Draf biografi tokoh aseli
Magelang
(Pondok
Pabelan didirikan sekitar tahun 1800-an
oleh Kiai Raden Moehamad Ali tapi terhenti
saat santri dan penduduk Pabelan ikut di belakang Kiai Modjo dalam Perang
Diponegoro (1825-1830). Usai perang itu pondok
dilanjutkan putranya, Kiai Imam. Selanjutnya dikelola oleh dua anaknya, Kiai Mukmin dan Kiai Hamdani lantas surut-terhenti. Tahun 1940-an di awal masa pendudukan Jepang Pondok
Pabelan dibangkitkan oleh Kiai Anwar (keturunan ketiga pendiri) bersama kedua
anaknya Kiai Adam dan Kiai Cholil serta berikutnya oleh sang
menantu, Kiai Asror. Tetapi tahun
1953 bersamaan wafatnya Kiai Asror Pondok Pabelan surut-terhenti lagi)
Ide Pokok : Membangkitkan Pondok Pabelan
dengan visi dan pendekatan baru
Tema : Kiai Hamam Dja’far (1938-1993) terpanggil untuk membangkitkan lagi warisan
leluhurnya berupa Pondok Pabelan tapi dengan visi danpendekatan baru setelahbeliaungangsu kawruh di Pondok Modern
Darusalam Gontor (PMDG)dan sempat mencicipi aroma politik Indonesia (1960-an). Kebangkitan kembali Pondok Pabelan ini ternyatamembangunkan kesadaran hidup danmengubahpolahidup warga Desa Pabelansehingga
lebih positif-rasional. Bahkan di kemudian hari Pabelan
menjadi ajang pergulatan ide serta gerakan alternatif dari sebagiantokoh Indonesia bagi model pembangunan yang
lebih manusiawi.
Sinopsis (dari Cerita Lengkap) :
1.
Ustad Hamam muda, sekretaris
pribadi KH Ahmad Sahal dan KH Imam Zarkasyi (pimpinan PMDG) tertantang bisa mewujudkan isi
ceramahSyekh Universitas Al-Azhar Kairo, untuk mendirikan 1000 Pondok Gontor di Indonesia.
Mendadak perwakilan warga dari desa Pabelan datang di Gontor untuk menjemput
dan meminta beliau pulang guna memimpin masyarakat. Sampai di tanah asal
beliau juga dinikahkan.
Kemudian beliau ditugasi oleh PMDG untuk mengurusi tanah-wakaf dan mengikuti sebagian kegiatan KH Idham
Chalid sang
Wakil Perdana Menteri (Waperdam RI)yang juga pimpinan PBNU ke seantero negeri hingga sekitar tiga tahun. Kesempatan ini digunakan untuk berpikir lebih mendalam sambil membaca peta-situasi Indonesiaterbaru. Hingga akhirnya bulat-tekadlahsudah niat Ustad Hamam untuk membangkitkanlagi warisan
leluhurnya berupa Pondok Pabelan dengan visi dan pendekatan baruseiring dinamika zaman.Bismillah, setiap pembaharu gerakan Islam memang kembali ke
kampung asalnya, bergerak mulai dari dalam, menjaga diri sendiri dan keluarganya,
bukan bergerak dari luar. Usianya saat itu 25 tahunan.
2.
Di kampung asal Ustad Hamam secara tulus-seriusmendatangi
wargapotensial dan tokoh, berdialog soal kehidupan mereka sambil mengidentifikasi
masalahdesa
serta mendiskusikan bagaimana solusinya.Warga
Pabelan saat itu lebih dikenal sisi negatifnya yang miskin, terbelakang dan bodoh, bahkan pengemis-pemalas.
Cara dan temuan itu mengagetkan warga yang jarang
disapa, tak pernah diajak bicara-berpikirdan
dihargaitapi berakibat bagusyakni terangkatnya harga-diri karenamerasa dimanusiakan. Warga tersadar, merasa perlu membenahi hidupnya dansiaga untuk mengikuti arahan-bimbingan Ustad Hamam. Pengajian Senin sore diadakan di masjid dengan materi Tasauf
modern. Pengajian malam Sabtu khusus untuk pemuda dengan materi motivasi. Muncullah hal ini sebagai gerakan baru dengan gairah baru warga dalam ber-Amal-Salih lewat jimpitan, Siskamling, zakat-infaq, dll. Suatu saat pak Dja’far (Djapar), ayahanda Ustad Hamam menangis serius
karena dizalimi orang tetangga dusun. Ustad Hamam ‘tidak-terima’. Ditabuhlah
kentongan titirhingga para pemuda berkumpul. Ini gabungan
soalbirrul
walidain,muru’ah dan kebenaran yang harus ditegakkan. Puluhan
pemuda siap membantu. Duduk-masalah dikemukakan, lantas sasaran pun ditentukan,
target dirumuskan, strategi ditetapkan, orang-orang diatur, operasi dimulai dan
segera tantangan-tuntutan dilakukan. Serombongan besar pemuda itunglurug. Teganglah penduduk Pabelan saat
itu dan selama lebih lima jam sampai datangnya jawaban minta maaf dan pengakuan
bersalah. Tak ada kekerasan. Ketegangan pun pada akhirnya reda namun warga
Pabelan justru menjadi solid berada di bawah kepemimpinan Ustad Hamam. Secara pelan tapi pasti berubahlah sikap mental warga Pabelan dari
yang dulu lebih dikenal sebagai pemalas-pengemis dan tukang kelahimenjadi pekerja keras yang pantang menyerah dan
bersikap proporsional manusiawi.
3.
Bertepatan dengan weton Ustad Hamam, pada hari Sabtu Paing
tanggal 28 Agustus 1965 berdirilah Pondok
Pabelan secara resmi dengan nama Balai Pendidikan Pondok Pabelan.“Bismilah
kita dirikan pesantren ini sebagai perwujudan dari totalitas saya mengamalkan inna
salati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabil alamin melalui
pesantren”. Santrinya ada 35 orang putra-putri semuanya aseli desa Pabelan. Kelasnya
di pendopo rumah beliau dengan peralatan dan perlengkapan amat sederhana.
Pondokan-asramanya
rumah-tua di depan masjid yang kemudian dikenal sebagai the ancient room. Sistem pembelajarannya meniru di PMDG. Adiknya, Ahmad Mustofa dan
familinya, Wasit Abu Ali yang masih kuliah di IAIN Yogya ikut membantunya mengurusi
pondok dan mengajar. Tokoh masyarakat Pabelan yang berlatar pesantren dan juga punya
keahlian tertentu dimintanya membantu mengajar sesuai pilihan-keahliannya. Selain
pelajaran resmi PMDG banyak kegiatan tambahan seperti keterampilan tukang-kayu, bertani, ternak ayam. Sungguh
proses ini menjadi gerakan
pemberdayaan dan pendewasaan masyarakat, the real learning community.Pada tahun kedua, 1966santrinya datang
sudah dari sekitar Kabupaten Magelang, tahun 1968dari seputaran Jawa Tengah serta pada tahun 1970-an sudah berdatangansantri dari Sumatera, Sulawesi, Lombok, dll.Panggilan beliaupun diubah masyarakat menjadi Kiai
Hamam Dja’far. Aneka cara baru dilakukan Pondok Pabelan untuk
dikenal publik dan diperhatikan masyarakat. Kalau bingkai pengajaran seorang
guru adalah papan-tulis, maka bingkai pendidikan Kiai Hamam berupa Pondok
Pabelan: apa saja yang ada dan terjadi di pondok merupakan bahan dan proses
pendidikan. Beliau meng-Islamkan batu kali Pabelan, beliau mengubah hukum pupuk
bagi tanaman dari haram menjadi sunnah, membuat
jendela rumah warga. Bahkan tahun
1967 beliau menjadi petani teladan Kabupaten dan tahun 1968 menjadi petani teladan
nasional.“Petani menanam padi akan memanen padi, tapi
kalau kiai menanam padi bisa menghasilkan diesel, pompa hidram dan lain-lain,”
jelasnya.
4.
Silaturahmi kepada para kiai
dan pesantren di sekitar Magelang serta Jawa Tengah rutin dilakukan Ustad Hamam. Selain mendapat restu
dan saran soal Pondok Pabelan beliau juga mendapatkan kepercayaan untuk masuk organisasi Ittihad
al-Maahid al-Islamiyyah (IMI) Kabupaten Magelang, hingga kemudian beliau menjadi Sekretaris Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Jawa Tengah. Akses kepada pejabat pemerintah juga kuat baik yang ada di
daerah, di tingkat provinsi maupun di
pusat , termasuk silaturahmi kepada para karibnya yang dari Gontor, rekannya di PII
maupun temannya di GP Anshor.Suatu ketika
semua santri Pabelan baik putra maupun putri diminta berpakaian putih-putih.
Yang putra dilengkapi peci-hitam dan yang putri rambutnya dikelabang-dua
dikucir pita merah. Mereka satu-persatu berurutan di sebelah kiri jalan dimulai
dari pondok berjalan kaki tanpa berbicara menuju Muntilan dan mengelilingi kota
kecil itu hingga berkumpul di terminal
Muntilan. Kemudian secara berkelompok santri naik delman, kereta berkuda,
kembali ke pondok. Jumlah santri 200-an orang. Semua delman yang ada tersewa
bahkan kurang hingga ada delman yang sampai tiga kali pulang-pergi mengangkut
santri. Usai itu barulah heboh. Setiap orang di Muntilan yang melihat langsung ‘pertunjukan
mencolok’ itubertanya-tanya siapa mereka hingga menjadi buah-bibir masyarakat
dan semua sais-kusir delman di Muntilan secara otomatis menjadi sumber
informasi-jawabannya. Bahkan belakangan kiai dan pimpinan pesantren lain ikut mengomentarinya serta
bertanya. Kok ada santri putrinya juga? Kalau santri putri sebaiknya pakai kerudung jangan rambutnya
dikelabang pakai pita merah seperti itu!
5.
Tahun 1970 kekhasan-keunikan Pabelan itu mulai dilirik pemerhati baik dari dalam maupun luar negeri.
Kemampuan komunikasi Kiai Hamam bagus, kepribadiannya menarik, rasa
percaya dirinya amat kuat, gaya bicaranya mengesankaan
serta minatnya amat luas itu menjadikan siapapun tamu yang hadir menjadi
tertarik akan Pabelan. Aktivis LSM/NGO, kaum intelektual kampus, agamawan, seniman
dan politisi berdatangan baik sekadar ingin tahu, melihat langsung, bertukar-pikiran
maupun hingga mewujudkan ide kreatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan. Pabelan pada saat itu
seperti ajang
bursa ide dan pemikiran. Ketika tamu
dari pemerintah Thailand akan datang, pagi-pagi dengan mengajak santri yang
membawa baskom besar Kiai berniat memborong minuman khas Cendol Semen sebagai
suguhan. Pak Cendol pagi itu baru mulai buka warung. Kiai Hamam mengutarakan
maksudnya memborong cendol. “Tidak boleh.
Bagaimana kecewanya mbok-mbok gendong yang biasa datangmembeli
cendol?”Jawab Pak Cendol retoris.
Kiai Hamam masih mendesak. “Benar bahwa saya
memang jualan cendol dan saya dapatkan untung,
tetapi bukan untung utamaya
melainkan peran dan manfaat cendol saya bagi
sesama. Pernahsaya alami ora bathi
satak ananging bathi sanak,”
lanjut Pak Cendol. Kontan Kiai Hamam tersadar, minta pamitsegera untuk beristighfar, menyesali-diri karena beliau ternyata ‘dikalahkan’ kepekaan manusiawi-nya oleh seorang
Manusia Besar yang memilih ’profesi’sebagai tukang cendol.
6.
Pabelan
milik siapa saja yang datang untuk belajar. Diterimanya santri bukan dari seleksi akademis melainkan dari niat dalam
belajar. Santrinya nano-nano, ada yang biasa, ada yang pintar
dan ada juga yang nyaris jongkok akademik tetapi berniat belajar. Inilah potret
realitas kehidupan yang beraneka-ragam. Prinsip “milik siapa saja yang datang”
ini pula yang menjadikan Pabelan selalu terbuka untuk semua golongan, ya
laki-laki ya perempuan; ya Muhammadiyah ya NU; bahkan yang muslim maupun
nonmuslim. Pada tahun 1965 dan dekade 1970-an kaidah terbuka seperti itu
pastilah masih sangat aneh bahkan dinilai “tersesat” tetapi sesuai dinamika
zaman yang menuju era keterbukaan dan hidup saling bergantung maka prinsip
terbuka akhirnya wajar, dan menjadi “benar”. Ungkapan yang bernas mengenai hal
ini adalah “Pabelan tersesat di jalan yang benar”. Sahabat dan teman Kiai Hamam
berasal dari berbagai latar-belakang. Romo Mangunwidjaja nasrani yang dikenal
sebagai sastrawan-teolog-teknolog itu jika di Pabelan lebih sering dikira Kiai
karena biasa memakai pecis sementara Kiai Hamam justru gundulan. Arif Budiman yang dikenal sebagai ‘bapak-demonstran’ itu
mengapresiasi santri-santri putri Pabelan yang aktif. Gus Dur kalau ke Pabelan
bersama isteri hingga menginap berhari-hari. Chairul Umam dan WS Rendra bahkan membuat
film Al-Kautsar di Pabelan. Itulah sebagian dari tamunya. Kepada para
alumni yang hadir Syawalan dalam suatu kesempatan Kiai Hamam menceritakan
mimpinya. Beliau didatangi ayahanda, Kiai Dja’far almarhum dan diberi uang lima ribu rupiah. “Kalau lima ribu diibaratkan lima tahun, sekarang tahun 1988,
jangan-jangan tahun 1993 saya meninggal,” katanya. Semua hadirin hanya
menganggap Kiai Hamam bergurau yang memang sering dilakukannya. Namun apa yang
terjadi? Pada tanggal 17 Maret 1993 di RS Lestari Rahardja Magelang petang hari
saat TVRI menyiarkan pengumuman Kabinet Baru, Kiai Hamam meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.Bilabenar
beliau senimankok memilih pondok
tentu itu ‘tersesat’ tetapi berada di ‘jalan yang benar’, karena mampu membuktikan
bahwa Pondok Pabelan bangkit dengan seni-hidup yang bermanfaat bagi lingkungan,
masyarakat, umat dan bangsa.
Basis Cerita (Tulang-punggung cerita, latar-tokoh, problem, hambatan,
penyelesaian):
Plot (Rangkaian peristiwa yang berhubungan logis sebab-akibat): Treatment
Skenario :
Allaahummaghfir lahu warhamhu, wa'aa fihiii wa'fu 'anhu.....wakrim nuzulahu, wa wassi' mad khalahu....
BalasHapus