunyai nilai-nilai toleransi dan sangat menghargai perbedaan.Keterbukaan Pabelan juga nampak pada dijalankanya program The International Award For Young People (IAYP), sebuah program dari kerajaan Inggris untuk pengembangan kemampuan diri anak muda. Program ini sudah tersebar di lebih dari dari 120 negara. Di Indonesia sendiri, ada beberapa sekolah yang rajin mengikutsertakan anak didiknya ke dalam program ini. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Pabelan.
Sebenarnya, kegiatan yang ada di IAYP sudah ada dalam pondok. Rekreasi fisik, skill, dan pembaktian diri pada masyarakat. Dengan alasan inilah pada awalnya saya menolak untuk ikut. Ada ekstrakulikuler olahraga, sklill public speaking, kanis yang bisa dikatakan pembaktian masyarakat pun para santri sudah menjalankannya. Ada jadwal rutinnya pula. Tujuan program ini sebenarnya sudah Pabelan terapkan, yakni pesertanya dituntut untuk disiplin dan bertanggung jawab.Tapi kemudian, saya diajak berdiskusi dengan Bu Nyai Ulfa. Beliau menjelaskan bahwa apa yang sudah dijalankan santri sangat dihargai oleh orang di luar. Program ini memberi apresiasi untuk apa yang telah dilakukan oleh para santri. Singkat cerita, akhirnya saya ikut IAYP dan berhasil menyelesaikan tingkat Gold, tingkatan tertinggi dalam program tersebut.
Tanpa disangka, keikutsertaan saya dalam IAYP inilah yang membawa pengalaman terbesar dalam hidup saya. Pada tahun 2011, saya dan Nabil, kakak kelas di Pabelan, terpilih menjadi wakil Indonesia untuk International Gold Event (IGE) di Kenya. IGE adalah sebuah event yang diadakan setiap tiga tahun khusus bagi peserta IAYP yang telah menyelesaikan level emasnya.Unik, saat teman-teman saya berkesempatan exchange di beberapa negara besar, saya justru pergi ke Kenya. Negara third country di benua Afrika yang keadaannya tidak lebih baik dari Indonesia. Ketika teman-teman saya melihat gedung-gedung mewah di Amerika, teknologi maju di Jepang, infrastruktur megah di Australia, semua itu tidak ada di Kenya. Pemandangan yang saya dapatkan beda, rumah dari tanah yang lebih kecil dari kandang sapi, jalan off road, serta sekolah reot yang kurang guru dan kelebihan murid. Tapi justru karena berangkat ke Kenya, saya dapat memiliki warna pengalaman dan wawasan tersendiri, khususnya di bidang sosial.
Tidak terpikir mondok di Pabelan bisa membawa saya ke negara Kenya. Bertemu dengan pemuda dari segala penjuru negara untuk membahas dan merancang solusi bagi isu-isu kekinian tentang kepemudaan. Kami juga diberikan kesempatan untuk mempresentasikan solusi yang kami rancang kepada para petinggi IAYP, termasuk pangeran Edward yang sengaja hadir dalam setiap kegiatan IGE sebagai wakil dari kerajaan Inggris. Tidak hanya itu, kami juga melakukan pengabdian masyarakat dengan mengunjungi sekolah-sekolah yang membutuhkan bantuan. Kami merenovasi dan memberi bantuan alat sekolat bagi para siswanya. Setelah itu, bersama dengan guru dan siswa sekolah tersebut, kami menanam pohon bersama. Dengan kegiatan ini pula, saya merasa lebih berguna bagi Indonesia dengan mempresentasikan Indonesia dan keragaman budayanya. Termasuk demo tari Jatilan. Tidak luwes memang, tapi cukup untuk membuat beberapa teman tertarik belajar Jatilan.
Di sinilah ajaran-ajaran Pebelan begitu terasa. Kepercayaan menjadi landasan ketika saya berada di negeri orang, bertemu dengan orang-orang yang tidak biasa. Modal kepercayaan diri inilah yang saya dapat ketika mengikuti kegiatan di Pondok, khususnya muhadhoroh. Pengalaman organisasi di Pabelan juga sangat membantu saya dalam berdiskusi, baik mengungkapkan pendapat maupun mendengar pendapat orang lain. Terlebih, bahasa Inggris yang saya pelajari di Pabelan juga menjadi landasan saya untuk dapat berkomunikasi. Dari pengalaman saya pergi ke Kenya menjadi wakil Indonesia, saya terpilih untuk meraih beasiswa berprestasi di kampus. Beasiswa ini diberikan kepada orang-orang yang dianggap berprestasi dan mengharumkan nama UIN Jakarta di kancah nasional maupun global. Sekali lagi, prestasi yang saya terima ini tidak luput dari pengaruh Pondok Pabelan, bahkan saat setelah menjadi alumni.
Warna lain yang unik di Pabelan adalah ukhuwah para alumninya yang sangat solid. Baik alumni senior maupun junior aktif untuk mengadakan pertemuan. Bahkan pada level daerah atau konsulat. Sampai saat ini saya sering diajak orang tua untuk berkumpul dengan para alumni senior Pabelan. Pasti ramai dan seru kala mereka berkumpul, menanggalkan jabatan dan status mereka di luar. Tidak peduli dengan periode atau angkatan, yang ada hanyalah kebersamaan dan kekeluargaan di bawah payung Pabelan. Tidak hanya kumpul temu kangen, tapi terkadang mereka juga membuat acara sosial bersama.
Inilah yang sedikit saya ceritakan tentang Pabelan dan pengaruhnya dalam hidup saya. Secara keseluruhan, benang merahnya adalah Pabelan tidak memberikan meteri riil-nya, tapi mendidik santrinya untuk mempunyai karakter dan siap-sedia secara mental apapun keadaan yang dihadapi. Inilah yang menjadi modal penting bagi lulusannya untuk mengejar mimpi mereka. Pabelan tidak membangun pintu kesuksesan, tapi memodalkan kunci sukses pada para santri. Saya bersyukur bisa menjadi bagian dalam keluarga Pondok Pabelan, sosok penting yang membantu menemukan jati diri dan membentuk karakter saya. Teruntuk Bapak Sholeh Hasan dan Mama Umi Sa’idah: terimakasih telah menanamkan doktrin-doktrin Pabelan ke anakmu ini sewaktu kecil. Mondok di Pabelan adalah keputusan terbaik yang pernah saya buat saat masih kecil. Saya bangga menjadi anggota keluarga Pabelan. Oh pondokku, engkau Ibuku…

Menyantri di Kenya
Ahmad Nabil Athoillah


Antara bangga dan bimbang ketika mendapat berita bahwa saya akan diberangkatkan ke negara Kenya. Pertama, yang membuat bangga adalah saya dipilih oleh Kiai dan Bu Nyai untuk menggantikan salah satu delegasi Indonesia yang gagal berangkat (tetap bangga walau pengganti). Kedua, yang membuat saya bimbang adalah, bagaimana mimik muka saya ketika masuk ke dalam pesawat terbang? Saya tidak tega melihat muka saya yang sangar (berkumis dan berjenggot) harus bertransformasi menjadi mimik muka yang lugu ketika pesawat mulai take off. Padahal dari dulu saya bercita-cita berfoto selfie dengan background pesawat, tetapi perlu ditekankan bahwa tidak dengan pesawat yang sedang terbang dan di dalamnya ada saya! Satu lagi yang perlu diketahui bahwa saya pernah naik pesawat sebelumnya, tetapi saya tidak mendapatkan air ketika berencana membuang air besar, akhirnya saya men-jama` ta`khir “aktivitas urgent” tersebut. Tentu saya tidak ingin kejadian ini terulang dua kali, akan tetapi pepatah yang saya dengar di Pondok adalah “siap tidak siap harus siap” dan juga mahfudzot yang saya dapatkan, yakni “barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah swt sampai ia kembali”. Maka dalam hal yang serius ini, mau tidak mau saya harus siap, dan jika merujuk kepada mahfudzot tersebut agaknya saya merasa lebih tenang ketika naik pesawat yang sedang terbang, karena saya yakin saya sedang mencari ilmu, apalagi ini adalah amanah langsung dari Kiai dan Bu Nyai saya. Apapun kerikil dan badai yang menghadang, tidak menyurutkan niatan saya untuk mengabdi kepada almamater tercinta Pondok Pesantren Pabelan Mungkid, Magelang, Jawa Tengah dan secara khusus kepada Kiai saya Bapak K.H. Ahmad Najib Amin beserta Ibu Nyai Nurul Faizah.
Singkat cerita, pesawat yang kita tumpangi transit dahulu di Bandara Thailand.  Beberapa menit saya dan Fikri tercengang melihat besarnya bandara Thailand ini. Ketercengangan itu hampir membuat kami lengah untuk mencari pintu masuk pesawat yang akan kami naiki selanjutnya. Ketika kami berjalan untuk mencari pintu tersebut, kami melihat dua perempuan dan satu laki-laki menggunakan kaos berlambangkan logo sama dengan kita. Tanpa pikir panjang kami menghampiri mereka, akhirnya kami berkenalan. Mereka antusias menjawab pertanyaan kami. Dua perempuan tersebut berasal dari Korea dan yang pria dari Singapura. Saya paham betul bahasa Inggris yang mereka ucapkan jelas terdengar aksentuasi “bahasa ibunya”, seperti halnya saya yang medok Jawa dan kadang Sunda.
Hal menarik saya cermati dari perkenalan tersebut. Saya merasakan kegiatan praktik bahasa di candi Borobudur yang diselenggarakan oleh BAPENGSA (Bagian Penggerak Bahasa) yang saya ikuti selama menjadi santri di Pondok bermanfaat. Tidak hanya dalam bahasa Inggrisnya, melainkan kegiatan tersebut mengasah keberanian mental para santri untuk menyapa orang asing. Dahulu ketika saya mengikuti kegiatan tersebut, saya dituntut untuk mencari tanda tangan wisatawan asing yang berwisata di candi Borobudur. Akhirnya saya menyapa terpaksa wisatawan tersebut untuk mendapatkan tanda tangan. Walhasil, perkenalan dengan teman baru Korea dan Singapura berjalan mulus tanpa hambatan, saya tidak bisa membayangkan jika dahulu tidak praktik langsung di candi Borobudur, mungkin saya keringatan karena gugup dengan orang asing.
‘Presiden’ di Nairobi
Gedung Presiden adalah nama tempat santri merasakan pertama kali atmosfir Pondok Pabelan. Gedung ini menjadi saksi sejarah awal mula saya menjadi santri. Memori demi memori tersimpan dengan rapi dalam setiap kamar presiden A hingga E. Tangis rindu kepada orang tua, tawa bergema karena lelucon kawan, bahkan ketakutan yang klimaks ketika terjadi penyidangan yang dilakukan setiap jam sembilan malam. Sungguh, bukan sesuatu yang mudah untuk dilupakan, seakan semua kenangan itu terikat dalam hati dan otak saya seperti lilitan anaconda.
Lokasi pertama yang saya kunjungi di Kenya tidak lain seperti gedung presiden yang dulu pernah saya “tiduri”. KCB Traning Center Karen Nairobi adalah tempat peserta berkumpul untuk saling berkenalan. Tempat inilah yang menjadi penentu apakah saya akan menjadi peserta yang “wow” atau biasa saja, seperti pula di gedung presiden, ataukah saya akan menjadi santri yang banyak teman atau sedikit teman? Setiba di lokasi pertama, badan tetap utuh sekalipun sisa-sisa mimik wajah saya yang lugu masih terlihat karena jet-lag. Saya bersyukur kepada Allah swt yang memberikan keselamatan kepada saya. Sesampai di sana, kami langsung chek-in untuk mendapatkan kamar. Saya satu kamar dengan orang Inggris, tetapi saya cukup kaget ketika kami berkenalan dan melihat barang bawaan kami masing-masing, ternyata dia membawa dua koper yang besarnya setengah badan saya! Saya pikir, dia membawa semua peralatan rumah ke dalam koper tersebut, untung saya tidak melihat gas elpiji yang nyelip di dalamnya. Akan tetapi pelajaran yang saya ambil dari pengalaman satu kamar dengan orang tersebut adalah mereka sangat mempersiapkan segala sesuatu dengan perfektif.
Acara perkenalan dengan seluruh panitia dan peserta pun berlangsung. Inilah waktu terbaik mempromosikan nama negara Indonesia, harapan saya, ingin memperlihatkan Indonesia dengan “kegokilan”. Ketika panitia selesai memperkenalkan diri mereka akhirnya mereka menyetel musik LMFAO dengan keras lalu berjoged shuffling. Selang beberapa detik, tanpa ragu saya bergabung dengan barisan joged panitia, dan tanpa malu, saya berjoged solo yang jika saya ingat, joged tersebut sangat menjijikkan. Tetapi saya tetap percaya diri menyelesaikan joged hingga musik selesai. Setelah itu, akhirnya misi saya sukses, selang beberapa menit beberapa teman saya berdatangan untuk menyapa dan berkenalan. Di sinilah saya menjelaskan, berasal dari Indonesia. Sekalipun tidak saya pungkiri ada beberapa teman yang memang terganggu dengan joged saya karena tadi sempat muak melihat joged shuffling KW 3!
Saya sering mendengar dari alumni dan Kiai saya bahwa dahulu, ketika K.H Hamam Dja`far mempromosikan Pondok Pabelan, beliau tidak mainstream dalam berpromosi. Cara beliau dengan menginstruksikan santri putri mengenakan baju berwarna merah berkeliling di Desa Pabelan. Saya terinspirasi ide beliau yang “gokil” tersebut dalam mempromosikan nama negara Indonesia. Hal itu saya lakukan karena yakin bahwa Indonesia belum begitu dikenal oleh teman-teman saya yang berasal dari berbagai negara. Terbukti dengan pertanyaan dari teman Korea yang bernama Han-Sol Kang, bahwa pertama kali dia bertemu saya, dia mengira saya orang Jepang.
‘Kuwait’ di Sagana
Gedung Kuwait adalah tempat yang penuh dengan “keringat” anak muda. Semangat dan energi menjadi ruh gedung tersebut. Santri tidak bisa lagi hanya mencari teman, tetapi santri juga harus dapat “bertahan hidup” di alam gedung Kuwait yang terkenal keganasan dalam membakar semangat santri. Bagi saya, tempat ini adalah mesin pencetak karakter disiplin manusia, bagaimana tidak? Lha wong, dari bangun pagi hingga tidur kembali semua dilakukan dengan kecepatan tinggi dan berlari-lari karena OPP sudah menghitung di luar kamar, baik untuk shalat jama`ah maupun aktivitas santri lainnya. Dengan tegas mereka berteriak seperti ini,”saahsabu ila khomsah, wahiiiiiidddd...!!!!, istnain...!!!” Ditambah ekspresi muka garang yang terpancar dari raut muka para OPP tersebut.
Santri lama adalah sebutan bagi para santri yang berasrama di gedung Kuwait. Saya sebagai santri lama tidak bisa lagi sesantai dahulu ketika menjadi santri baru di gedung Presiden. Gedung ini menyimpan begitu banyak kenangan yang menantang. Semangat, keberanian, ketakutan dan kesedihan baru benar-benar terasa setelah berada di gedung ini. Inilah yang membuat saya berpikir bahwa lokasi kedua acara di Sagana White Water Rafting Camp seperti ketika saya berasrama di gedung Kuwait. Lokasi acara ini memberikan tantangan kepada saya untuk melakukan kegiatan alam sekitar. Disiplin yang tinggi, teamwork, keterampilan dan kegigihan menjadi kunci dalam mengikuti kegiatan outbond yang diadakan di lokasi kedua ini.
Setelah beberapa jam acara perkenalan dilaksanakan, akhirnya seluruh peserta dinstruksikan untuk packing barang-bawaan menuju bus keberangkatan. Hati saya semakin berdebar, rasa penasaran yang semakin berkecamuk, karena tidak sabar untuk mengikuti kegiatan outbond. Singkat cerita, tibalah saya dan teman-teman di lokasi kedua. Suguhan alam menakjubkan ketika melihat lokasi kedua ini. Saya melihat banyak pohon yang berkolaborasi dengan suara aliran sungai. Akan tetapi hal ini tidak membuat saya lupa bersyukur dengan sungai Pabelan, tempat semua kenangan ceria tersimpan, tempat kami  menjadi manusia purba sambil memegang rokok yang dihisap bersama-sama.
Kami semua dikumpulkan untuk di-briefing oleh panitia. Kami duduk di rumput hijau sembari mendengarkan arahan panitia. Rasa penasaran saya kian memuncak, karena sudah tidak sabar untuk mengikuti kegiatan outbond tersebut. Beberapa kegiatan: climbing, hiking, rafting dan cycling. Di antara kegiatan tersebut ada yang memang sering saya lakukan ketika nyantri di pondok, yakni hiking. Hiking saya berjalan jauh memutari areal persawahan desa agar tidak diketahui oleh BAKEM (Bagian Keamanan) ketika hendak “kabur” menuju Muntilan dan Magelang hanya untuk melepas penat bersama teman-teman.
Kami tidur di dalam tenda yang telah disediakan panitia. Tenda ini mengingatkan dahulu ketika mengikuti kegiatan pramuka di pondok. Setidaknya saya pernah mengerti bagaimana rasanya tidur dalam tenda sempit berbantalkan pakaian untuk menyenyakkan tidur. Lagi-lagi semua ilmu yang saya dapatkan di pondok sangat bermanfaat ketika menyantri di negara Kenya. Bayangkan jika dahulu saya tidak pernah ber-pramuka, saya akan membawa spring bed dari Indonesia dan saya gunakan dalam tenda. Kegiatan demi kegiatan saya ikuti dengan semangat 45. Ketika mengikuti climbing saya mendapatkan julukan Jackie Chan dari salah satu panitia, karena saya lentur bergerak memanjat tebing bebatuan. Akan tetapi jika sekarang saya ditantang untuk memanjat lagi tentu akan menolak dengan halus, karena keadaan perut saya yang sudah cukup “offside” dan saya tidak bisa bergerak bebas. Saya bersyukur dahulu perut saya masih kempes hingga tidak mengganggu saya mengikuti climbing tersebut.
Penutup acara di lokasi adalah api unggun disertai perform tiap peserta, akan tetapi hujan turun dengan lembutnya dan membuat acara akrab-akraban ini diganti dengan acara musik DJ. Sebagai santri pondok modern saya tidak hanya mendengar Hadad Alwi saja, melainkan berbagai aliran musik saya dengarkan juga, termasuk jenis musik remix hip-hop dan RNB. Ketika musik dikumandangkan tanpa ragu saya berjoged lagi dan memberikan aksi-aksi “gokil” untuk memeriahkan suasana. Akan tetapi keasyikan ini hanya bertahan sebentar saja, karena sebagian besar teman saya memang sedang meminum alkohol agar dapat berjoged menggila. Tentu bukan maksud saya untuk menjauhi mereka, akan tetapi saya tidak suka bau yang dihasilkan dari minuman tersebut. Saya pikir baunya seperti kaos kaki yang sudah sebulan tidak dicuci, menyengat dan tajam. Akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari acara tersebut dan kembali ke tenda sambil mendengarkan musik dari nokia butut saya.
Peristiwa ini tidak luput dari jasa pondok dalam mendidik saya. Saya ingat betul bahwa motto pondok yang terakhir adalah berpikiran bebas. Berpikiran bebas tidak berarti bahwa saya harus berpikir untuk ikut meminum alkohol dengan dalih menghormati teman dan membuat kami semakin akrab, akan tetapi makna dari motto yang keempat ini adalah bagaimana kita secara bebas mengekspresikan ide dan tingkah laku kita sesuai dengan koridor agama, karena ilmu dan agama tak terpisahkan.
‘Nusa Damai’ di Naivasha
Gedung Nusa Damai adalah gedung yang terletak persis di depan masjid Pondok Pabelan. Bangunannya memang tidak terbuat dari beton, akan tetapi santri yang mengisi gedung ini memiliki “jiwa beton”. Status santri sebagai anak buah meningkat menjadi pengurus/OPP ketika berasrama di gedung ini. Gedung diperuntukkan bagi santri terpilih kelas empat dan seluruh kelas lima. Selain menjadi tempat tinggal, gedung ini juga menjadi kantor para OPP tersebut. Ketika menjadi anggota OPP maka semua ego kita harus dikubur dalam-dalam, karena menjadi OPP adalah menjadi agent of change yang harus selalu kuat berada di garda terdepan dalam menjaga amanah pondok. OPP adalah santri yang juga masih mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah secara formal, tetapi mereka harus dapat menyelaraskan antara pendidikan formal sekolah dengan tanggung jawab penuh sebagai pengurus pondok. Alasan inilah yang membuat saya lantang mengatakan OPP “berjiwa beton”.
Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa lokasi ketiga acara yang berada di Great Valley Lodge Navasha seperti ketika saya tinggal di gedung Nusa Damai. Kegiatan di lokasi acara ini menuntut saya sebagai delegasi Indonesia untuk mengharumkan nama negara Indonesia. Inilah amanah dan tanggung jawab besar yang saya emban. Jika dahulu ketika menjadi OPP saya mengemban amanah Pondok Pesantren Pabelan, maka dalam acara di lokasi ketiga ini, saya mengemban amanah lebih besar yakni menjadi delegasi Indonesia dalam mengharumkan dan mempromosikan ragam budaya Indonesia di mata dunia. Jika saat berada di lokasi kedua saya berkemah dan mengantri mandi, maka di lokasi ketiga tidak lagi kesulitan untuk memanjakan diri saya dengan seluruh fasilitas cottage yang saya tempati. Setelah beberapa jam istirahat, acara pembukaan di lokasi ini dipimpin langsung oleh Presiden Kenya. Dalam sambutannya, beliau memberikan apresiasi kepada seluruh peserta dan panitia kegiatan IGE (International Gold Event) dan, di akhir acara pembukaan ini, kami disuguhi tarian budaya Kenya yang menakjubkan.
Hari selanjutnya saya disuguhi forum “berkelas dunia”. Dalam forum ini berbagai program anak muda dunia dibahas sesuai dengan tema yang ditentukan panitia. Para peserta dituntut saling memberikan pendapat terkait dengan langkah program yang akan dilaksanakan di negara masing-masing dengan tema-tema: research, training, communication, governance, youth policy dan fundraising. Pengalaman luar biasa yang pernah saya alami, karena saya dapat bertukar pikiran dengan anak muda hebat yang datang dari seluruh penjuru dunia. Keikutsertaan dan keaktifan saya dalam forum ini tentu tidak datang dari “tempat yang kosong”, melainkan jasa pondok yang benar-benar menggembleng saya sedemikian keras sehingga membentuk karakter percaya diri dan bersaing pendapat dengan teman-teman hebat lainnya.
Ketika di pondok, saya pernah mengikuti forum yang berani saya katakan “berkelas jagad raya” (setingkat lebih tinggi dari “berkelas dunia”), yakni MUKER (Musyawarah Kerja). Siapa saja yang pernah menjadi OPP tentu akan mencicipi lezatnya atmosfir intelektual yang ada pada forum tersebut. Bagaimana tidak, forum ini membuat semua anggota OPP berpikir keras merumuskan program kerja di setiap bagian demi kemaslahatan seluruh komponen yang ada di pondok. Semua permasalahan santri dibahas secara detail, dari program kerja keamanan pesantren yang dilakukan oleh bulis malam hingga membuat taman-taman indah di depan setiap kamar santri. Seluruh anggota terlibat aktif dalam forum ini, mereka saling melontarkan pendapat masing-masing. Tidak jarang gelas dan piring berterbangan hanya karena perbedaan pendapat antara satu bagian dengan bagian lainnya. Tidak sedikit pula antara satu individu dengan individu lain saling berteriak karena kesalahan merumuskan gramatikal bahasa di dalam program kerja. Sekali lagi saya katakan bahwa tidak berlebihan jika forum ini disebut sebagai forum “berkelas jagad raya”.
Malam hari adalah waktu yang selalu ditunggu oleh setiap peserta, dikarenakan setiap perwakilan negara mempresentasikan dan menunjukkan budaya masing-masing. Kegiatan ini kesempatan terbaik untuk menunjukkan nasionalisme. Sebenarnya kegiatan ini sedikit membuat saya dan Fikri kebingungan, karena kami tidak mempersiapkan sedikit pun penampilan apa yang kita tunjukkan nanti. Lagi-lagi pepatah “siap tidak siap harus siap” terbesit dalam otak saya. Ah! Sungguh saya semakin cinta dengan Pondok Pabelan, dia selalu memberikan solusi saat otak kehabisan bensin. Seketika itu beberapa jam sebelum acara dimulai, saya dan Fikri men-download lagu jatilan, ya! Lagu jatilan, lagu daerah yang cukup populer di tanah Jawa dan dijadikan hiburan bagi masyarakat pedesaan. Ada waktu beberapa jam untuk menonton tarian jatilan tersebut di youtube, dan kami mempelajarinya dengan mata melotot. Walhasil, kami tetap belum dapat menguasai tarian tersebut, sungguh ironis! Tetapi tidak sedikit pun hati ini gentar untuk menampilkannya.
Sebelum nama Indonesia dipanggil dalam acara tersebut, ada kesalahan teknis yang dilakukan panitia terkait proyektornya. Maka dalam beberapa menit kegiatan tertunda dan cukup hening. Seketika itu pula saya bereaksi dengan cepat menanggapi masalah tersebut. Saya dan Fikri maju sambil membawa gitar dan menyanyikan lagu penghibur untuk teman-teman yang lain sembari mengisi jeda waktu memperbaiki kesalahan teknis tersebut. Sekalipun saya sadar suara saya hancur, setidaknya mereka bertepuk tangan dengan halus dan memberikan senyum setengah-setengah. Akhirnya waktu kami tiba, kami membuka presentasi dengan gaya pembukaan muhadhoroh yang dahulu sering saya lakukan. Ahai! Lagi-lagi pondokku memberikan pembukaan bahasa Inggris yang ok punya, saya tidak membayangkan jika dahulu tidak mengikuti kegiatan muhadhoroh, mungkin saya terbujur kaku di podium sambil keluarkan busa dari mulut karena saking gugupnya berhadapan dengan dengan teman-teman dari seluruh penjuru dunia.
Tema yang kita presentasikan terkait ke-Indonesiaan, baik sisi geografis, bahasa, maupun budaya. Pertama, terkait dengan letak geografis, bahwa mayoritas teman dari negara lain mengetahui Indonesia dari pula Bali saja, parahnya sebagian lain menganggap Indonesia bagian dari Bali. Kami meluruskan persepsi salah ini dengan menjelaskan letak pulau Bali yang berada dalam lingkup negara Indonesia. Kedua, terkait dengan bahasa, mereka pun tertegun, terkesima mendengar bahwa Indonesia memiliki ratusan bahasa yang berbeda-beda. Orang asli Indonesia pun sangat mustahil menguasai seluruh bahasa yang ada di negaranya sendiri. Ketiga, terkait dengan budaya, keragaman budaya yang kita miliki menjadi daya tarik bagi seluruh negara di dunia ini. Bagaimana tidak, di satu pulau setiap suku memiliki budaya yang unik dan berbeda yang mungkin juga tidak dapat dipelajari hanya dalam satu atau dua tahun saja. Tidak lupa kami mempromosikan batik sebagai warisan budaya Indonesia yang diakui dunia.
Tibalah waktu kami menunjukkan salah satu tarian budaya Indonesia, yaitu Jatilan. Tanpa pikir panjang setelah lagu dimainkan, kami berjoget layaknya topeng monyet yang bingung akan memulai gerakan apa, akan tetapi seiring berjalannya waktu kami menikmati setiap dentuman nada khas jatilan dan menggerakkan badan secara teratur mengikuti tempo irama musik tersebut. Aura mistis yang timbul dari lagu jatilan tersebut terasa begitu menusuk gendang telinga dan mempengaruhi otak saya untuk menyuruh tubuh ini bergoyang tanpa henti. Akhirnya tarian jatilan jadi-jadian tersebut sedikit menghibur teman-teman saya, bahkan ada yang mengatakan gerakan tersebut sangat sulit untuk dilakukan. Saya bingung karena saya yakin 100% bahwa tarian jatilan yang saya lakukan berbeda dengan aslinya.
Keberanian saya untuk tampil di depan teman-teman tersebut bukan bakat yang muncul tiba-tiba, melainkan dahulu ketika saya nyantri, saya pernah beberapa kali tampil di panggung untuk menghibur para santri. Sudah tentu jika dahulu saya tidak tampil di panggung maka mustahil saya berani menari jatilan di depan banyak orang, apalagi saya tidak menguasai tarian tersebut. Untuk kesekian kali pondokku memberikan ilmu yang tidak bakal didapatkan di bangku sekolah formal. Hari selanjutnya adalah kegiatan bakti sosial yang diadakan di sekolah dasar. Tugas kami adalah merekonstruksi bangunan yang sudah mulai rusak. Saya mendapatkan jatah membuat lantai setiap kelas. Sesekali saya mengaduk semen dan menyerok pasir, saya pikir menyerok dan mengaduk pasir itu mudah, tapi ternyata sungguh sukar dan memerlukan banyak tenaga. Pasir begitu berat jika diserok, mungkin karena pasir Kenya.
Hal menarik ketika kegiatan beralangsung, waktu itu teman saya yang wanita mendorong pasir dengan gerobak pasir. Saya melihat wanita itu sempoyongan badannya, karena mungkin terlalu berat pasirnya. Mendadak saya menjadi superman dengan ototnya yang gemuk dan siap membantu wanita tersebut dari sempoyongan. Saya mendekati dan berkata kepada wanita itu, “Let me do this!” Tetapi ekspresi muka yang saya lihat bukanlah pancaran dari sinar kebahagiaan karena ada laki-laki mirip superman menolong wanita yang sempoyongan, melainkan ekspresi kecut. Wanita itu berkata “No! no! no! I can do this”.  Seketika itu saya mendadak ciut mengecil seperti kerupuk kena air. Alangkah heran dan aneh, bagaimana bisa wanita itu menolak bantuan saya. Karena saya lihat bahwa pasir itu sangat berat, dan badan dia terlihat sempoyongan. Apakah saya kurang ganteng? Atau saya terlalu agresif? Setelah saya pikir secara serius, akhirnya saya mendapatkan alasan wanita menolak bantuan saya tersebut. Wanita barat memang memiliki karakter mandiri yang setara dengan laki-laki, mereka tidak ingin dibantu oleh laki-laki ketika pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya, ada laki-laki yang mau membantu.  Mereka justru tersinggung karena merasa diremehkan kemampuannya. Sungguh pelajaran berharga saya dapatkan.
Kegiatan bakti sosial tersebut bukan pertama kali yang saya lakukan. Dahulu ketika saya nyantri di pondok, saya berbakti sosial hampir setiap hari, karena BAKES (Bagian Kesehatan) memberikan hukuman kepada saya untuk kanis di tempat yang telah ditentukan BAKES. Tidak jarang saya membersihkan toilet karena membuang sampah sembarangan atau nasi yang saya makan tersisa di lantai dan tidak dibersihkan. BAKES juga membuat jadwal membersihkan setiap area di kompleks pondok, baik perpustakaan, masjid, gedung workshop, kuburan, dll. Tentu benih naluri berbakti sosial tumbuh dengan pesat ketika saya mondok di Pabelan dan akhirnya membuat saya bersemangat ketika mengaduk semen dan menyerok pasir membuat lantai yang rusak di sekolah yang berada jauh dari kota.
Saya, Pabelan dan Kenya
            Saya anak ingusan yang manja luar biasa pada awalnya. Pertama kali saya mondok di Pabelan, tepatnya kelas satu Tsanawiyah, saya sering pura-pura sakit hanya untuk mendapatkan izin agar dapat pulang ke rumah. Saya belum begitu memahami apa maksud orang tua saya menyekolahkan saya jauh dari mereka. Pikiran saya waktu itu mondok adalah jenis sekolah yang “kejam” karena bangun pagi saja harus dihitung-hitung oleh OPP agar tidak telat masuk masjidnya. Padahal seharusnya bangun pagi adalah kenikmatan yang tiada tara tetapi berubah menjadi balapan lari santri yang mau tidak mau memacu jantung untuk berdebar dan mengeluarkan keringat di baju koko yang kita pakai.
            Saya cukup lelah dengan aturan-aturan pondok tersebut, karena saya pikir seumuran saya pada waktu itu adalah waktu saya bebas bermain tanpa harus banyak orang yang mengatur. Saya ingin bebas bermain petak umpet, bermain bola, dan bermain musik. Saya ingin bebas menjadi anak muda yang masih mencari jati diri dengan cara naik motor ngebut-ngebut, rambut disemir pirang, dan bolos sekolah untuk maen play station atau video game. Umur-umur segitu tentu saya ingin merasakan bagaimana tawuran dan perkelahian jalanan antara satu orang dengan yang lainnya. Saya ingin bebas seperti anak muda lainnya yang tidak mondok di pesantren. Saya ingin nakal agar saya punya banyak pengalaman indah masa-masa labil.
            Hanya dalam hitungan bulan dari pertama saya mondok di Pabelan, tiba-tiba semua pikiran dan perasaan lelah itu hilang ditelan planet Jupiter. Entah daya magis apa yang ada di pondok hingga membuat saya berubah dari benci menjadi cinta. Cinta pondok ini berawal dari pertemanan saya dengan beberapa santri. Saya mendapatkan teman yang berbeda dengan suku saya. Perbedaan ini yang membuat saya kesengsem dengan pondok Pabelan. Bagaimana tidak, kita yang berbeda suku dan bahasa dapat menjadi satu hanya karena baki wadah kita makan, sungguh ilmu bhineka tunggal ika yang tidak bakal didapatkan di sekolah umum. Saya makan menjadi lahap karena makan kita tidak menggunakan piring seperti dianjurkan OPP. Saya dan teman-teman merasa bahwa makan menggunakan piring adalah cara tradisional yang kurang relevan dengan “kehidupan modern ala pondok”. Bermula dari makan bersama menggunakan baki inilah komunikasi saya dan teman-teman terjalin sangat romantis, bahkan lebih romantis dari kisah Romeo dan Juliet. Saya yakin Romeo dan Juliet tidak pernah makan dalam satu baki! Baki menjadi pemersatu perbedaan suku dan bahasa kami. Baki adalah kunci keberhasilan kebetahan santri.
            Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun saya resapi dengan sungguh-sungguh ketika berada di pondok. Kebersamaan merdu, kekompakan militan, dan kepedulian natural menjadi ukiran cerita di atas baja anti peluru bagi saya dan teman-teman. Teman-teman saya adalah power bank yang siap mengisi energi saya ketika habis digunakan untuk browsing ilmu kehidupan di pondok. Mereka selalu ada dan tidak pernah lelah menemani, sekalipun saya menjadi jarum yang jatuh di tumpukan jerami. Pabelan adalah ibu bagi saya dan teman-teman. Dia mengajarkan bagaimana seharusnya bersikap di kehidupan yang keras ini. Ketika saya dan teman-teman kabur, merokok dan tidak berjama`ah, dia tidak segan-segan menjewer rambut kami (dibotak). Peraturan pondok memang memaksa akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana saya bertanggung jawab ketika melanggar peraturan tersebut, bukannya malah melapor ke polisi atau komnas HAM karena membotaki rambut adalah pelanggaran HAM. Dia juga mengajarkan bagaimana menjadi sabar ketika mengantri mengambil makan, mandi, dan menunggu kiriman uang dari orang tua yang tak kunjung terbit di buku rekening. Dia juga selalu mendidik saya menjadi pribadi yang sederhana dengan cara memberikan lauk favorit Tahu berenang tanpa rasa di pagi hari. Bayangkan jika saya makan daging setiap hari di pondok, saya dipastikan kena kolesterol dan terbiasa makan enak yang berimplikasi pada memilih tempat makan yang mewah dan memboroskan uang.
            Semua pendidikan itu hanyalah sejumput dari apa yang saya rasakan selama enam tahun nyantri di pondok. Huruf, kata, dan kalimat tidak cukup untuk menarasikan legit pahit perjalanan hidup saya bersama Pondok Pabelan. Ekspresi suka duka tidak dapat merepresentasikan perasaan saya yang terlalu mabuk kepayang dengan pendidikan khasnya. Kehebatan pondok juga bukan hanya karena namanya yang sudah tenar, melainkan di dalamnya terdapat komponen yang bersinergi dengan mantap dan secara konsisten mengharumkan nama besar pondok. Kiai saya yang cerdas, guru saya yang ikhlas, ustadz praktik saya yang anti lemas, mereka bersatu padu membuat pondok menjadi lebih bertenaga. Peran mereka tidak dapat dipisahkan dengan kehebatan pondok itu sendiri. Pondok Pabelan hanyalah sebuah nama, dan nama itu akan terus mengkilap jika di dalamnya terdapat komponen-komponen yang terus menggosoknya. Seperti batu akik yang semakin digosok semakin sip.
            Pondok Pabelan dari dahulu hingga sekarang tetap menjadi Pondok Pabelan. Jika memang ada yang berpendapat bahwa pondok ini telah berubah seiring dengan perubahan zaman, tentu “yang berubah hanyalah hidung bukan nafasnya”. Bentuk hidung yang permanen bisa saja berubah sesuai dengan yang dikehendaki pemilikinya. Menginginkan lebih mancung atau lebih kecil biar terlihat lebih seksi seperti artis-artis Korea. Bisa juga berubah tanpa dikehendaki jika terjadi kecelakaan yang mengakibatkan diamputasi hidungnya. Akan tetapi nafas tetaplah ajeg seperti itu, bentuknya sungguh misterius dan kerjanya tanpa pamrih. Dia tidak terlihat tetapi tidak kalah penting dari hidung, bayangkan jika memiliki hidung tetapi tidak bernafas. Nafas ini tetap dihembuskan oleh semua komponen pondok hingga detik ini, baik Kiai, guru, ustadz praktik, santri, simbok dapur, dkk. Sekalipun hidung sedikit berubah, percayalah, “nafas tetap akan berhembus melewati kedua lubang hidung tersebut”.
            Sebagian orang mungkin menganggap bahwa “nafas” ini berhembus tidak teratur. Sebagian yang lain menganggap bahwa “nafas” telah terhenti. Tetapi bagi saya itu tidak terbukti. Saya pikir “nafas” ini tetap berhembus hingga detik ini. Jika dahulu jumlah santrinya ribuan dan namanya menggaung di penjuru dunia, dewasa ini jumlah santrinya ratusan tapi pergi nyantri ke penjuru dunia. Terbukti dengan banyaknya santri yang disantrikan di berbagai negara, baik Amerika, Jepang, Australia, Mesir dan Kenya. Termasuk saya sendiri yang disantrikan di negara Kenya. Pada akhirnya dapat disimpulkan untuk sementara, bahwa argumentasi “nafas” yang tidak teratur atau terhenti ini belum dapat dilabelkan kepada Pondok Pabelan untuk saat sekarang ini, bahkan saya yakin bahwa “nafas” ini akan terus berhembus hingga kiamat datang menggerus.
            Menyantri di Kenya bukan kebanggaan mutlak saya, melainkan ini prestasi membanggakan yang dimiliki pondok. Bayangkan jika pondok tidak memiliki relasi dengan IAYP (International Award for Young People), mungkin teman-teman saya dari negara lain yang mengikuti acara di Kenya tersebut tidak mengerti bahwa Bali adalah milik Indonesia, tidak tahu jika Indonesia memiliki ratusan bahasa, tidak mengenal keindahan warisan budaya Indonesia lewat batiknya, tidak memahami banyaknya tarian yang dimiliki, termasuk jatilan salah satunya. Pondok telah berkontribusi secara masif terhadap bangsa Indonesia. Sekalipun pemerintah belum memfasilitasi, pondok tidak memicingkan mata dan memangku tangan menunggu bantuan dari pemerintah untuk mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. Pondok memilih jalan yang sunyi dalam berpartisipasi untuk kemajuan bangsa Indonesia, seperti ahli tarekat yang menjalani riyadhah khusus dengan menyepi di gua atau gunung untuk mencintai Allah swt. Pondok tidak menuntut wartawan atau surat kabar menceritakan jasanya dalam membangun Indonesia. Pondok juga tidak perlu mengumumkan dengan TOA kepada seluruh orang jika pondok tetap berhembus “nafasnya” dengan cara mengharumkan nama Pondok Pabelan dan Indonesia di ranah internasional.
            Terimakasih pondokku, terimakasih para founding fathers al-Magfurlah Kiai Raden Muhammad Ali, Kiai Anwar, Kiai Asror, terimakasih al-Magfurlah Guru Besar Pembaharuan K.H Hamam Dja`far dan Ibu Nyai Rr. Djuhana Rofi`ah, terimakasih K.H Ahmad Najib Amin Hamam dan Ibu Nyai Nurul Faizah, terimakasih K.H Ahmad Mustofa dan Ibu Nyai Nunun Nuki Aminten, terimakasih K.H Muhammad Balya dan Ibu Nyai Suswati, terimakasih Guru-guru senior yang tidak bisa saya sebut satu persatu, terimakasih Ustadz Praktik, terimakasih OPP, terimakasih para santriwan dan santriwati, terimakasih simbok dapur, terimakasih Bapak tukang sapu, terimakasih warung sekitar, terimakasih masyarakat setempat, terimakasih tumbuhan, terimakasih hewan-hewan. Terimakasih semuanya yang telah memberikan pendidikan hebat kepada saya. Saya mendoakan semuanya agar selalu sehat dan terus dapat mengembangkan Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan Mungkid Magelang. Jasa kalian tidak akan pernah saya lupakan dan Allah pasti membalasnya dengan berkah di dunia maupun keselamatan di akhirat nanti, amin ya Allah, al-Fatihah!

Segala Hal Dibelajarkan
Yasser Azka Ulil Albab


Saya berkali-kali menolak kepada orang tua untuk dimasukkan ke pesantren. Alasannya sangat kanak-kanak, pengin terus bergabung dengan teman-teman SD yang rasanya sudah klop dan kadang merasa tidak yakin kepada masa depan kalau saya melanjutkan studi di suatu lingkungan yang menurut saya terkucilkan itu. Tapi apa boleh buat, perintah orang tua adalah titah. Masuklah saya di Pesantren Pabelan. Tiga tahun pertama tentumen jadi masa yang berat. Saya sudah meminta lagi ke orang tua untuk pendidikan saya lanjutkan di SMA, di luar pesantren, tetapi lagi-lagi ide itu hanya angan. Saya kembali meneruskan hidup di sini, di pesantren.
Anak baru lepas SD sudah diajak untuk berpikir bagaimana berorganisasi yang baik dan benar, diajak mengerti, menerapkan, dan berbagi kedisiplinan. Di kamar, setiap anak diberi tanggung jawab untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan fungsi yang ia pegang di organisasi kecil yang ia emban. Semuanya jujur saya rasakan sebagai keterpaksaan yang kalau boleh dibilang adalah keterpaksaan yang indah. Tingkatan organisasi yang diberikan juga berkembang, dari yang paling kecil adalah organisasi di kamar dan di kelas, kemudian meningkat dengan organisasi di tingkat rayon dan terakhir organisasi di tingkat pondok yang membawahi semua santri. Bahkan berbagai ruang kerja yang lain (seperti ekstrakurikuler), selalu saja harus ada pembentukan organisasi. Setiap santri tidak ada yang tidak merasakan bagaimana berorganisasi itu, seolah kami disadarkan bahwa setiap elemen dalam hidup itu tidak bisa lepas dari organisasi. Waktu masih pertama tidak pernah diajari secara teoritis apa itu organisasi dan kepemimpinan, kami hanya “dicemplungkan” saja, diajak untuk merasakan sendiri dulu, mengerti di mana kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi. Selanjutnya tahap demi tahap kami mulai diajarkan menggabungkan antara teoritis dan praktikal.
Di sini semua hal dilatih, terutama soal keyakinan diri. Hal itu dibangun dari berbagai macam segi kehidupan. Kita dipaksa untuk membentuk keyakinan diri yang secara tidak sadar tertanam dari berbagai kegiatan yang kita lakoni. Latihan Muhadhoroh contohnya, setiap anak diajari untuk pertama kalinya berbicara di depan umum. Ini bukan persoalan mudah, berbicara dalam rangka berbincang dan berbicara di depan umum memiliki pertanggungjawaban yang tidak sama. Apalagi kalau si anak kecil yang baru berkembang ini digoda-goda oleh kakak kelasnya, kegugupan bisa tambah meletup. Tapi dari sinilah menurut saya para santri bisa berkembang untuk menebalkan rasa yakin pada apa yang sudah kita persiapkan dan tampil sebaik-baiknya. Awalnya tentu gugup, tapi kalau sudah menemukan ritmenya bisa jadi malah kecanduan untuk terus mencoba dan mencoba.
Persoalan lain soal pengajaran keyakinan adalah beberapa bulan pertama sebagai santri baru kami sudah harus bisa mulai menanggalkan bahasa Indonesia dan bahasa ibu kami. Tidak ada pembelajaran grammar mumpuni baru dilepas, kami hanya dibekali kosa kata keseharian yang (kemungkinan) akan sering sekali digunakan untuk berkomunikasi. Sekali lagi, penanaman secara tidak langsung untuk yakin pada diri sendiri diajarkan. Keyakinan ini diajarkan pula di ruang kelas kami, ustadzah kami mengajak kami untuk berteriak lantang di kelas mengulang-ulang kalimat “al-I’timadu ‘alannafsi asasunnajah” ‘Bergantung pada diri sendiri adalah fondasi kesuksesan’. Pabelan tidak menjanjikan kepada para santrinya untuk setelah selesai dari Pabelan setiap alumninya bisa menjadi orang sukses, Pabelan hanya menyediakan kunci pembuka dari setiap gembok yang kemungkinan akan dihadapi oleh para santri nanti di kehidupan berikutnya.
Keyakinan yang  dilatihkan “di dalam kandang” itu agar semakin terasah, kami juga diajak untuk mengenal dunia luar. Berbagai pengalaman yang saya rasakan ketika berkompetisi dengan berbagai pihak lain di luar Pabelan digunakan untuk memperuncing rasa kebergantungan pada diri sendiri. Di waktu MTs kami dipercaya untuk ikut lomba Pramuka antar-SMP/MTs se-Kabupaten Magelang. Rasanya waktu berangkat, gejolak untuk tidak mempercayai diri sendiri begitu besar. Bisakah kami paling tidak bersaing dengan orang-orang lain di luar kami? Kelengkapan yang kami punya rasanya tidak selengkap yang dimiliki oleh team lain, tapi bukankah yang diajarkan Pabelan bukan luarnya, tetapi selalu dalamnya. Jadi kami terus menanamkan kepercayaan diri untuk bisa menghasilkan yang terbaik. Sewaktu ikut AFS, apa yang Pabelan ajarkan juga bisa saya rasakan. Kini levelnya lebih naik lagi, yaitu bersaing dengan murid-murid SMA se-Jogja. Jogja adalah kota pendidikan yang tentu saja jam terbang pengajaran mereka lebih panjang daripada kami yang belajarnya bermacam-macam. Awalnya tentu saja rasa ketidakyakinan ini mengganggu, selain harus bepergian ke Jogja kami harus membayar sejumlah uang untuk bisa mengikuti test ini. Bagi beberapa orang mungkin ini bukan soal, tapi bagi saya yang uang jajan pas-pasan, yang uang SPP dan makannya lebih sering terlambat dari pada tepat waktunya tentu bukan persoalan hitungan sederhana. Untung saja ada kakak kelas yang tahu kalau saya mau ikut, dia mau membayari untuk keperluan ini.
Setelah persoalan administrasi selesai, memasuki babak ujian, prinsip untuk yakin kembali berguna, bahwa kami adalah apa yang ada dalam diri kami. AFS sendiri punya tiga tahapan untuk bisa lolos, di tahap pertama hanya berupa tes tertulis yang menguji berbagai pengetahuan, tak disangka, di sini hanya saya yang lolos ke dua tahap berikutnya. Saya awalnya tak yakin bisa berjuang hingga akhir yang harus bersaing dengan berbagai macam orang yang mungkin lebih qualified dari pada saya untuk memenangkan AFS ini. Di tahap kedua, kami di-interview dalam dua tahap, tahap pertama interview bahasa Inggris mengenai kehidupan kami sehari-hari dan kedua dalam bahasa Indonesia mengenai motivasi dan pendapat-pendapat kami tentang persoalan sehari-hari. Lagu Mesemmow yang diajarkan ketika pertama kali nyantri, saya nyanyikan untuk dapat menenangkan diri selama masa ujian. Ternyata keyakinan ini berbuah baik. Saya melanjutkan ke babak paling menentukan.
Di sini keyakinan kembali diuji, kami diminta oleh panitia mempersiapkan sebuah pertunjukan kesenian yang menunjukkan rasa kebudayan daerah. Bingunglah saya, terutama karena saya tidak punya banyak biaya untuk mempersiapkan macam-macam. Untung saja saya ingat pernah menjadi delegasi pondok untuk mengikuti salah satu perlombaan Pramuka dengan salah satu perlengkapannya adalah baju adat Jogja, walaupun itu hanya atasannya saja, karena kebetulan saya punya celana jalan yang seolah-olah bisa dipakai dan ditunjukkan sebagai pakaian daerah. Beginilah kreativitas mulai diajarkan kepada kami, gunakan apa yang ada di sekeliling sebagai pengganti. Kehidupan yang kita miiki kadang tidak bisa memenuhi persyaratan yang diinginkan, tapi penggunaan sumber daya yang seadanya akan memungkinkan kita untuk tetap berada di mimpi itu.
Akhirnya ketika ujian terakhir dimulai, justru tim penilai menilai saya bagus karena bisa bergerak luwes dalam pertunjukan. Oh tidak, Bapak saja yang tidak tahu betapa apa yang ditunjukkan ini adalah kelemahan yang ternyata dianggap kelebihan. Pabelan mengajari lagi, bisa jadi sebelum “manggung” apa yang kita punyai membuat kita jadi minder dan ketakutan, tapi ternyata bisa jadi penilaian orang menjadi lain lagi. Yang jelas ketika tampil, tunjukkan bahwa everything is ok. Singkat cerita, Allah memberikan kuasanya, saya dinyatakan sebagai salah satu peserta yang lulus kualifikasi di antara ratusan peserta ujian ini. God, di sini saya ditunjukkan bukan masalah dari mana sekolahmu, bagaimana bangunan sekolah, sepelosok apa tempat tinggalmu, semua itu hanya masalah siapa dirimu. Tetapi, sama seperti sarjana yang diwisuda, dia bahagia ketika namanya disebut di acara wisuda sebagai lulusan yang berhasil menyelesaikan pendidikan dengan memuaskan, rasa puas itu kadang hanya berada sesaat setelah disebut, karena rasa capek dan payah setelah itu jauh lebih besar daripada ketika kuliah. Karena berbagai kondisi, kelulusan saya di tingkat nasional ini tidak bisa bertahan, “hadiah hiburan” pun diberikan kepada kami untuk mengikuti kesempatan selama dua minggu di Jepang dalam program Jenesys.
Awalnya saya menolak untuk ikut tes dari lembaga yang sama itu agar bisa diberangkatkan ke Jepang. Tetapi saya merasa beruntung punya “orang tua” yang memiliki daya jangkau lebih baik dari kami yang tidak bisa dilihat oleh anak muda, yang dilihat orang tua berlian bisa jadi hanya dilihat anak muda sebagai berlian. Demikian pula sebaliknya, apa yang dianggap anak muda adalah emas, bisa sangat jadi terlihat hanya daun berguguran oleh orang tua yang seharusnya tak perlu ditanggapi.
Seperti biasa Jum’at pagi selepas sholat Subuh berjama’ah di pondok diadakan kuliah subuh, waktu itu yang mengisi adalah Pak Najib. Kebetulan malamnya saya bertugas jaga malam, saya tidak diwajibkan untuk mengikuti kuliah subuh itu, tetapi apa daya karena kamar kami tepat berada persis di depan masjid, suara khutbahnya tetap saja terdengar oleh kami. Dan tidak dinyana, ketika memasuki akhir khutbah, Pak Najib menanyakan keberadaan saya, kalimat selanjutnya adalah nasihat yang akhirnya membuat saya bergerak untuk mengikuti tes tersebut. Syukurlah, perjalanan selanjutnya memang menawan bahwa saya bisa keluar negeri walaupun hanya dalam hitungan jari, tetapi pengalaman yang ada membuat saya bisa melihat dunia lebih baik.
Banyak hal yang bisa saya pelajari selama di Jepang, tetapi lebih utama adalah di tempat sepelosok Pabelan saya tetap bisa meraih apa yang mungkin dicitakan oleh banyak orang lain seumuran saya di luar sana. Belum tentu saya kalau berada di sekolah luar, bisa diperjalankan Allah ke negara lain. Di Jepang, kami dipertemukan dengan banyak peserta dari bermacam negara, Malaysia, Flipina, Thailand, India dan Australia. Pertemuan majemuk ini juga menjadikan kami lebih luas memandang dunia, menghadapi kawan dari berbagai negara ini ternyata pendekatan yang bisa digunakan tidak bisa sama, karena bisa jadi apa yang click untuk negara satu belum tentu bisa diterapkan untuk negara yang lainnya.
Setelah pulang dari Jepang hal yang paling “menyenangkan” selanjutnya adalah mengenai tanggung jawab. Di Pabelan setiap anak diberikan tanggung jawab, minimal adalah tanggung jawab mengurusi kebutuhan dan keperluan dirinya sehari-hari. Di Pabelan tidak ada pembantu bahkan orang tua yang menyiapkan segala apa yang kita inginkan, bila ingin sesuatu, do it yourself. Menariknya, baru sekarang saya sadari ini berguna dalam hidup bahwa pembelajaran yang sesungguhnya terjadi saat kita sedang bertanggung jawab. Hanya orang yang sedang tidak memiliki tanggung jawab yang akan mengarahkan hidupnya sembarangan. Dengan memegang tanggung jawab kita dituntut untuk berbuat sesuatu agar apa yang kita tanggung itu mencapai apa yang diinginkan.
Di Pabelan, saya dan kawan-kawan diberi tanggung jawab dan kepercayaan untuk menerima tamu asing dari berbagi negara. Tamu dari bermacam profesi, ikut andil dalam berbagai kegiatan yang melibatkan berbagai pihak luar yang mengadakan acara disini. Ternyata setiap apa yang kita terima dan mampu kita tanggungkan membentuk rasa percaya diri semakin tinggi dan menurut saya inilah bekal yang cukup penting yang diberikan Pabelan kepada kami.
Hal penting lain yang diberikan Pabelan adalah kebebasan. Kami bebas menentukan kami mau masuk ekstrakurikuler apa, kami bebas untuk handal dalam bidang apa, kami bebas menentukan mau IPA atau IPS, kami bebas mengikuti perlombaan di luar pondok ini, kami bebas menentukan pilihan warna agama kami sendiri. Tetapi kebebasan tersebut harus dibingkai dalam nuansa bertanggung jawab. Kalau kami kelewatan, teguran adalah bahasa indah agar kami tidak melewati batas yang diberikan kepada kami.  Bebas juga harus dirangkai nuansa disiplin. Setiap anak diberikan kebebasan dalam menentukan bidang apa yang mau ditekuni, tetapi setelah itu harus disadari bahwa ia harus memegang komitmennya hingga selesai.
Segala yang kami lewati di pondok ini menjadi modal penting ketika kuliah dan kini bekerja. Karena tidak memiliki biaya untuk melanjutkan kuliah, maka terpaksa saya harus mencari kuliah yang mau memberi saya gratisan dari awal bahkan kalau bisa sampai lulus. Beruntung saya ketika ditugaskan menjadi penjaga tamu di saat anak-anak ujian, ada serombongan mahasiswa UII Jogja datang hendak mengantarkan sejumlah Qur’an Wakaf kepada kami. Ketika berbincang mereka sampaikan bahwa di kampusnya ada program beasiswa pondok pesantren yang memungkinkan pada pesertanya untuk kuliah gratis hingga lulus kuliah. Kesempatan ini pun tidak saya sia-siakan ketika memasuki akhir-akhir masa pengabdian, saya mulai mencari informasi mengenai berbagai hal yang perlu disiapkan untuk bisa lolos beasiswa ini.
Syarat pertama untuk bisa mengikuti beasiswa ini lolos seleksi mahasiswa baru yang salah satunya diadakan dengan CBT (Computer Based Test). Ternyata bekal tanggung jawab mengajar IPA kepada murid MTs bermanfaat bagi saya, karena soal yang saya temui tidak jauh berbeda dengan apa yang saya ajarkan itu. Sekali lagi Pabelan ajarkan kepada kami bahwa teaching is mastering. Berkat itulah, bisa mendapatkan biaya registrasi dan sumbangan sebesar Rp.0,- sebuah awal pencapaian yang melegakan tentunya. Pada akhirnya, setelah mengikuti berbagai tahapan, saya dinyatakan lolos sebagai penerima beasiswa ini. Apakah hidup selesai sampai di sini?                           

Belum. Masih ingat bahwa seperti habis gelap terbitlah terang, maka setelah terang tentu akan gelap lagi. Pemahaman ini Pabelan ajarkan, agar tidak terlalu sedih ketika gelap dan tidak terlau bungah ketika terang. Tantangan setelah ditetapkan sebagai penerima beasiswa UII adalah kenyataan hidup bahwa beasiswa ini hanya memberikan gratis kuliah dan asrama, tapi tidak untuk kepentingan lain selaku manusia. Maka karena orang tua sudah tidak bisa memberikan uang saku, saya harus cari harapan sendiri untuk tidak berpangku tangan terhadap nasib. Pabelan mengajarkan kita bisa handal di bidang apapun asalkan kita komitmen dan disiplin mengerjakan itu. Mengambil peran itulah, saya mengambil peluang bisa terampil dalam bidang penelitian dan tulis menulis; sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya karena di Pabelan kami belum pernah dibekali dengan pengetahuan seperti ini.
Tetapi modal berharga adalah keyakinan diri, kebergantungan pada diri sendiri serta disiplin. Saya sempat minder di awal kuliah karena belum nyaman berada di luar pesantren, lingkaran saya selama ini. Saya memililih pendidikan di Teknik Industri yang tidak saya bayangkan sebelumnya. Beberapa bulan di perkuliahan, saya tahu ada kabar lomba menulis nasional yang diadakan oleh salah satu kampus di Jakarta. Saya tahu kalau saya ini masih anak bawang dalam dunia tulis-menulis, tetapi apa boleh buat ini harus saya lakukan untuk tetap bisa menyambung hidup. Kepercayaan diri dari bekal di Pabelan berguna untuk menyakinkan diri sendiri selama proses meneliti dan menulis. Juga rasa tahan banting di Pabelan berguna ketika disindir untuk cepat menyelesaikan tulisan ketika saya meminjam laptop dari berbagai teman. Hehe modal saya yang lain hanyalah flashdisk.
Tidak dinyana tulisan saya dinyatakan sebagai satu finalis dari 10 finalis yang berhak lolos ke Jakarta untuk mengikuti presentasi. Tetapi apa daya kampus tak kunjung memberikan uang jalan kepada kami, saya jadi kebingungan bagaimana caranya biar bisa ke Jakarta untuk presentasi. SMS yang saya berikan kepada Bu Ulfa, ternyata sungguh di luar dugaan. Saya bilang ke Bu Ul, kalau saya mau ke Jakarta tapi tidak punya ongkos, jawaban Bu Ul sungguh di luar dugaan. “Yasser kirimi rekeningnya ya, nanti Ibu transfer untuk biaya ke Jakarta”. Duh hati siapa yang tidak lunglai ketika kita butuh jawaban dari pertanyaan, ada orang yang menawarkan diri begitu baiknya. Maka tidak enak rasanya menyelesaikan tulisan ini melebihi tenggat waktu yang diberikan Bu Ulfa, untuk ini saya mohon maaf sebesar-besarnya.
Kembali lagi ke masa kuliah, persoalan untuk bisa memenuhi kebutuhan saya sebagai manusia tercukupi dari dunia penelitian dan tulis-menulis yang saya geluti. Kalau tidak ada rasa percaya diri dan kebergantungan diri yang Pabelan tanamkan pada saya tentu saya bisa menjadi salah satu mahasiswa yang lunglai dalam mengejar cita-cita. Jarak antara asrama kami dengan kampus tergolong cukup jauh, lebih dari 16 Km. Karena kampus kami berada di dekat dengan Gunung Merapi sedangkan asrama berada di pusat kota maka perjalanan terus mendaki. Yang sulit adalah karena tidak punya sepeda motor, maka saya memutuskan untuk membeli sepeda onthel bekas yang harganya masih bisa saya rengkuh waktu itu. Banyak juga teman-teman di asrama yang juga seperti saya tidak punya motor dan kesulitan untuk bisa ke kampus, biasanya mereka menunggu di depan teras untuk bisa nebeng dengan orang yang punya motor berangkat ke kampus. Tapi menurut saya ini sulit saya lakukan. Pertama karena jadwal kuliah tidak menentu dan ini tentu saja adalah bagian dari bergantung kepada orang lain. Masak kita tidak masuk kuliah karena tidak ada tebengan, kan lucu. Saya merasa beruntung dibekali rasa percaya diri. Kedua, rasa kebergantungan pada diri sendiri.
Bekal lain yang Pabelan berikan adalah bagaimana cara mengajar pada orang lain. Ketika kami kelas 6 (3 MA) kami diberikan kesempatan untuk bisa mengajar (micro teaching) berikut bekal yang diperlukan dalam mengajar. Kami mengabdi dan diberi kepercayaan untuk mengajar murid-murid MTs sesuai kemampuan kita. Pengalaman mengajar selama setahun, membuat saya mengerti bagaimana cara mengajar kepada orang lain dengan baik, dan hal itu berguna ketika kuliah. Ketika masa UTS/ UAS berbagai teman kampus baik laki atau wanita yang indekosnya menyebar di berbagai lokasi, datang ke asrama, untuk belajar bersama, hal yang sebelumnya belum ada di asrama kami. Mereka bilang bahwa cara mengajar saya mengalahkan cara dosen mengajar, apa yang diajarkan oleh dosen selama setengah semester selalu bisa saya sampaikan dalam waktu hanya sepersekian jam. Itu hanya pujian yang lebay sebenarnya, namun menurut saya mengajar adalah mengorganisasi apa yang kita pahami kemudian kita berikan kepada orang lain dengan metode yang tepat.
Hal yang paling melekat dalam hidup saya adalah Pabelan membuka ruang pemahaman baru untuk saya agar berani menjelajah walaupun itu selalu memetik pertanyaan, bisakah saya mencapai itu? Waktu duduk di bangku Madrasah Aliyah saya pernah mendapati  Pak Nasir, guru bahasa Indonesia yang jarang mengajarkan Bahasa Indonesia di kelas. Pernah suatu waktu beliau mengajarkan kami tentang tujuh kebiasaan efektif yang dilakukan oleh orang sukses yang dituliskan oleh Stephen Covey. Pabelan membuka ruang baru untuk kami tidak hanya terkungkung dalam konstanta pelajaran. Akibatnya ketika di kampus, banyak di antara lulusan Pabelan menjadi bintang, karena kita sudah terbiasa berorganisasi, terbiasa berbicara di depan umum menyampaikan gagasan, dan lebih utama, kami terbiasa diberi tanggung jawab, kebebasan dan rasa percaya diri.
Dari Pak Nasir dan Pak Najib saya belajar banyak, bahwa orang lain bisa mengingat apa yang kita sampaikan dalam waktu yang lama, dengan selalu gunakan cerita. Pak Nasir pernah mengisi khutbah Jum’at di masjid pondok kami hanya dengan menggunakan sepenggal cerita tentang kebun kurma. That’s it, tidak kurang tidak lebih. Tidak dibumbui nasihat, anjuran atau kalimat pengukir khutbah lainnya. Saya rasa itu adalah pidato khutbah Jum’at tersingkat yang pernah saya alami. Beliau pernah menyampaikan kalau mau tahu bagaimana isi kepala orang dan bagaimana menjadi seperti dia, ketahui buku-buku apa yang dibaca oleh orang itu. Demikian pula dengan Pak Najib, isi khutbahnya banyak diingat oleh kami karena berisi cerita yang mengandung makna hidup. Beliau pernah bercerita kisah pangeran dan rajawalinya, yang belakangan saya ketahui cerita itu ada di salah satu buku karangan Paulo Coelho (Gengis Khan dan Burung Rajawalinya).
Berbakal itulah saya lebih suka menggunakan cerita ketika diminta untuk menyampaikan materi tertentu sekiranya masih bisa menggunakan cerita. Sebab dengan cerita itulah apa yang kita sampaikan bisa lebih lama melekat di ingatan mereka.
Terima kasih pondokku, Ibuku…..
Dumai, 10 Mei 2015

Bekal Hidup dari Pabelan
Isnatul Arifah


Pondok Pesantren Pabelan merupakan lembaga pendidikan yang mengajarkan santrinya berbagai ilmu pengetahuan formal maupun tidak formal yang nantinya akan bermanfaat bagi kehidupan santri. Sebagai suatu lembaga berlabel pesantren bekal dasar ilmu agama disampaikan secara menyeluruh, karena sesungguhnya di sinilah pegangan awal umat muslim.
Bekal kedua yang diberikan adalah ilmu pendidikan formal, sebagaimana layaknya sekolah pada umumnya. Di sini kami belajar mata pelajaran umum dan mengikuti ujian nasional. Untuk beberapa kalangan ijazah negara masih menjadi tolak-ukur seorang pelajar. Di sinilah  santri Pabelan memiliki kesetaraan pendidikan dengan siswa dari sekolah umum.
Bekal yang ketiga adalah skills dan kreativitas yang diperlukan dalam kehidupan nyata nantinya. Bekal keempat adalah kematangan mental dan kepribadian. Hidup di pesantren mempunyai atmosfer yang sangat bebeda yang menjadikan santri pribadi yang berani, kuat dan bertanggung jawab.
Bekal kelima adalah jiwa sosial. Dengan kelima bekal itu santri dilepas untuk menjalani hidup mandiri sebagai seorang manusia yang siap berkompetisi dalam banyak hal. Saya akan menceritakan sedikit pengalaman pribadi yang saya rasakan sebagai hasil dari pembekalan pendidikan dari pondok pesantren Pabelan.  Sebagian besar pengalaman ini muncul dan baru terasa ketika saya sudah tidak berada di Pabelan.
Saya anak biasa saja, itulah anggapan yang muncul pada diri saya belasan tahun yang lalu. Masuk ke Pesantren Pabelan tahun 2001 karena disuruh orang tua, dengan sedikit ancaman “tidak akan disekolahkan kalau tidak mau ke pesantren”. Meskipun sedari kecil saya sudah diberitahu jika nanti lulus SD saya akan disekolahkan di pesantren. Saya sempat melihat wujud pesantren itu sendiri ketika kakak saya masuk pesantren dua tahun lebih  awal. Saya  tetap merasa keputusan ini agak dipaksakan, akan tetapi sebagai seorang anak berumur 12 tahun, apa yang bisa saya lakukan.
Diantar keluarga berangkat ke pesantren lebih awal dari jawal check in santri baru, sehingga belum banyak siswa yang datang. Hanya ada kakak senior membuat saya semakin galau dan beberapa kali menyembunyikan tangis karena homesick. Waktu itu orangtua saya belum mempunyai telepon rumah ataupun HP sehingga tidak bisa dihubungi, saya terpaksa harus menerima masib menghadapi kenyataan sendirian hingga teman yang lain datang. Setengah hati, mungkin begitulah saya menghadapi hari-hari di Pesantren Pabelan tiga tahun pertama. Saat itu saya merasa sekolah di pesantren tidak keren, ibarat ungkapan penjara suci. Sekolah negeri tetap terlihat lebih menarik, hingga selesai UN kelas 3 MTs saya masih rajin mengutarakan bujukan kepada orangtua untuk memindahkan saya ke sekolah lain, akan tetapi tidak dikabulkan. Yang saya tahu alasan bapak tetap kekeuh menyekolahkan anaknya di pesantren karena teman-temannya dulu lulusan Pabelan. Mereka pintar-pintar dan berhasil. Sungguh alasan yang kurang meyakinkan. Meskipun pak Najib juga sering menceritakan hal yang sama tentang kakak-kakak alumni Pabelan. Tapi pada saat itu hati saya belum tergugah.
 Sampailah saya pada tahun keempat. Waktu itu tidak banyak teman saya yang melanjutkan ke MA di Pabelan, meskipun bertambah teman dari kelas Takhasus jumlah kelas 4 tidak sebanyak kelas 3. Merasa terjebak keadaan, saya mulai merenungkan nasib saya yang masih juga terdampar di tanah Pabelan. Saya terus merenungkan apa yang harus saya lakukan, saya bosan dengan kenyataan dan saya tidak ingin hidup dalam keterpaksaan terus menerus. Pikiran tersebut selalu terngiang ngiang, menjadi pertanyaan besar yang belum juga saya temukan jawabannya.
Sudah menjadi ciri khas Pak Najib mengumumkan prestasi ataupun pelanggaran santri di sela-sela ceramah beliau. Yang berprestasi biasanya akan dipanggil dan diceritakan kisah suksesnya, sedang untuk yang melanggar peraturan akan disuruh berdiri untuk sedikit interograsi; bahkan kadang santri yang melakukan pelanggaran disuruh berdiri mendampingi beliau selama sesi ceramah. Oleh karena itu ketika jadwal beliau ceramah selalu menjadi momentum mendebarkan untuk mereka yang melakukan pelanggaran. Tetapi yang berprestasi ini saatnya ujuk gigi. Tindakan ini sebagai apresiasi dan punishment, tujuannya agar santri yang berprestasi bisa dicontoh dan mereka yang melanggar supaya tidak ditiru. Dengan jumlah santri yang sekian ratus orang sepertinya metode ini efektif. 
Ceramah di tahun 2004 pak Najib menginformasikan tentang lolosnya salah satu  santriwati di program pertukaran pelajar ke Amerika. Waktu itu kak Qurota Ayuni diminta berdiri di depan sebagai wujud apresiasi atas prestasi yang diperoleh. Saat itulah saya menyatakan pada diri saya, besok saya yang akan berdiri di sana, dengan prestasi yang sama. Sebenarnya informasi tentang seleksi beasiswa ini  sudah disampaikan berkali-kali dari awal proses seleksi, hanya saja pada momentum itu Tuhan membukakan pintu hati saya untuk menantang diri saya sendiri. Semenjak itu saya mulai bersemangat untuk memenangkan tantangan, saya mulai mencari tahu dari teman dan bertanya langsung ke kak Qurota mengenai proses seleksi, syarat dan penilaiannya. Saya diberitahu jika nilai akademis tidak menjadi hal mutlak, prestasi di luar sekolah, keaktifan dalam organisasi, dan leadership menjadi point penting. Saya dari dulu tidak pernah berprestasi di mana pun akhirnya memutar otak supaya syarat-syarat tersebut terpenuhi. Masuk ke kelas 4 saya mulai rajin belajar, aktif di organisasi, sering ikut lomba dan rajin membaca.
Bekal keempat, dari sinilah saya belajar mengubah mental dan kepribadian. Awalnya saya hanya ingin menantang diri sendiri, akan tetapi dari proses itulah saya mulai sadar, bahwasanya kehidupan ini tidak semuanya pemberian, ada banyak hal yang bisa diciptakan dan diusahakan. Manusia memang tidak bisa memilih dari siapa dia akan dilahirkan, di negara mana dan sebagai pria atau wanita. Akan tetapi itu hanya permulaan, selebihnya kehidupan ditentukan usaha manusia itu sendiri dalam menjalaninya. Seperti banyak kisah sukses yang selalu diceritakan pak kiai, semua dicapai karena usaha dan kerja keras.
Tahun 2006 saya resmi dinyatakan lolos pada beasiswa yang sama, dan mendapat apresiasi yang sama.The best way to make dreams comes true  is to wake up make it true.
Bekal Pertama
Tahun 2006 saya resmi berangkat ke Amerika. Waktu itu informasi tentang penempatan dan negara bagian yang akan dituju baru saya dapat beberapa minggu sebelum keberangkatan. Akhirnya saya berangkat tanpa tahu pasti apa yang akan saya hadapi di negeri Paman Sam. Yang saya tahu ketika orientasi sebelum keberangkatan negara bagian yang akan saya tuju adalah Alaska. Suatu daerah di ujung utara benua Amerika yang bersebelahan dengan Kanada dan terpisah dari negara bagian lain. Sebagai orang tropis, saya tidak membawa bekal pakaian hangat dan hanya berharap pertolongan Allah semoga bisa survive.
Saya tinggal di Anchorage, kota terbesar di Alaska. Alhamdulilah orang tua angkat saya muslim, pasangan Pakistan dan Amerika. Untuk urusan ibadah dan makanan halal di rumah tidak menjadi hambatan. Akan tetapi di sekolah, ceritanya menjadi sangat berbeda. Di Amerika sekolah umum ditentukan berdasarkan lokasi tempat tinggal kita, kebetulan karena bapak angkat saya bekerja sebagai enginer di pangkalan darat tentara Amerika, maka tempat tinggal kami pun tidak jauh dari lokasi tersebut. Artinya sebagian besar dari total 5000-an siswa di SMA tempat saya belajar, adalah keluarga tentara yang mayoritas ditugaskan ke wilayah Timur Tengah. Selama peperangan berlangsung banyak dari mereka yang keluarganya ditugaskan, bahkan ada beberapa yang kehilangan anggota keluarganya. Hal ini menimbulkan kebencian dan kesalahpahaman dari mereka terhadap Islam dan orang muslim. Meski tidak semuanya, akan tetapi sebagian besar memiliki paham yang relatif sama. Hal inilah yang menjadi tantangan kecil selama proses sekolah.
Saat keberangkatan sebenarnya kemampuan bahasa Inggris yang saya miliki sangat terbatas. Counselor di sekolah menyarankan saya untuk mengambil pelajaran HIP (Humand Interdisciplin Programe). Ini adalah dua sesi kelas yang diampu oleh tiga guru, di dalamnya siswa diajari berbagai macam subject. Adakalanya kita membahas sejarah, ekonomi, iptek dan lain lain. Karena ini kelas besar, kebanyakan siswa dibagi dalam kelompok-kelompok diskusi. Berbeda sekali dengan di Indonesia, di Amerika orang cenderung lebih vocal dalam menyampaikan pendapat, tidak ada ewuh pakewuh atau penyaringan bahasa dalam mengutarakan sesuatu. Tantangan pertama di sekolah adalah sikap teman terhadap agama dan asal saya, banyak dari mereka yang tidak suka dengan muslim, dan tidak tahu di mana Indonesia.
 Pada awal sekolah ada saat saya tidak mengerti apa yang dibicarakan dalam kelas, tapi ada saat saya bisa menangkap isi diskusi. Tiga bulan pertama saya masih belajar beradaptasi dengan bahasa dan sistem pembelajaran. Pada saat itu, ada materi diskusi yang bertemakan keikutsertaan Amerika dalam perang di Iraq dan usaha pemberantasan terorisme. Dalam diskusi itu saya mengetahui bagaimana pemahaman mereka akan Islam dan muslim, dan juga perasaan mereka atas perang tersebut. Inilah pertama kali saya harus menjelaskan apa itu Islam dan muslim di depan teman saya, dengan bahasa yang masih ala kadarnya. Awalnya ejekan dan kata sinis masih saya dengar, tapi setelah sekian bulan berlalu, mereka mulai berubah sikap karena melihat langsung seperti apa teman muslimnya. Di sinilah saat perbuatan lebih berarti dari pada kata-kata. Sebagai seorang muslim sudah selayaknya kita bersikap baik meskipun dengan mereka yang membenci kita. Seperti rasulullah yang tetap bersikap baik dengan Kafir Qurois yang setiap hari mengejeknya.
            Tantangan kedua adalah pelaksanaan ibadah. Alaska memiliki musim yang extreme. Ketika winter matahari hanya akan terlihat 3-6 jam saja. Ketika summer malam hari hanya akan berlangsung selama 3-4 jam. Pada saat winter saya melaksanakan sholat subuh dan zuhur di sekolah. Solat subuh jatuh tepat sebelum bel masuk, di sinilah tantangan terberat saya, karena saya harus sholat di sekitar teman-teman yang sudah ramai hendak masuk ke kelas. Waktu itu saya meminta izin untuk menggunakan ruangan kecil yang terletak di depan kelas. Akan tetapi beberapa hari kemudian ada orang yang iseng mengambil hordeng pintu yang menutupi kaca, sedang kiblat tepat menghadap pintu kaca tempat semua orang yang akan masuk kelas pasti melewatinya. Karena tidak nyaman saya memutuskan mencari tempat lain, meski cukup jauh dan harus berlari lari saat kembali ke kelas, tapi di sana lebih nyaman untuk beribadah.
Untuk sholat zuhur jatuh tepat saat jam berganti pelajaran terakhir. Jeda waktu pergantian hanya 10 menit, untuk wudhu, sholat dan berganti kelas. Alhamdulilah dengan kebaikan hati guru matematika saya diizinkan untuk keluar kelas 5 menit sebelum bel.  Pada saat summer waktu solat magrib jatuh sekitar pukul 23.00, isya pukul 00.30 dan subuh jatuh pada pukul 02.00 .  Agar tidak terlewat waktu solat saya harus bergadang menunggu waktu solat tiba.
Tantangan ketiga sebagai muslim di Amerika adalah ketika bersosialsisasi. Tawaran makanan dari teman, pesta, dan kebiasaan mereka yang berbeda kadang membuat canggung. Beberapa kali teman sekelas saya mencoba memeluk sebagai ungkapan kebahagiaan, jika perempuan mungkin tidak masalah. Akan tetapi laki-laki di sana juga melakukan hal yang sama. Saya sering harus berusaha menghindar atau menolak dengan halus. Untuk tawaran makanan pun sama, kadang untuk menjaga perasaan teman, atau tidak cukup waktu untuk menjelaskan apa itu halal, saya suka mengatakan jika saya vegetarian
Alhamdulilah selama di pesantren bekal ilmu agama yang diberikan cukup banyak. Meskipun banyak godaan selama tinggal di sana ada benteng yang melindungi. Di sinilah saya merasa ke-Islaman saya benar benar diuji. Tidak ada yang mengingatkan kewajiban kita sebagai seorang hamba, sehingga kesadaran diri akan tanggung jawab sebagai seorang muslim menjadi kuncinya. Saya merasa bekal pertama yaitu ilmu agama dari pesantren Pabelan sangat berharga.
Bekal kedua
Banyak yang menganggap lulusan SMA dan SMK pasti lebih unggul dalam ilmu pengetahuan umum, saya pun awalnya beranggapan sama.  Setelah lulus MA, saya sempat mengabdikan diri di pesantren selama satu tahun baru melanjutkan kuliah. Saya mengambil jurusan manajemen di UIN Jakarta, sedang selama MA di Pabelan saya mengambil konsentrasi IPA. Awal mula kuliah saya merasa minder karena dari satu kelas yang berjumlah 40-an mahasiswa, hanya ada empat yang lulusan pesantren. Sedang yang lainnya lulusan SMA dan SMK. Sebagai bekas anak IPA tentu pelajaran sosial seperti ekonomi dan akuntansi  menjadi hal yang baru, apalagi jika berkompetensi dengan mereka yang sudah belajar sebelumnya. Ternyata ketakutan saya tidak terbukti, meskipun harus belajar ekstra saat semester satu berakhir nama saya ada di posisi lima besar. Selama di pesantren santri diajarkan untuk belajar banyak hal dalam waktu yang singkat, dengan materi yang berbeda-beda. Dulu ketika di Pabelan pagi hari setelah sholat subuh sudah harus belajar mufrodhat, atau praktik muhadasah. Terkadang sambil berolah raga sambil menghafalkan mufrodat, setelah itu santri belajar di kelas dengan materi pelajaran umum dan agama. Siangnya kadang sudah kegiatan pengembangan skills, sorenya ada tahfiz atau pengajian kitab. Malamnya sudah ada pemberian mufrodat atau pelajaran lain, begitu terus setiap harinya. Dari sinilah saya merasa kebiasaan tersebut memudahkan saya dalam mempelajari hal-hal baru dan belajar  singkat dengan efektif.
Sama halnya ketika saya menjalani kuliah, ada kegiatan Ma’had UIN, mengajar les private dan berorganisasi. Ketika besok ada tugas dan ujian menanti, malam harinya saya masih harus memberikan les atau mengikuti kelas pembinaan di Ma’had UIN.  Anehnya ketika tantangan semakin banyak, ketika banyak hal saling berhimpitan, prestasi akademis saya justru semakin membaik. Alhamdulilah hingga akhir kuliah ada beberapa prestasi akademis yang bisa diraih.
Bekal ketiga dan kelima.
Sebelum lulus dari UIN Jakarta saya sudah mulai bekerja, awalnya ada dua tawaran yang potensial. Pekerjaan pertama linier dengan jurusan yang saya ambil di universitas, sedang pekerjaan kedua terkait pendidikan. Saya lolos keduanya, akan tetapi saya memilih terjun di bidang pendidikan. Tiga bulan setalah bekerja saya lulus dari UIN, dan fokus mengembangkan karir, akhirnya belum satu tahun bekerja saya sudah dipromosikan. Saya bekerja di sebuah lembaga pendidikan bertaraf internasional yang mengusung konsep boarding intermodal. Awalnya tugas saya hanya sebagai guru di asrama, setelah dipromosikan saya merangkap tugas sebagai tim muadib dan academic counselor.
Di sini bekal skills dan kreativitas dari Pabelan berguna dalam merancang salah satu program sekolah, yaitu pilar interpersonal skills. Hanya dengan pengembangan materi dan penyesuaian dengan kondisi terkini, banyak ide yang bisa dihasilkan. Hidup di pesantren mengharuskan santri berbaur dengan santri lain yang memiliki banyak perbedaan. Kemampuan bersosialisasi menjadi hal yang wajib agar bisa bergaul dengan mereka yang berasal dari suku atau daerah lain. Hal seperti ini terus berlanjut hingga tua, kita akan selalu bertemu dengan orang orang baru dari berbagaimacam latar belakang. Jika sudah terbiasa beradaptasi dengan perbedaan akan memudahkan kehidupan sosial kita kelak.
Dulu ketika di pesantren santri yang menjadi pengurus OPP ditugasi banyak hal, salah satunya adalah piket ruang tamu. Terlihat sepele memang, akan tetapi sebenarnya kemampuan pembawaan diri dan kecakapan komunikasi dengan orang yang berbeda usia, pendidikan, suku dan lainya dilatih. Jika diperhatikan secara lebih teliti ada perbedaan dalam cara komunikasi, susunan bahasa, pola pembawaan, tema obrolan, cara penyampaian dari orang dengan latar belakang yang berbeda. Ketika menjadi academic counselor saya harus menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua dan wali murid dari berbagai latar belakang. Kemampuan ini menjadi sangat penting, tentunya kita tidak mau salah berkomunikasi dengan mereka yang memiliki jabatan gubernur, walikota, kapolda, direktur, ceo ataupun para entrepreneur sukses yang pasti memiliki power dan pengetahuan yang luas. Salah salah complain mereka bisa berujung serius. Hal hal yang terselip di antara proses pendidikan santri Pabelan adalah bekal-bekal yang nantinya berguna bagi kehidupan di masa depan.

Laboratorium Kehidupan
Mega Saputra

Pabelan rahim para intelektual kelas bangsa dan dunia dilahirkan. Dapur yang di dalamnya tercipta racikan-racikan pemikiran progresif dan mencerahkan. Laboratorium kehidupan yang telah menempa besi menjadi pedang, mengasah pisau tumpul menjadi tajam. Rumah idaman bagi para musafir ilmu yang haus untuk memunuhi hasrat intelektual dan khasanah keagamaan. Nama yang sama dengan tanah tempat kakinya berdiri mengisyaratkan bahwa Pabelan adalah milik ummat dan untuk ummat.  Melejitnya karir dan derap juang para alumninnya tentu bagian dari  model pendidikan dan kekayaan value yang dimiliki Pabelan.
Diskursus, kritik dan rekomendasi persoalan institusi pendidikan termanivestasi dalam berbagai macam model pendidikan ideal. Masyarakat modern yang telah melek teknologi dan informasi berbondong-bondong selektif dalam memilih tempat pendidikan untuk anaknya. Pendidikan dianggap sebagai  investasi masa depan yang kalkulatif dan pragmatis. Orangtua berharap anaknya akan mendapatkan kehiidupan layak dan bekerja di tempat yang bergengsi setelah menamatkan pendidikannya. Opini public ini yang mewarnai realitas pendidikan kontemporer. Pendidikan jauh dari kata memanusiakan manusia sebagaimana  harapan Paulo Freire dan pendidikan tercerabut dari akar filosofisnya sebagai kontruksi kebudayaan sebagaimana cita-cita bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara.  Lebih dalam lagi Ivan ilich mengangap bahwa pendidikan kekinian menjadikan peserta didik tidak dapat membedakan proses dari substansi sehingga muncul logika baru : semakin banyak pengajaran semakin baik hasilnya, atau menambah materi pengetahuan akan menjamin keberhasilan sehingga murid menyamakan begitu saja antara pengajaran dan belajar, naik kelas dengan pendidikan, ijazah dengan kemampuan[3]. Kegelisahan masyarakat akan masa depan anaknya menyeret hasrat kedua orangtua untuk membekali anaknya dengan ilmu-ilmu praktis dan aplikatif. Lalu bagaimana dengan eksistensi Pesantren ? 
Lembaran sejarah dan goresan tinta emas keberadaan pesantren terekam jelas dalam pergulatan perjuangan kemerdekaan dan pemajuan pendidikan di Indonesia. Pesantren yang dikenal masyarakat sebagai lembaga penddikan agama terlahir dan berkembang dalam dua dikotomi yang mencolok. Menjamurnya pesantren yang mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dan agama atau yang biasa disebut dengan pesantren modern dan bertahannya pesantren tradisional yang istiqomah dengan kajian kitab dan keilmuan Islam klasik  sebagai inti pendidikannya. Dalam perkembangannya pendidikan tradisional yang menitikberatkan studinya pada fiqih, tasawuf dan aqidah dianggap kurang mampu memberikan konstribusi konkret bagi pergulatan dunia intelektualitas kekinian. Sehingga pengakuan masyarakat pada pesantren tradisional sangatlah minim atas dasar kekhawatarin tentang potensi keilmuan lulusannya yang bersumber dari pembelajaran yang dogmatis dan monolog. Salah satunya tergambar dalam pandangan Abdurrahman Wahid  :
“… hidup dipandang sebgai ibadah, ajaran guru agama tidak dapat dibantah lagi karena ajaran ini merupakan bagian dari ibdah; cinta terhadap doktrin Islam; dedikasi pada masalah-masalah agama dan kesinambungan semangat santri. Nilai-nilai ditambah dengan kedudukan mereka selain menjadi guru dan pemimpin pesantren sekaligus pemiliknya, menempatkan para kiai sebagai pemegang kekuasaan mutlak di lingkungan pesantrennya. Dengan perkataan lain, kiai dan para pembantunya merupakan hirarki kekuasaaan satu-satunya yang secara eksplisit diakui dalam lingkungan pesantren[4].
Seiring berjalannya waktu dan kebutuhan masyarakat modern, dinamika pondok pesantren telah bertengger pada pucuk kemajuannya dengan menampilkan wajah baru yang lebih modernis (kholaf, ashriyah). Masyarakat pelosok negeri mengenal istilah pondok pesantren modern dari keberadaan Pondok Gontor. Tidak ada definisi final tentang bagaimana pesantren patut disematkan label modern. Pendidikan Islam memilki makna sentral dan berarti proses pencerdasan secara utuh dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia akhirat atau keseimbangan religious-spiritual[5]. Pesantren modern telah menjelma menjadi institusi pendidikan yang kooperatif terhadap perkembangan sains dan teknologi. Pembelajaran yang dipraktikkan telah terwarnai oleh berbagai kriteria pembelaran humanis dan berbasis IT, kurikulum yang digunakan juga telah merujuk pada ketentuan pemerintah dan penyediaan fasilitas belajar baik teoritis maupun praksis yang memadai santri untuk mengeksplore minat, bakat, skill dan keahliannya. Pondok pesentren Pabelan adalah bagian dari pondok modern yang mulai menunjukkan eksistensi dan kekhasannya di Indonesia.
Gambaran pesantren inilah yang terekam dalam  memori kedua orang tuaku, ayah yang sempat mengecap pendidikan di pesantren salaf di daerah Cilacap dan ibu yang warna pengetahuannya banyak bersumber dari sekolah Muhammadiyah di Magelang. Melihat realitas pendidikan yang minim akan vitamin rohani akhirnya sepakat untuk mengamanahkanku pada pondok pesantren Pabelan. Titik inilah kemudian yang akan mengantarkanku dalam babakan baru kisah perjalanan dan perenunganku tentang arti kehidupan di Pondok yang kerap disinggahi oleh santri-santri kalong yang pemikirannya menjadi bagian dari genealogi berfikirku saat ini, seperti, Cak Nun, Dawam Rahardjo, Mansour Faqih dan lainnya yang telah berkiprah dalam percaturan dunia intelektual Indonesia bahkan dunia.
Relasi Kemanusiaan Sejati
Bagai kubah raksasa hitam, langit mendung memayungi kepergianku dari Jakarta ke tempat yang tak satupun gambaran konkret pesantren bersamayam dalam pikiranku. Benakku selalu bertanya, bagaimana mungkin aku harus berebut kamar mandi, berebut antri demi makanan yang mungkin tak selezat masakan orang tuaku. Bersahabat dengan baju koko dan sarung yang  hanya akan mengurangi  radius perilakuku yang hobby bermain dan bercanda  beserta kegelisahan lainnya yang mulai berkecamuk dalam diri. Roda bus terus berputar seiring terbitnya mentari di kota yang terkenal dengan makanan gethuk dan asal dari keajaiban dunia Borobudur. Kutatap kedua wajah orangtuaku, berharap ada kesempatan negosiasi untuk memutar balik niat dan kembali ke Jakarta dan cukup sekolah bersama kawan-kawan lamaku. Sayangnya, kemantapan hati kedua orangtuaku untuk menyalamatkan anaknya dari pergaulan Jakarta dan meng-uploud anaknya dengan ilmu agama nampak serius dengan bekal makanan yang awet bertahan hingga beberapa minggu untuk persediaan anaknya belajar. Pak kusir memacu kudanya, sejenak aku begitu menikmati suasana desa yang asri serta nampak pematang sawah yang hijau tak seperti tempat tinggalku Jakarta yang beratapkan kepulan asap polusi dan beralaskan semen  pembangunan yang arogan.  Berat bekal dan pakaian yang dibawa kedua orangtuaku tak seberat kegelisahanku ketika mulai menatap gedung berbilik dan bertembok di depanku. Pohon besar dan berakar memutar balik memoriku tentang kisah-kisah menyeramkan yang sering berkeliaran di dunia pertelevisian yang hiperrealitas.  Tapi kenapa tidak ada pintu gerbang dan pemisah dengan warga sekitar di pesantren ini.
Sejenak berjalan bersama keluaraga dan beberapa orang yang mungkin kelak aku panggil bang akhirnya aku sampai di tempat aku akan tidur dan memimpikan rumah asalku. Akhirnya, mereka benar-benar meninggalkanku untuk belajar di sini, dengan lemari kayu yang penuh coretan bahasa arab yang entah apa artinya. ‘ Mega .. belajar yang bener,, jangan telat makan, kalo ada apa apa tanya kakak kelasnya … kalimat ini yang akhirnya menjadi sekapur sirih dan menjadi awal petualangan hidupku bersama santri lain. Suara kentongan mengema dilangit cerah walau tak secerah diriku karena jauh dari orangtua. Kentongan yag biasa aku berlari untuk mengejar maling justru berbalik aku harus berlari untuk mengejar ridhoNYA dan melemparkan kepala ku kesajadah seraya berdoa ,, ‘Ya allah … kangen rumah ,, semoga betah disini … “. Jarum jam tak pernah berhenti berputar, kawan-kawan baru mulai berdatangan dan berbagi kisah kerinduan kampong halaman. pertemuan multi etnik dan multi cultural inilah yang menjadi corak kekhasan tersendiri sebuah pondok pesantre. Lewat dialog dan silaturahim kudapatkan berbagai pengetahuan baru tentng Sumatra, Kalimantan, semarang dan hamper semua daerah diindonesia. Inilah pelajaran yang tak harus kupelajari di bangku sekolah bersama guru IPS atau PKN. Kesaharian dan kebersamaan dalam menjalani kehidupan  sebagai santri mengantarkanku pada hakikat kebhinekaan tunggal ika atau secara theologies ada dalam surat Al Hujarat 13. berbagi bekal dari keluarga, berbagi odol dan bantal mencerminkan relasi kemanusian sejati.
Harmoni kehidupan ini yang kami terima sebagai santri yang mungkin tidak semua anak Indonesia mendapatkannya diseumuran kami. Lantunan syair Abu Nawas beriringan dengan tenggelamnya matahari menorehkan cerita tersendiri bagiku. Setiap syairnya bagai cambukan keras tentang hakikat manusia yang rendah tempat penciptanya. Tepat sekali jika sirat At-tin meceritakan bahwa manusia adalah makhluk sempurna yang kemudian akan jatuh dalam tempat yang serendah-rendahnya. Doa Abu Nawas kepada Tuhannya mengajarkan santri untuk berkontemplasi dan berefleksi tentang kenaifan dirinya dan keagungan Dzat-Nya. Derasnya air mata tak lagi terbendung dibumbui oleh bayangan perjuangan kedua orangtua di rumah yang pada sepertiga malam mendoakan kesuksesan anaknya menimba ilmu di pesantren. Wajah keduanya selalu napak dalam kilauan sinar sore di langit seraya berkata, “ Naak .. ayah dan ibu bukan tidak sayang dan ingin mengucilkan kamu, tapi pondok Pabelanlah yang kelak akan menempamu menjadi muslim sejati penyelamat peradaban..”. Di luar asrama langit penuh bintang, detik berganti menit begitupun minggu berganti bulan. Salam perpisahan tidak lagi dapat dilupakan.
Beberapa kawan terdekat dan kawan lainnya tengah bersiap merapihkan baju dan alat perlengkapan kesehariannya. Mereka pergi dan memilih menempa diri di rumah dan lingkungan sekolah bersama kawan lamanya.  Satu persatu tekad belajar di Pabelan mulai berjatuhan seiring jatuhnya daun cokelat pohon Sawo Bludru depan asrama yang menghantui santri setiap piket sore. Inilah jihad sejatinya, teringat pesan ustadzku di kelas ,, “ man khoroja fii tholabul ilmi fahuwa fii sabilillahi hatta yarji’…” bahwa siapa yang keluar untuk mencari ilmu dia sedang berjihad hingga ia berpulang. Mahfudzot ini cukup menjadi pondasiku  dan kawan-kawan untuk yakin dan percaya bahwa jihad ini membutuhkan banyak pengorbanan dan perjuangan. Bukankah Imam Ghazali   pernah berkata dalam 6 nasehatnya bagi para musafir ilmu, di antaranya orang yang ingin meraih ilmu haruslah orang yang  bertekad cerdas, memiliki bekal, bersungguh-sungguh (man jadda wajada), membutuhkan waktu lama,  dan berkemauan keras, tutur para murokib di asrama untuk memotivasi santri baru agar tetap istiqomah menimba ilmu.  Pesan kiai dalam khutbatul iftitah juga selalu terpatri dalam sanubariku, meja yang kokoh akan berdiri dengan 4 kaki penyangga jika kau hanya membuatnya dengan satu kaki kelak meja itu tidak akan seimbang, begitupan dengan nyantri yang harus memilki kemauan menyeluruh untuk menyelesaikan amanah belajarnya di pesantren. 
Nyanyian malam tetap menjadi irama merdu tersendiri yang dimiliki Pabelan. Jika di Jakarta terbayang suara klakson yang membuat telinga dan pikiran penat, maka di Pabelan alunan nada jangkrik, burung, kodok dan berbagai ciptaan-Nya kerap menemani malam santri yang sesekali rindu akan kehangatan rumah di kampung halaman. Penyerbukan budaya dan lalu lintas pemikiran yang plural menjadikanku santri yang akrab berteman bahkan beberapa santri sudah kuanggap seperti keluarga sendiri. Keberadaan santri yang berlatar belakang ekonomi majemuk tidak menjadi jurang berarti bagi santri untuk membangun ukhuwah islamiyah sejati. Jika di kota-kota besar nampak stratifikasi sosial kerap memarginalkan kaum tertentu dan menjadikannya kelompok subordinat dan inferior, maka tidak dengan santri yang terkadang mereka berbagi bantal dan tidur bersama walau mimpi mereka tentang masa depannya berbeda. Sebelum mata terpejam candaan dan berbagai kisah keseharian kehidupan pondok selalu menjadi dongeng tersindiri bagi para santri. Bertukar kisah dan saling memberikan support mengajarkan kami bahwa muslim satu dan lainnya adalah saudara (al-muslimu akhul muslim) dan setiap muslim sejatinya bagaikan bangunan yang satu sama lainnya harus saling menguatkan (al-mukminu lil-mukmini kalbunyan yasuddu ba’dhuhu ba’dha).
Ketika rindu rumah mulai membeku, tetap ada pendamping (murokib) yang setia mendampingi dan mangayomi adiknya di asrama. Murokib tak ubahnya kedua orangtua yang membakar spirit santri untuk tetap semangat belajar dan memanajemen diri untuk disiplin dan bertanggung jawab. Asah asih asuh setidaknya semboyan yang pantas santri sematkan kepada kakak murokib. Kesabarannya untuk membina santri adiknya tak sebanding dengan hiruk pikuk warga Jakarta yang berebut zakat dan daging korban hingga memakan korban  baru (manusia) setelah sapi  dan kambing.  Jika kita mengenal istilah orang tua atau ibu adalah sekolah yang pertama (madrasatul ula), begitupun dengan murokib, mereka yang mengajarkan santri tentang habituasi berbahasa Arab dan Inggris, menghafal mufradat, vocabularies bahkan menemani dan mendampingi santri saat mengalami kesulitan baik persoalan belajar maupun privasi. Kekraban ini yang menjadikan suasana pemindahan kamar terkadang jadi mengharu-biru dan dihujani isak tangis santri, karena kedekatan santri dengan murokib dan kawan asrama bagaikan keluarga baru. Bagaimanapun pemindahan kamar bagian dari sistem persaudaraan yang dibangun di Pabelan supaya santri dapat mengenal lebih banyak santri di kamar berbeda sehingga santri di pondok yang sempat dikunjungi oleh pendeta dari lingkungan persekutuan gereja-gereja Asia (Christian conference of Asia) ini diajarkan untuk tidak menjadi eksklusif melainkan menjadi santri inklusif, belajar untuk berubah dan siap menerima perubahan lingkungan. Kelak di masyarakatpun santri dipertemukan pada suasana kemajemukan.
Senyum mentari selalu menghangatkan santri dalam melewati tahun-tahun tersulitnya mondok/nyantri. Kesetiaan persahabatan bulan dan bintang  serupa dengan ukhuwah yang dirajut santri bersama hingga bertahun-tahun di pondok. Relasi kemanusiaan tanpa basi-basi adalah predikat yang layak untuk perjalanan santri, tak seperti basa-basi politisi yang akrab dengan konstituennya ketika kontestasi pemilihan diselenggarakan. Selanjutnya kata rakyat hanya menjadi pemanis di deretan kalimat visi misi mereka dan visi misi partainya yang kebusukan partai dan para petingginya yang makin telanjang. Walaupun beberapa santri mulai tereliminasi dari panggung kehidupan pesantren bak buah Mathoa depan Kalpataru yang kerap berjatuhan dimangsa kelelawar dan petugas Bulis tapi keyakinan akan tali persaudaraan tetap menjangkar dalam diri santri. Tebalnya  kebohongan draft APBD dan APBN tidak akan dapat menyaingi lembaran kisah manis yang dimiliki santri hingga Ujian Nasional terakhir Madrasah Aliyah memisahkan kita untuk kembali dan berjuang di luar pesantren hingga saatnya pulang ke Pabelan dan kembali bersama membangun peradaban  pesantren yang cerah dan mencerahkan.  
Nuansa Pendidikan Holistik yang  Transformatif dan  Humanis
Ketika esensi pendidikan telah tercerabut dari akar filosofisnya dengan dikotomi pendidikan moral-agama dan  keilmuan teknis-pragmatis maka pendidikan  telah kehilangan elan vitalnya. Ketika  di banyak sekolah pendidikan moral hanya berada di atas kertas lusuh buku teks agama  atau PKN  maka tidak dengan Pabelan. Pendidikan dengan jargon dan berbagai tujuan substansialnya terjemahkan dengan baik dan komprehensif di pesantren yang sempat dikunjungi beberapa pastur Jesuit dari Federation Asian Bishop  Conference (FABC) untuk berdiskusi tentang hidup dan dialog untuk kemanusiaan (dialog for humanization). Stigma masyarakat yang menyematkan santri sekedar pelajar bersarung dan berpeci  akan patah melihat realitas pendidikan yang berlangsung di Pabelan. Pandangan  yang menganggap pembelajaran pesantren monolog dan konvensional akan tergantikan dengan wajah pendidikan pesantren yang kooperatif dengan dinamika kemajuan IPTEk dan berbagai side skill yang dibutuhkan dalam pergulatan masyarakat modern.
Integrasi antara ilmu umum dan agama yang saat ini membumi dan bergaung di banyak institusi perguruan tinggi sejatinya telah lama dipraktikkan di Pabelan. Ketika kiai berkata bahwa pendidikan di Pabelan 100 % agama dan 100 % umum telah mempertegas progresivitas paradigma pendidikan yang diusung Pabelan. Selain belajar nahwu saraf, mutholaah dan pelajaran berbahasa Arab lainnya santri juga dipertemukan dengan berbagai pelajaran umum seperti yang ada dalam jurusan IPS dan IPA untuk tingkatan Madrasah Aliyah. Kebutuhan tentang kemampuan berbahasa misalnya, selain dipelajari di kelas, kemampuan berbahasa secara praksis juga diwajibkan dalam keseharian santri. Hidup adalah pendidikan (Life is education ) menjadi motto tersendiri selama menjadi santri karena setiap detiknya sejatinya santri berada dalam ruang dan sistem pendidikan 24 jam yang didesain pesantren.
Setelah belajar seharian di kelas dengan kontrol pendidikan diamanahkan kepada ustadz dan guru santri kembali ke asrama dan bersiap untuk mengikuti les tambahan seperti pemantapan dan peningkatan (upgrade) kemampuan bahasa Inggris dan Arab yang didampingi oleh kakak-kakak (akhi kabir) pengurus Organsasi Pelajar Pondok. Pembelajaran tutorial sebaya (peer teaching) ini selain menjadikan santri baru dan setingkatnya semakin mantap juga mendidik santri untuk belajar menjadi pendidik sedini mungkin. Pembelajaran micro teaching ini memberikan kesan dan pengalaman tersendiri bagi para santri yang merasakan bagaimana menjadi seorang guru. Pada hari yang ditentukan, sore harinya santri belajar kitab kuning dan kitab lainnya seperti ta’limul muta’allim dan safinatunnnajah di masjid. Pembelajaran kitab-kitab agama menjadi bukti bahwa Pabelan menegaskan begitu pentingnya pelajaran basic agama berbahasa Arab yang membahas fiqih, nahwu sharaf dan pelajaran Islam klasik lainnya.
Beberapa pesantren alergi dengan kebudayaan modern seperti seni musik, teater dan lainnya, Pabelan justru membuka peluang bagi santri yang memang berbakat dan berkeinginan menemukan dan mengoptimalkan potensi dirinya di bidang seni, budaya dan olahraga. Filosofi kolam kunci yang ada tepat di belakang rumah kiai adalah simbol bahwa para santrilah yang memegang kunci dan Pabelan menjadi lubang kunci tersebut. Maka secara bebas santri berhak mengoptimalkan potensi dirinya dengan kemauan yang sungguh-sungguh. Ketersediaan fasilitas yang mencukupi bahkan dinilai istimewa ketimbang pondok lain seperti, lapangan basket, bulu tangkis, lapangan sepak bola, studio band, sanggar seni telah menempatkan pesantren sebagai fasilitator dan santri sebagai subjek pendidikan. Santri tidak buta terhadap berbagai perkembangan bidang-bidang tersebut. Bahkan di beberapa kesempatan, aku dan kawan-kawan terlibat dalam pembuatan film Ketika Cinta Bertasbih (KCB) I dan II yang konon film pertama yang syuting di Timur Tengah. Persinggungan pesantren dengan beberapa budayawan dan satrawan seperti, Cak Nun (Emha Ainun Najib), Ajip Rosidi, sutradara kawakan Chairul Umam, budayawan Umar Khayam, maestro lukis Afandy telah memberikan warna tersendiri bagi perkembangan seni budaya di lingkungan pesantren.
Keberanian berorasi yang sampai ini aku rasakan manfaatnya berasal dari kegiatan mukhadoroh dua minggu sekali yang diselenggarakan pondok. Melatih retorika, mental dan keberanian menyampaikan gagasan telah menempa diri santri sebagai insan kritis, berani, dan bertanggung jawab. Walaupun harus berdiri di pinggir pembatas kuburan dan di atas pembatas jalan bahkan kerap di ruang kelas kosong dan gelap karena tidak maksimal saat berpidato, bagi santri itu adalah bagian dari penggemblengan yang wajar dan mendidik. Memoriku masih merekam ketika aku berkesempatan tampil di panggung megah perayaan milad pondok  dengan berpidato Bahasa Indonesia dan mewakili Kabupaten Magelang dalam perlombaan pidato pesantren tingkat Jawa Tengah. Utlubul ilma walau bissin tuntutlah ilmu sampai negri Cina’ adalah pepatah Arab yang memacu santri untuk belajar ke luar negri hingga beberapa santri berhasil  mengecap program pertukaran pelajar di Jepang, Amerika dan beberapa negara lain.
Kemampuan manajerial santri dapatkan dengan berlatih dan menempati berbagai struktur di kepengurusan organisasi baik dari tingkat rayon sampai OPP. Penempaan daya tanggung jawab (responsibility) santri akan amanahnya terwujud dalam pelaksanaan program-program organisasi di masing-masing tingkatan. Kemampuan administrasi dan pengelolaan sumber daya organisasi santri dapatkan langsung dengan menjadi pengurus. Pendidikan pesantren yang sangat dinamis dan adaptatif dengan kebutuhan zaman ini menunjukkan bahwa Pabelan berdaya saing global dan melahirkan lulusan yang berfikir sesuai dengan konteks zamannya dengan bingkai pemikiran yang islami dan modern. Keunggulan pendidikan dalam mentransformasikan gagasan filosofis ke dunia kehidupan santri menjadikan santri akrab dengan realitas masyarakat pesantren sebagai miniatur realitas masyakat tempat ia berkarya kelak.  Pendidikan yang humanis dan tranformatif ini kemudian menjadikan santri dapat pengenal identitas dirinya, makna dan tujuan hidupnya di masyarakat serta posisinya sebagai khalifatullah fil ardi.


Membiasakan Berjiwa Terbuka
Lutfi Hani Kusumawati

Pabelan tempat saya dibesarkan. Tempat saya mengerti berbagai hal. Pabelan, pondokku ibuku memang benar adanya. Pabelan selayaknya ibu bagi saya karena di sinilah saya tumbuh besar dan mempelajari berbagai hal. Saya belajar di Pabelan selama 7 tahun, saya masuk tahun 2003 dan lulus tahun 2009 serta mengabdi selama satu tahun. Maka dari itu bisa dikatakan saya besar di Pabelan. Saya mengetahui Pabelan dari saudara dan tetangga saya. Awalnya saya ragu untuk masuk ke balai pendidikan ini namun untuk membahagiakan orang tua saya, akhirnya saya mencoba untuk belajar hidup mandiri di sini. Memang tidak mudah untuk hidup mandiri di lingkungan yang baru dan jauh dari orang tua, terlebih lagi dengan umur yang bisa dikatakan masih kecil. Namun seiring berjalannya waktu satu, tiga, lima bulan bahkan bertahun-tahun saya bisa melewati hari-hari nyantri di sini.
Sekilas teringat masa lalu pertama masuk ke Pabelan. Bertemu dengan teman yang mempunyai backgroud budaya dan kebiasaan yang berbeda, seperti dari Sulawesi, Kalimantan, Aceh dan lainnya. Memang terlihat sulit hidup bersama orang yang mempunyai kebiasaan dan bahasa yang berbeda. Namun, seiring berjalannya waktu beradaptasi kami belajar bahwa kita itu sama, sama-sama jauh dari orangtua, dan sama-sama menuntut ilmu dan yang paling penting kita mempunyai agama yang sama.
Jika mengingat dulu ketika masih nyantri banyak sekali hal baru saya temui. Tentang bagaimana mengatur waktu, bagaimana mengatur keuangan sendiri, bagaimana cara menyelesaikan masalah sendiri. Ketika itu ada pendamping kamar ada yang membantu segala macam. Tapi bagaimanapun juga mereka bukan orang tua kami, jadi kita harus belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan. Ya kira-kira begitu yang saya rasakan pertama kali. Setiap hari tanpa diajarkan kami belajar mulai dari hal-hal kecil. Dan dari masalah ataupun kendala- kendala yang dialami, kami belajar problem solving.
Tidak mudah memang anak lulusan Sekolah Dasar hidup sendiri jauh dari orang tua. Perlu waktu memang untuk bertahan hingga tujuh tahun. Saya ingat ketika khutbatul iftitah yaitu khutbah perkenalan, pak kiai mengatakan intinya jika tidak satu tahun belum betah ya dicoba hingga dua tahun; dua tahun belum betah maka dicoba satu tahun lagi hingga  tiga tahun dan seterusnya. Memang betul apa yang dikatakan pak kiai Najib yang biasa kita sapa dengan bapak, karena beliau memang seperti bapak kami. Saya mencoba teori beliau dan ternyata itu benar, akhirnya saya di sini betah hingga tujuh tahun karena mengabdi satu tahun untuk pondok.  Mungkin pemikiran itulah yang membuat saya betah di Pabelan bahkan sering kangen untuk mengulang masa-masa menjadi santri.
             Khutbah-khutbah yang disampaikan pak kiai memberi pengaruh positif untuk setiap santri. Terkadang memberi motivasi, dengan berbagai cerita yang dikupas dengan bahasa yang mudah dipahami oleh santri. Dulu kami, para santri tidak pernah merasa ngantuk ketika khutbah beliau. Bisa dikatakan masing-masing beliau mempunyai ciri khas sendiri dengan aksen khasnya. Setiap kiai mempunyai cara yang berbeda untuk memberi wejangan para santri. Dari berbagai wejangan dan khutbah-khutbah itulah kami mendapatkan banyak pelajaran.
Berdasarkan pengalaman saya, pak kiai mempunyai ciri khas dalam menyampaikan khutbah. Dari yang saya ingat pak kiai Balya ketika menyampaikan khutbah, cara penyampaiannya seperti seorang politisi. Ketika saya mendengar khutbah beliau, saya seperti mendengar seorang politisi sedang berbicara. Karena kekhasan tersebut kami para santri pasti mengingat beliau dengan hanya mendengar suaranya saja kami sudah tahu bahwa beliaulah yang sedang berkhutbah. Sedangkan yang saya ingat dari kiai Ahmad yaitu, gaya bercandanya. Tentang bagaimana menasihati para santri putri untuk tidak berpakaian seperti “barbie”. Itulah salah satu nasihat yang saya ingat dari kiai. Karena nasihat beliaulah sampai sekarang alhamdulilah saya masih istiqomah dengan jilbab, meskipun belum sempurna seutuhnya.
Kemudian Kiai Najib yang biasa kami para santri dengan “Bapak”. Panggilan ini biasa terdengar namun sarat akan makna. Kami santri putri, karena asrama kami terletak dekat dengan rumah pak kiai mungkin kami merasa lebih dekat dengan beliau dan otomatis kami lebih sering bertemu dengan beliau. Sekilas mengingat nasihat dan wejangan beliau kami banyak diajarkan menjadi santri yang berwawasan luas ataupun open minded. Khutbah-khutbah hampir tidak pernah membuat kami mengantuk. Ada saja cerita-cerita lucu ataupun membagi cerita pengalaman-pengalaman alumni terdahulu agar kita termotivasi menjadi orang yang berguna di masa mendatang.
Banyak sekali kenangan ataupun hal yang kami ingat meskipun saya sudah lulus sekitar kurang lebih lima tahun yang lalu. Dengan banyaknya kenangan itu, ketika bertemu dengan teman-teman alumni ada saja yang kami perbincangkan. Mungkin ini terlihat sepele namun ketika dilihat dari sudut pandang lain, maka Pabelanlah yang menyatukan kami. Pabelan adalah tempat yang tidak bisa kami lupakan. Banyak pengalaman yang tidak bisa saya beli dengan uang. Semua wejangan pak kiai, pelajaran di sekolah, dan hal-hal yang kami dapatkan di asrama memotivasi saya untuk maju.
Dulu ketika di Pabelan, saya bukanlah santri yang banyak mencetak prestasi. Di kelas saya seperti murid yang lain dengan kenakalan yang wajar pada umumnya. Namun saya diberi kesempatan oleh Pabelan untuk pergi ke Negeri Matahari Terbit. Faktor “Bejo” memang ketika saya mendapatkan kesempatan itu. Ucapan terimakasih pun tidak cukup untuk membalasnya, maka dari itu pengabdian satu tahun itu saya dedikasikan untuk Pabelan sebagai  bentuk terimakasih. Juga terimakasih kepada teman-teman untuk hingga memilih saya mengemban amanat tersebut.
Saya tidak tahu kenapa saya dipilih teman-teman untuk pergi ke Jepang karena ada beberapa kandidat. Bahkan secara akademik mereka lebih pintar dari pada saya. Tapi mereka malah memberikan kesempatan kepada saya. Ketika saya dipilih keberanian dan percaya diri adalah alasan saya untuk menerima tawaran tersebut. Dengan motto Pabelan “Berwawasan luas” kami diajarkan untuk mencari, mengetahui, dan mempelajari segala sesuatu yang ada. Meskipun background kami yaitu pesantren, bukan berarti kami hanya mempelajari agama saja, namun kami diajarkan untuk menjadi orang yang open minded seperti yang saya katakan sebelumnya.
Pabelan tidak seperti sekolah-sekolah lain. Mereka mengutamakan akedemik. Namun di Pabelan kami mendapatkan ilmu secara akademik dari sekolah dan juga mendapatkan pelajaran agama bahkan hingga pelajaran hidup. Memang secara akademik kami kalah dengan kebanyakan murid dari luar sana yang berprestasi akademik bagus, namun kita tidak hanya diajarkan untuk menjadi pintar, melainkan diajarkan untuk menjadi orang yang bijaksana. Karena di Pabelan kami tidak diajarkan ilmu dunia saja melainkan akhirat juga agar keduanya seimbang.
Di sekolah kami diajarkan ilmu pengetahuan umum seperti sekolah-sekolah lain. Di dalam asrama kami diajarkan ilmu agama, mengaji dan mengkaji Al’quran. Kami juga belajar mandiri karena segala sesuatunya kami kerjakan sendiri. Di sekolah kami seperti murid pada umumnya, kami mempelajari ilmu sosial, ilmu alam, matematika, science dan lain-lain. Namun diajarkan juga kurikulum KMI (Kulliyatul Muallimin Al islamiyah) yang tidak didapatkan di luar sana. Rutinitas asrama juga merupakan suatu pembelajaran untuk kami, para santri. Apa yang kami lakukan setiap harinya bermanfaat untuk kedepannya. Tentang bagaimana mengelola waktu, bagaimana menyeleseikan masalah sendiri dan bagaimana cara untuk menjadi oleh yang lebih baik setiap harinya.
Jika saya lihat santri Pabelan, mereka mempunyai karakteristik tersendiri. Entah kenapa dulu ketika kami pergi ke suatu tempat, ke Magelang atau Muntilan, orang yang melihat kami tahu bahwa kami santri Pabelan. Padahal ketika kami pergi kami tidak memakai almamater Pabelan. Tentu dalam diri kami ada karakter santri Pabelan, rumah yang tidak pernah kami lupakan. Mungkin memang ada yang mengatakan kami nakal, sering melanggar aturan, tapi ketika kami keluar dari lingkungan pondok  kami tahu bagaimana berlaku sopan santun, dan menjaga nama baik Pabelan.
Hal-hal seperti ini kami dapatkan di sekolah, namun kami mendapatkan banyak pelajaran hidup dalam lingkungan berasrama. Kami diajarkan untuk menjadi orang yang ringan tangan bukan panjang tangan. Kami diajarkan menjadi orang yang peduli kepada sesama. Dengan belajar berorganisasi kami juga mendapatkan banyak pengalaman dan pelajaran. Bagaimana menjadi pemimpin dan panutan untuk adik-adik. Bagaimana membuat aturan agar kegiatan di pondok berjalan dengan lancar, bagaimana menyelenggarakan acara hingga sukses selayaknya seorang event organizer dan bagaimana kami menjadi pendamping kamar yang siap menjadi kakak untuk adik-adiknya di asrama.
Semua pelajaran hidup itu kami dapatkan dari Pabelan, maka tidak heran kalau kami menyebut Pabelan sebagai “ibuku”. Pabelan membesarkan kami, mengajari kami berbagai hal, memandang masalah dari berbagai sudut dan mengajari kami mengenal dunia. Kenapa? Opini menyebutkan bahwa kebanyakan santri itu kolot, mereka hanya mengetahui ilmu agama saja. Namun tidak untuk santri Pabelan, opini tersebut salah. Di sini kami diajarkan berbagai hal. Kami juga tidak buta internet ataupun teknologi lainnya, karena Pabelan adalah pondok pesantren modern yang membuka segala pintu pengetahuan.
            Ketika kami lulus dari pesantren kami tidak menjadi orang yang “gumunan”. Saya diterima kuliah di universitas yang tidak mempunyai background agama Islam. Apa yang saya dapatkan dari Pabelan tidak saya lupakan. Contohnya pengalaman berorganisasi. Organisasi yang saya ikuti di Pabelan sangat bermanfaat. Pasti sebagai mahasiswa tidak luput dari kegiatan organisasi. Saya berusaha mempelajari setiap apa yang saya temui, saya bisa lebih dewasa menyikapi masalah dengan sendirinya tanpa merepotkan siapapun. Ya masalah itu mendewasakan kita. Saya  teringat dengan kata mutiara yang tertulis di salah satu bangunan di Pabelan ketika itu tulisanya menggunakan bahasa Inggris, kata mutiara dari Salahuddin Al-Ayyubi, seorang pejuang tersohor pada masanya yang  kurang lebih seperti berikut ini: 1. Saya meminta kekuatan, dan Allah memberi saya kesulitan untuk membuat saya kuat; 2. Saya bertanya tentang kebijaksanaan, dan Allah memberi saya masalah untuk diselesaikan; 3. Saya meminta untuk kemakmuran, dan Allah memberi saya tenaga untuk bekerja; 4. Saya meminta keberanian dan Allah memberi saya bahaya untuk diatasi; 5. Saya meminta cinta, dan Allah memberi saya orang-orang yang bermasalah untuk dibantu; 6. Saya meminta nikmat, dan Dia memberi saya peluang; 7. Saya tidak meminta apa-apa untuk diri saya, tetapi saya menerima semua apa yang saya butuhkan.
Itu salah satu kata mutiara favorit saya yang ada di Pabelan. Secara tidak langsung kata mutiara ini mengajarkan kami, santri mengenai satu hal yaitu kekuatan sebuah doa. Hinga sekarang kata mutiara ini memotivasi saya untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat, dan berfikir positi setiap harinya. Ya begitulah kira-kira bagaimana sebuah tempat mengingatkan akan hal yang baik. Ketika santri menginjak kakinya keluar dari Pabelan, mungkin status kami bukanlah santri lagi, tapi secara etika kami masih seorang santri. Memang tidak semua orang sempurna dan mempunyai sisi baik, tapi setidaknya kami bisa menempatkan diri pada tempatnya. Saya keluar dari Pabelan mengikuti kemauan saya di bidang apa yang saya sukai. Memang dari dulu sejak di Pabelan saya menyukain film dan hobi saya adalah menonton film. Mungkin itu salah satu alasan mengapa saya menyukai bidang studi sastra Inggris d Universitas Dian Nuswantoro. Dengan bekal bahasa Inggris yang diajarkan di Pabelan saya mengikuti minat tersebut. Ketika saya mengambil jurusan sastra kedua orag saya tidak setuju dengan ini. Mereka menginginkan saya kuliah di bidang managemen.
Perbedaan pendapat antara orang tua dan anak wajar terjadi. Kedua orang tua saya menginginkan itu mungkin ingin saya menjadi seperti mereka, wirausaha. Tapi semua itu mengingatkan saya ketika pertama kali saya tidak mau dipesantrenkan di Pabelan yang akhirnya betah. Pasti kedua orang tua saya bahagia mendengar anaknya betah di tempat yang bisa dipercaya. Saya alumni tahun 2009. Lebih dari  empat tahun setelah keluar dari pabelan kami belum menjadi apa-apa. Saya mahasiswi biasa yang setiap harinya berangkat kuliah, melakukan kegiatan di kampus ataupun luar kampus. Saya masih tahap belajar mengenal dan memperbanyak pengalaman. Seperti mahasiswi biasa yang sebagian waktunya untuk kuliah dan sebagian waktunya untuk bekerja sebagai les privat anak-anak begitu sampai di rumah dengan gaji tidak seberapa yang penting bisa mengisi waktu luang dan berbagi ilmu. Kadang saya juga belajar enterpreneur mengikuti saran orang tua. Tapi apa salanya untuk mencoba hal-hal yang baru, dan pastinya pengalaman semakin banyak.
Kegiatan di luar kampus juga membantu saya untuk menemukan jati diri. Bergabung dalam sebuah perkumpulan relawan dan melakukan berbagai kegiatan menolong sesama. Mengenal dunia dengan teman-teman dari berbagai kalangan dan dari penjuru dunia. Bertemu dengan teman-teman dengan perbedaan agama, budaya dan negara terkadang mereka sering bertanya kepada saya. Kenapa saya memakai hijab dan kenapa dulu saya mau bersekolah di tempat yang menurut mereka tidak bebas. Pertanyaan-pertanyaan dari teman seperti itu yang sering dilontarkan kepada saya. Namun patut disyukuri karena mereka sama sekali tidak mengucilkan saya yang memakai kerudung, bahkan setelah itu ada beberapa yang tertarik dengan Islam.
Pabelan bukan satuk-satunya pondok pesantren modern yang terbaik. Namun tempat ini mengenalkan dan mengajari banyak saya tentang kehidupan. Pabelan mempunyai tempat sendiri di hati saya. Terus belajar dan menggali berbagai hal untuk mecapai titik tertinggi entah itu kebahagiaan dan kesuksesan menurut kita karena ukuran kebahagiaan dan kesuksesan setiap manusia itu berbeda. Ada yang ketika dia mencapai ketinggian 500 kaki dia sudah merasa bahagia, namun ada juga manusia yang sudah mencapai ketinggian 1000 kaki dia belum merasa puas hingga dia bisa menaklukan dunia. Satu yang terpenting untuk kita semua yaitu senantiasa mensyukuri karena hal yang sangat membahagiakan. Jangan pernah menyerah dalam menggapai keinginan dan lakukan yang terbaik setiap harinya.
Pabelan telah membawa saya melihat dunia dan membesarkan saya dari kecil hingga sekarang. Terima kasih Pabelan yang selama tujuh tahun memberikan berbagai hal yang tidak bisa saya lupakan dan dibeli dengan uang. Terimakasih atas kenangan-kenangan indah yang tidak bisa saya lupakan. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua. Selamat ulang tahun Pabelan yang ke-50. Usia 50 tahun bukan hanya sekedar angka, namun inilah Pabelan yang selama itu mencetak orang-orang yang luar bisa. Semoga di usia 50 tahun ini Pabelan semakin maju dan berjaya hingga seribu tahun lagi dan tetap menjadi Pabelan yang hebat di mata saya dan orang-orang yang mencintanya. Terima kasih pondokku, ibuku...
                                                                                                               
Angkatan 2011-2015




Jatidiri dari Asrama
Agusviani Nurhayati


Pabelan dalam Pandangan Santrinya
Sebelum masuk Pondok Pabelan saya kira ia sekadar Pondok Pesantren yang terfokus mengajarkan ilmu agama saja, ternyata perkiraan saya meleset jauh. Setelah merasakan enam tahun nyantri di Pabelan saya mengerti apa itu Balai Pendidikan Pondok Pabelan.  Kebebasan berpikir yang disediakan luas di sana menjadikan saya mengerti bahwa Pondok Pabelan ialah Pondok kehidupan bukan sekedar  mengajarkan ilmu agama dan umum, tapi mendidik santri untuk mengenal diri seutuhnya sebagai manusia dengan segala fitrah yang Allah SWT anugerahkan kepadanya. Singkatnya Pabelan adalah sebuah Pondok kehidupan yang memanusiakan manusia.

Meskipun menghabiskan enam tahun, namun belum cukup untuk menyerap nilai-nilai yang dimiliki oleh Pabelan. Baik pengajaran teori yang diberikan di kelas maupun pengajaran yang diberikan di asrama oleh Pak Kiai. Khutbah, nasehat, dan kegiatan-kegiatan yang dijalani saat nyantri sama sekali belum mampu saya ambil pelajarannya saat itu juga. Meskipun begitu, bukan berarti saya tidak mendapatkan apapun dari sana, justru semuanya masuk ke dalam ingatan yang akan terus teringat sampai kapanpun. Saya tidak tahu apa itu Pabelan selama nyantri, yang saya tahu hanya menghafal Panca Jiwa Pondok, sejarah pondok, hafalkan lagu-lagu Pondok, hafalkan pelajaran KMI dan mendengarkan khutbah. Bukan tidak mau memahami ataupun mencari tahu, hanya saja tinggal di Pabelan merupakan hal yang membahagiakan, sehingga saya begitu menikmati setiap momen. Masalah nilai-nilai apa yang akan saya dapatkan tidak terpikirkan sama sekali.
Tidak mudah menemukan arti Pabelan yang utuh, saat begitu banyak sudut pandang dari santri, alumni, ustadz/ah, wali santri, dan warga sekitar membuat bingung. Setelah keluar dan memikirkan apa yang dialami di sana serta mengingat penilaian pabelan dari banyak sudut pandang barulah menemukan apa itu Pabelan dan mengapa KH. Hamam Dja’far merancang Pondok Pabelan sedemikan rupa dan melekatkan Panca Jiwa Pondok di dalamnya. Semenjak masuk Pondok Pabelan, bobot badan naik karena bahagia bisa mandiri sehingga hati dan pikiran saya terbebaskan. Topik pembicaraan sebenarnya bukan naiknya bobot badan saya, melainkan tentang bagaimana rasa ikhlas dan menerima akan mempermudah proses penanaman ilmu seperti lahan subur yang siap ditanami benih. Memang tidak akan langsung tumbuh dan berbuah tapi pasti tumbuh dan berkembang dengan baik hingga akhirnya menghasilkan buah berkualitas baik. Itulah yang telah Pabelan lakukan kepada saya dan semua santri, baik disadari maupun tidak. Jadi, hal pertama dan yang paling utama dalam proses tholabul ‘ilmi di Pondok Pabelan adalah niat, baik niat santri maupun wali santri dan akad yang menyatakan percaya sepenuhnya kepada Pondok untuk merelakan putra-putrinya dididik Pabelan.
Pendidikan yang terjadi di Pabelan sebenarnya bukan di kelas maupun ujian-ujian, itu semua adalah formalitas. Pendidikan yang sesungguhnya adalah serangkaian kegiatan di asrama. Bukankah kenangan di asrama itu yang selalu diingat oleh semua santri baik yang masih nyantri maupun yang sudah alumni?
Bermasyarakat merupakan hal mutlak yang dijalani manusia. Dalam bermasyarakat setiap pribadi harus mempunyai kemerdekaan atas dirinya sendiri tanpa mengganggu orang lain agar tidak taklid dan mudah dipengaruhi oleh hal yang tidak sesuai dengan prinsip hidup. Dia pun harus merdeka dari ikatan yang dipaksakan dan ikatan yang tidak mencerminkan siapa dirinya sebenarnya. Inilah yang ditanam kiai yang mengakar kuat hingga saat ini, yaitu mendidik santri agar kuat kepribadiannya sehingga mereka siap dengan kehidupan tak terduga yang akan dihadapinya setelah keluar dari Pondok. Santri dididik agar menjadi pribadinya sendiri dan bukan pribadi yang ditempeli dengan nama ‘orang tua’ maupun ‘kelompok’. Status sosial apapun yang dimilikinya tidak akan menjadikannya merasa tinggi ataupu merasa rendah di masyarakat.
            Di Pabelan, seluruh penghuninya dipaksa untuk melepas segala atribut partai ataupun golongan karena di sini sangat terbuka serta menerapkan kebebasan jiwa sebebas-bebasnya sebagaimana Islam memandang sebuah kebebasan. Pabelan sangat jauh dari yang namanya kesenjangan sosial ataupun elitisme pergaulan, baik sesama santri, santri dengan para pengajar, santri dengan para kiai, santri dengan penduduk sekitar, bahkan antara santri dengan tamunya (bahkan terjadi komunikasi yang baik dengan Seminari Magelang).  Tidak ada yang namanya ‘saya NU’ atau ‘saya Muhammadiyah’ tidak juga PAN, PKB, PPP, GOLKAR, ataupun PDIP. Saat keluar memilih untuk berorganisasi di partai politik ataupun ormas tertentu seperti NU dan Muhammadiyah tidak  menjadi masalah karena yang mengambil keputusan, mempertimbangkan baik dan buruknya adalah dirinya sendiri. Semuanya sama, sama-sama mengantri mandi di Hamko bukan di shower apalagi air hangat, sama-sama sarapan Tahu berenang dan gumbingan, sama-sama harus cuci-setrika sendiri bukan laundry. Di Pondok ini hanya ada ‘Saya Muslim, Tuhan saya Allah, dan Nabi saya Muhammad SAW’. Salah satu nilai penting dari sini adalah menjauhkan santri-santrinya dari sifat sombong yang amat dibenci Allah SWT.
            Menurut pandangan saya, pendidikan kesetaraan di Pondok Pabelan merupakan metode yang tepat untuk menemukan kebenaran sejati, menemukan Allah SWT di dalam dirinya (man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu), menemukan kebebasan dalam berpikir. Mungkin itu juga mengapa KH Hamam Dja’far tidak memaksakan nilai harus pakai jubah melainkan lebih menekankan pada pakaian sopan dan menutup aurat. Beliau tidak mengutamakan tampilan fisik melainkan adab sopan santun. Karena sekali lagi Allah tidak menilai manusia dari pangkat, harta, terlebih lagi pakaian. Allah SWT menilai manusia dari hatinya, apakah berkiblat dan meng-esakan-Nya atau tidak dan Allah SWT memberi tingkatan kepada hamba-hamba-Nya berdasarkan ketakwaan.
            Keseluruhan Pondok Pabelan adalah satu paket pendidikan kehidupan manusia yang sangat manusiawi. Tidak ada doktrin, tidak membentuk santri sesuai keinginan Pondok (misalnya harus hafal Al-Quran) tapi mengarahkan santri untuk menemukan jadi-dirinya sendiri lengkap dengan karunia masing-masing. Itulah mengapa banyak kegiatan di Pondok yang kadang membuat kita tak habis pikir “Kok banyak sekali sih?” Sekali lagi KH. Hamam Dja’far seperti hendak memberikan ruang seluasnya kepada santri untuk mengenali potensi dirinya sendiri. Bukankah manusia seperti pohon yang hanya berbuah satu macam saja namun sangat spesial dengan manfaatnya masing-masing? Setelah mereka temukan, mereka harus mengembangkannya. Pabelan hanya memberi ruang.
Lulus dari Pabelan dan memikirkan semua yang pernah dialami, sudah tak tersangkal lagi begitu banyak pengajaran yang ditanamkan Pabelan dalam diri saya tentu dengan izin Allah SWT. Rasanya seperti diingatkan bahwasa (1) Saya ‘manusia’ adalah rahmatan lil’alamin yang harus menebarkan kasih sayang Allah di bumi-Nya ini. (2) Saya ‘manusia’adalah pemimpin ‘kullukum roo’in’ setiap kamu adalah pemimpin yang akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kelak. (3) Saya ‘manusia’ adalah makhluk ciptaan Allah yang sempurna karena diberi akal dan hati juga diberi kelemahan dan kelebihan. (4) Saya ‘manusia’ adalah makhluk Allah yang spesial karena diberi hak prerogatif bahkan tidak Allah usik sama sekali, yaitu ‘Hak untuk memilih’ yang darinya kita dibebaskan untuk memilih baik atau buruk, iman atau kafir, serta surga atau neraka. (5) Saya ‘manusia’ diciptakan dengan nafsu di dalamnya yang dengan penuh perjuangan saya kendalikan agar tidak diperbudak olehnya.
            Dari kesetaraan tercipta kesederhanaan lantas dari kesederhanaan terbentuk sikap ikhlas, ridho, Qona’ah dan terlatih mengendalikan nafsu. “Kesederhanaan” salah satu dari Panca Jiwa Pondok (rumusan nilai-nilai kehidupan) memiliki banyak nilai di dalamnya yang direalisasikan hampir di setiap kegiatan berasrama. Bagaimana dengan empat lainnya? Pernahkah kita para santri maupun alumni merenunginya? Kegiatan dianggap remeh, sehingga tidak kita coba mencari maknanya. Manusia cenderung pada sifat membanding-bandingkan yang akhirnya menutupi atau menghalangi kita menemukan nilai-nilai baik di dalamnya. Adakah yang merenungi mengapa Pabelan diformat KH. Hmam Dja’far ini seperti ini? Apa maksud kegiatan yang kita jalani? Renungi saja betapa banyak nilai terkandung dalam Panca Jiwa Pondok. Pabelan dari dulu sampai sekarang tidak berubah menurut saya, sama-sama memanusiakan manusia. Selama Panca Jiwa Pondok dipegang erat, maka Pabelan akan terus menjadi Pabelan Pondok kehidupan. Subhanallah. Semoga AllahSWT ridho kepada KH. Hamam Dj’far dan menaikkan derajat beliau. Amin.
Ngelmu Iku Lakune Nganti Kelakon
            Kurang lebih begitulah falsafah Jawa yang mengandung nilai bahwa ilmu tidak ada artinya jika belum atau tidak diamalkan. Sama halnya dengan mahfudzat yang berbunyi “Al’ilmu bilaa ‘amalin ka assajari bilaa tsamarin” yang bermakna ilmu yang tidak diamalkan seperti pohon yang tidak berbuah. Untungnya ilmu yang ditekankan di Pabelan tercinta ini bukan ilmu pengetahuan dan teori saja, tapi lebih kepada yang sering saya sebut di awal yaitu ilmu kehidupan. Jadi, pasti akan berbuah karena selalu diamalkan selama yang memegang ilmu itu masih menjalani kehidupannya. Santri tidak tahu bagaimana esok, akan menjadi apa, juga pengalaman selama di Pondok akan memberi manfaat apa. Santri tidak akan tahu jika belum dilepas, namun kelak akan tahu jika ia menemukan permasalah yang butuh solusi dan ‘klik’ ternyata solusinya  sudah ada dalam dirinya, mengakar pada dirinya dan itu karena Pabelan telah menempanya sedemikian rupa sampai kadang terasa bosan hingga lupa bahwa dari sanalah kita sudah disiapkan. Saat itulah bibit yang tertanam akan tumbuh dan berkembang hingga pada akhirnya akan berbuah manis. Insya Alloh.
Saya pribadi mengalaminya. Di awal saya tuliskan betapa bodohnya saya tidak memahami betul apa itu Pabelan dan isinya. Namun setelah keluar, terkadang senyum sendiri ketika ada permasalahan yang saya hadapi terasa diringankan. Salah satunya pengajaran yang saya dapat dari membantu pengelolaan koperasi Pondok, pusingnya membuat laporan, kesalnya tidak selesai-selesai. Coba tengok sekarang, jika tidak mengerti administrasi perniagaan mungkin saya belum bisa menemukan cara menghitung keuangan toko sendiri. Tapi saya dimampukan oleh Allah SWT karena sudah disiapkan di  Pabelan agar sewaktu-waktu bisa saya gunakan. Misalnya lagi, sebagai santri yang tidak pandai pelajaran KMI, masuk dari kelas Takhasus, menerima beasiswa AFS/YES menggoda saya untuk mengutamakan kuliah dan karir yang tidak terlalu sesuai tujuan kesuksesan. Kesuksesan saya sejak dulu yaitu mengabdikan diri pada keluarga sebagai istri, ibu dan hamba Allah SWT. Ketika Dia menyodorkan tujuan itu tepat sebelum saya keluar pondok, rasanya campur aduk antara ingin kuliah atau menyempurnakan agama dengan menikah. Namun ternyata, Ilmu tentang ‘pengabdian’ yang ditanamkan Pabelan lebih mengena yang akhirnya menguatkan tekat saya untuk segera ‘mengabdi’ di keluarga.
            Tidak diragukan lagi Pabelan merupakan lembaga pendidikan yang sudah jarang ditemukan juga unik menurut saya. Unik dengan semua visi-misinya, unik dengan Panca Jiwa Pondoknya, unik yang berarti berbeda dengan sekolah kebanyakan yang ,mengutamakan akademik saja. Kesetaraan, tanggung jawab, pengabdian, adalah beberapa nilai yang saya dapat dari Pabelan. Ada juga yang mengena, yaitu Pabelan mengajarkan kepada saya bawha ‘nilai’ bukanlah tolok ukur utama akan kesuksesan seseorang. Di Pabelan seorang santri tidak akan mendapat ‘penyanjungan luar biasa’ atau penghormatan apabila mendapat prestasi dan tidak juga merasa ‘kehinaan atau perendahan’ jika mendapat prestasi  akademik yang kurang. Tolok ukur utama di Pabelan adalah budi pekerti luhur, sekali lagi bukan nilai. Jika seorang wali ingin menitipkan putra-putrinya di Pabelan dengan tujuan nilai, maka harus siap-siap kecewa. Mungkin ada yang mengalami?
Menurut saya sekolah adalah formalitas yang mempunyai nilai pendidikan sendiri, dan KH Hamam Dja’far memahami betul bahwa ‘nilai’ bukanlah tolok ukur kesuksesan seseorang. Bahwa pintar akademis dan otak pintar tidak selalu dinaikkan derajatnya tetapi akhlak dan budi pekertilah yang utama. Pernah tidak mendengar orang-orang sukses karena tujuan hidupnya adalah membantu orang lain? Yang diberi Allah kesuksesan karena berjuang atas nama-Nya? Ataukah mungkin orang tidak sekolah tinggi tapi diberi kesuksesan oleh Allah karena keinginannya membahagiakan orang di sekitarnya? Tidak cukupkah contoh-contoh di negeri ini tentang betapa suatu kesalahan besar menjadikan hanya ‘pintar’ dan ‘ijazah’ sebagai ukuran utama suatu kepemimpinan, bukankah para koruptor dan rampok negara itu berijazah semua, adakah yang lulus SD saja?

Testimoni Pengalaman Nyantri
            Sebagai santri tengahan, tidak teladan tidak juga ‘bandel’ menjadi terasa nyaman menjalani hidup di sana. Saat mendapat hukuman, saya tidak kesal ataupun mengadu pada bapak saya. Kalaupun mau cerita, ‘memang pantas, bandel’ pasti itu yang akan diucapkan beliau, sebab sudah terjadi akad tak tertulis antara beliau dengan pondok tempat beliau menitipkan saya. Apapun keputusan dan pengajaran yang diberikan kepada saya tidak akan diganggu oleh beliau. Misalnya saja jika Pabelan tidak memberi saya izin keluar, beliau tidak memaksa dan juga ketika Pabelan mewajibkan saya untuk mengabdi, beliau tidak protes padahal saya sudah ketinggalan dari teman lain masuk perguruan tinggi. Inilah yang menambah kesyukuran, memiliki orang tua yang mempunyai pola pikir seperti Pabelan yang membebaskan segala pilihan di tangan saya, karena saya yang memegang kendali mau diapakan hidup ini. Beliau hanya melihat, memberi support materi dan mengingatkan jika dirasa langkah saya ada yang keliru. Tanpa kerelaan beliau mungkin saja saya tidak bisa merasakan manisnya nyantri di Pabelan.
             Selama di Pabelan begitu banyak kenangan berharga penuh pengajaran.  Menghabiskan enam tahun bukanlah suatu pengorbanan besar (usia 16-21 tahun) dibandingkan dengan ilmu yang saya terima dari sana. Tak sedikit yang menyayangkan kenapa saya mau menghabiskan enam tahun. Bahkan kerelaan saya dibayar oleh Allah SWT dengan banyak hal lebih yang mungkin santri lain tidak dapat.
1.    Mendapat Kesempatan jadi Santri Pertukaran Pelajar memalui AFS/YES
Jika masuk sekolah favorit di Magelang atau Muntilan mana mungkin saya mendapat  kesempatan emas ini  karena AFS belum merambah daerah Magelang dan sekitarnya. Di Jawa Tengah Chapter Semarang yang diberi kesempatan, tapi Pabelan yang notabene masih daerah Jawa Tengah mendapat tempat khusus dan diizinkan untuk mengikuti seleksi di Chapter Yogyakarta. Kesempatan ini menjadi kesyukuran besar pertamaku.
Ada beberapa santri yang mendapat kesempatan menginjakan kaki di negeri orang ketika masih nyantri, begitu juga dengan saya. Masuk Pabelan yang tidak bisa saya bayangkan akan bagaimana di dalamnya, sama halnya menjadi siswa pertukaran pelajar. Kesempatan ini seperti berdiam dirinya Nabi Muhammad SAW di gua Hira untuk mendapatkan petunjuk. Karena hal tak terduga mengharuskan saya ditempatkan di daerah country side yang amat sangat jauh dari keramaian, tidak ada kendaraan umum di sana, jaringan internet pun sulit. Jangankan kendaraan umum, jarak antar rumah berkilo-kilo meter jauhnya.  Host family sangat baik, mereka pun sangat menyayangi saya namun menyangkan ke-Islaman dan kerudung saya sebab mereka adalah penganut Nasrani yang taat dan memandang Islam teroris, serta rumah yang kami tempati berseberangan dengan gereja. Saya salut mereka di usia yang sudah amat sangat senja bahkan sudah memiliki cicit namun berusaha untuk menyenangkan saya agar tidak merasa sedih jauh dari rumah. Saya tahu diri, tidak banyak mengharap, malah berusaha untuk tidak merepotkan sehingga tidak banyak kegiatan luar sekolah yang saya ambil agar mereka tidak kerepotan mengantar jemput. Pernah suatu waktu teman mengantar pulang seusai prom, ia pun tidak tahu jalan kembali pulang. Itu membuktikan betapa terpencilnya saya.
Bukan berarti tidak mendapatkan apa-apa, justru menjadi semakin khusyuk merenungi jalan hidup yang saya lalui kemudian menemukan betapa banyaknya hal yang lupa disyukuri. Salah satunya adalah Pabelan dan Indonesia. Hal penting lain dari kondisi merasa sendiri ini adalah ikut mempelajari agama lain yang semakin menguatkan keimanan saya  kepada Allah SWT. Ada lagi kejadian tak terduga yang sepertinya dimaksudkan agar saya tidak “sombong” dengan pencapaian ini adalah semua gambar di memori kamera saya terhapus tepat pada acara perpisahan di USA. Subhanallah dengan segala rencana-Nya.
2.    Mengenal banyak Pribadi dari Dekat
Memiliki banyak angkatan itu menyenangkan karena dari sana bisa menemukan banyak pribadi yang beragam dan belajar dari mereka. Jangan dianggap turun angkatan adalah hal yang mudah. Awalnya begitu berat meninggalkan angkatan SMP, lalu harus meninggalkan angkatan lagi untuk ikut pertukaran pelajar, sampai turun lagi untuk mengabdi dan akhirnya menjadi  terbiasa. Jadi, turun angkatan lagi untuk menikah bukanlah masalah besar. Saya tidak malu, dan untuk apa malu? Terkadang adik-adik malah lebih dewasa. Baru tahun 2014 kemarin mendaftar kuliah, itupun di UT agar bisa tetap mengurus keluarga full time.
Pelajaran penting yang ditanamkan adalah jangan membesar-besarkan angkatan, merasa yang satu lebih baik yang lain. Tidak terikat dengan satu kelompok saja, itu menutup kesempatan untuk melihat hal baik lainnya. Semua angkatan yang saya singgahi adalah teman-teman terbaik yang memberi banyak kebaikan. Jika boleh saya sebut ada seorang santri melaju namanya Fina Tri Kurnia yang banyak mengajari saya lewat kesehariannya yang santun, lembut, pekerja keras, suka menolong bahkan tidak pernah menolak jika ada orang membutuhkan pertolongan. Dia juga suka berbagi dan selalu merendah, menyayangi teman dan adik kelas juga hormat kepada yang lebih tua dan yang paling saya kagumi darinya adalah tidak pernah sekalipun keluar kata-kata keluhan dari bibirnya sekalipun dia terlihat sangat lelah. Terkadang melihat kesehariannya saya menjadi malu pada diri sendiri. Jika saya jabarkan lebih banyak pelajaran yang saya ambil dari dia. Bukan hanya dia saja, dari setiap pribadi orang yang ada di sekitar saya saat itu benar-benar menjadi ladang untuk belajar tentang kepribadian manusia.
3.    Dijodohkan di Pondok
Bertahan selama 6 tahun di Pabelan ternyata menjadi jalan dipertemukannya saya dengan jodoh. Umur 21 tahun, belum juga khutbatul wada’ sudah diminta oleh seorang alumni Pabelan, namanya Danang Tejo Kumoro. Orang tua ridho dan Pondok ridho, berarti ini jodoh, saya pikir. Jadilah saya menikah saat masih nyantri, dan dia resmi jadi wali  santri. Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada para kiai, ustadz/ah, teman-teman praktik dan alumni yang telah memberikan restu. Juga kepada KH Najib yang menjadi saksi pernikahan kami. Banyak orang yang bertanya kenapa setelah lulus bukan mengejar kuliah yang sudah ketinggalan jauh justru menikah. Alasannya bukanlah ‘malas’ melainkan bagi saya itu merupakan pintu untuk meraih cita-cita saya yang sebenarnya, yaitu mengabdikan diri untuk keluarga.
Jadi, jika ada yang menanyakan apakah saya merasa rugi menghabiskan enam tahun di Pondok Pabelan, maka jawabannya adalah ‘tidak sama sekali’ sebab kebalikannya justru suatu kesyukuran yang luar biasa. Keseharian di Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan baik di asrama maupun di sekolah sangat saya nikmati sehingga tak terpikirkan sama sekali makna-makna yang tersembunyi di dalamnya.  Mengapa begini dan mengapa begitu, pokoknya jalani dan nikmati saja seperti air yang mengalir yang kelak pasti akan terlihat apa-apa yang menempel selama menyusuri Pabelan ini.
Berikut inilah hal yang sudah Pabelan tempelkan dalam dalam diri setiap santri yang kebanyakan tidak menyadari hal-hal penting tersebut.
1.    Tanggung Jawab dan Mandiri Optimal
Bertanggung jawab atas diri sendiri, atas ibadahnya, atas benda-benda miliknya, atas organisasi/kelompoknya, dan lain sebagainya. Semua itu diasah mulai dari menjaga barang-barang pribadinya sendiri karena tidak ada orang tua ataupun pembantu yang akan mengurusnya. Tanggung jawab terhadap kebersihan badan dan lingkungannya, itu wajib kalau tiidak maka teman-teman akan sangat sungkan mendekat, kalau bukan diri sendiri yang sadar akan kebersihan, siapa lagi? Tanggung jawab dalam berorganisasi diwujudkan dalam setiap kegiatan, misalnya saja OPP, organisasi di kamar, kelas, bahkan pembentukan panitia-panitia dalam setiap acara. Hidup di asrama menempa santri mulai bertanggung jawab, mandiri hingga belajar hidup sederhana tidak berlebih-lebihan.
2.    Kerja Sama/Gotong Royong
Hidup bersama-sama 24 jam menghasilkan kerukunan yang kemudian menciptakan budaya kerja sama dan gotong royong. Saya ingat mempunyai teman/partner mencuci bernama Arsyis Musyahadah, tidak sedikit yang mempunyai partner berdua atau bertiga. Ini adalah salah satu budaya yang tumbuh di Pabelan, yaitu budaya bekerja sama.
3.    Budaya Antre
Kalau sedang dalam antrean lalu ada yang menyerobot, maka saya yakin betul itu bukan santri/alumni Pabelan. Sebab “ngantre sudah mendarah daging pada diri seorang santri. Pendidikan yang tidak mudah dan sulit ditemukan bukan?
4.    Kesetaraan

5.    Percaya Diri
Kepercayaan diri seorang santri dilatih saat kegiatan Muhadharah, PKAT,  Pramuka, acara-acara yang mendongkrak kepercayaan diri, menyingkirkan sifat minder.
6.    No Korupsi, No Kolusi, No Nepotisme
Ini adalah pendidikan yang lebih penting dan dibutuhkan bangsa ini dari sekedar nilai akademik.
7.    Belajar untuk Melayani Masyarakat.
Dalam Islam, memuliakan tamu adalah sunah Nabi, maka setiap kali ada tamu datang, santrilah yang melayani, menyiapkan keperluannya (di sini masuk pada tingkatan OPP).
8.    Pendidikan ‘Manajemen Waktu’dan  “Manajemen Keuangan” terbaik.
Wali santri yang mengharapkan nilai 9 berderet dalam rapot putra-putrinya mungkin harus mengurungkan niatnya tersebut. Pelajaran yang diberikan di Pabelan cukup banyak, yaitu KMI dan pelajaran akademik dari pemerintah, sedangkan waktu yang dimiliki adalah seminggu untuk semua mata pelajaran. Apalagi kehidupan di asrama menjadikan santri memiliki kegiatan lain lagi seperti mengaji Al-Quran, Pengajian Kitab, Olahraga, Pramuka, Muhadhoroh, dan ektrakurikkuler pilihan masing-masing santri (karate, silat, qiro’ah, teater dll). Maka, santri secara tidak sadar belajar dan  ditempa mengatur waktunya secara efektif. Kelebihan lainnya adalah menutup celah dari menyia-nyiakan waktu untuk hal yang tidak penting. Setelah lulus mereka menjadi pribadi kuat, mandiri dan pekerja keras, tidak menutup kemungkinan akan sukses dalam memimpin dan menata kehidupannya.

9.    Pengabdian
KH Hamam memahami betul bahwa fitrah manusia adalah pengabdian, pencapaian tertinggi seorang manusia apabila ia bisa mengabdi. Tengok saja kemuliaan seorang ibu yang mengabdikan hidupnya mengurus keluarganya, pengabdian seorang ayah yang mencari nafkah untuk kelurganya, ada lagi yang mengabdikan hidupnya misalnya untuk penderita kanker, untuk membangun masyarakatnya. Pendidikan pengabdian ini sangat penting yaitu “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain”. Hadist Nabi yang menjadi pegangan pendidikan pengabdian ini. Pengabdian adalah jalan menuju kemuliaan, pengabdian kepada Allah SWT dengan melayani hamba-Nya yang lain. Pendidikan sekolah umum yang terlalu mengutamakan nilai, atau saya sebut men-Tuhan-kan nilai akan menjadikan muridnya berpikir materi sebagai tolok ukur utama kemuliaan.
10.  “Invisible Wall”(Dinding Tak terlihat)
Dinding itu sudah dibangun KH Hamam Dja’far 50 tahun silam dan masih berdiri tegak sampai detik ini. Ini adalah suatu konsep pendidikan untuk membentengi diri dari segala hal yang tidak baik, namun benteng ini bukan terbuat dari bata dan semen tapi dibangun dengan perlahan di hati setiap santri. Karena beliau begitu memahami bahwa pertahan paling kuat adalah hati.

11.  Kolam Kreativitas
Jika teringat saat pertama masuk ke asrama, saya terkagum-kagum melihat betapa rapi dan cantiknya lemari pendamping kami. Baju-baju tertata rapi dan lurus berderet sesuai warna, dinding-dinding dilapisi dengan kertas kado yang cantik. Ada tempelan foto, kaca dan perlengkapan lainnya. Mereka benar-benar menjadikan almarinya sebagai ruang pribadinya. Dari situ saya mulai mendekor lemari sendiri dan menatanya secantik mungkin. Bukan hanya mendekor lemari, ruang kreativitas diciptakan sedemikian rupa lewat acara muhadhoroh (pidato), PKAT, Teater, Pramuka, dan masih banyak lainnya. Pada setiap acara ada yang mengharuskan dekorasi agar kegiatan menjadi menyenangkan. Bahkan, di Muhadhoroh pun ada ‘piket dekor’. Puncak nya adalah PKAT ( Pentas Kegiatan Akhir Tahun). Pesta kreativitas, mungkin suatu saat para wali santri perlu diundang untuk melihat betapa kratifnya putra-putri mereka di Pabelan.

Penutup
Seperti dua sisi sekeping mata uang, Pabelan pun memiliki banyak kelebihan tapi juga memiliki kekurangan. Tentu tidak baik hanya melihat kurangnya saja, biarlah menjadi pekerjaan rumah yang perlu dicari solusinya. Saya lebih senang melihat kelebihan Pabelan dan apa yang mampu saya gali dari sana. Banyak-sedikitnya peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan tidak melulu menjadi ukuran bagus atau tidaknya lembaga pendidikan tersebut. Bagi saya, Pabelan dengan santri banyak ataupun sedikit bukan masalah besar. Selama Panca Jiwa Pondok tetap tegak maka kualitas Pabelan terjamin. Perihal naik turunnya jumlah santri bukan semata kesalahan Pondok, banyak faktor luar yang mempengaruhi, salah satu nya adalah suburnya pola pikir materi yang dalam hal ini nilai dan prestasi yang bisa dilihat dan dibanggakan. Perlu diingat zaman ini adalah zaman instan, banyak orang ingin melihat kesuksesan secara instan termasuk melihat perkembangan putra-putrinya secara instan. Yang perlu ditingkatkan oleh Pondok tercinta ini adalah kualitasnya agar tetap mengikuti zaman. Janganlah dihakimi jika Pabelan mengikuti zaman, hakimilah Pabelan jika ia mengubah nilai-nilai utama yaitu Panca Jiwa Pondok.
Dulu dan sekarang sama-sama hebat, masing-masing memiliki tantangannya. Pada masa KH Hamam Dja’far diberi kemudahan oleh Allah SWT, sebab konsep yang dirancang beliau didukung oleh belum begitu majunya teknologi saat itu, seperti handphone, telepon, internet, kendaraan dan pos kilat. Contohnya konsep kesabaran, manajemen keuangan, dan tanggung jawab atas dirinya sendiri bisa diterapkan dengan mudah sekali. Tempaan pada masa itu benar-benar mampu membentuk pribadi santri menjadi lebih kuat. Namun, pada masa itu juga memiliki tantangan yang mengharuskan KH Hamam Dja’far mencari solusi yang tepat tanpa mengganggu konsep pendidikannya.  Saat ini kemajuan teknologi menjadi tantangan Pimpinan Tritunggal, manajemen keuangan dan kesabaran menjadi tantangan berat untuk diterapkan. Tanpa kerjasama dengan wali santri maka santri mudah sekali menghabiskan uang sakunya karena begitu habis tinggal telpon dan hari itu juga bisa ditransfer ataupun diantar. Lalu jika santri mendapat masalah atau hukuman akibat dari kesalahannya sendiri tak jarang mereka adukan kepada orang tua lewat telepon. Orang tua mana yang tega mendengar kesusahan buah hatinya? Maka para orang tua santri secara tidak langsung ‘meng-intervensi Pondok. Di sanalah pendidikan bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan problem solving menjadi terganggu.
Tulisan ini adalah wujud rasa terima kasih saya kepada Pondok Pabelan dan juga ingin menyampaikan bahwasanya Pabelan adalah Pondok Pesantren yang memiliki nilai tinggi jika saja orang mau merenungi. Teman-teman alumni era baru, setelah masa KH Hamam Dja’far, termasuknya saya mungkin belum terlihat buah kesuksesannya seperti kakak-kakak alumni pada masa KH Hamam Dja’far dulu. Namun, saya tidak khawatir karena memang bibit yang tertanam dari Pabelan baru tumbuh dan berkembang dan suatu saat pasti akan berbuah kesuksesan pula, sesuai dengan bentuk kesuksesan masing-masing.



Keliling Dunia dari Pabelan
Hibatul Wafi

Keliling dunia. Itulah cita-citaku. Terdengar biasa memang, banyak orang yang memiliki cita-cita yang sama, namun aku tak peduli. Bagiku, berkeliling dunia, apapun caranya, dapat memberikan banyak hal dan pengalaman. Bukan sekedar memuaskan mata dengan menyaksikan hal-hal unik yang ada di luar negeri, keliling dunia juga bisa menjadi ajang mengenali jati diri. Berkeliling dunia bagiku juga bukan sekedar memenuhi keinginanku semata, ia bisa menjadi sebuah ibadah. Dalam Al-Qur’an tercantum salah satu perintah Allah, siiruu fil-ardli, ‘berjalanlah kamu di muka bumi.’
Dalam meraih cita-cita, kita perlu memulainya dari suatu tempat. Sering dikatakan, bahkan perjalanan jutaan mil dimulai dari satu langkah kecil. Dan aku memulai perjalanan berkeliling duniaku ini dari satu tempat yang mungkin tak pernah disangka-sangka. Melalui tempat ini aku berhasil menempuh perjalanan ke dua buah negara tanpa harus mengeluarkan biaya, sebuah permulaan yang aku kira cukup meyakinkan. Di manakah tempat tersebut? Bandar udara, bukan. Pelabuhan, bukan juga. Pondok Pesantren Pabelan, di situlah kumulai langkah awal perjalananku.
Sebelum aku bercerita bagaimana Pabelan bisa menjadi tempatku memulai perjalananku, terlebih dahulu aku ingin bercerita tentang pengalamanku di dua negara yang berhasil aku kunjungi. Negara pertama adalah Amerika Serikat. Cukup lama aku tinggal di sana sehingga banyak sekali pengalaman yang aku dapatkan. Terlalu banyak untuk diceritakan semuanya dalam tulisan ini. Namun ada satu hal berharga yang aku dapatkan, di negeri yang terletak di belahan lain bumi ini kutemukan diriku sendiri. Negara kedua adalah Korea Selatan. Hanya dua pekan aku menikmati udara negeri ginseng itu, namun pengalaman yang kudapatkan cukup untuk mengubah hidupku.

Amerika              
Agustus 2011 hingga Juli 2012 adalah sebelas bulan waktu yang tak akan terlupakan dalam hidupku. Saat-saat itu aku merasa seperti berada di dunia lain. Secara tiba-tiba aku tinggal di sebuah tempat yang tak pernah kukenal sebelumnya, bersama orang-orang yang belum pernah aku temui sama sekali. Itulah periode ketika aku mengikuti sebuah program pertukaran pelajar bernama YES (Youth Exchange and Study), sebuah program yang dijalankan dan didanai oleh Pemerintah Amerika Serikat dengan tujuan menjembatani kepahaman antara warga Amerika dengan negara-negara yang memiliki mayoritas penduduk beragama Islam.
Dari program tersebut aku berkesempatan tinggal bersama dan menjadi bagian dari sebuah keluarga di sana serta bersekolah di sekolah negeri yang terdekat dari tempat tinggalku. Sebuah kesempatan yang langka karena biasanya hanya warga negara Amerika yang dapat bersekolah di sekolah negeri. Dengan kesempatan tersebut aku dituntut untuk bisa berinteraksi dan berbaur dengan komunitas tempat tinggalku. Tujuannya adalah agar aku bisa belajar bagaimana gaya hidup dan kebudayaan mereka, dan sebaliknya mereka dapat belajar dariku seperti apa sebenarnya orang Indonesia dan orang Islam itu. Di situlah tugas beratku yang sebenarnya, merepresentasikan negara dan agamaku, tindak tandukku di sana akan memberikan kesan pada mereka dan aku harus berhati-hati dengan kesan apa yang aku tinggalkan bagi mereka.
Aku tinggal bersama sebuah keluarga asuh, biasa disebut host family, yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan tiga orang anak. Ketiga anak tersebut tidak tinggal bersama orang tuanya karena kuliah di luar kota, sehingga hanya sang ayah dan ibu yang tinggal di rumah. Sang ayah bernama Clement Haldeman, berumur sekitar enam puluhan dan sang ibu, Donna Haldeman berumur sekitar lima puluhan, mengasuhku dengan sangat baik dan menganggapku seakan aku adalah anak kandung mereka sendiri.
Membayangkan tinggal di Amerika, sebagian besar dari kita mungkin berpikir tentang kota-kota besar dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi, seperti itulah yang aku bayangkan sebelum aku menginjakkan kaki di sana. Namun kenyataannya berbeda. Entah sebuah keberuntungan atau bukan, aku mendapatkan penempatan di sebuah daerah yang sama sekali berbeda dengan bayanganku, aku tinggal di sisi lain negeri ini yang tak terlalu sering diketahui atau terlihat di film-film action Hollywood. Aku tinggal di pinggiran sebuah kota kecil bernama Greencastle, di sebelah selatan negara bagian Pennsylvania. Tidak ada gedung-gedung pencakar langit di sana, tidak ada mobil atau taksi berseliweran di jalanan, tidak ada toko-toko dengan lampu neon beraneka warna dan bentuk. Yang aku temukan di sana sungguh jauh dari apa yang aku bayangkan! Hal pertama yang terlihat ketika aku sampai di rumah keluarga asuhku adalah hamparan ladang jagung yang luas dan sekawanan sapi. Ya, jagung dan sapi. “Jauh-jauh aku ke Amerika dan yang kutemui di halaman rumahku adalah jagung dan sapi, di desaku juga banyak yang seperti ini,” begitu pikirku spontan.
Rumahku berada di pinggiran kota, dikelilingi oleh ladang jagung yang saat itu menjadi lahan menggembala sapi. Donna dan Clement dulunya adalah peternak sapi dan petani. Namun mereka sudah beralih profesi, mungkin karena usia mereka sudah tidak memungkinkan lagi. Donna menjadi guru bahasa Inggris di sekolah dasar, sedangkan Clement bekerja sebagai milk tester, ia mengambil sampel susu dari berbagai peternakan untuk dites kualitas dan kelayakannya. Lahan di sekitar rumah mereka yang biasa mereka olah telah dijual kepada tetangga mereka yang masih beternak dan bertani. Kota ini begitu kecil untuk ukuran sebuah kota di Amerika. Jumlah penduduknya hanya sekitar 4.000 orang. Tidak ada transportasi umum. Sedangkan pusat kota ratusan kilo meter jauhnya. Hal ini menyulitkanku karena membuatku tidak bisa pergi ke mana-mana sendirian. Aku harus meminta tolong Donna atau Clement untuk mengantarku.
Pernah suatu kali aku bertanya, “Donna, what’s the most interesting place in this town?[6]
Dia terlihat agak kaget, dan menjawab,”Hm... Probably, the library..![7] Aku tak bisa membayangkan, betapa membosankannya sebuah tempat yang tempat paling menariknya adalah perpustakaan..Hari-hari awal merupakan perjuangan, karena hari-hari pertama aku sampai di rumah keluarga Amerikaku bertepatan dengan hari pertama bulan Ramadhan tahun itu. Dan lebih beruntungnya lagi, saat itu adalah pertengahan musim panas, waktu siang hari lebih panjang dari malam hari. Matahari tidak akan turun hingga pukul 20.00 waktu setempat. Kujalani waktu adaptasiku sambil menahan lapar 16-17 jam setiap hari.
Ada satu hal menarik, Donna dan Clement adalah penganut Kristiani yang taat, mereka tidak pernah absen ke gereja di setiap hari Minggu, namun mereka ternyata telah mempelajari apa yang aku lakukan, yaitu berpuasa Ramadhan. Aku suka kata-kata Donna yang mengatakan aku sedang celebrating (merayakan) Ramadhan. Tidak hanya itu, mereka juga benar-benar menghormatiku yang sedang menahan lapar. Keluarga di Amerika memiliki tradisi makan malam bersama, begitu juga dengan Clement dan Donna, namun kali itu mereka sedikit menunda makan malam mereka hingga waktuku berbuka, aku sungguh terharu dengan apa yang mereka lakukan.
Tiga minggu setelah kedatanganku ke Amerika, musim panas hampir berakhir, yang menandakan bahwa musim liburan juga berakhir. Saatnya untuk masuk sekolah. Aku cukup penasaran saat itu. Tiga minggu aku menghabiskan sebagian besar waktuku diam di rumah. Saat itu aku merasa, untuk pertama kalinya, aku sangat rindu dengan sekolah. Aku masuk ke sekolah bernama Greencastle-Antrim High School. Sesuai dengan kotanya yang kecil, sekolah ini juga cukup kecil untuk ukuran sekolah Amerika, namun jika dibandingkan dengan sekolah di Indonesia, ia mungkin cukup besar untuk menjadi sekolah terbesar di tingkat provinsi. Bersekolah di tempat itu cukup menjadi tantangan buatku, aku hanya satu-satunya orang Indonesia di sana, tidak ada yang aku kenali, fisikku juga berbeda dengan mereka. Dengan segala perbedaan itu aku harus segera mencari teman, tidak mungkin aku selamanya sendiri.
Dalam usahaku mencari teman dan bersosialisasi, yang paling menjadi tantangan bagiku bukanlah masalah bahasa, kepercayaan, atau kebudayaan yang berbeda. Namun tantangan muncul dari diriku sendiri. Aku adalah orang yang penyendiri dan tertutup. Aku selalu memiliki kesulitan dalam mendekati orang lain. Dalam berteman, selalu teman-temanku yang mengajakku terlebih dahulu. Dan di Amerika, aku bukanlah bagian dari mereka, aku yang harus mendekat kalau ingin mendapat teman.
Hal ini ternyata menjadi masalah yang cukup serius, aku sulit mendapatkan teman. Apalagi ditambah dengan sistem moving class yang diterapkan oleh sekolah Amerika, teman sekelasku berbeda-beda seiring dengan berubahnya mata pelajaran yang aku ambil, sehingga waktu pendekatanku untuk mencari teman sangatlah terbatas. Sekitar tiga bulan awal aku tidak memiliki satu pun teman dekat, memang ada beberapa kenalan, namun interaksi kami hanya sebatas mengenai pelajaran. Aku mencoba mengikuti beberapa kegiatan seperti Boyscout (gerakan kepanduan seperti Pramuka), dan klub drama. Namun karena sifat introvertku, aku tetap saja kesulitan.
Aku mencoba untuk mengubah diriku agar menjadi lebih supel. Aku coba untuk mendekati beberapa teman, mencoba untuk mengobrol. Namun, aku tak tahu apa yang salah, mencoba untuk menemukan bahan pembicaraan terasa sangat sulit bagiku. Lebih sulit dari memecahkan soal-soal aljabar yang menjadi PR-ku setiap hari. Hasilnya adalah obrolan yang aku usahakan terasa canggung. Berusaha mengubah diriku ternyata malah membuatku semakin stres.
Suatu hari, aku kesepian, aku rindu dengan teman-temanku di Pabelan. Aku ingin berkumpul lagi dengan mereka, bercanda gurau bersama-sama di kamar, mengobrol tanpa harus bingung mencari bahan karena teman-temanku selalu punya hal yang bisa dijadikan bahan obrolan seru. Saat-saat itu aku bisa menjadi diriku sendiri. Lalu tiba-tiba aku teringat pada sesuatu. Salah satu kamar yang pernah aku tinggali bersama teman-temanku. Gedung Workshop, sebenarnya bukan kamar, tapi kami sempat tinggal di sana selama beberapa bulan karena gedung Quwaid sedang direnovasi. Aku teringat, di salah satu sisi ruangan, terdapat tulisan besar yang menyadarkanku. Aku berpikir, tulisan itulah yang dapat menjadi jawaban dari permasalahanku saat itu. “BE YOUR SELF”
Ya, selama ini aku kehilangan diriku sendiri. Aku terlalu fokus pada kekurangan-kekuranganku sehingga aku kehilangan kepercayaan pada diriku sendiri. Aku tidak perlu berubah, aku hanya perlu menjadi diriku sendiri, merasa nyaman dengan segala kelebihan dan kekuranganku. Aku telah memaksakan diriku untuk menjadi orang lain. Setelah itu, aku tak lagi memaksakan diri mendekati orang lain. Kulakukan apa yang membuatku nyaman. Walau aku kembali menjadi pendiam, namun aku merasa lebih tenang. Dan perlahan-lahan, semuanya terasa sangat menyenangkan. Akhirnya aku menemukan beberapa orang yang dapat kusebut teman. Mereka menerimaku apa adanya.
Banyak hal baru yang aku temukan di Amerika. Namun yang menurutku paling berharga adalah, aku menemukan diriku sendiri.

Korea
Perjalanan meraih mimpiku berlanjut. Satu negara lagi berhasil aku kunjungi. Berbeda dengan sebelumnya, kesempatan kali ini datang dengan tiba-tiba dan tidak kusangka-sangka. Sekali lagi Pabelan memberikanku jalan, bahkan setelah hampir satu tahun aku lulus meninggalkan Pabelan. Kali ini aku berkesempatan mengunjungi Korea Selatan melalui program International Award for Young People (IAYP, dikenal juga dengan nama The Duke of Edinburgh’s International Award) yang pernah aku jalani semasa di Pesantren. Saat itu aku sedang kuliah di kampusku di Jakarta, ketika tersiar kabar bahwa IAYP Indonesia mengadakan seleksi untuk mencari Duta IAYP. Dua orang akan terpilih menjadi representasi dari IAYP Indonesia dan berkesempatan mengikuti International Gold Event (IGE) 2014 di Korea Selatan. IGE adalah forum Internasional tempat para peserta IAYP dari berbagai penjuru dunia yang sudah mendapat Gold Award berkumpul dan berdiskusi bersama.
Awalnya aku tak begitu tertarik mengikuti seleksi tersebut. Ada beberapa persyaratan yang menurutku merepotkan, seperti menulis essay dan membuat video tentang IAYP. Apalagi saat itu aku sedang disibukkan dengan tugas-tugas kuliah. Tiga hari sebelum batas pengumpulan persyaratan, masuk sebuah pesan singkat ke handphone-ku. Ternyata dari Ibu Ulfa, beliau mendorongku untuk mengikuti seleksi tersebut. Akhirnya, dengan waktu yang tersisa, aku melengkapi segala persyaratan yang dibutuhkan. Kukirim tepat semalam sebelum batas akhir pengumpulan.
Di luar dugaanku, aku lolos seleksi. Aku menjadi satu di antara dua orang yang terpilih menjadi Duta IAYP dan akan mewakili Indonesia di IGE 2014 di Korea Selatan. Aku sungguh bersyukur, tak kusangka sekali lagi aku mendapatkan kesempatan menambah pengalamanku ke luar negeri. Walau perjalanan kali ini hanya untuk sekitar 2 minggu, namun aku merasa akan ada banyak sekali pelajaran yang dapat kuambil darinya.
Ada banyak yang harus aku dan Rauf, Duta IAYP terpilih selainku, persiapkan. Yang cukup membuat kami cukup kerepotan adalah kami harus mempersiapkan sebuah pertunjukan budaya di depan para peserta. Aku dan Rauf memutuskan untuk membawakan pertunjukan tari tradisional dari daerah Jawa, Jathilan dan Kuda Lumping. Kebetulan aku pernah belajar menari untuk aku tunjukkan di Amerika. Namun yang menjadi masalah adalah kami tidak mempunyai cukup waktu untuk berlatih bersama karena tempat tinggal kami berjauhan. Aku di Jakarta, sedangkan Rauf di Yogyakarta.
Rencana awal kami adalah, Rauf akan mempelajari sebuah tari dari temannya yang seorang penari, dan merekamnya dalam bentuk video. Kemudian video tersebut dikirimkan kepadaku untuk aku pelajari sendiri di Jakarta. Namun entah mengapa, rencana tersebut tak sempat terwujud. Akhirnya sampai tiba waktu kami berangkat, kami sama sekali belum berlatih. Kami berharap ada waktu luang di sela-sela acara nanti kami dapat melatih tarian kami. Tak lupa, Aku dan Rauf membawa kostum dan aksesori yang kami perlukan. Aku membawa sebuah topeng berwajah siluman kerbau, sedangkan Rauf membawa sebuah kuda lumping kecil.
Setelah mendapat beberapa orientasi dan pelatihan dari IAYP Indonesia selama dua hari, tiba saatnya kami berangkat. Keberangkatan kali ini agak berbeda, karena kami hanya berdua, tak ada keluarga atau teman yang mengantar, tapi tak apa, toh perjalanan kami cukup singkat. Aku sendiri cukup berpamitan dengan orang tuaku via telepon.
Penerbangan kami berjalan cukup lancar. Sesampainya di Incheon Airport, kami telah ditunggu oleh beberapa sukarelawan dari IAYP Korea. Setelah menunggu beberapa peserta IGE lain tiba, akhirnya kami diantar menuju tempat acara diadakan, sebuah National Youth Center di Cheonan. Di IGE, kami berjumpa dengan 79 peserta dari 34 negara. Sekali lagi sebuah tantangan bagiku karena aku harus bisa akrab dengan mereka dalam waktu yang sangat singkat. Namun dengan banyaknya kegiatan ice breaking yang menyenangkan membuat kami saling mengenal dengan cepat.
Salah satu program terpenting dalam IGE adalah serangkaian Leadership Training. Kami dibagi ke dalam kelompok yang terdiri dari 10-12 orang. Kemudian setiap kelompok diberikan satu buah isu untuk dibahas. Isu-isu tersebut antara lain lingkungan, keamanan, gender, ketenagakerjaan, dan lain-lain. Setelah diberikan berbagai materi mengenai kepemimpinan, kami diberi tugas untuk mengunjungi beberapa organisasi di berbagai penjuru Korea untuk belajar mengenai isu yang diberikan kepada kami. Setelah itu, kami diminta mempresentasikan hasil diskusi dan belajar kami di depan dewan IAYP Internasional.
Kelompokku mendapat isu “Social Inclusion” untuk dibahas. Isu tersebut berfokus pada mengurangi pengucilan sosial yang dilakukan oleh masyarakat terhadap berbagai kelompok minoritas. Sebuah isu yang sangat baru dan menantang bagiku karena aku sendiri merasa kurang inklusif dalam hal bersosialisasi. Dalam tugas kunjungan, kami diharuskan mengunjungi dua buah Multicultural Center dalam dua hari. Satu di Seoul, dan yang lainnya di kota Asan. Satu hal yang menarik dalam tugas kunjungan ini, panitia tidak menyediakan transportasi. Kami diminta untuk memutuskan sendiri bagaimana kami akan menuju ke tempat tujuan kami dalam waktu yang sudah ditentukan dan anggaran yang juga sudah ditetapkan. Kami hanya ditemani oleh satu orang relawan asli Korea yang memiliki bahasa Inggris pas-pasan.
Hari pertama, ketika kami menuju Seoul, kami cukup kerepotan. Rute transportasi yang belum kami kenal dan perbedaan bahasa menjadi tantangan terbesar kami. Hampir seluruh anggota kelompok kami cemas. Beruntung kami dapat mengendalikan diri dan tidak panik. Kami dapat sampai di tempat tujuan dengan tepat waktu. Kunjungan ke multi cultural center berjalan dengan lancar.
Hari kedua, tempat kunjungan kami tidak begitu jauh dari tempat kami menginap. Berada di Kota Asan yang masih dalam satu wilayah dengan Cheonan. Perjalanan cukup ditempuh dengan menaiki kereta subway. Karena sudah memiliki pengalaman di hari sebelumnya, perjalanan kami cukup santai dan menyenangkan. Melalui kedua kunjungan kami, aku merasa terkesan dengan negara ini. Pemerintahnya begitu peduli dengan isu Social inclusion, mereka mendirikan banyak multi cultural center untuk membantu para imigran yang datang dari luar Korea mempelajari budaya Korea dan menyatu dengan masyarakatnya.
Setelah berbagai pelatihan, kunjungan, dan diskusi yang kami lalui, kami diminta untuk mempresentasikan yang kami pelajari di depan para pejabat The Duke of Edinburgh’s International Award, termasuk sang Chairman, Prince Edward the Earl of Wessex. Satu lagi hal yang cukup berkesan bagiku adalah pidato Sekretaris Jenderal Duke of Edinburgh’s International Award, John May pada sebuah kesempatan. Ia mengatakan, Leadership is like a bag of tea. We cannot know how good it is until we put it in a glass of hot water.”[8]
Untuk melihat bakat kepemimpinan seseorang, dia perlu diberikan kondisi yang tepat. Kondisi yang memaksanya untuk mengeluarkan semua kemampuan yang ia miliki. IGE adalah gelas berisi air panas, sedangkan para pesertanya adalah kantung-kantung teh yang menyimpan berbagai rasa. Di IGE kami ditantang melakukan tugas yang tidak mudah, berada di lingkungan yang tidak kami kenali sama sekali, dan bersama orang-orang yang belum pernah kami temui dan memiliki latar belakang, kebudayaan dan bahasa yang berbeda. Dengan berbagai tantangan tersebut, kami harus berusaha mengeluarkan seluruh kemampuan kami untuk bisa berbaur, saling memberikan dan menerima pendapat, serta kompak dalam menjelajahi dunia yang belum kami kenal.
Aku kemudian menyadari sesuatu, sebenarnya hal ini tidak asing bagiku. Pengalaman ‘dicelupkan ke dalam air panas’ ini sebenarnya sudah pernah aku rasakan, bahkan dalam skala yang lebih hebat. Bukan hanya segelas air panas, namun sebuah kawah Candradimuka. Itulah pondokku, Pabelan.
Dengan segala metodenya, Pabelan memberikan sebuah lingkungan yang mampu memunculkan apapun yang terbaik yang ada dalam diri santrinya. Jauh dari orang tua, sarapan Tahu setiap pagi, berbagai kegiatan pendidikan baik di kelas maupun asrama, berbaur dengan ratusan teman dari berbagai penjuru daerah, berbagai organisasi yang ada, Pabelan menyediakan lebih dari sekedar lingkungan yang kondusif untuk belajar menjadi pemimpin. Ia adalah laboratorium pendidikan tempat setiap santri menjadi penelitinya, bekerja dengan segala fasilitas yang ada untuk menemukan potensi terbaik dari diri mereka.

Semua Berawal dari Sini
Jika ditanya, berapa waktu yang kutempuh selama perjalananku ke Amerika, aku akan menjawab mungkin sekitar 30 jam, termasuk waktu transitnya. Namun, sebenarnya perjalananku lebih jauh dari itu. Perjalanan yang kutempuh adalah lima tahun. Aku tidak menghitung langkahku sejak keluar dari rumah atau melangkah di bandar udara, kuhitung langkahku sejak hari pertama aku memasuki Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan.
Berawal pada malam pertama aku tinggal di asrama Pabelan, saat itu sebagai pembukaan dan perkenalan, kami para santri baru dikumpulkan oleh kakak-kakak pendamping kami di sebuah kamar di Gedung Asrama Presiden. Aku masih ingat, kakak-kakak pendamping kami satu persatu memperkenalkan diri mereka masing-masing, kemudian memberikan beberapa nasihat serta mengumumkan aturan- aturan yang berlaku di asrama kami. Mereka bertanya kepada kami, “Ke Pabelan apa yang kau cari?” Sebuah pertanyaan sederhana, namun pertanyaan itulah yang menjadi kunci dari segala pintu kesempatan yang tersedia di Pabelan.
Satu lagi hal paling kuingat saat itu adalah ketika mereka menceritakan, beberapa teman mereka sedang menjalani sebuah program pertukaran pelajar di Amerika. “Teman-teman kami itulah yang sudah mengetahui jawaban dari pertanyaan tadi,” ujar salah seorang kakak pendamping. Sejak saat itu, aku mengatakan pada diriku, aku harus menjadi seperti mereka. Saat itulah, kuambil langkah awalku menuju Amerika. Langkah awalku menggapai cita-citaku.
Kulakukan segala hal yang aku yakin dapat mendekatkanku pada tujuanku. Kupelajari bahasa Inggris lebih dari mata pelajaran lainnya, kugali informasi dari kakak-kakak kelas yang mengikuti seleksi program pertukaran pelajar itu, kubayangkan diriku sedang berada di Amerika di setiap waktu tidurku, tak lupa kupanjatkan do’a di setiap shalatku. Pabelan, dengan caranya sendiri, membantuku mewujudkan cita-citaku. Ia memberikan berbagai masalah agar aku lebih kuat. Ia memotivasiku untuk terus melangkah tanpa menyerah. Ia menekanku agar aku mampu menjadi pribadi yang mandiri dan disiplin. Namun Pabelan juga memberikanku kebebasan, kebebasan untuk menjadi diriku sendiri, kebebasan untuk menentukan cita-citaku.
Bagiku Pabelan bukanlah mesin cetak yang dapat menghasilkan produk yang sama, ibaratnya kertas putih yang dimasukkan akan menghasilkan kertas dengan tulisan atau gambar yang serupa. Pabelan adalah sebuah panci berisi air mendidih yang output nya sesuai dengan apa yang dimasukkan ke dalamnya. Jika kentang yang dimasukkan, ia akan melunak, namun jika telur yang dimasukkan, ia akan mengeras.
Begitulah yang terjadi dengan para santrinya, mereka tidak pernah dibentuk menjadi pribadi yang sama. Pabelan tidak membentuk santri menjadi da’i atau kiai, Ia juga tak pernah memaksakan santrinya untuk menjadi ilmuwan ataupun politisi. Pabelan membentuk santrinya untuk menjadi dirinya sendiri. Menemukan potensi terbaik dalam dirinya dan menggunakannya untuk kebaikan umat manusia.
Sebagai penutup, aku cantumkan sebuah quote dari sebuah buku yang bagiku sangat  menginspirasi dan dengan jelas menggambarkan apa yang telah aku lalui di Pabelan. Aku membacanya pertama kali pada tahun 2010, ketika aku sedang mempersiapkan seleksi mengikuti program YES. Namun kusadari, apa yang tertulis di situ ternyata telah diajarkan oleh Pabelan dan kupraktikkan sejak awal aku menuntut ilmu di sini, sejak 5 tahun sebelumnya.
“Mimpi-mimpi kamu, cita-cita kamu, keyakinan kamu, apa yang kamu mau kejar, biarkan ia menggantung, mengambang 5 centimeter di depan kening kamu. Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu itu setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu bisa.
Apa pun hambatannya, bilang sama diri kamu sendiri, kalo kamu percaya sama keinginan itu dan kamu nggak bisa menyerah. Bahwa kamu akan berdiri lagi setiap kamu jatuh, bahwa kamu akan mengejarnya sampai dapat, apapun itu, segala keinginan, mimpi, cita-cita, keyakinan diri..
Biarkan keyakinan kamu, 5 centimeter mengambang di depan kening kamu. Dan… sehabis itu yang kamu perlu cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa..”
-         Donny Dhirgantoro, 5 cm


Atsar dari Rumah Keduaku
Rizqi Anggita Lailatul Hikmah

Namaku Rizqi Anggita Lailatul Hikmah, teman-teman biasa memanggilku Anggi. Aku berasal dari keluarga sederhana yang hidup di Ungaran, kota yang cukup luas berada di Kabupaten Semarang. Dari kecil, orang tuaku menyekolahkanku di Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar yang berbasis pendidikan Islam. Namun ketika aku menyelesaikan sekolah dasarku, di situlah orang tuaku memberikan kebebasan kepadaku untuk memilih tempat aku akan meneruskan pendidikan. Hingga akhirnya, dengan ajakan salah seorang temanku kala itu, aku memutuskan untuk mencoba memulai kehidupan  baruku di Pondok Pesantren Pabelan, rumah keduaku yang mengantarkanku mendapatkan pengalaman tidak terlupakan sebagai Exchange Student di Amerika. Pada awalnya orang tuaku sangat terkejut dengan pilihanku ini, mereka menganggapku masih sangat kecil untuk memulai kehidupan yang menuntut mandiri. Namun pada akhirnya kedua orang tuaku menyerahkan semuanya kepadaku. Banyak ilmu dan pengalaman yang telah aku dapatkan selama aku berada di rumah keduaku ini, salah satunya adalah pengalaman ketika aku menimba ilmu di negeri Paman Sam. Membayangkan hal tersebut pun tidak pernah, bermimpi pun tidak berani, namun Allah telah menunjukkanku jalan dengan menuntun langkahku menuju Pesantren Pabelan.
Kisahku berawal ketika aku mengikuti seleksi program YES (Youth Exchange Student), program pertukaran pelajar ke USA kurang lebih selama satu tahun (sebelas bulan). Tidak mudah memang, keikutsertaanku pada program ini karena pada semua santri yang duduk di kelas IV atau kelas I Aliyah berkesempatan mengikuti seleksi program YES. Awalnya aku sama sekali tidak berniat untuk sampai pada tahap dimana aku menyandang predikat sebagai salah satu  siswa pertukaran pelajar yang lolos ke USA. Awal niatku hanya ingin melihat Kota Yogyakarta, karena kebetulan pada saat itu proses penyeleksian diadakan di salah satu universitas di Yogyakarta. Ada salah satu hal yang sangat berkesan untukku pada proses penyeleksian. Pada saat aku membuat essay, aku memilih salah satu tema yang pada saat itu aku sangat ingin memilihnya, entah mengapa, aku tidak terlalu ingat dengan tema yang diberikan pada saat itu, tapi yang aku ingat adalah judul dari karangan yang kubuat. “Doa di atas segalanya, tetapi bukan segalanya”. Ya, itulah judul yang aku pilih. Kalimat itu aku dapatkan dari seseorang yang sangat berharga untukku, Ibuku. Sampai saat inipun, kalimat itu masih aku jadikan sebagai suatu keyakinan, karena percaya atau tidak, banyak hal yang terjadi dalam kehidupanku karena kalimat tersebut. Dan mungkin salah satunya adalah kisahku di Negeri Paman Sam. Ya, begitulah niatku kala itu, hanya sekedar ingin melihat kota Yogyakarta dan belum benar-benar ingin berpartisipasi dalam program YES ini.
Ternyata keberuntungan sedang berpihak kepadaku, tidak lama setelah seleksi tahap pertama,  hasilnya pun sudah kami dapatkan. Ternyata aku merupakan salah satu di antara dua belas temanku yang saat itu lolos menuju tahap kedua. Entah ini kebetulan atau semacam keberuntungan untukku. Pada seleksi tahap kedua pun aku belum terlalu berniat untuk lebih serius dengan keikutsertaanku pada YES program ini, jika niatku sekedar jalan-jalan pada waktu itu, sekarang niatku adalah hanya sekedar ingin coba-coba . Seleksi tahap  kedua tersebut aku jalani dengan niat coba-coba. Pada saat itu aku harus melewati dua jenis interview, interview dalam Bahasa Indonesia dan interview dengan Bahasa Inggris. Sempat merasa panik memang, karena niat coba-cobaku itu, di samping itu kemampuan bahasa Inggrisku pun belum bisa dibilang cukup baik. Dari situlah aku sudah yakin bahwa aku tidak akan lolos ke tahap berikutnya. Namun ternyata keberuntungan itu masih berpihak kepadaku.
Aku menyebutnya masih dengan sebuah keberuntungan karena aku tidak merasa bahwa hasil yang aku capai untuk sampai pada tahap ini adalah hasil dari kerja kerasku. Dari sinilah aku mulai menyadari, bahwa mungkin ini sebuah petunjuk untukku agar aku mengubah keberuntungan yang telah aku dapatkan menjadi suatu prestasi yang  akan aku hasilkan dari kerja kerasku. Singkat cerita, pada seleksi tahap ketiga ini, juga merupakan seleksi tahap akhir di tingkat chapter Yogyakarta, aku sudah memulai untuk lebih mempersiapkan diriku, mempersiapkan segala hal yang mungkin akan aku dapatkan ketika proses penyeleksian ini. Ternyata Allah masih memberiku kesempatan untuk lebih berusaha dan belajar, ya aku lolos seleksi pada tahap ketiga ini, dan masih ada satu tahapan lagi, yaitu seleksi tingkat nasional yang akan diadakan di Jakarta. Berbagai macam perasaan yang aku rasakan pada saat itu, namun satu yang pasti, bahwa sekarang niatku untuk ikut serta dalam YES program ini bukan hanya sekedar ingin jalan-jalan atau coba-coba lagi. Namun aku benar-benar ingin mengukir suatu prestasi yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan sama sekali. Menjadi salah satu pelajar yang berkesempatan untuk menimba ilmu di negeri Paman Sam.
Pada seleksi tahap nasional ini, aku tidak hanya bersaing dengan pelajar-pelajar yang berasal dari Yogyakarta saja, namun juga pelajar-pelajar dari seluruh Indonesia. Aku bersama kelima temanku yang juga lolos pada seleksi tahap nasional ini berangkat ke Jakarta dengan persiapan kami masing-masing. Doaku pada saat itu adalah, “Jika memang Allah mengizinkanku untuk kesempatan ini, berikan aku kemudahan-kemudahan ya Allah, namun jika memang Engkau belum mengizinkanku untuk kesempatan ini, jadikanlah proses ini sebagai pengalaman yang berharga bagiku”. Dan akupun mengikuti semua proses seleksi tahap nasional hingga akhir, tiga hari kami menjalani proses penyeleksian di tingkat nasional yang bukan sekedar ingin lolos saja, namun ternyata ada hal yang juga sangat berharga, yaitu pengalaman dan teman-teman baru.
10 Januari 2010, hari istimewa aku tidak bisa melupakannya. Hari aku dan kelima temanku akan mendapatkan hasil seleksi di tingkat nasional. Pada hari itu juga, akan diadakan salah satu agenda besar pesantren, yaitu penyerahan kepengurusan OPP periode 2009-2010 kepada OPP periode 2010-2011.  Di hari itu aku dan kelima temanku diminta untuk datang ke kantor skretariat  AFS chapter Yogyakarta untuk menerima hasil dari seleksi nasional. Dan ternyata Allah memberikan aku kesempatan itu! Aku bersama seorang temanku, Hibatul Wafi merupakan 2 dari 9 pelajar dari chapter Yogyakarta, bersama 94 pelajar lain dari seluruh Indonesia lolos pada seleksi tahap nasional. Itu artinya aku berkesempatan besar untuk belajar di negeri Paman Sam selama 11 bulan! Pada saat itu memang dikatakan bahwa kami merupakan calon exchange student yang akan mendapatkan kesempatan itu, namun satu kalimat yang membuat kami untuk tidak segera berpuas diri dan tetap berusaha untuk benar-benar mendapatkan kesempatan itu, “kalian belum tentu akan berangkat ke USA sampai kalian benar-benar duduk di atas pesawat yang akan membawa kalian ke sana” . Itulah kalimat yang sering ditujukan kepada kami semua, calon peserta exchange student sehingga kami tidak segera merasa berpuas diri serta siap untuk menerima segala kemungkinan, termasuk pembatalan keberangkatan yang mungkin saja terjadi. Selain itu aku harus kembali ke Jakarta untuk memenuhi beberapa persyaratan yang harus aku penuhi sebelum aku berangkat ke USA. Pada saat itu juga aku akan bertemu dengan seluruh peserta dari seluruh wilayah Indonesia yang lolos dan bersama-sama akan mewujudkan impian kami.
Kurang lebih selama tujuh bulan aku mempersiapkan keberangkatanku menuju USA. Dan ketika waktu keberangkatanku sudah dekat, semua berkas yang diperlukan untuk keberangkatanku pun sudah terlengkapi, aku masih belum percaya dengan apa yang sudah aku dapatkan. Aku ingat ketika Bapak Pimpinan Pondok Pesantren Pabelan,KH. Ahmad Najib Amin, memberikan kesempatan kepadaku dan Wafi untuk berpamitan dengan menyelenggarakan sebuah acara singkat di serambi masjid Pabelan. Dalam acara itu juga kami mendapatkan beberapa pertanyaan dari adik-adik kelas kami yang jawaban dari pertanyaan tersebut akan kami cari ketika kami berada di USA. Dan di saat itulah, aku baru benar-benar tersadar, aku akan berangkat. Memulai kehidupan baruku di negara orang dalam beberapa hari lagi.
Semua masalah administrasi dan kebutuhan pribadiku telah aku siapkan, hanya menunggu waktu keberangkatanku saja, beberapa hari menjelang keberangkatan aku manfaatkan sebaik-baiknya bersama keluargaku. Hingga waktu itupun tiba, aku harus mengikuti orientasi selama sepuluh hari di Jakarta.  Orientasi ini terasa sangat berat bagiku, bagaimana tidak? Rangkaian acara dalam sepuluh hari selalu dimulai pada pukul 08.00 WIB dan selesai pada pukul 22.00 WIB. Lantas dari pukul 22.00 sampai pukul 03.00 kami masih harus latihan untuk membuat satu acara drama musikal yang kelak akan kami pertontonkan kepada orang tua kami masing-masing ketika mereka datang di acara farewell party sebelum keberangkatan kami.
Beberapa hari kami sangat merasa tertekan, bahkan beberapa dari kami ada yang dengan sengaja mengoleskan balsem di sekitar daerah mata mereka agar tidak mengantuk selama orientasi berlangsung. Namun ketika kami semua mulai terbiasa dan menikmatinya, waktu pun terasa begitu cepat, hingga tak terasa kami sudah menginjak hari ke-7 masa orientasi kami. Hari yang spesial bagi kami, karena di hari ini akan diadakan acara farewell party yang itu artinya kami akan dipertemukan dengan orang tua kami. Mereka akan melihat putra-putri mereka dalam sebuah drama musikal yang telah kami persiapkan selama satu minggu. Acara ini diselenggarakan di Usmar Ismail Hall. Rasa bangga, namun tidak membuat kami lupa diri, rasa haru, ketika nama kami disebut dan disematkan di dada kami  satu lambang kebanggaan negeri ini, burung garuda kecil, dan orang tua kamilah yang menyematkan burung garuda kecil tersebut. Entah mengapa pada saat itu air mataku keluar dengan sendirinya, entah terbawa suasana pada saat itu yang masing-masing kami sedang melepas rindu kepada orang tua kami, atau karena melihat seseorang yang sangat aku sayangi, kini berada di depanku dan menyematkan burung garuda kecil tersebut. Entahlah, yang jelas pada saat itu aku hanya ingin memeluk Ibuku erat-erat.
Hari itupun tiba. Belum pernah aku rasakan perasaan seperti ini, yakni dalam satu waktu aku merasakan berbagai macam perasaaan. Senang, sedih, bangga, namun juga takut. Yang lebih membuatku takut adalah pada saat keberangkatan pun aku belum mendapatkan calon orang tua angkat selama aku di USA, atau biasa kami menyebutnya dengan host family. Padahal sebagian dari teman-temanku sudah mendapatkannya, bahkan beberapa dari mereka sudah mulai berkomunikasi dengan calon orang tua angkat mereka masing-masing. Aku tidak dapat mengungkapkan dengan kata-kata tentang perasaanku saat itu, banyak hal yang menggangguku. Selama perjalanan menuju bandara, aku hanya dapat memandangi teman-temanku, kupandangi semua yang ada di depanku, namun aku tak tahu ke arah manakah pikiranku saat itu. Tak terasa bus yang aku tumpangi sudah tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta.
Yang ingin aku lakukan pada saat itu adalah memanfaatkan waktu sebaik mungkin bersama keluargaku. Tetapi, pikiranku kembali disibukkan dengan calon host family, yang hanya tinggal beberapa jam saja belum jelas siapa. Namun tidak lama setelah itu seorang volunteer dari YES program memberiku amplop putih. Tanpa berkata-kata lagi aku buka amplop itu, dan Alhamdulillah. Di dalam amplop itu terdapat nama dari sebuah keluarga yang kelak akan menerimaku sebagai anak angkatnya. Namun ketika aku membacanya, aku sedikit terkejut. Di situ jelas tertulis bahwa keluarga itu hanya sebagai temporary host family atau keluarga angkat sementara, dan aku hanya akan tinggal selama tiga bulan di sana. Dalam waktu tiga bulan itu, pencarian untuk permanent host family akan dilakukan dari YES program. Namun bukan itu yang membuat aku terkejut, melainkan nama-nama calon Ayah dan Ibu angkatku serta calon adik-adikku di sana. Di situ tertulis Sholahuddin Kafrawi dan Etin Anwar yang merupakan calon orangtua angkatku, Rizky Kafrawi, Fadli Kafrawi, dan Jenna Kafrawi yang pada saat itu masing-masing dari mereka berumur 15, 12, dan 9 tahun. Nama yang sangat tidak asing kudengar. Karena sebelum membuka amplop tersebut aku sudah membayangkan nama-nama asing yang akan terdengar di telingaku, seperti John, atau George, Natalie, James, dan sebagainya. Dan setelah aku membaca sedikit tentang mereka baru aku ketahui bahwa mereka berasal dari Indonesia namun sudah menetap selama kurang lebih 16 tahun di Geneva, Upstate New York, USA. Setelah mendapatkan amplop itu aku segera memberitahukan kabar gembira ini kepada orangtuaku. Dan akhirnya waktu keberangkatan pun tiba.
Setelah kami semua berpamitan kepada orangtua dan keluarga kami masing-masing, kami menuju pintu check in, sepanjang perjalanan menuju ruang tunggu keberangkatan, banyak kakak volunteer dari AFS yang selama ini membantu mempersiapkan segala hal turut mengantar kami. Tidak hanya itu mereka juga menyanyikan lagu “Leaving On The Jet Plane” untuk kami semua. Memang pada saat itu suasana haru lebih terasa daripada kegembiraan, namun cukup waktu itu saja aku ingin menikmati dan merasakannya, karena masih ada jalan panjang di depan mata yang harus aku lalui selama aku di USA. Pesawat yang akan membawa kami ke Singapura telah datang. Rute yang akan kami lewati untuk sampai di USA adalah Singapura dan Jerman, setelah itu aku akan sampai di negara tujuan, USA. Dan inilah untuk pertama kalinya aku berada di dalam pesawat. Belum pernah sebelumnya aku berada di dalam pesawat, untuk pertama kalinya dan dengan tujuan yang sangat jauh. Pengalaman pertama aku dapatkan.
Kurang lebih selama 23 jam kami menempuh perjalanan udara. Akhirnya aku sampai di negara Paman Sam. Kami semua akan tinggal di Washington DC selama tiga hari untuk mengikuti orientasi sebelum kami ditempatkan di rumah host family kami masing-masing. Di sini aku bertemu dengan exchange student lain yang datang dari berbagai negara seperti Italia, India, Saudi Arabia, Malaysia, Thailand, Fillipina, Ghana, dan beberapa negara lainnya. Hari terakhir kami di Washington merupakan hari yang spesial, selain akan bertemu dengan keluarga baru di esok hari, pada hari itu pula kami akan memasuki bulan suci Ramadhan. Setelah sahur, kami mempersiapkan diri kami masing-masing untuk menuju rumah baru kami. Pada saat itu, jam keberangkatanku tergolong pada jam keberangkatan pertama. Karena pesawat yang akan membawaku berangkat pada pukul 05.00 pagi waktu setempat. Jadi setelah sahur aku dengan beberapa exchange student lain yang berasal dari Ghana dan Fillipina, berangkat menuju Dulles Airport yang kemudian kami akan diterbangkan menuju Rochester.
Setibanya aku di Rochester Airport, aku bersama dengan salah seorang volunteer YES program, Mr. Smith, menunggu kedatangan keluarga Kafrawi. Tidak lama setelah itu, aku mendengar suara di belakangku dan mengatakan “Selamat datang Anggi di Amerika”, seketika itu aku melihat seorang Ibu bersama seorang gadis kecil menggandeng tangannya. Ya, kini aku sudah bertemu dengan keluarga baruku yang akan membantuku untuk beradaptasi di Amerika, sedikit sulit kupercaya memang, karena aku masih bisa bertemu dengan orang Indonesia di negara ini. Setelah aku berpamitan dengan Mr.Smith, Ibu Etin (Ibu, begitu aku memanggilnya) membawaku menuju ke sebuah mobil yang ada di jalan keluar dari bandara tersebut. Ketika itu di depanku ada seorang anak kecil laki-laki yang membukakan pintu mobil untukku, di sampingnya duduk seorang anak laki-laki juga yang tampaknya lebih dewasa darinya. Ya mereka adalah, Fadli dan Rizky Kafrawi, dan gadis kecil tadi adalah Jenna. Kemudian aku juga menyalami seseorang yang duduk di bangku kemudi, Bapak Sholahuddin Kafrawi.  Banyak hal yang kami bicarakan selama perjalanan kami menuju rumah mereka yang ada di Geneva, Upstate New York. Bahkan ketika kami berkomunikasi masih menggunakan bahasa Indonesia, kecuali ketika aku berbicara dengan ketiga anak kecil yang ada di depanku, mereka tidak bisa berbahasa Indonesia, karena sejak lahir mereka memang tidak berada di Indonesia. Kurang lebih selama dua jam perjalanan akhirnya aku sampai di sebuah rumah besar berwarna putih, rumah khas di luar negeri yang dahulunya hanya bisa aku lihat ketika aku menonton sebuah acara televisi. Setelah beristirahat sejenak di ruang tamu, Ibu segera menunjukkan kamar yang akan aku tempati.
Rumah yang cukup besar, pikirku saat itu, dengan halaman depan yang cukup luas dan terdapat sungai kecil di belakang rumah. Kini Jenna, gadis kecil itu harus berbagi kamar denganku. Dia gadis kecil yang sangat antusias terhadapku dibandingkan dengan dua kakaknya. Aku banyak berbicara dengannya  walaupun dengan bahasa Inggrisku yang masih terbata-bata, namun sedikit banyak tampaknya dia mengerti dengan pembicaraanku. Bahkan dia memintaku untuk mengajarinya bahasa Indonesia, cukup menyenangkan kesan pertamaku pada gadis kecil itu. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 waktu setempat, waktu berbuka puasa telah tiba, dan untuk pertama kalinya aku bersama dengan keluarga baruku berbuka puasa bersama. Banyak hal yang kita bicarakan selama berbuka, hangat sekali sambutan mereka terhadapku, pada saat itu, aku masih bisa berbuka puasa dengan nasi putih dan beberapa jenis sayuran yang dimasak oleh Ibu. Dan Bapak, begitu aku memanggil Bapak Sholahuddin Kafrawi, juga memberitahuku bahwa mereka akan membantu dalam menyelesaikan beberapa hal  agar aku dapat memulai sekolahku ketika libur musim panas usai. Aku akan bersekolah di salah satu sekolah menengah atas, yaitu Geneva High School. Tidak hanya itu, Ibu juga memberitahuku bahwa dalam beberapa hari lagi akan ada seseorang yang datang mengunjungiku, Merry Hess. Seorang volunteer YES program (Local Coordinator) yang telah menemukan keluarga Kafrawi dan akan mencari permanent host family untukku. Dia juga akan mengunjungiku sekali dalam satu bulan guna memantau dan melihat perkembanganku. Jadi, bisa dikatakan bahwa dialah orang yang akan bertanggung jawab terhadapku selama aku di sini.
Setelah selesai berbuka, kami segera melakukan sholat magrib dan isya’ berjamaah yang kemudian dilanjutkan dengan sholat tarawih. Terbesit rasa rinduku saat itu dengan suasana ramadhan di Pabelan. Bahkan aku sempat menitikkan air mata, suasana yang sangat berbeda kini aku rasakan. Namun aku bersyukur, di keluarga Kafrawi ini aku tidak sendirian menjalankan ibadah puasa. Dan rasa letih kini menyerangku, bahkan aku tidak bisa menahan kantuk ketika Jenna sedang asyik berbicara denganku, jadi harus meminta maaf pada gadis kecil itu. Namun tampaknya dia sedikit kecewa, hingga kemudian Ibu masuk ke kamar kami dan berkata, “Jenna, you’ve to let her sleep, she’s still jetlag. You can talk to her tomorrow,right?” Dan dengan sedikit rasa kecewa, dia berkata, “Ok mom, and Anggi, good night”. Aku hanya tersenyum dan sejenak memandanginya, dan berkata pada diriku sendiri, “Aku tidak pernah merasakan punya adik sebelumnya, karena aku merupakan anak bungsu di keluargaku, dan kini aku menjadi seorang kakak untuk ketiga adikku di sini”. Tanpa terasa aku lelap dalam tidurku hingga Ibu membangunkanku untuk sahur. Alhamdulillah Ya Allah, Engkau memberiku kemudahan untuk tetap menjalankan ibadah di bulan suci-Mu. Dengan mengirimkan keluarga Kafrawi sebagai keluarga baru yang banyak membantuku untuk beradaptasi di negeri ini.
Banyak pengalaman yang sudah aku dapatkan hanya dalam beberapa hari saja. Ini merupakan hari aku akan bertemu dengan Merry Hess. Kudengar seseorang mengetuk pintu di depan, dan Ibu sudah membukakannya, kudengar sebuah percakapan dengan bahasa Inggris antara Ibu dan orang tersebut. Benar saja, itulah Merry Hess. Tidak lama setelah itu, Ibu memanggilku, akupun keluar dengan sedikit rasa takut, bukan takut karena akan bertemu dnegan orang asing, melainkan takut jika pada saat kami berbicara, dia tidak bisa memahami bahasaku. Namun ketakutanku seketika hilang setelah aku bertemu dengannya. Perempuan 50 tahun itu sangat mengerti keadaanku, dia dengan sabar menungguku untuk menceritakan semua yang ingin aku katakan. Hingga aku merasa sangat nyaman dan tidak merasa sungkan untuk berbicara, dia juga memberitahuku bahwa dia sedang bekerja keras untuk menemukan permanent host family untukku, dia juga sudah mengatur waktu pertemuanku dengan Mr. Mc Sweeney, salah satu school counselor di Geneva High School yang akan membantuku untuk mempersiapkan segala hal yang aku perlukan sebelum aku memulai sekolahku. Setelah banyak hal yang kami bicarakan, Merry pun berpamitan dan memberikan alamat email serta nomor handphone miliknya jika ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Aku sangat terkesan dengannya dan aku sangat beruntung memiliki Local Coordinator seperti dirinya.
Tidak terasa satu bulan sudah aku di sini, dan itu artinya sebulan sudah aku menjalankan ibadah puasa. Hari saat semua umat islam bersukacita menyambutnya, Hari Raya Idul Fitri. Aku merayakan Idul Fitri pertamaku di negeri Paman Sam ini dengan keluarga Kafrawi, seorang teman dan juga tetangga kami  Husein yang berasal dari Syiria hanya sudah menetap di Geneva selama tujuh tahun, dan juga Mr dan Mrs. John mereka adalah muallaf dan baru akan merayakan lebaran pertama mereka bersama kami. Untuk dapat mengikuti sholat Idul Fitri kami harus menuju Islamic Center di Rochester, membutuhkan waktu kurang lebih selama dua jam dari Geneva. Setelah kami menyelesaikan sholat Idul Fitri, kami menikmati acara-acara yang sudah disiapkan oleh pihak Islamic Center dalam memperingati hari raya ini. Di antaranya seperti pameran makanan dan minuman halal, pameran berbagai kumpulan buku tentang Islam, dan fasilitas permainan anak-anak yang dapat dinikmati oleh anak-anak kecil yang ada. Setelah kami menikmatinya, kami segera menyiapkan diri kami untuk kembali ke rumah kami masing-masing, mengingat jarak yang kami tempuh untuk kembali ke rumah kami cukup jauh.
Liburan musim panaspun akan segera berakhir, dan itu artinya aku akan segera mamulai sekolah pertamaku di Geneva High School. Jujur saja, pada saat itu aku takut untuk memulai sekolahku, bukan hanya karena Bahasa Inggrisku yang terkadang masih terdengar aneh oleh orang-orang di sekitarku, namun juga karena pakaian yang aku kenakan ke sekolah. Karena pada saat itu, akulah satu-satunya orang di sekolah ini yang mengenakan hijab, jadi bisa dibayangkan bagaimana anehnya aku di mata mereka pada saat itu. Seperti yang kubayangakan, ketika aku memasuki koridor sekolah dan berjalan menuju lokerku, semua orang menatapku. Aku tahu arti pandangan mereka terhadapku, pasti mereka bertanya-tanya  mengenai hijab yang kupakai. Namun mereka tidak bertanya, hanya menatapku.  Akupun berusaha untuk mengendalikan diriku, walaupun memang pada saat itu aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan, jadi aku hanya berjalan dan terus berjalan. Pertanyaan-pertanyaan yang sama aku dapatkan di setiap kelas berbeda yang aku ikuti pada hari itu. Dan pertanyaan itu tidak terlepas mengenai hijab yang kupakai, letak negara Indonesia, dan dengan siapa aku tinggal selama aku di sini. Pada saat itu aku memberikan jawaban yang terkesan singkat dan apa adanya, karena pada saat itu aku belum terlalu lancar berbahasa Inggris. Seiring berjalannya waktu aku mulai terbiasa dengan keadaan ini dan merekapun mulai terbiasa melihat aku berpakaian seperti ini, bahkan aku mulai mengikuti beberapa ekstrakulikuler di sekolah seperti soccer dan karate.  Dari situlah aku mulai mendapatkan rasa percaya diriku, mulai mendapatkan teman, dan yang terpenting adalah aku mulai menikmati waktuku di negeri Paman Sam.
Tanpa terasa tiga bulan sudah aku bersama keluarga Kafrawi. Merry memberitahuku bahwa dia sudah menemukan permanent  host family untukku, sebelum aku pindah, Merry mempertemukanku dengan mereka, keluarga Arthur. Pada saat itu aku sangat takut, takut jika mereka tidak menyukaiku. Pertemuan pertama kami  gunakan untuk saling mengenal. Christoper Arthur dan Sharon Arthur, adalah nama orang tua angkatku. Mom, begitu aku memanggil Sharon, adalah wanita yang sangat ramah,  pekerja keras, dan penyayang. Sedangkan Dad, begitu aku memanggil Chris, adalah seseorang yang lucu, suka bernyanyi, dan sangat suka ice cream. Di rumah itu juga tinggal seorang nenek, Ibu dari Chris, Joyce Arthur  yang biasa aku panggil Grandma . Chris and Sharon mempunyai tiga orang anak, tetapi ketiganya sudah duduk di perguruan tinggi dan sudah tidak tinggal di rumah itu lagi.  Ternyata ada penghuni lain juga di rumah  tersebut, Jessie, seekor anjing besar berwarna putih yang sangat ramah. Setelah kami membicarakan banyak hal, termasuk tentang kepindahanku di rumah itu, aku dan Merry berpamitan. Dan sepanjang perjalanan menuju rumah Ibu Etin, tak henti-hentinya aku berterima kasih kepada Merry, karena dia telah menemukan host family yang baik untukku.
Akhirnya waktu kepindahanku ke keluarga Arthurpun tiba. Jenna tampaknya sedikit kecewa mendengar hal tersebut. Ya aku sudah sangat dekat dengannya, bahkan beberapa kali dia menanyakan kepada Ibu kenapa aku harus pergi dari rumah itu. Merry yang pada saat itu juga bersamaku, ikut menjelaskan kepadanya, dan akhirnya dia mengerti. Setelah aku berpamitan kepada Bapak,Ibu, dan ketiga adikku, Merry mengantarku menuju rumah keluarga Arthur yang lokasinya hanya berjarak sekitar 15 menit dari rumah Ibu Etin. Sambutan yang sangat hangat oleh Ibu dan Nenekku pada saat itu. Setelah kami berbincang-bincang sebentar, Merrypun berpamitan dan kini aku sudah tinggal bersama keluarga Arthur untuk delapan bulan ke depan. Banyak sekali pengalaman yang aku dapatkan selama aku tinggal bersama mereka. Kebetulan ketika aku berada keluarga Arthur, musim gugur akan segera berganti menuju musim dingin. Dan itulah pertama kaliku melihat salju. Tidak lama setelah musim dingin datang, Ayah  dan Ibu mengajakku menaklukkan puncak Mt. Adirondack. Tidak seberapa tinggi memang, namun bisa dibayangkan kami melakukan pendaakian itu di musim dingin, ketika puncak gunung tersebut berubah, dari bebatuan menjadi es.
Mereka juga sangat menyukai masakanku, pada saat itu aku mencoba membuat sate dan lumpia, mereka sangat menyukainya, bahkan aku pernah diminta untuk membuat lumpia untuk orang-orang di gereja tempat Mom beribadah. Ibu sering mengajakku ke gereja dan dia sangat ingin memperkenalkanku kepada semua teman-temannya yang ada di gereja. Tidak seperti yang kubayangkan, ternyat mereka semua menerimaku dengan baik, sangat menghargaiku dan keyakinanku. Bahkan aku pernah diminta untuk melakukan presentasi tentang Indonesia dan Islam di gereja mereka, respons mereka pun sangat baik, banyak dari mereka yang menanyakan tentang Islam dan Indonesia. Terutama ketika aku menampilkan salah satu slide yang berisi fotoku sedang bersama teman-temanku di Pabelan.  Mereka sangat antusias dengan seragam sekolah dan hijab yang kami kenakan. Mereka sudah menganggapku sebagai saudara mereka sendiri walaupun memiliki keyakinan yang berbeda dan hal tersebut  tidak membuat mereka memandang aneh kepadaku. Sesekali aku tidak datang bersama Ayah dan Ibuku ke gereja, mereka akan bertanya kepada ibuku mengapa aku tidak datang bersama mereka.
Hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh keluargaku dan seluruh umat kristiani di seluruh negeri. Hari Natal tiba. Dan itulah pertama kalinya aku merayakan natal bersama orang tuaku dan seluruh keluarga besar Arthur. Pada hari itu juga aku bertemu dengan ketiga saudaraku, anak-anak dari Chris dan Sharon. Mereka semua lebih dewasa dariku dan seperti orangtuanya, mereka juga sangat baik terhadapku. Kukatakan dalam hatiku pada saat itu, saat aku merayakan natal bersama mereka. Ya Allah, aku hanya ingin menghargai mereka.  Begitu banyak hal yang kulakukan di hari natal pertamaku. Ikut membantu ayahku memotong dan menghias  pohon natal, membuat kue natal, dan juga membantu Ibuku membungkus banyak kado untuk anak-anak gereja. Akupun mendapat banyak hadiah natal dari keluarga dan saudara-saudaraku di sana. Mereka bahkan tidak membedakanku, mereka juga menghargaiku. Mereka membuatku nyaman dan merasa bahwa aku adalah bagian dari keluarga mereka, banyak kebaikan yang telah mereka lakukan untukku.
Tanpa terasa musim demi musim telah aku lalui bersama keluarga Arthur. Dan kini musim dingin pun akan berganti menjadi musim semi. Semua warga di sekitar rumahku berlomba-lomba untuk menghias taman masing-masing. Tidak hanya itu, mereka juga secara bersama-sama membenahi taman kota yang ada di Geneva, tempat semua tanaman di taman kota tersebut mati ketika tertimpa salju di musim dingin. Akupun ikut membantu bersama Ayah dan Ibu. Pada saat itu aku bertemu dengan orang-orang baru dan tetangga kami. Merekapun sangat antusias terhadapku, dan dengan senang, Ibu memperkenalkanku kepada mereka. Sungguh pengalaman yang sangat berharga untukku. Setidaknya keberadaanku bisa memberikan sedikit manfaat bagi orang-orang di sekitarku. Liburan musim semipun tiba, walaupun tidak sepanjang libur pada musim panas, namun liburan ini juga sangat penting bagi orang-orang Amerika. Waktu yang akan digunakan oleh orang-orang Amerika untuk menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman, begitu juga dengan Ayah dan Ibuku.
Mereka mengajakku untuk berlibur. Yang membuatku senang pada saat itu bukan hanya karena mereka mengajakku untuk  berlibur, tetapi mereka melakukan ini karena mereka ingin mempunyai waktu khusus bersamaku sebelum aku kembali ke Indonesia. Ya aku akan kembali ke Indonesia dua bulan lagi. Waktu yang sangat singkat bagi kami, tanpa terasa aku sudah menghabiskan waktu bersama mereka selama enam bulan. Ibuku tahu bahwa aku sangat ingin pergi ke San Fransisco, karena aku sangat tertarik dengan keindahan di setiap sudut kota tersebut, dan yang paling menarik adalah keberadaan Golden Gate Bridge. Ibu memberitahuku bahwa kita akan ke San Fransisco, California. Aku benar-benar tidak bisa membayangkannya! Sebentar lagi aku akan mengunjungi tempat yang dari dulu sangat ingin aku kunjungi. Namun Ibu juga memberitahu sebelum menuju destinasi utama kami, yaitu San Fransisco di California, kami akan berkunjung ke salah satu saudara dari Ibuku yang ada di Arizona. Selama di Arizona Ibu sudah membuat daftar tempat yang akan kami kunjungi ketika kami di sana. Kami akan mengujungi Sedona dan Grand Canyon yang sangat terkenal dengan keindahan alamnya, kemudian kami akan mengunjungi salah satu bendungan termegah yang pernah dibuat oleh manusia, Hoover Dam yang terletak di perbatasan antara Arizona dan Nevada, sehingga jika di tempat ini kita akan mendapati dua zona waktu yang berbeda.
Setelah itu, karena kami sudah berada di perbatasan Arizona dan Nevada, maka Ayah dan Ibu mengajakku untuk mengunjungi salah satu tempat yang sudah sangat terkenal di Nevada, Las Vegas. Namun kami tidak menghabiskan banyak waktu, karena Ibu khawatir kepadaku, dia sudah sangat mengenalku dan keyakinanku, jadi Ibuku khawatir jika aku tidak nyaman dengan banyak pemandangan aneh yang ada di Las Vegas. Ya, dia memberitahuku itu, dan aku hanya bisa tertawa pada saat itu. Setelah menghabiskan sedikit waktu kemudian kami menuju destinasi utama kami, California. Aku sangat takjub dengan keindahan alam yang ada di sana. Sebelum kami menuju San Fransisco, Ibu mengajakku untuk mengunjungi  Giant Forest, tempat aku dapat melihat pohon tertua dan tertinggi di dunia. Kami juga mengunjungi air terjun yang terkenal di California, Firefall, atau air terjun api yang ada di Taman Nasioanl Yosemite California. Air terjun yang yang jatuh dari puncak tebing El-Capitan itu akan berubah warnanya seperti lava pijar ketika perubahan musim salju ke musim semi, tepatnya di bulan Febuari. Namun sayang pada saat itu kami berkesempatan untuk mengunjungi tempat tersebut pada bulan April, jadi kami tidak bisa melihat fenomena alam tersebut. Dan akhirnya kami menuju destinasi utama kami, San Fransisco. 
Sepanjang perjalananku menuju San Fransisco, aku tidak bisa memalingkan pandanganku ke jendela luar mobil. Aku sangat terkesan pada setiap sudut kota ini, kemudian Ibu mengajakku menuju Bay Aquarium. Setelah itu kami baru menuju Golden Gate Bridge. Tidak hanya melihatnya saja namun kami juga berjalan menyeberangi jembatan yang menghubungkan kota San Fransisco dengan wilayah Marin dengan jarak kurang lebih tiga kilometer. Sungguh pengalaman yang tidak akan pernah kulupakan, banyak sekali pengalaman yang aku dapatkan selama liburan ini, dan kami menghabiskan waktu selama sepuluh hari untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut. Terima kasih Ya Allah, Engkau telah mempertemukanku dengan keluarga yang sangat luar biasa, keluarga yang memperlakukanku dengan sangat hangat, tidak pernah membedakan apapun walaupun kami mempunyai banyak perbedaan. Aku bahkan tidak tahu apakah aku dapat membalas semua kebaikan mereka suatu saat nanti.
Tak terasa sebelas bulan telah berlalu, setelah aku menyelesaikan sekolahku di Geneva High School dan mengikuti upacara kelulusan, Ayah dan Ibuku mengadakan pesta kecil untuk merayakan kelulusanku; pesta itu merupakan salah satu budaya di Amerika ketika anak-anak mereka sudah menyelesaikan kewajiban mereka untuk bersekolah. Selain itu, pesta tersebut juga merupakan farewell party untukku. Pesta itu dihadiri oleh orang-orang terdekat dari Ayah dan Ibuku, keluarga Kafrawi, guru dan teman-temanku di sekolah, dan tentunya Merry. Di pesta itu aku membuat beberapa makanan khas Indonesia, seperti sate dan lumpia. Dan semua orang menyukainya, bahkan Ibu Etin dan Bapak pun juga memuji makananku. Sebelum aku pergi, Ibu memintaku untuk mengajak pergi menuju Islamic Center yang ada di Rochester tempat aku beribadah bersama keluarga Kafrawi dulu. Ibuku ingin mengetahui seperti apa tempatku beribadah. Dan akhirnya aku dan Ibuku pergi menuju Islamic Center bersama Ayah dan nenekku. Dan yang sangat membuatku berkesan adalah mereka, Ibu dan nenekku mau mengenakan pakaian panjang dan sangat tertutup ketika akan mengunjungi masjid yang ada di Rochester tersebut. Termasuk mengenakan hijab, walaupun hanya sekedar untuk menutup kepala mereka saja, namun aku sangat terkesan. Mereka sangat menghargaiku.
Saat malam terakhirku, aku benar-benar tidak bisa tidur. Padahal besok aku harus bangun lebih awal karena pesawat yang akan membawaku menuju Washington DC berangkat pada pukul 08.00 waktu setempat. Dan aku membutuhkan waktu selama dua jam untuk sampai di Rochester Airport. Perasaan yang aku rasakan satu tahun yang lalu kini aku rasakan lagi, merasakan berbagai macam perasaan dalam satu waktu.  Senang karena aku akan pulang ke Indonesia dan bertemu dangan keluarga dan teman-temanku, namun aku juga sedih karena harus meninggalkan keluarga ini. Mereka sudah seperti orang tuaku sendiri, begitu juga mereka, telah menganggapku seperti puteri mereka sendiri, bahkan mereka tidak sungkan-sungkan untuk mengungkapkan rasa sayang mereka kepadaku. Hal tersebut merupakan salah satu budaya baru untukku, mengungkapkan rasa sayang kepada orang-orang terdekat seperti orangtua, saudara, dan teman-teman terdekat dengan saying I love you dan I miss you, yang di Indonesia kalimat-kalimat tersebut sangat jarang aku temukan dalam interaksi sehari-hari.
Hari itupun tiba, hari aku akan bertemu dengan semua temanku yang mengikuti program ini. Kami semua akan bertemu di Washington DC untuk kembali mengikuti reorientasi selam tiga hari sebelum kembali ke negara masing-masing. Sepanjang perjalanan menuju Rochester Airport, nenekku tidak pernah melepaskan genggaman tanganku. Mereka juga merasakan apa yang aku rasakan. Begitu juga Ayah dan Ibuku, tak henti-hentinya mereka berkata kepadaku bahwa mereka akan selalu merindukanku, dan berjanji suatu saat akan mengunjungiku di Indonesia. Betapa beruntungnya aku bisa mendapatkan host family seperti mereka.
Terima kasih Ya Allah telah mempertemukanku dengan mereka, keluarga Arthur. Terimakasih untuk YES program yang telah memberikan aku kesempatan untuk merasakan peengalaman yang sangat berharga ini, dan terima kasih Pabelan yang telah menjembataniku untuk mendapatkan kesempatan ini.




Allah Menuntunku ke Pabelan
Syahril Huda Andriyan
            Saya berniat untuk masuk ke pondok pesantren sejak saya akan lulus dari sekolah dasar di daerah Sumatera tepatnya di Bengkulu. Orang tua saya berpesan, “Siapa yang akan mendoakan bapak ibu kalau nanti sudah meninggal?”. Atas bimbingan dan tuntunan orang tua, tekad saya bulat dan kuat. Mereka memberikan saya tiga pilihan pondok pesantren di tanah Jawa di antaranya Pabelan. Seteleh kelulusan dan pengambilan ijazah saya berangkat didampingi ibu saya menuju kota Jogja untuk mendaftar di salah satu pondok pesantren di kota tersebut karena pertimbangan tempat yang dekat dengan kakak saya yang sedang kuliah di sana. Hari pertama mendaftar ternyata pendaftaran sudah ditutup karena kuota telah terpenuhi dan saya beralih ke pondok pesantren yang kedua masih di daerah yang sama, namun saya tidak merasa cocok dengan suasana lingkungannya yang berada di tengah kota. Dan keesokan harinya kami pun berangkat ke daerah Magelang sekitar satu jam perjalanan dari kota Jogja.
            Udara yang sejuk dan lingkungan pedesan yang asri itulah kesan pertama saya saat menginjakan kaki pertama di Pondok Pesantren Pabelan. Suasana masih terasa sepi karena para santri sedang liburan semester dua. Setelah diajak berkeliling kompleks pondok dan merasa cocok dengan suasana, lingkungan, dan beberapa penjelasan mengenai sekolah, keseharian, ekstrakurikuler, dan pertukaran pelajar ke luar negri. Saya pun menjadi semakin mantap untuk mendaftar dan tekad saya waktu itu adalah pergi ke Luar Negeri. Hal yang tak pernah terlintas di pikiranku mengagetkan bahwa saya hadir di pondok pesantren yang dulu menutup pendaftaran untuk saya karena diundang untuk menerangkan salah satu kegiatan yang sudah berlangsung lama di Pabelan yaitu kegiatan IAYP (International Award for Young People). Waktu itu saya bersama M Yuniar Fahmi, dan kakak angkatan saya Wahyu Dono sebagai peserta program tersebut dan ditemani oleh Ibu Nyai Nurul  Faizah sebagai koordinator kegiatan tersebut. Bagaimana Allah membuka mata hati saya bahwa di setiap rencana Allah terdapat rahasia yang begitu besar yang tidak dimengerti makhluknya. Begitu pula saat saya dapat mencapai cita-cita saya waktu pertama kali saya mendaftar dulu, berkesempatan untuk menginjakkan kaki di negeri matahari terbit melalui program pertukaran pelajar JENESYS (Japan-East Network of Exchange for Students and Youths) yang diselenggrakan oleh Jepang dan dilaksanakan MENPORA dan atas kepercayaan pondok pada tahun kelima saya menyantri. Alhamdulillah tidak sepeser uang pun yang saya keluarkan dalam kegiatan tersebut. Mungkin hal tersebut akan berbeda cerita apabila saya tidak di Pabelan.
Pondokku bagai Ibu yang Membimbingku
            Memutuskan untuk menyantri di pondok Pabelan, itu berarti sudah siap untuk keluar dari zona nyaman yang kita miliki. Orang tua yang selalu ada dan mengurusi semua keperluan kegiatan kita harus ditinggalkan untuk semnentara waktu. “Masuk ke Pabelan haruslah sepenuh hati jangan setengah-setengah seperti halnya kita masuk ke dalam agama Islam seperti kalimat dalam Al-Qur’an Udhulu fissilmi kaffah ‘masuklah ke dalam Islam secara sempurna jangan setengah-setengah’. Begitulah kiai sering mengingatkan kami. Tdak jauh dari itu saya ingat ketika K.H Ahmad Najib Amin mengumpulkan kami dan menanyakan perihal ke-Islaman kami. “Apakah kalian masuk Islam dengan sengaja atau karena orang tua kalian beragama Islam?” Kami hanya terdiam karena memang begitu adanya. Dan beliau melanjutkan “Mari kita perbarui syahadat kita dan benar-benar memasuki agam Allah ini dengan utuh karena walau pun kita mengucapkan syahadat dalam azan dan shalat hanya secara otomatis bukan karena kesadaran diri sendiri”. Dengan dibimbing oleh bapak kiai kami pun memperbarui syahadat kami.
Mengenai otomatis, beliau selalu mengingatkan kami untuk tidak menjadi manusai yang otomatis. Manusia yang melakukan sesuatu dengan tidak sengaja dan keluar pun tidak mendapatkan apa-apa dari perbuatan tersebut. Dia tidak dapat mengahayati dan mengambil pelajaran dari apa yang telah ia perbuat. Begitu pula seperti yang dikatakan oleh pak kiai dalam shalat pun kadang kita tidak sengaja atau secara otomatis melakukan gerakan dan membaca bacaan dalam shalat, sehingga kita tidak mendapatkan hikmah dan pelajaran dari ibaadah tersebut. Sehingga tujuan shalat yang tanha anil fahsyahi wal munkar ‘mencegah perbuatan keji dan munkar’, tidak tercapai.
Kegiatan awal untuk santri baru adalah Khutbatul Iftitah ‘khutbah pembukaan’ yang merupakan nama lain dari masa orientasi di sekolah pada umumnya. Dari khutbatul iftitah tersebut diterangkan bagaimana pondok Pabelan. Diterangkan oleh para pimpinan pondok K.H Ahmad Mustofa, K.H Muh Balya, dan K.H Ahmad Najib Amin. Lewat khutbah tersebut pimpinan pondok mengingatkan bahwa “Jangan menilai pondok Pabelan seperti kera yang menilai memakan buah manggis”. Ungkapan tersebut dapat dihayati bahwa pimpinan memberikan perumpamaan yang sangat mudah dipahami anak yang baru lulus sekolah dasar. Dengan mengumpamakan seekor kera memakan manggis dengan cara menggigit langsung kulitnya tanpa dibuka terlebih dahulu. Namun kera tersebut membuangnya karena rasa kulit manggis yang pahit tanpa mengerti bahwa di balik kulit pahit tersebut terdapat buah yang sangat lezat rasanya. Pimpinan pondok membimbing para santri untuk tidak melihat suatu hal hanya dari kulit atau luarnya saja; termasuk menilai orang, lembaga, permasalahan, dan apapun itu dalam memandang sesuatu.
Pabelan itu hanya memberi fasilitas bukan mesin pencetak orang hebat” kata tersebut juga disampaikan pula dalam khutbah tersebut. Dapat diambil makna bahwa Pabelan tidak menuntut santri untuk menjadi seorang ulama atau pun kiai yang besar namun Pabelan memberi fasilitas apapun yang menjadi minat santri tersebut sehingga banyak santri lantas alumninya menjadi pengusaha, guru, tentara, dan lain sebagainya.  Dalam pendidikannya selalu menyeimbangkan antara ilmu agama dan ilmu umum karena pabelan menggunakan kurikulum KMI yang diadopsi dari Pondok Gontor disatukan dengan pendidikan sekolah pada umumnya. Dari konteks tersebut dapat disimpulkan bahwa hidup harus seimbang antara dunia dan akhirat, “Bekerjalah kamu seperti kamu akan hidup selamanya di dunia dan beribadahlah seperti kamu akan meninggal besuk”. Seperti pada ayat Qur’an surah al-Jum’ah menerangkan bahwa saat shalat jum’at semua kegiatan ditinggalkan menuju masjid untuk menunaikan shalat jum’at, namun selesai ditunaikan maka berhamburanlah di muka bumi Allah untuk mencari rezeki. Bahwa muslim harus mempunyai etos dalam berkerja dan beribadah. Karena semua hal tersebut sangat berhubungan erat antara dunia dan akhirat.
Di pesantren santri diperkenalkan dengan organisasi sejak pertama nyantri sampai menyelesaikan pendidikan. Mulai dari organisasi terkecil yaitu organisasi kamar, organisasi kelas, dan organisasi lebih besar lagi seperti OPP (Organisasi Pelajar Pondok), pramuka, panitia ujian apabila telah menjadi santri praktik, dan organisasi lainnya. Tujuan dari organisasi tidak lain untuk memberikan pendidikan terhadap santri tanggung jawab, memecahkan masalah, dan kerjasama yang akan dipakai terus sampai santri kembali ke masyarakat. Tidak bisa terlepas dari pengawasan pimpinan pondok yang di sini mempunyai peran sebagai orang tua yang siap mengingatkan anaknya apabila dalam melaksanakan organisasi tersebut tidak sesuai dengan jalurnya.
Kullukum ra’in wakullukum mas’ulun an rainyatihi, ‘Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya’. Kata itu selalu melekat dalam ingatan saya sampai sekarang dan akan terus melekat sampai kapan pun. Bagaimana pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya karena hakikatnya manusia adalah pemimpin khalifah fil ard. Dari yang organisasi terkecil yaitu diri kita sendiri bagaimana kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri dan bagiaman cara kita memimpin diri kita untuk selalu berbuat baik, beribadah, dan memanfaatkan apa yang telah Allah titipkan kepada kita mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Semua itu akan diminta pertanggungjawaban. Begitu pula seorang presiden yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat dan negara yang dipimpinnya baik di dunia maupun akhirat. Begitu beratnya tanggug jawab seorang pemimpin tidak hanya dirinya sendiri tetapi juga bertanggung jawab atas apa yang ia pimpin. Hal tersebut mengingatkan saya di Pabelan kebanyakan santri merasa berat apabila ditunjuk atau dipercaya sebagai seorang pemimpin. Pemilihan ketua OPP tidak ada kampanye yang berlebihan hanya orasi yang menyampaikan visi dan misi walau pun cara pemilihannya sama dengan pemimipin pada umumnya yaitu dipilih langsung oleh rakyat pesantren. Panorama ini berbanding terbalik dengan kejadian di luar sana yang berlomba-lomba mendapatkan jabatan yang setingginya hingga rela menghabiskan harta untuk mencapai keinginan tersebut.  Sesuai tujuan masing-masing maka tak heran apabila keinginan tidak tercapai dan harta benda sudah habis tidak sedikit menjadi gila.
Belajar Di mana pun Kita Berada
Menjadi orang selalu berusaha sebagaimana mahfudzot yang pertama kali diberikan bagi santri baru man jadda wa jada ‘barang siapa bersungguh-sungguh dia dapatkan’. Prinsip siap tidak siap harus siap menjadikan santri terampil dan terlatih dalam mengarungi hari-hari selama di Pabelan. Begitu pula saat saya mendapat kepercayaan dari pimpinan untuk mendampingi native speaker dari Amerika yang merupakan guru diperbantukan untuk mengajar bahasa Inggris di Pabelan melalui program AMINEF (The American Indonesian Exchange Foundation); itu berarti semua kebutuhan yang diperlukan guru tersebut menjadi tanggung jawab saya.
Bermodal bahasa Inggris yang pas-pasan dan tekad serta amanat pimpinan saya sanggupi kepercayaan tersebut. Saya mendapat kesulitan dalam mengurus perizinan di kantor Imigrasi Wonosobo karena ilmu dan pengalaman yang nol. Dengan penuh tekad saya berusaha untuk melaksanakannya. Pertama saya bertanya kepada Hibatul Wafi tentang syarat dan kelengkapan yang harus dibawa karena ia pernah mengurus perijinan guru Amerika sebelumnya. Setelah menyiapkan syarat dan kelengkapan yang dibawa saya pun berangkat bersama guru tersebut. Namun semua tidak sesuai rencana karena masih ada surat yang belum lengkap dan format perizinan yang masih salah. Saya mencoba untuk mengontak salah seorang staff AMINEF dan menanyakan perihal tersebut namun antara Aminef dan pihak Imigrasi berbeda pendapat sehingga menghambat proses perizinan. Saya dipersalahkan pihak imigrasi karena tidak mengerti perihal persyaratan perizinan.
Dengan bekal amanat amanat dari bapak pimpinan dan semangat man sobaro dzofiro ‘barang siapa bersabar akan beruntung’, saya buang keluh kesal dan berusaha belajar untuk mengurus perijinan tersebut dengan bertanya mengenai kelengakapan apalagi yang harus. Saya pun pulang dengan perizinan yang belum diterima imigrasi. Mereka mengingatkan saya bahwa perizinan harus diurus paling lama seminggu setelah kedatangan orang asing tersebut ke Indonesia. Waktu sempit saya mencoba mengontak staf AMINEF mengenai surat yang belum ada. Alhamdulillah sebelum waktu yang ditetapkan saya sudah mendapatkan suratnya dan kembali ke kantor imigrasi. Perizinan tidak selesai karena masih ada tahap berikutnya, mulai dari pengisian formulir, foto, administrasi, dan terakhir pemrosesan surat ijin. Saya harus lima kali bolak-balik untuk mengurus perizinan tersebut. Saya belajar untuk menghadapi masalah dengan tenang dan tidak lupa berdoa karena manusia berusaha dan Allahlah yang menentukan.

Nasihat Diemban dan Amalkan
Hari silih berganti begitu pula tahun. Tak terasa waktu belajarku di Pabelan sudah mencapai ujung. Alhmaduliilah saya masuk tahun ketujuh di pondok atau tingkat santri praktik. Kehidupan pesantren yang pertama sulit kujalani, saya pernah kabur hingga Sumatra tapi sekarang berubah sulit kutinggalkan. Semua sudah seperti keluarga bagiku, pimpinan dan guru sebagai orang tua, kakak kelas yang saya hormati seperti kakak sendiri, adik kelas yang disayangi seperti adik sendiri, begitu pula penduduk Pabelan yang semuanya bersatu membentuk satu keluarga besar yang erat tidak terpisahkan. Pengalaman yang tidak saya lupakan ketika saya tetap berada di pondok pada saat liburan Idul Fitri. Banyak pelajaran saya dapatkan betapa berharganya silaturahmi dan keluarga baru selain keluarga di rumah. Hari pertama semua makanan tersedia di dapur, namun setelah beberapa hari dapur pun tak masak karena mbok dapur pun mudik. Alhamdulillah bapak pimpinan memanggil saya makan di rumahnya, namun rasa tidak enak muncul karena terlalu sering makan di sana. Saya memutuskan untuk membeli di warung, namun tidak satu pun warung yang buka. Saya berfikir bagaimana saya makan hari ini karena waktu itu sudah memasuki waktu shalat Zuhur. Setelah shalat saya keluar masjid ternyata seseorang yang sudah lanjut usia memanngil saya. Singkat cerita simbah tersebut mengajak saya untuk makan di rumahnya. Ternyata simbah tersebut adalah simbah yang sering saya sapa setelah saya selesai shalat berjamaah di masjid. Hari-hari selanjutnya alhamdulillah ada teman santri melaju yang mengajak makan di rumahnya.
Seyogyanya seorang anak yang meninggalkan tempat asal untuk berpamitan dan meminta wejangan kepada orang-orang di daerahnya. Hari itu saya berpamitan terlebih dahulu pada warga sekitar yang sudah saya anggap keluarga sendiri, lantas adik kelas, dan guru-guru, serta yang utama adalah para pimpinan pondok. Memasuki rumah pimpinan tidak seperti biasa. Ada hal berbeda yang tidak bisa diungkapkan. Pertama saya pergi ke rumah KH Ahmad Mustofa beliau berpesan, di mana pun dirimu harus menjaga diri, teruslah belajar karena Pabelan hanya memberikan kunci. Kedua saya ke rumah KH Muh Balya. Beliau berpesan, bersungguh-sungguhlah dalam setiap hal, jadilah orang yang lebih, mahasiswa yang bukan sekedar mahasiswa, pekerja yang bukan sekedar pekerja. Apabila kamu bekerja jangan lihat uangnya tapi berharaplah ridho Allah, Lillahita’ala. Terakhir ke rumah KH Ahmad Najib Amin beliau berpesan jadilah bintang di mana pun kamu berada, mungkin di Pabelan cahayamu tidak tampak karena berada di antara bintang, tetapi di luar sana pancarkanlah sinarmu seterang mungkin. Tidak lupa mereka berpesan bahwa Pabelan adalah keluargamu jangan segan-segan kembali walau pun kamu sudah tidak nyantri lagi. Semua nasihat tersebut menjadi amanat yang saya emban dan saya amalkan dalam kehidupan saya selanjutnya.

Mengamalkan Ilmu yang Didapat
            Sekarang saya kuliah di Universitas Islam Bandung jurusan pertambangan. Banyak orang bilang saya menyimpang. Mereka berfikir bahwa lulusan pondok pesantren identik dengan jurusan agama apabila melanjutkan kuliah. Namun saya mengambil jurusan pertambangan seperti yang dikatakan pimpinan saat khutbatul iftitah bahwa anak Pabelan bisa menjadi apa saja sesuai dengan mereka inginkan.
Kembali ke masyarakat berarti kita harus siap apalagi kita dianggap lebih dari anak seusia kita yang bukan lulusan pesantren dalam masalah agama. Banyak tantangan dalam mengemban titel lulusan pesantren. Saat kita berbuat baik orang menganggapnya hal yang biasa karena kita kita adalah lulusan pondok pesantren, sedangkan apabila kita melakukan sebuah kejelekan maka orang membicarakannya terus. Kunci-kunci telah saya bawa dari Pabelan merupakan modal yang digunakan di masyarakat. Mulai dari memimpin, menyampaikan pendapat, bekerjasama, juga mengajar. Semua hal yang memberatkan akan menjadi ringan apabila kita kerjakan dengan ikhlas dan diniati sebagai ajang ibadah kepada Allah lillahi ta’ala.

Dari Pabelan ke Jepang
Zaima Bunga Wijayanti


Pagi itu, tanggal 24 Februari 2014 pertama kali kuinjakkan kakiku di Negeri Sakura. Pesawat dari  Jakarta mendarat di bandara Narita, Tokyo setelah mengudara selama tujuh jam. Hawa dingin menusuk tulang karena saat itu Jepang sedang akhir musim dingin. Ini benar-benar seperti mimpi yang menjadi nyata. Jepang adalah negara tujuan ketigaku setelah tentunya Mekkah dan Paris jika aku ditanya negara mana yang paling ingin aku kunjungi. Akhirnya aku benar-benar sampai di Jepang berkat program Jenesys.
            Aku tahu program Jenesys ini berkat Pondokku tercinta, Pesantren Pabelan. Melalui beberapa tahap test akhirnya aku terpilih menjadi salah satu dari 96 mahasiswa Indonesia yang berangkat. Mahasiswa? Ya, tahun ini sedikit berbeda, Jenesys yang di tahun-tahun sebelumnya diperuntukkan bagi anak usia SMA kemudian dinaikkan stratanya menjadi sudah lulus SMA. Kali itu, aku ikut karena pemberitahuan dari Pesantren Pabelan, yang memang setiap tahun selalu berpartisipasi dalam program tersebut.
            Sesampai di Tokyo, kami disambut panitia Jenesys yang sangat ramah. Mereka kemudian membagi kami peserta menjadi beberapa kelompok, dan mengarahkan kami menuju bus yang akan membawa kami ke hotel untuk sejenak melepas lelah karena selanjutnya akan banyak agenda yang kami ikuti. Perjalanan di pesawat selama tujuh jam sedikit membuat disorientasi, mungkin ini yang disebut “jetlag”. Namun segera bisa menyesuaikan diri dengan Negeri Matahari Terbit tersebut.
            Hari pertama sampai hari ketiga kami masih tinggal bersama-sama di Tokyo. Kami diajak bersama-sama menjelajahi objek-objek wisata bersejarah di Tokyo. Pertama kami mengunjungi museum Edo, kemudian Kuil tua Tokyo, kami juga diberi waktu berbelanja di Harajuku dan menikmati suguhan makanan vegetarian di daerah tersebut. Yang membuat saya kagum pada Jepang adalah penduduk yang sangat bangga dan menjaga budaya mereka. Terlihat dari tempat bersejarah seperti museum yang dibuat sangat nyaman untuk dikunjungi. Ornamen-ornamen, barang-barang yang dipamerkan dibuat apik. Masalah makanan yang disajikan pun dihias sedemikian rupa agar bukan hanya sedap rasanya tetapi juga nyaman dipandang mata.
            Pada hari keempat sampai terakhir kami berpisah menurut grup menuju prefektur masing-masing. Ada yang menuju Prefektur Chiba, Prefektur Okayama, dan dua prefektur lain. Saya sendiri masuk di grup Chiba. Karena Tokyo juga masih termasuk prefektur Chiba kami hanya pindah tempat menggunakan bus, sedangkan dua prefektur lain sempat merasakan naik kereta Shinkanzen. Tapi hal itu tidak mengecilkan hati karena kami juga mengunjungi tempat tempat seru di Chiba, tepatnya di kota Kamogawa.
            Kamogawa termasuk kota kecil di Jepang, tetapi benar-benar kaya akan budaya dan hasil laut. Tempat pertama yang kami kunjungi di Kamogawa adalah Kantor Walikota untuk menghadiri upacara penyambutan. Kemudian kami diajari cara pencelupan maiwai. Sorenya kami diantarkan menuju penginapan tradisional Jepang. Saat tiba di penginapan tersebut, ingatanku dibawa kembali ke film Doraemon, Shin-chan dan film-film Jepang lain yang kasurnya menggunakan “tatami”. Asyiknya lagi penginapan kami langsung bersebelahan dengan pantai. Pagi-pagi sudah banyak anak yang jogging ataupun sekedar menikmati angin pantai. Kemudian pada hari selanjutnya kami diantar mengunjungi Kamogawa Seaworld dan melihat tradisi Hinamatsuri. Hinamatsuri adalah tradisi menghias boneka yang merepresentasikan keluarga kerajaan. Setiap keluarga yang mempunyai anak perempuan belum menikah harus mengikuti ritual atau tradisi tersebut.
            Hari-hari terakhir di Jepang kami habiskan dengan tinggal bersama dengan native. Saya tinggal dengan keluarga Sudo, yang mempunyai dua anak kecil sangat lucu lagi pintar. Tiga hari bersama mereka membuatku lebih mengenal Jepang. Banyak kegiatan seru yang lakukan bersama, house family. Setelah di ujung kebersamaan, kami melakukan seperti sebuah perpisahan kecil yang sangat mengharukan dan memorable. Kita duduk berhadapan dengan anak mereka, Megumi dan Tamaki lantas bersama menyanyikan lagu perpisahan untuk semua. Kami merasa benar-benar sudah dianggap keluarga oleh keluarga Sudo, meskipun baru hidup bersama beberapa hari.
            Satu hal yang saya ingat tentang keluarga Sudo adalah mereka sangat menghargai tamu. Saat pertama kali datang di rumah mereka, kita ditanya tentang jam-jam ibadah (shalat), ternyata besok paginya okasan (ibu) sudah menyiapkan handuk berjejer-jejer sepanjang kamar mandi sampai kamar tempat kami menjalankan shalat. Selain itu, di malam terakhir ketika makan malam bersama, kami diminta untuk memasak makanan tradisional Indonesia dan menyajikan makan malam untuk mereka. Alhamdulillah mereka menghabiskan sampai bersih semur, yang tidak tampak seperti semur karena kurang kecap manis, yang kita masak.
            Hal istimewa yang bisa dirasakan grup Chiba-A dan Chiba-B adalah kami berkesempatan menikmati dua momentum istimewa di Jepang sekaligus. Momentum itu adalah hadir saat musim dingin, dan di akhir perjalanan bisa melihat sakura. Kelompok lain tidak seberuntung kami. Tentunya kesempatan ini istimewa, tidak kami lewatkan. Segera kami mengambil foto sebanyak-banyaknya dengan bunga sakura yang memang sangat indah dan mekarnya hanya seminggu.  
            Selain hal di atas, seperti kebanyakan pengalaman pertama ke luar negeri pasti ada saja pengalaman lucu dan norak yang kami alami. Waktu itu, hari pertama di hotel aku sempat sedikit bingung karena teman sekamarku lama tidak keluar dari kamar mandi. Setelah keluar, dia bercerita bahwa dia bingung bagaimana caranya menyiram toilet karena dia tidak menemukan “flush”nya. Akhirnya saya mengecek ke dalam dan juga tidak bisa menemukan tombol flushnya karena toilet ini benar-benar modern, kelihatan noraknya ya.  Kami mencoba bertanya-tanya ke kamar-teman, ternyata mereka juga tidak tahu, hingga akhirnya ada salah satu teman yang memberi tahu bahwa tombol untuk menyiramnya berada di sebelah bawah wastafel. Kami pun tertawa mengingat kebodohan kami itu.
            Dari program Jenesys saya belajar banyak hal, bagaimana Jepang yang sangat-sangat maju pada teknologinya namun tidak pernah meninggalkan ketradisionalannya. Mereka bangga tinggal di rumah khas mereka dengan pintu kayu-geser, tidur dengan tatami, masih juga menjaga tradisi minum teh, serta sangat bangga menggunakan kimono dalam acara-acara mereka.
            Itu cerita yang bisa saya bagi mengenai perjalanan ke Jepang tahun 2014 lalu. Jepang benar-benar negara maju tetapi tidak lupa untuk menjaga aset tradisional mereka. Orang Jepang sangat bangga menggunakan produk-produk mereka sendiri. Jepang itu bersih, modern, namun tetap tradisional. Saya salut pada pemerintah Jepang yang rela mengeluarkan uang untuk “mempromosikan” negaranya. Bayangkan saja, sekali kami serombongan berangkat 100 orang, kalau setiap orang menghabiskan biaya sekitar 9,7 juta rupiah maka sudah 970 juta rupiah. Padahal setiap tahun Indonesia mendapatkan jatah sekitar 6-8 kelompok/rombongan. Lantas ada pula jatah negara lain seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dll.  
            Ketika saya ditanya penyelenggara program Jenesys ini, kelak setelah pulang apa yang akan dilakukan, saya jawab bahwa akan bercerita tentang Jepang, bagaimana orang-orangnya, juga dengan membuat tulisan tentang perjalananku ini. Intinya, kami mengucapkan terima kasih kepada Jenesys, juga terima kasih Pondok Pesantren Pabelan. Tanpa dua lembaga ini, saya tidak mendapatkan kesempatan istimewa ini.
             Berbicara mengenai Pesantren Pabelan, ini salah satu tempat istimewa dalam hidupku. Tempat untukku mencari ilmu baik ilmu yang diajarkan di sekolah maupun ilmu tentang kehidupan. Pabelan juga yang mengajarkan aku tentang bagaimana berkomunikasi yang baik, bagaimana menjadi dewasa. Jika menulis tentang Pabelan pasti tidak akan ada habisnya, karena Pabelan yang menjadi saksi bisu perjalananku dari masa ingusan sampai beranjak dewasa. Di samping Pabelan memang rumahku sendiri, tapi tetap saja aku mengenyam pendidikan MTs-MA (SMP-SMA) di situ. Ayah ibu memang mengkondisikan posisiku benar-benar seperti santri yang lain, yang harus berasrama. Meskipun rumah hanya beberapa langkah dari asrama, tetap saja aku menjalani kondisi seperti santri yang lain yang tidak bisa seenaknya pulang ke rumah. Jadi aku tahu benar bagaimana rasanya menjadi santri.
            Salah satu hal yang benar-benar membuatku tertarik untuk sekolah di Pabelan adalah pesantren ini memberikan penawaran tentang seleksi ke luar negeri. Beberapa program pertukaran pelajar bisa diikuti antara lain AFS, YES, Jenesys, IAYP. Khusus AFS dan YES adalah program pertukaran pelajar selama satu tahun ke Amerika, sedangkan Jenesys adalah program yang aku ikuti, yaitu pertukaran pelajar selama dua minggu atau satu tahun ke Jepang. IAYP adalah program penghargaan terhadap anak muda yang aktif dalam kegiatan ekstra di luar sekolah yang diakui oleh kerajaan Inggris.
            Seperti setiap orang kebanyakan, pasti kita punya keinginan untuk berkesempatan ke luar negeri, entah untuk sebuah tugas ataupun jalan-jalan. Saat kelas II MA di Pabelan, ada tawaran untuk ikut program YES. Dengan semangat aku mendaftar dan alhamdulillah lolos tahap pertama. Tapi mungkin memang belum rezeki, saat itu saya tidak lolos seleksi tahap ketiga. Beberapa tahun berlalu dan niatku untuk bisa pergi ke luar negeri masih tinggi, namun kesempatan untuk mengikuti seleksi dari Pesantren sudah habis. Beberapa waktu kemudian, saat itu aku ingat masih kuliah di awal semester kedua, tiba-tiba dikabari bahwa ada program Jenesys untuk lulusan dari pesantren yang dulu mengirimkan santrinya. Pada tahun 2014 itu program Jenesys yang tadinya diperuntukkan pelajar SMA dan sederajat diubah menjadi program untuk mahasiswa yang sedang menjalani studi S1.
Dengan berbekal harapan dan tekad yang kuat, bismillah aku mengurus semua persyaratan awal untuk mendaftar menjadi peserta. Di awal sebenarnya kalau boleh dibilang minder, ada rasa sedikit ragu karena mengetahui yang mendaftar sudah sekitar 2000-an orang padahal yang diambil untuk berangkat hanya 100 orang dengan 4 pendamping. Seleksi tahap pertama waktu itu jelas melengkapi berkas formulir dan menulis essay tentang apa yang membuatku ingin mengikuti program tersebut. Alhamdulillah dari seleksi awal tersebut aku dikabari bahwa lolos dan lanjut ke seleksi wawancara, lagi-lagi alhamdulillah aku lolos seleksi dan berkesempatan untuk mengikuti program dua minggu di Jepang. Sungguh rasanya tidak bisa digambarkan, karena akhirnya salah satu mimpiku bisa menjadi nyata.
            Pabelan benar-benar menjadi guru yang terbaik. Dari Pabelan aku seperti sudah mendapatkan “miniatur” kehidupan di luar sana. Jika banyak anak lulusan SMA kaget dengan organisasi di kuliah yang berbeda dengan organisasi di sekolah mereka, aku yakin alumni Pabelan sangat mengerti bagaimana organisasi di perkuliahan karena organisasi pelajar (OPP) di Pabelan sudah menggambarkan bagaimana rasa berorganisasi di universitas. Jika kebanyakan anak SMA hanya bertemu dengan teman satu daerah dan masih kaget saat harus bercampur dengan teman dari daerah lain saat kuliah, anak-anak alumni Pabelan sudah sangat paham cara menghadapi anak atau teman dari berbagai daerah karena santri Pabelan berasal dari Sabang hingga Merauke. Terima kasih Pondok Pesantren Pabelan, karenamu aku bisa mendapatkan pelajaran yang mungkin tidak bisa aku dapatkan, tanpa aku rasakan sendiri. Karena Pabelan, mimpiku ke Jepang juga bisa menjadi kenyataan. Terima kasih Pondokku, Ibuku...           





Paradigma Keluarga Harmonis
Muhammad Syafii

Pabelan, kata yang pertama kali tertangkap oleh kedua mata saya ketika mulai masuk sebuah pertigaan di jalan raya Jogja-Magelang. Pondok Pesantren Pabelan, yang memberikan banyak tabungan pertanyaan yang saya simpan sendiri dalam hati dan belum pernah saya tanyakan kepada siapapun hingga saat ini. Yang menjadi rumah ketiga bagi saya, sebuah “Balai Pendidikan”.
            Mula yang sesak dalam hati, ketika saya tidak mendapatkan izin untuk melanjutkan jenjang sekolah menengah atas di kampung halaman saya Toboali, Bangka Selatan. Terjadinya tepat beberapa hari setelah saya menuntaskan jenjang sekolah menengah pertama di perantuan, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Saya bulan Juni 2006, mulai meninggalkan kampung halaman, menyisakan banyak hal yang tak bisa saya ungkapkan dengan hitam-putih pada lembaran ini. Bagi kedua orang tua saya, inilah yang terbaik saat itu demi kelancaran pendidikan saya, hingga saya menginjakkan kaki di tanah Jawa. Satu tahun sampai bulan Juni 2007, saya mencoba melapangkan dada untuk tetap kuat dalam jarak yang memisahkan rindu keluarga saya. Dan al-hasil setelah satu tahun terlewatkan, ternyata perantauan saya berkelanjutan hingga lima tahun berikutnya. Setelah kelulusan dari jenjang sekolah menengah pertama, saya menghubungi Ibu saya lewat telpon genggam, keinginan hati untuk menyampaikan bahwa saya berniat menghabiskan masa sekolah menengah atas di kampung halaman. Semua berubah seketika saat Ibu saya menjawab bahwa besok hari akan datang ke Jogja dan mengantarkan saya ke sekolah untuk jenjang selanjutnya. Di sinilah bermula semua pertanyaan yang saya jawab sendiri di kemudian hari.
Saat menulis ini, saya dalam proses menyelesaikan Diploma III (D3) bidang Broadcasting Radio-TV di Akademi Komunikasi Indonesia (AKINDO) Yogyakarta. Menjalani tahun ketiga perkuliahan, tanpa terasa banyak yang terlewati. Setahun yang lalu, sekitar Mei 2014, untuk yang kedua kalinya oleh WaDir Bidang Kemahasiswaan saya mendapatkan kesempatan sebagai delegasi kampus dalam perlombaan debat bahasa Inggris antar perguruan tinggi swasta se-Yogyakarta, National University Debating Championship (NUDC) 2014 yang diselenggarakan Kopertis Wilayah V DIY, walau masih belum meraih juara. Maret 2014, saya dilantik menjadi Kepala Divisi Personalia di AKINDO TV untuk satu tahun masa jabatan hingga Maret 2015, televisi komunitas yang disediakan oleh lembaga tempat saya menempuh masa perkuliahan dan dikelola oleh mahasiswa secara penuh serta ditemani dosen pembimbing yang berperan sebagai supervisor. Awal tahun ajaran 2013/2014 yang lalu, saya dipercaya mengemban tanggung jawab sebagai Ketua Panitia Orientasi Mahasiswa Baru, selama satu minggu masa jabatan.
Oktober 2011, saya bersama empat teman saya diamanahi oleh pimpinan pondok mendampingi 20 peserta dari Pabelan mengikuti Lomba Perkemahan Penggalang dan Penegak (LP3) se-Indonesia di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Tepat dua tahun berturut-turut sebelumnya, sekitar Oktober 2009 dan 2010, saya menjadi peserta lomba tersebut, mewakili Pabelan untuk berlaga di Lomba Perkemahan Penggalang dan Penegak (LP3) Jambore Pramuka nasional se-Indonesia di Ponorogo. 2008 dan 2009, dua tahun berturut-turut saya mendapatkan kesempatan mengikuti lomba pidato bahasa Inggris se-Kabupaten Magelang mewakili MA PonPes Pabelan bersama beberapa santri, walaupun saya tidak lolos tahap Provinsi Jawa Tengah.
Akhir tahun ajaran 2007/2008, saya berkesempatan naik ke atas panggung pentas seni akhir tahun yang diselenggarakan oleh pengurus Organisasi Pelajar Pondok Pabelan (OPPP) pada setiap akhir tahun ajaran dan turun membawa koleksi baru dalam kategori pidato untuk mengisi map-file berwarna biru yang saya dapatkan ketika masa orientasi Khutbatul Iftitah. Dalam jangka lima tahun, 2007 hingga 2012, saya bisa mengoleksi tiga pin berbentuk burung yang terbuat dari bahan Perunggu, Perak dan Emas. Saya dapatkan dari program ekstrakurikuler International Award for Young People (IAYP), setelah menjalani keseluruhan proses yang telah ditetapkan tentunya. Beberapa lembar piagam dan sertifikat juga membantu saya mengatur semangat dalam melanjutkan perjalanan untuk menentukan apa yang hendak saya raih.
Tahun demi tahun, saya mencoba mulai membuka satu persatu tabungan pertanyaan yang tak pernah usang dalam hati saya. Sekitar bulan Juni 2007 hingga Juni 2008 merupakan tahun pertama saya memulai semuanya. Menjalani aktivitas dengan ratusan siswa lain dari seluruh pelosok nusantara, dengan berbagai macam latar belakang dan pengalaman. Di sini masih membekas, punggung kaki kiri dan kanan saya tepat dekat mata kaki membekas kulit daging yang menghitam dan sedikit membengkak. Saya peroleh ketika melewati masa perkenalan, Khutbatul Iftitah. Kami dimanja dalam satu minggu pertama, oleh para pengurus organisasi pelajar yang mengatur berlangsungnya masa orientasi. Duduk sila berjam-jam mendengarkan khutbah, berkomunikasi, belajar bernyanyi bersama, tanya-jawab, mengenali satu sama lain, bermain berbagai macam perlombaan, mempelajari lingkungan sekitar, mempelajari tata tertib serta peraturan-peraturan yang ada, hingga kami diresmikan menjadi bagian dari Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan.
Banyak hal yang berbeda dan belum pernah saya alami. Saya tidur dalam satu ruangan berukuran sekitar 6x7 meter persegi bersama belasan orang, dengan belasan ke-anehan, belasan privasi, belasan latar belakang, yang kami sebut kamar. Marah, karena harus terjaga dari tidur yang nyenyak dengan tergesa-gesa lalu mengganti pakaian tidur dan bergegas menuju masjid. Belum lagi sepulang dari sholat Subuh berjama’ah di masjid dan hendak melanjutkan mimpi, kami dipaksa mengikuti jadwal harian yang telah disusun oleh kakak-kakak pengurus. Kaget, kami harus membawa piring sendok dan gelas kosong menuju dapur umum, berbaris panjang mengantre untuk mengisi tenaga agar tetap dapat beraktivitas. Tidak hanya itu, yang mengesalkan lagi adalah ketika kaos yang menyelimuti tubuh basah oleh keringat gerah sehabis olahraga sore hari, hendak membersihkan tubuh pun harus mengantre. Kebiasaan mandi saya yang menghabiskan banyak waktu, menjadi sangat berbeda semenjak berada di sini. Kadang, hendak berangkat sekolah saya sering belum mandi pagi. Pilihan yang lebih baik saat itu, dari pada saya harus menerima hukuman dari ustadz BK berlari mengelilingi lapangan sepak bola beberapa kali.  Semua bertumpuk dalam hati, sempat menyendiri menangis di kamar mandi. Entah kepada siapa harus mengadu, berada jauh dari orang tua dan akhirnya sudahlah biarkan saja saya simpan sendiri di dalam hati. Memaksa untuk berpikir menggunakan hati, hal yang tidak pernah mudah, harus mengadu pada diri sendiri, menjadi pelajaran berharga pertama saya tentang Pabelan.
Rutinitas harian yang saya keluhkan tadi membentuk karakter awal tersendiri bagi masing-masing santri, secara langsung maupun tidak. Rumah ini, akan menjadi jendela dunia yang sangat luar biasa bagi santri yang mampu membiasakan diri melewati masa ini. Jendela dunia bagi saya, karena di sini metode yang diterapkan akan mempersiapkan dan mengantarkan para santri untuk memampukan diri. Saya ambil kembali dari apa yang saya keluhkan, ketika saya harus tidur bersama belasan orang dalam satu kamar, sudut pandang yang saya temukan selain keluhan saya adalah melihat dunia secara nyata. Teman-teman ini mempunyai banyak hal yang membantu saya untuk mempelajari dunia. Keterampilan yang beragam, menjadi sumber pengetahuan dan potensi awal untuk menyempitkan dunia. Contoh kecil, saya menguasai sedikit banyak seluk beluk tempat asal mereka hanya dengan berkomunikasi tanpa saya harus mengunjungi langsung daerah tersebut.
Pabelan membuka paradigma saya tentang keterbatasan. Metode pembelajaran yang secara tidak langsungmenyadarkan saya tentang tersedianya banyak jalan untuk dapat meraih apa yang kita inginkan, dengan sangat sederhana. Di sinilah terjadinya, saya mendapat penghargaan dari pengurus organisasi pelajar sebagai Aktivis Bahasa. Semangat tersendiri tumbuh bersama prestasi kecil tersebut, karena saya ingat betul akan proses yang terlewati. Saya menyukai keterampilan berbahasa asing. Dari kesukaan tersebut, tampak sisi keterbatasan bahwa saya harus mempunyai kamus bahasa asing sebagai modal pertama agar bisa mempelajari lebih. Akan tetapi saya tidak mempunyai dana, membeli kamus bahasa Arab maupun Inggris. Lalu muncul di benak, saya tidak bisa mewujudkan kesukaan berbahasa asing, menyedihkan. Pabelan membantu saya mempositifkan segala keterbatasan tadi, ketika saya tidak memiliki dana membeli kamus, saya membuat kamus sendiri. Sekali lagi sangat sederhana, dari keterbatasan tadi saya bisa menemukan jalan keluar lain yang disediakan di sini secara tidak langsung. Ada banyak papan bertuliskan kosakata dalam bahasa Arab maupun Inggris di dinding setiap gedung asrama santri. Disediakan oleh para pengurus organisasi, tinggal saya salin saja semuanya dalam buku catatan pribadi, lalu saya bisa membawanya kemanapun dan mempelajarinya kapanpun. Tersenyum lega ketika menyadari bahwa saya bisa mempunyai kamus sendiri yang sangat berbeda dari santri lain. Dua buku tulis kecil bersampul hijau, berisikan penuh dengan kosakata, yang masih saya simpan hingga saat ini.
            Setiap sudut dan jenjang yang berlangsung di Pabelan memberikan hal baru bagi mereka yang mau berproses. Tahun kedua di Pabelan, saya terpilih menjadi bagian pengurus organisasi pelajar pondok. Saya ditempatkan pada bidang Penggerak Bahasa. Dari sini, saya mendapatkan pengalaman baru dalam proses maju. Ketika dulu saya mendapatkan bimbingan dari para kakak-kakak pengurus, sekarang kewajiban berharga bagi saya adalah membimbing diri sendiri serta adik-adik santri lainnya dalam meningkatkan kemampuan masing-masing di bidang bahasa. Menjalankan program kerja yang dulu saya ikuti menjadi kesempatan saya dapat mengasah kemampuan saya dalam manajemen. Satu tahun periode masa kepengurusan OPPP 2009, saya menikmati masa pembelajaran yang meningkatkan potensi diri sendiri, serta membantu adik-adik dengan program rutin bidang bahasa. Belajar dan mengajar, yang akan menjadi bekal berharga ketika turun dalam masyarakat.
Periode kepengurusan OPPP selanjutnya pada tahun 2010, saya berproses sebagai Bagian Penggerak Bahasa, hingga pertengahan tahun sekitar Juni 2010. Lalu saya menduduki posisi sebagai Sekretaris OPPP, menjadi tangan kanan ketua dalam organisasi ini untuk dapat sampai pada tujuan. Ikut menyukseskan program yang tersusun rapi sejak awal tahun lewat musyawarah kerja yang menghabiskan waktu satu minggu kurang lebih. Setengah tahun selanjutnya menjadi setengah tahun yang singkat, sekitar Juli 2010 hingga awal Januari 2011. Salah satu yang menjadi tugas penting dan wajib bagi sekretaris organisasi adalah menyusun arsip tahunan organisasi selama satu tahun periode masa kepengurusan, untuk dipertanggungjawabkan di depan para pimpinan, dewan guru beserta jajarannya dan seluruh santri. Proses ini menambahkan semangat baru untuk saya pribadi, menunjukkan apa yang telah saya capai, prestasi yang tidak akan bisa dirasakan jika tidak mengikuti proses secara teratur dan terarah. Saya baru tersadar, setelah arsip dan laporan pertanggungjawaban ini saya selesaikan dan terjilid rapi menjadi dua buku tebal. Yang satu merupakan arsip utama berisikan aktivitas Organisasi Pelajar Pondok Pabelan (OPPP), buku satunya lagi arsip kepanitiaan selama satu tahun di bawah naungan OPPP 2010. Saya coba mereview dari awal hingga akhir isi aktivitas kepanitiaan di periode ini, posisi sekretaris kepanitiaan dari seluruh kegiatan yang diselenggarakan oleh OPPP periode 2010 ternyata saya tempati. Hingga masa terakhir jabatan terbentuk panitia di bawah koordinasi OPPP yakni panitia pemilihan pengurus baru OPPP 2011. Saya tidak lagi berada di posisi sekretaris panitia, saya dipercaya oleh teman-teman untuk menjadi ketua dalam kepanitiaan terakhir yang tercatat dalam arsip kepanitiaan masa kepengurusan Organisasi Pelajar Pondok Pabelan (OPPP) periode 2010.
Proses, tahapan yang dilewati secara teratur dan terarah, inilah metode pendidikan yang ditanamkan dalam diri para santri. Pabelan lantas mengembalikan segala sesuatunya secara penuh kepada saya sebagai santri di balai pendidikan ini. Saya dihadapkan pada banyak pilihan, dan saya mempunyai hak untuk memilih, menentukan apa yang saya inginkan, menyiapkan diri saya untuk melangkah lebih jauh secara teratur dan terarah. Menjadi sekretaris organisasi, membuahkan peluang bagi saya untuk menjadi seorang designer. Mempelajari mulai dari job-desk seorang sekretaris, hal kecil yang dulu belum terpikirkan efeknya. Dalam kepanitiaan acara yang diselenggarakan oleh OPPP, sekretaris mempunyai tugas untuk mempersiapkan segala administrasi berkenaan dengan acara tersebut. Salah satunya menyediakan piagam penghargaan bagi santri berprestasi yang telah melewati proses secara baik, menuntut saya mempelajari cara membuat desain piagam/sertifikat. Beberapa hal lainnya, membuat Id Card kepanitiaan, spanduk acara dan lainnya.
Setiap sudut dan jenjang yang ada di Pabelan merupakan peluang santri untuk peka dalam memahami potensi yang tersedia di lembaga ini. Berawal dari sekretaris kepanitiaan di bawah OPPP, saya dipercaya teman angkatan saya menjadi Ketua Pustakawan periode 2010/2011. Kami pengurus pustakawan periode 2011 berhasil menyumbang satu majalah tahunan karya murni dari para santri yang dikenal dengan “DIALOG”. Dalam proses penerbitan saya ditemani banyak bintang. Sangat berkesan, menjadikan inspirasi baru untuk terus menikmati proses, kami yang masih berstatus santri ketika itu telah berhasil menerbitkan majalah. Pabelan, sangat menyenangkan.
            Pertengahan tahun 2011, sekitar bulan Mei, tanpa terasa empat tahun telah berlalu. Saya menyelesaikan jenjang Madrasah Aliyah di PonPes Pabelan, bersama 56 orang terdiri dari putra dan putri. Berbagai proses, berbagai wacana baru, akan mereka kembangkan masing-masing sesuai dengan apa yang mereka impikan nanti di masyarakat. Saya melanjutkan satu tahun masa pengabdian setelah menuntaskan jenjang sekolah menengah atas, menjadi guru praktik. Oleh pimpinan dan dewan guru, saya dipercaya membantu beberapa pos, yakni Sekretariat, WEB Pabelan Online dan Humas. Saya tegaskan lagi, semua sudut dan jenjang prosesnya memiliki peluang dan pelajaran bagi mereka yang menekuni prosesnya. Secara nyaman saya sampaikan “tanpa modal”, saya menjadi seorang fotografer, tanpa modal saya menjadi seorang penulis berita, tanpa modal saya menjadi seorang pengusaha warung internet, tanpa modal saya bertemu dengan banyak orang besar ketika bertugas mewakili kesekretariatan untuk mengurusi adminstrasi lembaga. Untuk memotivasi diri saya secara positif saat itu, agar saya bisa memanfaatkan kesempatan ini dengan baik.
            Cepat berlalu, sangat disayangkan mereka yang tidak memanfaatkan kesempatan secara maksimal. Juli 2015, menjadi catatan perjalanan PEKA.art genap dua tahun berkontribusi. Bersama empat orang teman se-angkatan kami membuka sebuah rumah produksi di bidang Event Organizer, Creative Design dan Entertainment Production. Memanfaatkan waktu luang di sela-sela kuliah, terus meningkatkan pembelajaran yang akan menjadi bekal nantii. Alhamdulillah, dalam dua tahun berjalan beberapa agenda besar tahunan pondok dapat kami abadikan dalam bentuk foto dan video. Alhamdulillah kami berlima sempat berpartisipasi mengisi workshop Design & AudioVisual dalam rangka pengalihan ujian nasional MTs dan MA PonPes Pabelan pada tahun ajaran 2013/2014, membagi ilmu pada adik-adik kami tercinta. Alhamdulillah, beberapa projek kerjasama pernah kami jalin dengan beberapa pihak dan lembaga di Yogyakarta.
Saya sadar pencapaian ini masih harus terus saya kembangkan. Saya sadari pula, proses menuju pencapaian di antaranya ketika pertama kali membuat desain terjadi karena saya melaksanakan tugas sebagai sekretaris. Selanjutnya, ketika saya menjabat sebagai pengurus website pesantrenpabelan.com, saya mempunyai kewajiban untuk meng-update kegiatan yang berlangsung dan berkaitan dengan kepentingan lembaga, menuliskan berita, mendokumentasikan dalam bentuk foto berkaitan dengan acara tersebut, menjadi bekal tersendiri tanpa disadari secara langsung.
Proses pendidikan yang sama dirasakan semua santri. Setiap santri melewati jenjang masing-masing, yang akan menentukan level serta tingkatan pencapaiannya. Peraturan yang ditetapkan dan dijalankan penuh secara konsisten oleh para pengurus OPPP, dengan bimbingan dan pengawasan dari kalangan guru, serta nasihat dari para pimpinan PonPes Pabelan, memberikan banyak sudut pandang tersendiri bagi santri. Yang mau berproses, akan serta merta bermunculan dan naik ke atas, yang masih enggan berproses, akan menjadi bayangan dan bersembunyi di bawah. Sekali lagi semuanya merupakan kebebasan sendiri bagi kami untuk memilih. Pabelan memberikan saya banyak pelajaran baru yang tanpa disadari mengalir dalam cara saya beraktivitas hingga saat ini. Hal yang tidak pernah mudah, mengalahkan diri sendiri, memanfaatkan keterbatasan.
Pabelan merupakan PARADIGMA, sudut pandang kehidupan untuk dapat berbagi motivasi serta inspirasi kepada dunia. KELUARGA baru, sampai kapan pun ketika berkunjung ke Pabelan, kita selalu merasa seperti berada layaknya di rumah sendiri. Pimpinan dan dewan guru beserta jajarannya yang berperan sebagai orang tua santri, ustadz/ustadzah praktik dan pengurus organisasi pelajar pondok yang berperan menjadi kakak-kakak bagi santri, serta para santri sendiri yang akan melengkapi isi dari rumah ini menjadi HARMONI. Sungguh santri junior sebagai adik yang akan dibimbing dan dipertemukan dengan berbagai tingkatan proses serta tahapan untuk dapat mengenali jati diri masing-masing. Dengan menyebut nama ALLAH, yang maha pengasih lagi maha penyayang, disertai segala puji bagi ALLAH, Tuhan semesta alam.

Hidup Berwarna di Pabelan
Ima Ganis Mutiasari

Pabelanku, Ibuku
            Pabelan, rumah kedua yang akan selalu dirindukan. Sebuah lembaga pendidikan yang mengajarkan banyak hal, mengenalkan saya pada apa itu percaya diri, bagaimana hidup mandiri, dan bisa membedakan mana beban dan mana tanggung jawab. Saya adalah salah satu alumni, yang bisa dibilang paling muda di antara kakak-kakak penulis yang lain. Ya, saya berasal dari kota Wonosobo. Saya adalah alumni angkatan 2014 dan kini saya menempuh pendidikan S1 di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Alhamdulillah, saya bersyukur bisa melanjutkan belajar dan mencari ilmu di lembaga universitas berbasis Islam. Saya selalu ingin mencari lagi ilmu yang dulu pernah saya dapatkan di pesantren. Selain itu, saya juga bersyukur karena di universitas ini, cukup banyak alumni Pabelan. Its just feels like home. Alhamdulillah.
            Pabelan bukanlah lembaga pendidikan yang hanya memiliki warna hitam putih saja. Pabelan, tidak pernah memaksakan kehendak santrinya. Itu yang saya rasakan. Dulu, waktu awal saya nyantri rasanya berat menjalani hari demi hari. Ya, seperti remaja umur 12 tahun pada umumnya, saya masih bergantung pada rumah dan orang tua. Menangis saat merasa tak betah dengan lingkungan, tidak mau makan lauk dapur yang menunya terbilang sangat sederhana. Hal yang paling saya ingat adalah saya tidak pernah suka lauk hari Senin. Pada saat itu, jadwal lauk untuk hari Senin pagi adalah ‘’tahu berenang’’, begitu pendamping kamar saya bilang saat saya bertanya ‘’Ini tahunya dimasak apa ukhti?’’. Entah bagaimana saat itu saya memaksakan diri untuk mencoba doyan dengan lauk itu karena setiap pagi, saya hampir tidak sempat antri di kantin pukul 0.007 pagi sudah berangkat ke kelas. Waktu makan saya harus berkurang karena antre mandi dulu setelah kegiatan pagi. Tapi hebatnya saya adalah, ini kata ayah saya, saya terbilang tidak manja. Saya rasa iya, karena saya tipe orang yang cenderung mudah beradaptasi walaupun dalam konteks terpaksa. Orang tua saya yang menyuruh untuk masuk pondok. Saat itu pertanyaan saya pertama kali disuruh mondok adalah “Di Pabelan bolehkah nonton tv, Yah ?’’ Hal yang membuat saya senang masuk Pabelan saat itu adalah ketika ukhti yang japen (jaga pendaftaran) bilang “Ada Dik, nanti ada kok waktu buat nonton tv-nya”. Pikiran saya yang tadi berpikir bahwa anak pondok itu kudet ‘kurang update’ hilang seketika. Jujur saja dari dulu memang hobi saya adalah tidak bisa lepas dari televisi.
Mengerti? Atau Memahami ?
Pabelan tidak menganut Islam Muhammadiyah atau NU. Pesantren ini terbilang netral dan bisa memandang suatu objek dari segala sisi. Pabelan juga tidak memilah-milih calon santri yang ingin belajar. Apakah dia pintar atau bodoh Pabelan akan selalu menerima. Karena pak kiai bilang, jangan lihat seberapa pintar tapi lihat bagaimana niatnya untuk belajar. Tidak ada batasan bagi seseorang untuk menimba ilmu. Pabelan tidak mencetak santrinya untuk menjadi sebuah robot. Disiplin kami bukanlah disiplin yang membuat seseorang menjadi harus melakukan apa yang dikatakan atau disuruh oleh orang lain. Maksudnya di sini adalah bukan untuk memberontak atau tidak taat pada aturan. Tapi, disiplin kami adalah disiplin yang membuat santri menjadi sadar diri, mawas diri dan tidak terpaksa dalam menjalani peraturan.
Dulu, saat saya menjadi pengurus, saya sering mendapat masalah gara-gara hobi saya yang suka nonton tv hingga larut malam. Itu memang hobi saya dari awal masuk pesantren, sampai pak kiai mungkin jengkel pada saya, di samping saya punya masalah lain. Pak kiai bilang saya itu salah rasa. “Kamu itu jangan salah rasa,” begitu beliau katakan kepada saya dengan nada tinggi sehingga waktu itu membuat saya sedikit takut dan merinding. Tapi, terakhir kali saya membuat onar dan dibilang lagi salah rasa, saya agak bingung. Salah rasa yang bagaimana yang dimaksud Bapak ini. Selama itu memang saya tidak memahami apa yang dikatakan Bapak. Uniknya Bapak Najib ketika beliau marah, kata-kata beliau ini selalu terngiang-ngiang di kepala saya karena kadang saya agak tidak paham. Mungkin itulah yang membuat saya takut lagi untuk mengulang kesalahan yang sama, tapi ternyata membuat kesalahan baru. Tapi, di sinilah saya belajar bahwa standar hidup seseorang adalah dia sendiri yang menentukan. Dia mau berada di standar atas, menengah atau di bawah. Ketika seseorang merasa bahwa dirinya tidak begitu bersalah, orang lain mungkin tidak berpikiran yang sama dengan orang tersebut. Bisa saja orang lain menganggap bahwa itu adalah kesalahan yang fatal. Maka dari itu, jangan sampai kita salah rasa. Di sinilah saya merasa bahwa Pabelan tidak hanya memberitahu saya bahwa ini salah dan itu benar. Tapi Pabelan juga membuat saya paham bahwa kita harus bisa membaca situasi. Pak kiai selalu mengatakan bahwa bukan hanya pelajaran yang butuh dibaca dan dipahami. Selain Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam yang wajib kita baca dan kita pahami maknanya, buku sebagai jendela dunia agar wawasan kita bebas terbuka, membaca dan memahami situasi juga perlu kita lakukan untuk bisa memahami orang lain.
            Hal lain yang di Pabelan masih sulit dipahami para santri, utamanya saya, adalah kenapa bapak atau ibu sering marah dan menghukum santri yang melakukan kesalahan dan tidak taat pada aturan. Santri sering menggerundel di belakang. Jujur saja, itu yang saya lakukan dulu. Teman-teman saya pun juga begitu adanya. Dulu kita hanya berpikir kita salah dan bapak selalu benar. Tapi jika kita mau memahami bapak dan ibu yang tidak hanya mengurus satu santri, di situlah kita baru sadar ternyata sesulit apapun kita manjalani hukuman, mereka lebih pusing memikirkan kita semua. Seandainya dari dulu saya mendapat pemahaman ini, mungkin saya tidak mau membuat bapak dan ibu susah waktu itu. But, here I am. Inilah yang harus lebih ditanamkan dalam diri, bukan hanya saling mengerti, tapi juga saling memahami. Hal ini yang kemudian saya terapkan pada saat bergaul dengan masyarakat kampus yang merupakan dunia yang baru bagi saya. Teman-teman baru yang semuanya berasal dari kalangan yang berbeda-beda dan kebanyakan dari SMA biasa dan memiliki latar belakang yang luar biasa jauh berbeda dengan saya. Di sinilah alumni Pabelan memiliki cara yang antimainstream dalam bergaul dengan masyarakat barunya. Biasanya masing-masing punya keunikan sendiri agar dikenal oleh banyak orang.
‘CHANCE’, Take it or Regret it!
Saya adalah salah satu santri exchange yang memiliki kesempatan pergi ke jepang.  Cerita awalnya sangat sederhana. Impian saya ketika pertama kali saya masuk pesantren adalah I have to go abroad. Entah bagaimana caranya saya harus bisa. Sebelumnya saya mengikuti program pertukaran pelajar Bina Antar Budaya yang setiap tahun diadakan pada saat memasuki semester dua kelas IV (kelas X tingkat MA) saya memilih mendaftar untuk menjadi pustakawati. Niat awal saya mendaftar menjadi pustakawati karena hanya ikut-ikutan teman-teman saya. Tapi, perlu diketahui bahwa niat baik yang hanya ikut-ikutan kadang membawa hoki yang baik juga. Saat itu, kebetulan kami kedatangan tamu dari Jepang, yaitu Ms.Yuriko Nakamura yang sedang melakukan research di beberapa perpustakaan yang ada di pesantren di Indonesia. Beliau adalah dosen salah satu perguruan tinggi di Tokyo yaitu Tokyo Gakugei University.
Pertemuan para pustakawan dan pustakawati dengan Ms.Yuriko Nakamura cukup mengasyikkan dan kami banyak membicarakan tentang buku dan bagaimana perpustakaan di Jepang. Saat itu Ms.Yuriko meminta beberapa dari kami untuk menceritakan buku apa yang pernah dibaca dan bagaimana isi buku tersebut. Pada saat itulah saya spontan mengangkat tangan dan menceritakan tentang novel yang kebetulan waktu itu sedang saya baca, begitu pula dengan tiga orang kawan saya yang menjabarkan buku yang berbeda. Semenjak saat itu, saya dan Nadine Alifah, salah satu sahabat akrab saya menjadi orang penting di perpustakaan. Kami bahkan ikut rapat ketika pimpinan pondok bersama kepala perpustakaan membicarakan untuk memperbaiki perpustakaan kami yang kondisinya saat itu tidak baik, bahkan nyaris terbengkalai. Saya senang dan menikmati hal ini. Sampai suatu hari, kami berdua diberitahu bahwa kami diberi kesempatan untuk melakukan perjalanan ke Jepang bersama Ms.Yuriko untuk menjadi subject research.Tapi, hanya salah satu dari kami. Jadi saat itu, Bapak Nasir selaku kepala perpustakaan itu dan Mrs. Afi yang juga saat itu mengurus perpustakaan melakukan beberapa tes untuk menentukan siapa yang layak berangkat, saya ataukah Nadine.
            Saat itu, saya berpikir, kenapa hanya kami berdua? Kenapa tidak semua pustakawati (pustakawan tidak termasuk karena Ms.Yuriko hanya meminta seorang santriwati saja) yang diuji ? Saya pikir, jawabannya adalah hal sederhana yang efeknya luar biasa yang saya dan Nadine lakukan saat pertemuan dengan Ms.Yuriko di perpustakaan. Ya, kami hanya mengangkat tangan dan menjabarkan buku yang telah kami baca. Di sinilah saya belajar bahwa kesempatan sekecil apapun, just take it. Make it yours and don’t let anyone take it. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nantinya. Jujur saat itu saya hanya spontan mengangkat tangan dan banyak juga teman saya yang spontan menunjuk saya untuk berbicara. Jika saya pikir ulang, mungkin bukan alasan ini yang membuat saya menjadi the lucky one untuk melakukan perjalanan ke Jepang, secara gratis tentunya. Tapi, entahlah bagaimana kronologi sebenarnya, itu yang saya rasakan selama ini. Di sini saya juga menyadari bahwa sepertinya saya berhutang budi pada teman-teman saya yang membuat saya mendaftar menjadi pustakawati. Jika saja mereka tidak berhasil mempengaruhi saya pada kebaikan mungkin saya tidak akan menjadi baik dan berada di posisi saya yang memiliki pengalaman go abroad. Pak kiai pernah memberi tahu saya sebuah pepatah yang mengatakan ukuran dirimu bisa dilihat dari siapa temanmu. Teman adalah orang yang paling berpengaruh di kehidupan saya sehari-hari ketika nyantri selain guru, ustadzah dan pendamping kamar. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa teman sebayalah yang akan selalu mendukung apapun yang akan saya lakukan. Mereka tidak berpikir ketika itu berakibat buruk bagi saya atau tidak, mereka hanya berpikir apakah itu menyenangkan atau tidak. Begitulah teman sebaya. Dan yang menyenangkan itu, terkadang tidak selalu baik. Tapi tetap saja, teman sebaya, teman satu organisasi adalah yang paling dirindukan.
Program exchange saya ini berbeda dengan kakak-kakak sebelumnya. Saya berangkat dengan program perpustakaan dan menjadi objek penelitian Ms. Yuriko yang sedang melakukan penelitian perpustakaan pesantren di Indonesia dan beberapa negara lain. Jika kakak-kakak ada yang berkesempatan belajar dan bersekolah di luar negri selama satu tahun, saya hanya mengunjungi sekolah-sekolah di sana saja. Pengalaman yang menyenangkan dan luar biasa karena saat masuk Pabelan pertama kali, yang selalu saya impikan adalah belajar ke luar negri. Saya tidak memiliki target lolos program bina antar budaya tapi saya yakin saya punya jalur lain. Mimpi itu yang selalu saya tanamkan, and I got it. Satu minggu di sana merupakan waktu yang cukup singkat untuk menikmati bagaimana udara dan apa yang ingin saya cari. Satu minggu hidup tanpa jam karet sangatlah menyenangkan. Tepat waktu tetapi tidak terburu-buru, semua orang tahu bahwa Jepang adalah negara yang tidak mengenal istilah jam karet. Selama saya di sana, saya diajak mengelilingi perpustakaan-perpustakaan yang ada di sekolah-sekolah. Dari yang elementary school sampai yang university.
            Hal yang membuat saya sedih adalah saat saya berangkat, tidak ada yang mengantar saya ke bandara. Orang tua saya tidak mengantar karena mereka sibuk di rumah, dan dari pihak pesantren pun banyak yang sibuk karena pada saat itu bertepatan saat ujian lisan. Saya sempat agak tertekan karena saya banyak ketinggalan ujian pada saat itu, tapi sudahlah. Setiap langkah yang kauambil pasti memiliki resiko tersendiri. Di situlah kita belajar bagaimana cara mengatasi risiko yang kita ambil agar tidak menjadi lebih buruk lagi. Berangkat sendiri tidak menjadi masalah bagi saya karena saya juga akan bertemu mBak Hasna Safira disana. Mbak Hasna adalah ustadzah dari Pondok Gontor yang juga mendapat kesempatan sama seperti saya. Bersama mBak Hasna inilah saya menghabiskan satu minggu di Jepang untuk research kami. Yang tidak membuat saya sedih lagi adalah ada saja yang menyusul saya ke bandara untuk sekedar mengatakan “See you soon” dan “Have a safe flight”. Mereka yang menemui saya di bandara orang-orang terdekat saya yang kebetulan sedang ada di Jogja. That’s a great farewell, dan saya tidak merasa sedih lagi.
Saat itu pertama kali saya pergi ke luar negri dan pertama kali juga bagi saya naik pesawat. Mungkin jika saya tidak memilih sekolah di Pabelan, saya tidak akan mendapat pengalaman itu sendiri. Jika saja saya tidak dididik di Pabelan, mungkin saya tidak akan semandiri dan seberani itu untuk mengiyakan pergi ke luar negeri tanpa orang tua. Hingga saat ini, Pabelan selalu mengingatkan saya agar menjadi seseorang yang tahan banting. Salah satu quotes yang selalu saya ingat “Jangan berdoa agar hidup ini menjadi mudah, tapi berdoalah agar kamu menjadi seseorang yang tahan banting”.
Kami menginap di hotel yang terletak dekat dengan pusat kota Shibuya. Sekitar satu kilometer dari stasiun kereta. Pengalaman yang tak terlupakan bagi saya adalah ketika kami pulang dari kunjungan ke Arakawa Elementary School, saya terpisah dari mBak Hasna dan ms. Yoriko. Saat itu hari sudah petang dan saat sampai stasiun, banyak orang yang turun dan agak berdesak-desakan. Itulah yang membuat saya terpisah dari mereka. Saya agak panik, tapi saya mencoba tenang. Alhamdulillah, saya tidak lupa jalan pulang. Malam itu saya tidak langsung pulang ke hotel, saya malah jalan-jalan dan masuk ke pusat perbelanjaan yang ada di Shibuya. Saya bahkan sempat berfoto dengan patung Hachiko, seekor anjing yang terkenal karena kesetiaannya terhadap pemliliknya. Malam itu benar-benar salah satu malam yang sangat menakjubkan. Saya bahkan berdoa agar suatu saat dapat mengajak keluarga dan teman-teman saya menkmati malam seperti pada saat itu.
Kunjungan yang kami lakukan sangat mengasyikkan. Kami bahkan dipersilakan mengikuti beberapa kelas. Kami juga sempat mengobrol dengan beberapa mahsiswa di Tokyo Gakugei University. Yang menjadi kendala bagi saya saat itu adalah bahasa. Tidak semua orang Jepang bisa menggunakan bahasa Inggris, dan saya sendiri agak sulit memahami bahasa Inggris yang mereka ucapkan karena logatnya yang agak berbeda. Saat itu pun, bahasa Inggris saya masih sangat minim. Tapi berkat bantuan mBak Hasna yang lebih fasih, Alhamdulillah saya terbantu. The best part of this journey adalah tentu saja, Disney Land. Kami diberi satu hari penuh untuk mengunjungi Disney land. Sangat mengasyikkan dan rasanya semua wahana ingin saya nikmati. But, kami tidak punya banyak waktu, Jadi kami nikmati saja apa yang ada.
Ms. Yuriko orang yang sangat baik. Beliau bahkan memberi saya sebuah memo ketika kami hendak kembali ke Indonesia. Memo itu berisi reminder bagi saya untuk mengerjakan kembali laporan yang saya buat karena waktu itu ada kesalahan teknis pada CD-ROM yang saya beri. Saya jadi merasa bersalah karena waktu itu saya cenderung easy going pada laporan yang harus dibuat. Tapi sepertinya Ms, Yuriko memaklumi saya yang saat itu terbilang masih remaja kecil, 15 tahun yang masih butuh banyak bimbingan.
Sepulang dari Jepang, saya langsung mengikuti ujian tulis kenaikan kelas. Dengan masih terbayang-bayang indahnya kota Tokyo di malam hari, saya harus kembali belajar dan menemui pelajaran-pelajaran hafalan seperti mutolaah dan lain-lain. Dan, pada akhirnya, karena kurang maksimal belajar dengan pemikiran saya yang pas-pasan, keluarlah hasil ujian saya yang merupakan ranking terakhir di kelas dengan rata-rata nilai yang pas-pasan untuk naik kelas V (XI MA). Tapi, setidaknya saya mendapat ilmu lebih juga dari pengalaman yang mengasyikkan ini.
Berhenti mengeluh, Kau akan naik kelas!
Kenaikan kelas di Pabelan memang sangat berbeda dari sekolah lain menurut saya. Entah kenapa, rasanya sangat sulit untuk naik kelas. Rasa takut yang amat sangat begitu terasa ketika akan dipasang papan pengumuman kenaikan kelas. Ada beberapa faktor yang menyebabkan itu terjadi, menurut saya yang pertama adalah karena Pabelan tidak hanya melihat kemampuan santrinya di bidang akademik dan nilai-nilai ujian saja. Tapi, menilai santrinya dari tingkah lakunya juga. Jadi, secerdas apapun seseorang, ketika dia tidak bisa bersikap baik, dia patut dipertimbangkan mampukah ia mengemban tanggung jawab yang lebih besar atau ia harus belajar lagi di tingkat tanggung jawab yang sama.
Naik kelas bukan hanya sekedar naik tingkat dan menjadi kakak kelas. Naik kelas di Pabelan yang saya rasakan adalah bertambahnya tanggung jawab dan juga sebuah apresiasi bahwa tandanya kamu berhasil menjadi pribadi yang lebih baik. Ketika kamu merasa bahwa kamu berhasil menjadi lebih baik, di situlah seharusnya tumbuh rasa tanggung jawab yang lebih besar untuk menjadi contoh yang lebih baik bagi adik-adik kelas. Itu yang saya rasa penting ketika kita naik kelas dan menjadi seorang kakak kelas yang lebih dewasa.
Faktor lain yang membuat pengumuman kenaikan menjadi hal yang menakutkan adalah ketika kita memikirkan teman yang lain. Ketika kita berhasil, dan melihat teman seperjuangan kita gagal, di situlah saya merasa bahwa saya juga gagal. Teman adalah seseorang yang sangat berpengaruh bagi kami. Bagaimana tidak? Setiap detik yang terlewati kami habiskan bersama. Sebangku, seatap, sehati pada kenyataannya kita tidak bisa hidup sebagai seorang individualis. Kami akan selalu saling membutuhkan satu sama lain. Bahkan ketika kami sudah memilih jalan masing-masing dan hidup terpisah seperti sekarang ini, kami tetap menjalin silaturahmi dan sering berkumpul bersama. Kami belum memiliki sebuah program agar menjadi bermanfaat bagi masyarakat, karena kami terbilang masih alumni baru. Halusnya, kami masih ingin menikmati waktu untuk kami sendiri. Setiap momentum akan sangat berharga dan akan selalu memiliki makna penting dalam hidup, terutama momentum yang dilewati bersama teman seperjuangan. “Kita, tidak akan menjadi kita tanpa aku, kamu, dia dan mereka,” begitulah quotes yang pernah kami buat. Mereka memang selalu patut dirindukan.
Amal ma’ruf, Nahi munkar
            Membawa seseorang pada hal yang baik tidaklah sesulit menjauhkan mereka dari hal-hal yang tidak baik. Begitulah bagaimana seorang sahabat dan orang-orang terdekat selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk orang-orang yang dikasihinya. Pabelan selalu mengajarkan hal itu. Hal yang paling sulit dikendalikan oleh diri saya sendiri kepada teman-teman saya. Banyak kasus yang membuat kami down dan menyesal, tapi juga berontak karena ketidaksesuaian beberapa hal. Hal yang wajar ketika kami dahulu adalah seorang remaja yang masih labil dan masih senang melakukan pelanggaran-pelanggaran yang tentu saja membuat bapak dan ibu jengkel. Karena itu tadi, perlu usaha yang ekstra untuk menjaga teman satu sama lain tidak melakukan hal-hal yang tidak seharusnya. Tentu saja berbeda rasa bagi cerita kami sekarang. Lucu, jika kami saat ini bersilaturahim ke pesantren dan bernostalgia masa lalu bersama bapak dan ibu. Baru terasa betapa konyolnya saat santri putri menerima hukuman cabut rumput di kompleks putra, atau santri putra yang dihukum lari sambil mengangkat kasur di kompleks putri. Cerita-cerita memalukan itu saat ini menjadi cerita menggelitik yang naif diceritakan kembali.
            Amal ma’ruf dan nahi munkar inilah yang selalu saya terapkan dalam bergaul dengan teman baru saya yang saat ini mengisi hidup saya. Mereka berbeda, sangat berbeda dengan dengan teman di pesantren. Terutama dalam hal ibadah, sebagian masih banyak yang lupa akan waktu mendekatkan diri kepada-Nya. Saya mungkin pernah terpengaruh sejenak karena masih beradaptasi, tapi alhamdulillah Allah selalu melindungi dan mengingatkan saya. Usaha yang lebih ekstra dalam bermasyarakat di lingkungan kampus sangat diperlukan. Tapi saya yakin, alumni Pabelan bukanlah pribadi yang mudah terpengaruh lagi. Alumni Pabelan adalah orang yang memiliki pendirian dan mampu untuk menjadi diri sendiri.
Last but not Least
            Salah satu quotes menarik yang selalu menjadi inspirasi, pedoman hidup, yang saya dapatkan di Pabelan membuat saya merasa lebih bersyukur dan selalu menoba mendekatkan diri pada-Nya dan selalu mengingatkan tempat naung kita.
‘’The lementation of Salahuddin Al-Ayyubi : Why I grateful to what I have now.
 I asked for strength and Allah gave me difficulties to make me strong. I asked for wisdom and Allah gave me problem to solve. I asked for prosperity and Allah gave me faculty and energy to work. I asked for courage and Allah gave danger to overcome. I asked for love and Allah gave me troubled people to help. I asked for favors and Allah gave me apportunities. I asked wanted nothing for my self, but I received everything I needed.”
Be who you wanna be, be grateful to Him, do what you love and love what you need to do.

Biografi Ringkas Penyumbang Naskah
Angkatan 1993-2000
Muhammad Testriono: Pabelan dan Mimpi Amerika
Miftahussa’adah: Gabungan Pesantren dan Madrasah. Lahir di Magelang, 19 Oktober 1982, Alamat  Pabelan IV, Mungkid, Magelang, JawaTengah. Pendidikan TK Pertiwi Pabelan 1987-1988,  SDN Pabelan I 1988-1994, MTs PP Pabelan 1994-1997, MA PP Pabelan 1997-2000, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2000-2004, Flinders University South Australia 2006-2008. Kantor Pusat Pengembangan Bahasa, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Suami Rozib Sulistiyo, S.Pd.I., M.Pd.I. Anak: Adlan Alunaji Fairozan (8 th),  dan  Ardan Rasyad Ahmadannaja (5 th)
Eko Prasetio: Insan Berdaya Jual Tinggi. Lahir di Jakarta, 6 Mei 1981, Nama Istri Mu’arifani ( alumni Periode 1997-2001), Nama Anak Jihan Naura Qonita (Naura) dan Hilmi Fahlevi Ibrahim (Hilmi), Alamat    : Perum. Pondok Hijau No.6, Kel. Wates, Kec. Ngaliyan – Semarang Barat, Profesi manager Marketing & Konsultan Travel Agent Umroh dan Haji Plus, Job Desk Melayani calon tamu Allah yang ingin ke Baitullah  melaksanakan Umroh dan  Haji  Plus. Yang mempunyai visi ingin memberangkatkan lebih banyak orang ke Baitullah yang terkendala biaya dan insyallah bisa berangkat dengan Gratis. HP 0813 2762 2583 / 0815 4251 8893  Pin BB 51C926A1, Email eprasetio17@gmail.com . Buku yang sudah berhasil di tulis berbentuk Ebook / Buku Digital  yang berjudul : Rahasia Strategi Lunasi Hutang dalam waktu singkat , Rahasia Menjadi Pengusaha Tanpa Modal, Panduan Hasilkan Banyak Uang dengan hanya menulis 8-10 halaman dengan menjual Ide, Keahlian, dan Pengalaman lewat Blog Gratisan di Internet

Meldo Andi Jaya: Menggapai Cita. Lahir di Palembang, 7 Februari 1983. Profesi Arsitek. Pendidikan       1994     SD di Palembang, 1994 - 2000 Pondok Pabelan, 2000  Pengabdian di Pondok Pabelan, 2001 S1 Jurusan Arsitektur di Universitas Sriwijaya Palembang, 2012 S2 Rancang Kota/Urban Design di Institut Teknologi Bandung, Organisasi 1999 Bagian Penggerak Bahasa OPP pondok Pabelan, 1999 Buletin Dialog Pondok Pabelan 2000  ketua TPA Pondok Pabelan, 2002 Ketua Ikatan Arsitektur Universitas Sriwijaya Palembang, 2004 Reporter Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Sriwijaya, 2010-sekarang: Ikatan Arsitek Sumatera Selatan
Tiara Rubiati: Siapa Bertahan Dia Pemenang. Tiara Rubiati Asal : JakartaMasa Pondok 1993-2000
 Angkatan 2001-2005
Fatoni Afrianto: Kenangan Menjadi Santri. Lahir di Grobogan, 20 April 1984, alamat asal Ngembel Lor, Tanggung Harjo, Kabupaten Grobogan RT 2 RW 5 Grobogan Purwodadi Jawa tengah. Pekerjaan : TNI AD (dinas di Ambon)

Sulistyawati: Mengelola Dana Pondok

Edi Susilo: Belajar Hidup Ikhlas. Edi Susilo (edus) Domisili/asal Pekalongan. Masuk Pabelan  2000, Lulus Pabelan 2006 (ngabdi setahun setelah lulus ), Pekerjaan Guru SMA Negeri 1 Pekalongan, Hobi Fotografi
Lisa Noviana: Terhindar dari Salah Pergaulan. Saat ini tengah dan masih akan terus berkarya di sebuah institusi negara, di  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Penganalisa Masalah Hukum. Prinsip dan nilai-nilai Ponpes Pabelan pun masih diterapkan dalam keseharian, baik ketika berkarya di institusi atau saat berkumpul di tengah keluarga. Alhamdulillah telah menikah dan memiliki dua putera yang lucu dan menggemaskan. Kebetulan indah bahwa suami adalah seorang alumni santri Ponpes Pabelan, seangkatan  dan dulu pernah menjadi Ketua OPP Putra, saat itu kebetulan Ketua OPP Putri.  Menikah pada tahun 2009 yaitu enam tahun setelah kami lulus dari Ponpes Pabelan. Saat ini suami masih terus berkarya sebagai seorang peneliti di sebuah lembaga riset bernama Purusha Cooperatives di Jakarta sekaligus dosen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional di beberapa Universitas di seputaran Jakarta Selatan, salah satunya adalah Universitas Paramadina.

Muhammad Citradi: Pabelan Membanggakan. Lahir di Magelang 16 Juli 1987 anak ketiga dari pasangan KH. Ahmad Mustofa dan Nunun Nuki Aminten. Masa kecil dihabiskan di desa tercintanya. Mengenyam pendidikan dasar di SD Negeri 1 Pabelan lalu melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Muntilan. Setelah lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama untuk memenuhi keinginan orang tuanya yang menginginkan dirinya belajar ilmu agama. Meneruskan pendidikan di Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan. Setelah satu semester di Pondok Pabelan mencoba mengikuti testing untuk masuk ke Pondok Modern Darussalam Gontor namun tidak lama di Gontor karena satu dan lain hal lalu kembali ke Pondok Pabelan. Setelah masuk Pondok Pabelan kembali, tak disangka mondok yang tadinya hanya keinginan orang tuanya justru membuatnya sangat tertarik dengan dunia pesantren. Di Pondok Pabelan ketika menjadi OPPP diberi amanah untuk memegang bagian keamanan. Selulus dari Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan, sempat mengenyam pendidikan di Universitas Al Azhar, Mesir, selama 5 tahun di jurusan syariah islamiyah. Sepulang dari Mesir tahun 2011 melanjutkan mondok dan studinya di Balai Pendidikan Pondok Pesantren Darussalam Ciamis pimpinan KH Fadhil Munawwar Manshur. Setelah itu ditugaskan oleh KH Fadhil untuk membantu mengajar di Pondok Pesantren Darul Hikmah Sleman. Hingga saat ini (2015) masih tercatat sebagai salah satu Pembimbing di Pondok Pesantren Darul Hikmah.

Malikhatun Nisa’: Prepare The Future. lahir di Magelang, 29 November 1986, alamat Pabelan iv, RT ii RW x, Mungkid, Magelang. Pendidikan: SDN pabelan 2 ( th 2000), MTs Pondok Pabelan (2003), MA Pondok Pabelan (2005), KMI Pondok Pabelan (2006), Pendidikan Bahasa Inggris (S1); Universitas Negeri Yogyakarta (2011), menjadi Staf Sekretariat Dekanat (Sekretaris Dekan) Fakultas Hukum , Universitas Islam Indonesia ( 2013 – sekarang); wish word forget the past, control the present and prepare for the furure.
                                                           

Arlian Buana: Inspirasiku Pabelan.
Qurota Ayuni: Warna Pendidikan di Pabelan.  Alumni Pondok Pabelan tahun 2006 lahir di Bantul, 9 Agustus 1987. Dia menyelesaikan sarjana S1 nya di FKIP Bahasa Inggris UAD Yogyakarta pada Desember 2010. Kemudia mengajar di LBPP LIA Palembang dari tahun 2011sampai sekarang dan sedang melanjutkan program S2 Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Sriwijaya.
Riansyah Tuahunse: Berdisiplin dari Dalam.  Nama     Riansyah Tuahunse, angkatan 2006 Asal Palu, Sulawesi Tengah
Angkatan 2006-2010
Setyawan Saputra: Pesantren dan Impianku.  Lahir di Demak, 20 Juni 1989, Alamat Desa Karangawen, Rt 01 Rw 08 Kecamatan Karangawen, Demak, Jawa  Tengah. Email setiawansaputro@gmail.com. Karya Tulis Ilmiah Skripsi Studi Komparasi Sistem Pemerintahan Menurut Al Mawardi Dengan Sistem Pemerintahan Menurut UUD NRI Tahun 1945 (2013), Penghapusan Ijin Presiden Dalam Proses pemeriksaan Hukum Pelaku Tindak Pidana Korupsi Bagi Kepala Daerah (2010), Pemberian Dispensasi Bagi Terpidana Mati Bagi Terpidana Yang Lanjut Usia  (2011), Sejarah Lahirnya Lembaga Peradilan  Islam Di Indonesia (2012), Biografi KH.Marwan (2011), Skripsi Pemikiran Dan Gerakan Al Maududi Dalam Membangun Peradaban Islam Di Negara Pakistan (2014)

Fikri Fahrul Faiz: Darah Daging Pabelan. Lahir di Cilacap, 01 Februari 1992. Pendidikan: S1 Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Ahmad Nabil Athoillah: Menyantri di Kenya
Yasser Azka Ulil Albab: Segala Hal Dibelajarkan. Tempat , tanggal lahir Semarang, 22 Maret 1990. Pendidikan            S1 Teknik Industri Universitas Islam Indonesia. Pekerjaan Sept 2014 – Februari 2015 = Supervisor Warehouse PT. Astra Daihatsu Motor.  Februari 2015- up to present = Project Control PT. Tracon Industry
Isnatul Arifah: Bekal Hidup dari Pabelan
Mega Saputra: Laboratorium Kehidupan
Lutfi Hani Kusumawati: Membiasakan Berjiwa Terbuka.  Lahir di Semarang, 20 Desember 1990, Alamat Tegal Sari Rt 007/003, kec.Pringapus, ungaran, Kab. Semarang , Email: lutfihani13@gmail.com, Pekerjaan Wirausaha

Angkatan 2011-2015
Agusviani Nurhayati: Jatidiri Terbentuk di Asrama. Lahir di Bogor, 11 Agustus 1991. Alamat : Jl. Halmahera II/19 Rembiga Mataram NTB. Masuk Pabelan : 2006 kelas Takhasus. Lulus Pabelan : 2012. Pekerjaan : Ibu rumah tangga, Mahasiswi Universitas Terbuka  Fak. Sastra Inggris Bidang Minat Penerjemah, Wiraswasta
Hibatul Wafi: Keliling Dunia dari Pabelan. Lahir di Wonosobo, 21 Januari 1993. Masuk Pabelan pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2013 setelah mengabdi selama satu tahun. Pernah mengikuti program pertukaran pelajar dan tinggal di negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat selama sekitar 11 bulan. Saat ini sedang menuntut ilmu di jurusan Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Jakarta, memalui program beasiswa penuh bernama Paramadina Fellowship. Juga aktif dalam organisasi Internasional Award for YoungPeople (IAYP) Indonesia sebagai Duta IAYP.
Rizqi Anggita Lailatul Hikmah: Atsar dari Rumah Kedua. Lahir di Semarang, 7 Januari 1993. Menghabiskan masa kecil di Ungaran sampai menyelesaikan sekolah tingkat dasar di SD Islam Istiqomah. Kemudian melanjutkan pendidikan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah di Pondok Pesantren Pabelan, Magelang dengan satu tahun masa pengabdian. Selama belajar menimba ilmu di Pesantren Pabelan mendapatkan kesempatan untuk belajar di USA selama satu tahun sebagai siswa pertukaran pelajar program YES (Youth Exchange Student). Dan sekarang sedang melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Pariwisata AMPTA Yogyakarta.

Syahril Huda Andriyan : Allah Menuntunku

Zaima Bunga Wijayanti: Pabelan ke Jepang
Muhammad Syafii: Paradigma Keluarga Harmonis.  Muhammad Syafi’i (MUHSYA), Bangka, 08 Oktober 1993. Alamat Sambi, Pakembinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. HP/Telepon 0877 4540 8486, E-mail muhsya.libira.lovestar@gmail.com . Pendidikan Tahun 2004 Lulus dari SD Negeri 287, Toboali, Bangka Selatan.Tahun 2007 Lulus dari SLTP N 1 Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Tahun 2011Lulus dari Madrasah Aliyah PonPes Pabelan, Magelang. Tahun 2012 s/d 2015 Mahasiswa AKINDO (Akademi Komunikasi Indonesia). Yogyakarta, Indonesia. Jurusan Broadcasting Radio TV | NIM : 2012/BC/3558. Pengalaman Organisasi, Tahun 2009 Bagian Bahasa Organisasi Pelajar Pondok Pabelan, Magelang, Jawa Tengah. Tahun 2010 Sekretaris Organisasi Pelajar Pondok Pabelan, Magelang. Tahun 2010 Dewan Ambalan Gugus Depan, PonPes Pabelan, Magelang, Jawa Tengah, Tahun 2011 Panitia Pelatihan Internet “Santri Indigo” se – Magelang, Tahun 2011 s/d 2012 Ketua Organisasi Santri Praktek PonPes Pabelan, Magelang, Jawa Tengah. Tahun 2012 s/d 2014 Teater “AK51” Akademi Komunikasi Indonesia. (AKINDO) Yogyakarta, Tahun 2013 Ketua Panitia Orientasi Mahasiswa Baru Akademi Komunikasi Indonesia (AKINDO) Yogyakarta. Tahun 2014 Kepala Divisi Personalia AKINDO TV, Yogyakarta, Pengalaman Pekerjaan Tahun 2011 s/d 2012 Sekretariat PonPes Pabelan, Magelang. Tahun 2011 s/d 2012 WEB Admin PonPes Pabelan, Magelang, (@pesantrenpabelan.com), Tahun 2011 s/d 2012 Guru PKn kelas 1 MTs, PonPes Pabelan, Magelang, Tahun 2013 s/d 2015 Creative Team di PEKA.art Organizer | Graphic | Picture .
Ima Ganis Mutiasari: Warna Hidup dari Pabelan







Epilog :
Menempuh Jalan Mendaki, Berbagi Inspirasi
مَنْ كَثُرَ إِعْتِبَارُهُ قَلَّ عِثَارُهُ
Barang siapa banyak mengambil pelajaran, akan sedikit mendapat kegagalan
            Dalam sebuah pertemuan tak terduga dengan seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi Islam Negri, diam-diam muncul rasa bangga sebagai salah satu ustadz di Pondok Pabelan. Betapa tidak, dia yang lulusan sebuah madrasah negri, mengakui keunggulan teman sefakultasnya yang lulusan Pondok Pabelan. Khususnya dalam hal bahasa Arab. Padahal ketika menjadi santri, mahasiswa yang diceritakan tersebut, termasuk kelompok biasa-biasa saja. Di hadapan orang yang sudah terpesona, tentu saya secara mengalir mudah sekali menceritakan seluk beluk Pondok Pebelan, bahkan lebih dari yang seharusnya selama lebih dari ‘satu jam pelajaran’.
            Itu adalah salah satu gambaran hasil ‘sementara’ didikan Pondok Pabelan. Boleh jadi ketika menjadi santri biasa-biasa saja, tidak nampak prestasinya atau bahkan menyebalkan, tetapi ternyata menyimpan potensi yang sering munculnya di kemudian hari. Di sinilah letak pentingnya kesadaran, kesabaran dan ketabahan para pendidik, bahwa pendidikan itu proses panjang yang hasilnya tidak mungkin diperoleh secara instan. Oleh karena itu, menghadapi banyak anak dari beragam latar belakang dibutuhkan sikap lapang dada yang tak terhingga. Untuk dapat berdada lapang memang tidak sederhana, karena pendidik juga manusia. Namun, itulah yang dibutuhkan.
            Sunnatullah-nya memang demikian, bagi yang menghendaki kesuksesan, Allah membentangkan jalan-jalan pendakian. Hanya mereka yang punya kemauan kuat, mau bekerja keras (jihad), berjiwa kreatif (ijtihad) dan memiliki kesabaran yang tak terhingga saja yang sanggup menempuhnya. Amat sedikit yang berani mengambil ‘jalan mendaki’, hanyalah mereka yang memiliki visi tinggi. Selebihnya adalah mereka yang hidupnya tanpa visi, a la kadarnya (sak-sak-nya), yang motonya ‘yang penting hidup’. Itulah kebanyakan pemalas yang maunya hidup enak tanpa kerja keras dan mati masuk syurga. Padahal pemalas yang demikian hanya ada dua kemungkinan jalan yang ditempuhnya, jika lemah dia mengemis dan jika kuat dia mencuri.
            Pondok Pabelan mendidik santri untuk menjadi mu’alim yang merdeka, yang berani memilih (jalan hidup) dan bertanggung jawab (konsekuen) dengan pilihannya. Berani memilih ‘jalan mendaki’, meskipun asalnya tidak disukai. Tetapi kepada mereka senantiasa diyakinkan bahwa, pada sesuatu yang tidak kita sukai sering tersembunyi apa yang kita cari (Kuntowijoyo). Sejarah mencatat bahwa tidak sedikit orang yang sukses pada profesinya sekarang karena ‘kecelakaan sejarah’ (by accident), bahkan jarang yang by design. Ada orang yang ketika remaja benci menjadi guru, karena merasa ‘menderita’ berorangtua guru, setelah dewasa justru sukses menjadi guru, ustadz atau dosen. Sebaliknya, ada yang cita-citanya jadi dosen, malah ‘tersesat’ menjadi pengusaha, wartawan, penulis dan lain-lain. Seorang kawan mengatakan bahwa takdir hidup itu bersifat ‘teologis’, yang kadang jalan dan ujungnya tidak logis. Perjalanan hidup manusia memang tidak selalu linier.
Selain agar menjadi ‘mu’alim’, Pondok Pabelan tidak pernah mengarahkan santrinya untuk menjadi apa. Yang penting berpikiran maju, siap berubah dan menghadapi perubahan secara merdeka. Siap berhijrah dalam arti bergerak menggapai peluang yang lebih memungkinkan untuk berkembang. Berhijrah adalah salah satu prasyarat bagi orang beriman untuk meraih visi hidupnya, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 218 yang artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Iman (yakin, percaya diri), hijrah (dinamis, kreatif, inovatif) dan jihad (kerja keras, pantang menyerah) adalah tiga kata kunci bagi santri Pabelan untuk cita-cita mulia kehidupannya, yakni rahmat Allah.
Kalau berpikiran beku, jumud dan malas pasti tergilas oleh roda sejarah. Imam Syafi’i (wafat 204 H) pernah menasihati : “Tiada kata santai bagi orang yang berakal dan beradab, maka tinggalkanlah kampung halaman dan merantaulah. Bepergianlah maka kau akan mendapat ganti orang yang kau tinggalkan. Berusahalah, karena nikmatnya hidup ada dalam usaha. Sungguh, aku melihat mata air yang tidak mengalir pasti kotor. Air akan jernih jika mengalir, dan akan kotor jika menggenang. Kalau tidak keluar dari sangkarnya, singa tak akan mendapatkan mangsa. Kalau tidak melesat dari busurnya, anak panah tak akan mengenai sasaran”. Bahkan Syekh Muhammad Abduh lebih tegas lagi pernyataannya : “Al Islamu mahjubun bil muslimin, Islam itu kemajuannya tertutup oleh kebekuan umat Islam sendiri”
Namun, sukses secara pribadi belumlah mencukupi. Artinya bagi santri Pondok Pabelan kesuksesan individual hanyalah necessary condition (sesuatu yang perlu) dan bukan sufficient condition (sesuatu yang mencukupi).  Oleh karena itu Pondok Pabelan mendidik santrinya menjadi mu’alim yang mencerahkan, artinya yang kehidupannya bermakna tidak hanya untuk dirinya. Sekaligus merupakan pengajawantahan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Peran ‘kerahmatan’ santri Pabelan di antaranya menjadi penyayang kepada sesama, penyejahtera bagi lingkungannya, pembahagia bagi sesama dan pemecah masalah untuk siapa saja. Semboyan dari Pondok Pabelan untuk Indonesia, adalah dalam rangka mewujudkan fungsi kerahmatan tersebut. Para mu’alim dari Pondok Pabelan, apapun pilihan profesi dan peran sosialnya mereka akan suka berbagi dan menginspirasi. Mereka tidak termasuk orang ‘bangga bisa masuk surga sendirian’ atau pelit berbagi kebaikan, peluang dan kesempatan. Mereka selalu sadar bahwa berbagi itu tidak rugi. sebagaimana kata Kuntowijoyo, kebahagiaan kalu dibagi akan bertambah, kesedihan kalau dibagi akan berkurang.
Peran kerahmatan Pondok Pabelan telah terbukti dan ‘terakreditasi’ (diakui) di antaranya melalui kiprah para alumni kelompok assabiqunal awwalun. Kebermaknaan hidup mereka untuk bangsa dengan beragam peran dakwah, pendidikan, sosial, ekonomi, politik dan intelektual, benar-benar telah menginspirasi, khususnya para santri. Ada dua puluh delapan alumni yang dapat dikatakan mewakili kelompok tabi’in, yang berkesempatan menuliskan testimoni tentang andil Pondok Pabelan dalam mengantarkan mereka menjadi ‘orang’. Usia mereka relatif muda, berkisar antara 19 – 33 tahun ada yang jadi dosen, pengusaha, guru, militer dan lain-lain. Pendidikan mereka ada yang S1, S2 dan bahkan ada yang sudah memproses S3. Mereka sebagian besar telah menikah dengan sesama alumni. Pernikahan sesama alumni, agaknya menjadi salah satu tradisi yang menginspirasi dan sangat bermakna.
Pepatah mengatakan, rasa memiliki menjadi demikian kuat ketika telah tidak memiliki. Itulah yang mereka rasakan sekarang. Merasakan bermaknanya kegiatan-kegiatan di Pondok Pabelan yang pada masanya dipandang sepele. Kanis, muhadharah, pindah kamar, di-‘iqab, pramuka, micro teaching, menjadi penerima tamu dan lain-lain, ternyata ada gunanya. Terasa pentingnya justru setelah tidak lagi menjadi santri di Pondok Pabelan. Semuanya ‘menyesal’ mengapa dulu abai, tidak sungguh-sungguh, kurang serius, agak menyepelekan dan lain-lain. Andaikan dulu lebih tekun menyeriusi semua kegiatan di Pondok Pabelan tentu perolehan maknanya dapat lebih hebat dari sekarang. Sayang, penyesalan datangnya selalu belakangan. Semua sudah terjadi, tak dapat diulangi dan tak patut disesali. Ibaratnya bubur sudah menjadi nasi, sudah terlanjur mau apa lagi.
Betapapun, ibarat anak panah mereka telah melesat, lepas dari busurnya. Ada yang sudah kena sasaran, ada yang nyaris dan ada yang dalam proses untuk menjadi. Erich Fromm (1900-1980) dalam bukunya “To have or to be”, menjelaskan bahwa orientasi manusia dalam memaknai hidupnya menjadi dua, yakni berorientasi memiliki dan berorientasi menjadi. Orang yang berorientasi memiliki cenderung ingin menguasai, tergantung pada simbol-simbol yang dimiliki, tidak mandiri dan enggan berbagi. Simbol itu dapat berupa jabatan, kekuasaan, rumah, uang, mobil, gelar dan lain-lain. Jika simbol hilang, dia merasa hilang eksistensinya sebagai manusia.
Sedangkan orang yang berorientasi menjadi, kepuasan dan kebahagiaan hidupnya terasa ketika dapat memberi kesenangan, pengabdian dan sumbangsih kepada pihak lain. Perbandingannya, jika ada sekuntum bunga mawar di tepi jalan, yang berorientasi memiliki akan mengambil dan merawatnya di rumah untuk dinikmati sendiri. Sedang yang berorientasi menjadi akan merawatnya dan membiarkannya tetap berada di tepi jalan agar semua orang dapat menikmatinya. Dalam khazanah Jawa yang berorientasi memiliki termasuk orang rumangsa bisa, dan yang berorientasi menjadi termasuk orang yang bisa rumangsa. Dua puluh delapan alumni muda tersebut dan juga yang ‘ghaib’  insya Allah termasuk manusia-manusia yang berorientasi menjadi, yang bisa rumangsa. Mereka adalah pribadi-pribadi berjiwa peduli dan berbahagia saat dapat berbagi. Sekurangnya mereka telah berani mencukupkan diri dengan urusan dirinya.
Karakter sejati seseorang dapat diukur dari perlakuannya terhadap orang yang berada di bawahnya (baik kedudukannya, kekayaannya dan sebagainya). Bersikap sopan terhadap atasan atau orang yang lebih kaya itu lumrah, sedang bersikap sopan terhadap bawahan atau orang miskin itu kemuliaan. Pembantu khalifah Umar bin Abdul ‘Azis pernah ketiduran karena kelelahan mengipasi sang khalifah. Kemudian dengan sangat pelan dan hati-hati Umar mengambil kipas dari tangan sang pembantu. Sang khalifah mengipasi pembantunya, sehingga tidurnya semakin nyaman. Secara birokratis sebenarnya sang khalifah berhak untuk marah. Tetapi Umar bin Abdul ‘Azis bukan khalifah yang berkepribadian ‘memiliki’, sehingga tidak mengambil ‘hak marah’-nya. Tidak marah kepada orang lemah dan bersalah ternyata tidak mengurangi kemuliaan sang khalifah, bahkan sebaliknya. Itulah contoh nyata orang yang berkepribadian ‘menjadi’ yang bisa rumangsa.
Santri Pondok Pabelan di samping mengemban peran kerahmatan juga tugas kerisalahan, yakni meneruskan tugas Rasul mendakwahkan risalah Islam dengan jangkauan yang tak terhingga. Meskipun mereka sudah sampai ke luar negri, tetap saja terus memperdalam wawasan ke-Islaman. Sebab untuk mengemban tugas kerisalahan ini berlaku prinsip, yang tidak memiliki tidak dapat memberi dan yang tidak keluar dari hati tidak akan sampai ke hati. Keluasan wawasan akan memunculkan keluwesan tindakan atau sikap, yang sangat diperlukan dalam dakwah sebagaimana perintah Allah dalam Surat An Nahl 125 : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Berdakwah dengan ramah tanpa amarah, memberi teladan bukan pamer keshalihan dan membesarkan hati sebelum memberi ancaman.
Mereka adalah anak-anak muda yang memegang teguh pesan utama Pondok Pabelan: agar berani menjadi dirinya sendiri. Hanya yang telah benar-benar ‘merdeka’ yang percaya diri menjadi dirinya. Hidayah dan kebenaran hanya dapat meresap dan diterima oleh orang yang telah ‘merdeka’. Jika kita belajar dari sejarah banyak ditemukan orang yang secara nalar memahami kebenaran tetapi menolaknya, karena masih ‘terpenjara’. Raja Namruj, misalnya, secara nalar sadar betul bahwa berhala itu tak dapat mempengaruhi apapun kehidupan manusia, tetapi ia tetap menyembahnya. Sebab Namruj masih terpenjara oleh kedudukannya. Jika tidak menyembah berhala dia akan takut kehilangan kedudukan, pendapatan dan lain-lain. Betapa banyak orang yang enggan menerima kebenaran gara-gara takut kehilangan kekuasaan, penghasilan, kehormatan dan semacamnya. Bahkanpun sampai takut berbeda pendapat demi menjaga pendapatan, sehingga mengorbankan martabat demi secuil ‘martabak’.
            Mereka adalah anak-anak muda yang telah terinspirasi, berani menempuh jalan mendaki, menemukan jati diri kemudian peduli dan berbagi. Yang terinspirasi hanyalah mereka yang cerdas secara nalar dan nurani. Yang berani menempuh jalan mendaki hanya mereka yang punya visi. Hanya yang percaya diri yang sampai menemukan jati diri. Dan yang peduli juga berbagi hanya mereka yang telah selesai dengan urusan dirinya, sekurangnya berani mencukupkan diri dengan urusan dirinya.
            Jumari al-Ngluwary
              






[1] Diterjemahkan secara bebas dari syair Sayyid Ahmad Hasyimi
[2] Rayon adalah pengurus lingkup satu gedung
[3] Mukhrizal Dkk, Pendidikan Postmodernisme : telaah Pemikiran Tokoh Pendidikan, Arruz Media 2014
[4]  Pradjarta Dirjosanyoto, Memelihara Ummat: Kyai Pesantre, Kyai Langgar di Jawa, . (Yogyakarta: LKIS, 1999) Hal.  141.
[5] Ismail SM., dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Pelajar 2001, Hal. 17
[6] “Donna, tempat apa yang paling menarik di kota ini?”
[7] “Hm... Mungkin, perpustakaan..!”
[8]Kepemimpinanbagaikan sekantung teh celup. Kita tidak dapat mengetahui seberapa enaknya sampai kita memasukkannya ke dalam air panas.”