Menularkan Asa Memantik
Prestasi
Perjalanan
Santri Pondok Pabelan Memaknai Hidup
28
Agustus 2015
Pondok
Pabelan Press
Pabelan,
Magelang, Jawa Tengah
Indonesia
Menularkan
Asa Memantik Prestasi
Perjalanan
Santri Pondok Pabelan Memaknai Hidup
@Penyunting: Muhammad Nasirudin
Desain Cover: Danang Tejo Bintoro
Panitia Lengkap Buku
Penasihat: KH
Drs. Ahmad Mustofa, KH Ahmad Najib Amin, KH Muh Balya
Penyunting: H. Muhammad Nasirudin, M.A.
Ketua: Nurul Faizah, S. Ag.; Drs. H.
Jumari al-Ngluwary
Sekretaris: Drs. Nurhamid Effendi;
Masruchin, S. Pd. I.
Bendahara: Nur Afiyati, S. Pd.,S.Th. I
Diterbitkan
Oleh:
Pondok Pesantren Pabelan
Pabelan, Mungkid, Magelang
Cetakan I
28 Agustus 2015
Menularkan Asa Memantik Prestasi
Perjalanan
Santri Pondok Pabelan Memaknai Hidup
Sambutan
Pimpinan Pondok Pabelan
Pengantar
Ketua Yayasan Wakaf Pabelan
Prolog:
Catatan Penyunting
Angkatan 1993-2000
Muhammad
Testriono: Pabelan dan Mimpi Amerika
Miftahussa’adah: Gabungan
Pesantren dan Madrasah
Eko
Prasetio: Insan Berdaya Jual Tinggi
Meldo
Andi Jaya: Menggapai Cita
Tiara
Rubiati: Siapa Bertahan Dia Pemenang
Angkatan 2001-2005
Fatoni
Afrianto: Kenangan Menjadi Santri
Sulistyawati:
Mengelola Dana Pondok
Edi
Susilo: Belajar Hidup Ikhlas
Lisa
Noviana: Terhindar dari Salah Pergaulan
Muhammad
Citradi: Pabelan Membanggakan
Malikhatun
Nisa’: Prepare The
Future
Arlian
Buana: Inspirasiku
Pabelan
Qurota
Ayuni: Warna Pendidikan di Pabelan
Riansyah
Tuahunse: Berdisiplin
dari Dalam
Laras
Pirukya Kinanti: Seniwati Nyantri Keseimbangan
Angkatan 2006-2010
Setyawan
Saputra: Pesantren dan Impianku
Fikri
Fahrul Faiz: Darah Daging Pabelan
Ahmad
Nabil Athoillah: Menyantri di Kenya
Yasser
Azka Ulil Albab: Segala Hal Dibelajarkan
Isnatul
Arifah: Bekal Hidup dari Pabelan
Mega
Saputra: Laboratorium Kehidupan
Lutfi
Hani Kusumawati: Membiasakan Berjiwa Terbuka
Angkatan 2011-2015
Agusviani
Nurhayati: Jatidiri Terbentuk di Asrama
Hibatul
Wafi: Keliling Dunia dari Pabelan
Rizqi
Anggita Lailatul Hikmah: Atsar dari Rumah Kedua
Syahril
Huda Andriyan: Allah Menuntunku
Zaima
Bunga Wijayanti: Dari Pabelan ke Jepang
Muhammad
Syafii: Paradigma Keluarga Harmonis
Ima
Ganis Mutiasari: Warna Hidup dari Pabelan
Biografi
Ringkas Penyumbang Naskah
Epilog:
Catatan Akhir
Catatan
Penyunting
Buku
ini merupakan kelanjutan dari buku terdahulu dengan jarak terbit tujuh tahun.
Buku terdahulu (Kiai Hamam Dja’far dan Pondok Pabelan, Agustus 2008, Jakarta:
Pustaka Jaya. Editor: Ajip Rosidi) telah memotret Pondok Pabelan pada 28 tahun
pertama sejak bangkitnya (1965-1993) dan buku ini secara dini menilik hal yang
sama namun pada rentangan 22 tahun berikutnya (1993-2015). Buku ini hadir untuk
melengkapi buku terdahulu sehingga rentangan 50 tahun menjadi utuh bagi
hadirnya Pondok Pabelan di Indonesia. Tentu buku ini dimaksudkan sebagai kado dan
syukuran pada momentum Milad ke-50 Pondok Pabelan tepatnya pada 28 Agustus
2015.
Penyumbang
naskah buku ini ada 28 orang alumni. Mereka secara leluasa menulis mengenai
prosesnya sebagai santri Pondok Pabelan khususnya dalam pencarian-penemuan
jatidiri dan peran pendidikan pondok bagi hidup berkarier di masyarakat
selanjutnya. Ada yang kritis intelektual, ada yang bersemangat ekspresif, ada
yang lurus tenang baku dan ada yang warna-warni. Alhamdulillah mereka cukup mewakili atas ribuan santri alumni yang
dihasilkan Pondok Pabelan pada fase kedua. Berdasarkan waktu tahun
pendidikannya mereka cukup merata sejak rentang angkatan tahun 1993-2000 (5
orang), angkatan 2001-2005 (9 orang), angkatan 2006-2010 (7 orang), dan yang
terakhir angkatan 2011-2015 (7 orang). Keragaman profesinya juga cukup mewakili
keanekaragaman yang ada, mulai dari bidang pendidikan (dosen, guru, ustadz), keamanan (tentara),
mandiri-swasta (arsitek, dokter, muharrik,
pengusaha), keagamaan (kiai, badal,
pembimbing ummat, pengasuh), hingga yang belum berkarier-berprofesi karena
masih dalam proses penyelesaian pendidikan (mahasiswa S1, S2, S3). Mereka
sungguh relatif masih muda usia, terentang umurnya 19-33 tahun, tentu masih
akan panjang langkah hidup berikutnya.
Pendidikan
di pondok pesantren hidup secara mengalir dengan cakupan yang utuh-menyeluruh
hingga sering dicap sebagai berselisihan dengan ‘sekolah-isme’. Semua
penyumbang naskah dalam buku ini nyata merasakan serta mengalami itu semua juga
memahami signifikansi pola asuh kekeluargaan-tradisional serta pentingnya model
pendidikan pondok pesantren. Ada yang melihat pola asuh saat menjadi santri
dahulu sebagai pengekangan, serba-aturan, aneh bahkan tidak logis, namun
kemudian menyadari betapa pentingnya hal itu dalam fase hidup berikutnya. Ada
pula yang sedari awal mengikuti pola asuh santri sebagai suatu keharusan,
kebenaran, atau sebagai pilihan bebas bahkan petualangan hidup baru sehingga
merasa nyaman saja santri dalam menjalaninya. Santri sebagai seeker ‘pencari’, pejalan. Lantas
terbukalah wilayah-wilayah ‘batiniah’ baru yang dirambah para santri belia baik
yang berkaitan dengan psikologi, sosiologi, budaya, filsafat, agama, hukum,
namun juga ekonomi, teknologi, kesehatan, kemasyarakatan, realitas hidup dan
kehidupan. Terbukti ada rambahan yang kemudian dipilih alumni sebagai
wilayah-pengabdian atau ‘profesi’ sesuai dengan panggilan sejarah hidupnya.
Santri sewaktu di pondok sungguh nyata dididik untuk menjadi dirinya sendiri,
bukan menjadi orang lain.
Organisasi
Pelajar Pondok Pabelan (OPPP) baik putra maupun putri disebut-sebut oleh para
penyumbang naskah sebagai signifikan dalam mewarnai karakternya, menguatkan
jatidirinya. OPPP dari tahun ke tahun secara nyata merupakan ‘pabrik-pengurus’
apalagi dengan berbagai kegiatan santri ikutannya yang menjadi ‘pabrik-panitia’.
Tidak ada seorang pun santri yang tidak terlibat ataupun melibatkan diri di
dalamnya, bahkan lebih cenderung satu orang santri memainkan beraneka
peran-posisi yang tersedia. Cipta, karsa
dan rasa santri dengan aktif di OPPP dan kepanitiaan ini menjadi terpetakan
secara jelas, namun juga terasah, terkuatkan bersama santri lain dengan
pendamping juga dengan pihak-pihak lain. Namun penting disadari bahwa jabatan pengurus
dan panitia itu barulah jalan, sarana dan proses untuk menjadi pemimpin. Tidak (belum)
setiap pengurus atau panitia adalah pemimpin. Pondok dengan segala aktivitasnya
itulah yang kemudian memfasilitasi (Jawa: Ngangremi,
diibaratkan induk ayam menetaskan telur) agar setiap pengurus-panitia,
calon-calon pemimpin itu mampu untuk (dalam) melahirkan dirinya sendiri menjadi
pemimpin sejati. Pemimpin sejati adalah insan pengambil keputusan, manusia
pengemban amanah dan tanggung jawab lengkap segala risikonya setelah melihat
realitas kehidupan (tidak ideal, sakit, kurang) yang didorong oleh kesadaran
akan kekhalifahan dan kehambaannya. Oleh karena itulah pemimpin sejati selalu
lahir dari masalah-masalah guna mengatasi masalah.
Pabelan
sesuai misinya mendidik dan mempersiapkan santri untuk menjadi manusia mandiri
yang berkhidmat kepada masyarakat, negara dan agama. Selama di pondok santri
dididik dan diantar untuk mampu mengenali jati diri dan lingkungannya serta
mempunyai motivasi dan keberanian untuk memilih peran di masyarakat sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya. Karenanya Pabelan secara sadar terus
menanamkan dan meningkatkan disiplin santri untuk melaksanakan ajaran agama
Islam dalam kehidupan sehari-hari; juga menanamkan jiwa keikhlasan, kesederhanaan,
ukhuwah Islamiah, mandiri dan bebas; serta dengan menyelenggarakan pendidikan
formal berdasarkan kurikulum pesantren yang disesuaikan dengan kurikulum pendidikan
nasional. Visi dirumuskan: Terdidiknya santri menjadi mukmin, muslim dan muhsin
yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas.
Arah
gerak Pabelan sejak berdirinya tidak pernah bergeser sedikitpun. Meskipun dalam
proses tampak ada fase-fase perjalanan ataupun fluktuasi keberadaan, semua itu
disadari tidak pernah bisa dipertukarkan dan selalu beralur maju secara
berjenjang sesuai sunnatullah ‘hukum
alam’. Mungkin proses yang diikhtiari dari waktu ke waktu dan alur yang terjadi
tampak berbeda dari harapan namun semuanya disadari dan diniati untuk selalu
menjadi lebih baik, lebih benar dan lebih indah. Ketika arah gerak tidak
bergeser dan ikhtiar-usaha yang dilakukan selalu menuju kebaikan tentu nalar
manusia menyimpulkannya sebagai proses yang naik atau meningkat. Benarkah
demikian? Kehidupan di dunia ini terus mengalir dan tidak datar, tidak hanya
satu sisi, melainkan banyak sisi, ada pula yang berpola siklis dengan berbagai
dimensi lengkap. Maka, apapun dan bagaimanapun keadaannya proses menuju
kesejatian, kemurnian dan idealitas selalu penting dilakukan siapapun.
Tidak
terasa rentang perjalanan Pabelan berkhidmat sudah 50 tahun. Pabelan selama itu
terus saja berikhtiar hidup-menghidupkan, bergerak-menggerakkan tidak pernah
berhenti menularkan asa-harapan dan juga memantik prestasi santri. Ada santri
yang memang berkualifikasi sebagai bintang lantas jadilah bintang terang kuat,
namun ada juga yang memilih menjadi rembulan lembut, tak terkecuali ada yang
menjadi matahari di komunitas-lingkungan masing-masing. Tentu apapun posisi dan
peran pilihan para santri-alumninya semoga selalu mampu memberi manfaat di masyarakatnya.
Khairun nas anfa’uhum lin nas
‘Sebaik-baik manusia yang bermanfaat bagi sesamanya’. Bicara posisi dan peran,
Pabelan sebagai pondok pesantren memuat hadirnya posisi-peran yang sentral,
posisi-peran utama, selain banyak posisi dengan peran pelengkap dan penyerta.
KH
Hamam Dja’far tidak terbantah berposisi dan berperan sentral lagi utama di
Pondok Pabelan sejak perintisan, pendirian, peraihan menuju puncak-puncak
hingga wafatnya tanggal 17 Maret 1993. Selama 28 tahun itu posisi-peran utama beliau
tidak akan pernah tergantikan. Masa itu disebut sebagai pola kepemimpinan tunggal.
Kemudian muncul generasi penerus-pelanjut estafeta Pondok Pabelan, yakni
kepemimpinan tritunggal yang hadir dengan pola kolektif-kolegial hingga saat
ini, Kiai Ahmad Mustofa, Kiai Ahmad Najib Amin dan Kiai Muh Balya. Maka selama
50 tahun bisa dibedakan adanya dua fase, kepemimpinan tunggal dan kepemimpinan
tritunggal. Mengenai lama-waktu ada yang patut direnungkan karena nyaris selama
50 tahun selalu hadir dengan posisi-peran sentral di Pabelan yang tanpa jeda,
tanpa kenal putus-sambung yakni Kiai Muh Balya. Pada fase awal beliau
berposisi-peran optimal sebagai Sekretaris Pondok Pabelan yang tak pernah tergantikan
dan pada fase kedua menjadi pimpinan Pondok Pabelan, bagian dari tritunggal. Bagaimana
respons beliau? “Saya selamanya hanya sebagai
anshor,” kata Kiai Muh Balya.
Milad
ke-50 Pondok Pabelan tahun 2015 ini merupakan momentum untuk bersyukur yang
sarat akan maksud dan kepentingan baik. Bersyukur adalah melipatgandakan nikmat
yang diterima dengan hati-akalnya hingga lebih berkualitas. Tuhan Allah SWT nyata-nyata
telah memberikan kesempatan dan anugerah yang banyak sekali kepada Pabelan
untuk berkhidmat, berkarya; namun Pabelan juga masih berharap diberi-Nya
kesempatan untuk mampu terus berkhidmat, berkarya bagi Indonesia masa depan. Milad
ke-50 ini sungguh merupakan momentum penting untuk evaluasi-diri, hitung-hitung
namun juga kesempatan untuk menyerap aspirasi serta usulan guna lebih baiknya keadaan
di masa depan. Rencana besar telah dibuat, proses mulia telah mulai dilakukan
dan peraihan target-target selalu diupayakan optimal serta pemfokusan pada
kebermaknaan terus diikhtiari tanpa henti. Panta
rei. Bismillah, walhamdulillah. Wala
haula wala quwata illa billah.
Pabelan,
29 Juni 2015
Muhammad
Nasirudin, penyunting
Angkatan
1993-2000
Pabelan
dan Mimpi Amerika
Muhammad Testriono
Tarikh menunjukkan paruh kedua dekade 1990-an. Bersama ratusan santri
lainnya, saya memulai kehidupan baru di Pabelan. Berseragam putih hitam, kami
duduk sejajar di alun-alun masjid tua yang berdiri kokoh di jantung pesantren. Semua
mata tertuju pada seorang kiai muda di atas podium. Dalam ceramahnya di Khutbah
Iftitah untuk menyambut para santri baru itu, Kiai Ahmad Najib Amin memperkenalkan
sejumah alumni yang kala itu telah
berkiprah di pentas nasional. “Contohlah
kakak-kakak kalian itu,” demikian pesan Kiai Najib sembari menyebutkan
beberapa nama seperti Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dan Prof. Dr. Bahtiar
Effendy, yang masing-masing memperoleh gelar doktornya di Turki dan Amerika
Serikat.
Tujuh belas tahun
sudah berlalu sejak saya mendengarkan nasihat itu. Kini saya sedang menempuh
studi tingkat master di Amerika Serikat atas beasiswa dari PRESTASI (Program
to Extend Scholarships and Training to Achieve Sustainable Impacts)-USAID
(United States Agency for
International Development), sebuah program
beasiswa milik pemerintah Amerika Serikat untuk anak-anak muda Indonesia. Di
Amerika, saya belajar politik perbandingan di jurusan ilmu politik, Northern
Illinois University, di Dekalb, Illionis. Seperti kebanyakan santri lainnya,
saya tak pernah membayangkan sebelumnya akan belajar di negeri Paman Sam.
Sebuah peristiwa
seringkali memiliki akar-akar musabab yang menghunjam jauh ke masa silam.
Ketika masih nyantri di Pondok Pesantren Pabelan, mimpi Amerika tak
pernah hadir secara gamblang. Ia baru saya sadari belakangan, ketika saya coba
menyusun penggalan-penggalan kenangan di Pabelan. Dalam kilas balik itu, mimpi
Amerika saya temukan tautannya dengan berbagai momen pengalaman menjadi santri
di Pondok Pabelan belasan tahun lampau.
Pesan Kiai Najib di
Khutbah Iftitah itu adalah momen yang paling awal. Tapi wejangan itu tak hanya
muncul sekali itu. Kiai Najib menyampaikan pesan serupa dalam
ceramah-ceramahnya di kuliah Subuh, Khutbah Wada’ (khutbah akhir tahun atau
perpisahan), dan berbagai kesempatan lain. Dan memang, wejangan yang
disampaikan secara terus-menerus dan berulang-ulang itu jadi tak mudah
dilupakan. Di mata kami para santri, Kiai Najib memang sosok kiai sekaligus
motivator hebat. Pidatonya lugas dan runut. Intonasi bicaranya lembut namun
tegas. Ditambah lagi, ia pandai menyelipkan bumbu cerita dalam ceramahnya. Semua
itu membuat pesan-pesannya tak membosankan, mudah dicerna, dan terus diingat.
Pabelan
dan Imajinasi Pesantren di Jawa
Mengenal beberapa
contoh profil alumni lewat ceramah Kiai Najib itu jadi fase penting dalam
kehidupan saya sebagai santri Pabelan. Saya makin yakin bahwa nyantri di Pabelan adalah pilihan yang
tepat. Keyakinan itu membuat saya mampu bertahan terpisah dari keluarga.
Magelang terpaut jarak lebih dari 1000 km dari Palembang, tempat saya lahir dan
dibesarkan. Belajar tentu jadi tak nikmat jika saya menjalani hari-hari penuh
penyesalan dan tekanan karena salah ambil keputusan. Untungnya itu tidak
terjadi.
Menjadi santri
pesantren di Jawa adalah dorongan pribadi saya sejak awal. Saya dan mungkin
juga banyak santri lainnya, memang sebelumnya tak pernah tahu seperti apa dan
bagaimana sosok Pondok Pabelan sesungguhnya. Pabelan adalah pilihan berdasarkan
tawaran yang disodorkan ke saya oleh bapak saya.
Ketika masih belajar
di Pesantren Ar-Riyadh Palembang, saya membayangkan bisa mondok di Jawa, di sebuah pesantren yang asri di tengah desa dengan
lingkungan yang damai dan jauh dari hiruk pikuk kota. Saudara bapak di
Purworejo sempat mengantar ke Pesantren Assalaam, Pabelan, Sukoharjo, Jawa
Tengah. Tapi pesantren ini tidak sesuai dengan bayangan saya ketika itu. Fisik
dan bangunannya terlalu megah dan modern. Lalu saya diantar ke Pondok Pabelan
di Magelang. Berbeda dari sebelumnya, kali ini saya menjumpai sebuah pondok modern
dengan lingkungan yang masih hijau. Gedung-gedung kelas dan asrama yang
sederhana mengelilingi sebuah masjid tua yang tampak anggun. Beberapa bangunan gedhek juga masih dipertahankan.
Perpaduan yang serasi
antara arsitektur modern dan tradisional itu membuat saya langsung tertarik.
Bagi saya ketika itu, Pabelan adalah perwujudan imajinasi saya tentang sebuah
pesantren di Jawa. Fisik pondok yang selaras dengan lingkungan pedesaan
terlihat jelas dari keterbukaan Pondok. Selain menyatu dengan lingkungan desa
Pabelan, Pondok dibelah oleh jalan umum yang digunakan warga desa untuk
beraktivitas. Tak ada pagar keliling yang membatasi Pondok dengan rumah warga
sekitar. Para santri bisa berbelanja ke warung-warung di sekitar pesantren
untuk barang-barang yang tidak tersedia di koperasi Pondok.
Keterbukaan itu tidak
hanya tercermin secara fisik. Materi-materi pelajaran yang diterima santri juga
jauh dari eksklusivisme. Kami diperkenalkan kitab Bidayatul Mujtahid, sebuah kitab fikih perbandingan karya filsuf
dan pemikir Muslim Ibnu Rusyd. Para kiai selalu mengingatkan bahwa Pondok tidak
condong pada salah satu aliran, ormas Islam, apalagi partai politik tertentu.
Kami juga selalu diceritakan tentang persahabatan Kiai Hamam Jakfar dengan Romo
Mangunwijaya.
Pabelan
dan Jendela Dunia
Di Pabelan,
pengetahuan tak hanya saya peroleh dari kelas. Meski penting, ia bukan
satu-satunya tempat saya menimba ilmu dan wawasan. Kelas kedua saya di Pabelan
adalah perpustakaan. Mungkin karena fungsinya yang sentral itu, Kiai Hamam mendirikan
perpustakaan di tengah-tengah pesantren. Di Amerika pemandangan serupa juga
saya temukan, di mana perpustakaan umumnya dibangun di tengah areal kampus dan
menjadi jantung bagi proses transmisi pengetahuan.
Saya kemudian
mengenal lebih jauh beberapa nama alumni Pabelan yang kerap disebut Kiai Najib
lewat buku-buku karya mereka yang tersimpan di Perpustakaan Pondok. Komaruddin
Hidayat yang belakangan pernah menjadi Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta adalah pemikir dan penulis prolifik yang di tahun
1990-an telah menelurkan sejumlah buku tentang visi keislaman dan
keindonesiaan. Dekade 1990-an, Bahtiar Effendy yang belakangan pernah menjadi
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta adalah analis
politik yang pikiran-pikirannya menghiasai banyak koran dan majalah. Kedua
orang ini menjadi ikon intelektual Muslim saat itu: anak desa, lulusan
pesantren, memperoleh gelar doktor di luar negeri, dan produktif menulis. Saat
itu, saya baca tulisan-tulisan mereka dengan kagum.
Tak hanya itu,
perpustakaan pondok membuka mata saya pada dunia. Berbagai pengetahuan baru
saya peroleh lewat koleksi perpustakaan yang kaya dan beragam. Momentum itu
makin terasa ketika saya dipercaya menjadi pustakawan perpustakaan pondok. Saat
itu, pengelolaan perpustakaan diserahkan sepenuhnya kepada santri. Setiap tahun
pengurus senior melakukan perekrutan dan pelatihan pustakawan baru. Saya di
antara yang terpilih ketika itu. Salah satu keuntungan menjadi pustakawan
adalah saya bisa leluasa masuk ke perpustakaan, meminjam buku apa saja, serta
mengeksplorasi setiap koleksi perpustakaan.
Kesempatan itu tidak
saya sia-siakan. Saya lalu menggunakannya untuk membaca buku-buku yang menurut
saya menarik mulai dari pemikiran Islam, sastra, sejarah, politik, sampai
biografi. Di perpustakaan itu saya bisa membaca karya-karya Hamka, Rendra,
Goenawan Mohamad, Muhammad Iqbal, Jalaluddin Rumi, Kahlil Gibran, Doestoyevski,
hingga Nietszche. Saya juga membaca biografi Soekarno, Tjokroaminoto, Gandhi,
Nasser, Mussolini, Castro, dan para tokoh dunia lain. Dan tentu saja, saya
menemukan karya-karya intelektual Muslim seperti Nurcholish Madjid dan
Abdurrahman Wahid, selain Komaruddin Hidayat dan Bahtiar Effendy.
Koleksi koran dan
majalah seperti Kompas, Tempo
dan Panji Masyarakat juga menghiasi perpustakaan pondok. Suatu ketika,
saat sedang membaca koleksi majalah lama, saya menemukan sebuah esai—jika tidak
salah di Majalah Tempo—tulisan Bahtiar Effendy tentang pengalamannya
menjadi peserta AFS (American Field
Service). Ini adalah Program Pertukaran Pelajar yang memberi kesempatan
kepada anak SMA yang terpilih untuk belajar di Amerika. Bahtiar waktu itu masih
kelas dua setingkat SMA di Pabelan dan memperoleh kesempatan belajar setahun di
Amerika. Ia cerita tentang berbagai tantangan yang harus ia hadapi sebagai
pelajar internasional di Amerika dan keseharian hidup yang ia jalani. Esai itu
memuat gambarnya ketika sedang main tenis.
Tulisan itu sempat
membuat saya tergerak ingin mendaftar jika program AFS kembali ditawarkan di
Pabelan.Tapi sayangnya, hingga saya tamat pada tahun 2000, program AFS tak
pernah saya dengar. Mungkin karena sejak 1997 Indonesia sedang kacau dihantam
krisis ekonomi serta dalam transisi menuju demokrasi. Ketika sedang kuliah di UIN
Jakarta, saya sempat mendengar bahwa ada beberapa santri yang memperoleh
kesempatan dikirim ke Amerika lewat program AFS. Sesuatu yang dulu pernah saya
impikan.
Pabelan
dan Kebebasan
Meski para kiai kerap
menyebut beberapa contoh alumni dalam nasihatnya, tak ada sedikit pun anggapan
bahwa satu profesi lebih baik dari lainnya. Di Pabelan inilah justru saya
menemukan kebebasan berpikir dalam arti yang sesungguhnya. Tak ada ideologi yang
ditanamkan, juga tak ada doktrin yang dibenamkan dalam pikiran santri. Mereka
bisa belajar dan mempelajari apa saja selama di Pabelan. Ada banyak kegiatan
ekstrakurikuler yang bisa diikuti di luar kelas. Selain olahraga dan pramuka,
ada teater, musik, bahasa, drumband, jurnalistik, dan lain-lain yang bisa
dipilih secara bebas. Para santri bisa memilih kegiatan ekstrakurikuler sesuai
dengan minatnya tanpa ada batasan berapa pun jumlahnya. Cara ini mendorong para
santri untuk menemukan minat dan bakatnya sebaik-baiknya.
Jiwa dan pikiran
bebas memang menjadi fondasi pembelajaran. Segera setelah menjadi santri, kami
diperkenalkan Panca Jiwa Pondok
(Keikhlasan, Kesederhanaan, Ukhuwah Islamiyah, Berdikari, Bebas) dan Motto Pondok (Berbudi Tinggi, Berbadan
Sehat, Berpengetahuan Luas, Berpikiran Bebas). Bagi saya, Panca Jiwa dan Motto
Pondok adalah semangat hidup yang menjadi dasar bagi semua pencarian jatidiri
dan pengembangan minat selama di Pabelan.
Suasana jiwa bebas
dan berpikiran bebas benar-benar saya rasakan di Pabelan. Saat menjadi ketua
pengurus Organisasi Pelajar Putra (OPP) Pondok Pabelan, saya bersama-sama para
pengurus lain dapat leluasa membuat program kerja untuk kegiatan harian santri.
Para kiai hanya memberi arahan dan bimbingan di awal. Dan setelah program kerja
selesai kami rapatkan, Kiai tinggal memeriksa dan memberikan persetujuan.
Hal serupa saya alami
ketika saya menjadi Pemimpin Redaksi Buletin DIALOG. Tidak pernah ada
intervensi dari kiai dalam menentukan headline,
reportase, dan isi setiap edisi. Tak ada sama sekali arahan apa yang boleh dan
tidak boleh. Apalagi sensor, sama sekali tak ada dalam kamus kehidupan di
Pabelan. Pengelola buletin dengan leluasa menentukan berita-berita apa saja
yang akan dimuat dan artikel-artikel apa saja yang akan diterbitkan. Saya
merasa Kiai menganggap bahwa para santri dewasa sudah bisa menilai baik dan
buruk, dan memutuskan mana yang positif dan negatif. Di atas semuanya,
keleluasaan itu adalah bagian dari jiwa bebas yang menjadi sokoguru pendidikan
di Pabelan.
Aktivitas di buletin
DIALOG itu adalah salah satu yang membuat saya merasa beruntung bisa nyantri di Pabelan. Sejak SD saya sudah
tertarik dengan dunia tulis-menulis. Di Pabelan saya memperoleh lingkungan yang
mendukung pengembangan minat itu. Muhammad Nasirudin, guru bahasa Indonesia
yang menjadi mentor kegiatan jurnalistik santri ketika itu, menjadi inspirasi
minat saya itu. Tulisan-tulisannya kerap terbit di harian Republika dan koran Kedaulatan
Rakyat. Beliau yang membimbing saya dan teman-teman jurnalis santri di
buletin DIALOG, mengajarkan cara menulis yang benar. Setiap kali terbit edisi
DIALOG terbaru, beliau orang pertama yang kami tunjukkan dan beliau selalu
senang menerimanya.
Suatu waktu beliau
cerita, “Ketika saya tunjukkan buletin
kalian ke teman-teman saya, mereka bilang ini bagus sekali.” “Padahal,” demikian ujarnya ke koleganya,
“Saya tidak banyak intervensi. Mereka
berkreasi, dan melakukan improvisasi sendiri.”
Bukti paling nyata
dari jiwa dan pikiran bebas saya rasakan pada acara ulang tahun Pondok Pabelan
tahun 2000. Di acara dirgahayu pondok terbesar yang saya alami saat masih nyantri itu, saya berkenalan dengan banyak
alumni dari berbagai generasi dan daerah. Mereka juga berasal dari berbagai
latar belakang profesi, seperti akademisi, pegawai negeri, pengusaha, jurnalis,
pekerja seni, hingga aktivis lembaga swadaya masyarakat. Keragaman alumni jadi
bukti bahwa santri bisa menjadi apa saja tergantung minat dan cita-citanya. Karena
itu pula, acara ulang tahun pondok itu tak melulu berisi seminar. Sejumlah alumni
tampil bermain musik, menyanyi, bahkan melawak. Mereka adalah bukti bahwa
Pondok Pabelan menciptakan alumni yang beragam dan mampu berkiprah di masyarakat.
Bagi saya, perjumpaan
dengan alumni jadi momentum pemompa semangat. Dalam satu sesi seminar di acara
itulah saya jadi mengenal Ali Munhanif yang baru saja menyelesaikan studi
masternya di Amerika. Beliau bercerita tentang pengalaman lucunya ketika baru sampai
di Amerika dengan bahasa Inggris yang belum lancar. Sayang, waktu itu saya tak sempat berkenalan dan berbicara lebih lanjut
dengannya. Namun, tanpa saya duga saya kemudian bertemu
lagi dengannya di UIN Jakarta. Beliaulah di antaranya yang terus memotivasi dan
membantu saya untuk memperoleh beasiswa ke Amerika.
Kuliah di UIN Jakarta
Selepas tamat dari
Pabelan, saya memutuskan kuliah di UIN Jakarta. Kampus ini memang menjadi
tujuan utama para santri yang ingin kuliah di luar Yogyakarta. Banyak alumni yang
lulus dari UIN Jakarta kemudian menjadi dosen di almamater itu.
Pilihan ke Jakarta
sesungguhnya atas dorongan Kiai Muh Balya. Ketika menghadap beliau untuk pamit,
beliau berpesan “Kalau kamu mau kuliah
pilihlah universitas di Jakarta, jangan di Yogya.” Selain memberi contoh
alumni lulusan kampus Jakarta yang banyak berkiprah di pentas nasional, beliau
mengatakan bahwa Jakarta adalah ibukota yang membuka banyak peluang dan akses
informasi. Pesan ini saya ikuti, meski banyak teman seangkatan memilih kuliah
di Yogya.
Kiai Balya adalah
intelektual Pabelan. Di rumahnya ia memiliki perpustakaan pribadi.
Pengetahuannya luas, khususnya pemahamannya terhadap sejarah Indonesia. Itu
mengapa saya memilih kelas IPS ketika harus mengambil jurusan di kelas tiga Aliyah.
Beliau menginspirasi saya untuk mencintai ilmu sejarah.
Saya sering bertemu
dengan Kiai Balya di rumahnya untuk sekadar ngobrol dan meminta wejangan. Saya
juga kerap mewawancarai beliau untuk keperluan liputan buletin DIALOG. Bertemu
dengan Kiai Balya selalu menarik dan memberi energi baru pada motivasi belajar
saya. Gaya bicaranya berapi-api, penuh semangat, keyakinan, dan optimisme. Wawasan
beliau luas, membuat beliau bisa bicara banyak hal. Beliaulah yang seringkali
meladeni wartawan atau mahasiswa yang ingin mencari tahu tentang Pabelan, atau
menanyakan respons Pondok Pabelan atas isu-isu tertentu.
Inspirasi dari Kiai
Balya pula di antaranya yang mendorong saya mengambil jurusan Sejarah Peradaban
Islam (SPI) di UIN Jakarta. Dalam beberapa hal, belajar sejarah seperti
melanjutkan bacaan-bacaan yang pernah saya baca ketika di Pabelan. Minat yang
tumbuh di Pabelan itu dikembangkan dan diperdalam di UIN Jakarta.
Selain itu, interaksi
dengan para dosen lulusan Eropa dan Amerikadi jurusan sejarah itulah yang membangkitkan
kembali lintasan-lintasan motivasi yang pernah muncul waktu di Pabelan. Perlahan-lahan
saya memimpikan untuk dapat melanjutkan studi ke luar negeri. Di tambah lagi,
semasa kuliah ini saya aktif di kelompok diskusi bernama Forum Mahasiswa Ciputat
(Formaci) di mana banyak aktivisnya yang melanjutkan kuliah ke luar negeri.
Motivasi belajar ke Amerika semakin menguat.
Menjelang tamat
kuliah, penguji skripsi saya, Dr. Jajat Burhanudin, menawarkan saya untuk
menjadi asisten peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN
Jakarta. Ini adalah salah satu lembaga penelitian terkemuka di bawah UIN
Jakarta di mana banyak intelektual UIN Jakarta menjadi peneliti utamanya. Saya
tak pernah berpikir sebelumnya akan memperoleh kesempatan seperti itu. Yang
paling pokok, beraktivitas di lembaga penelitian ini membuat motivasi saya
untuk melanjutkan kuliah terus terjaga.
Yang juga tak kalah
penting, di lembaga penelitian inilah saya jadi kenal lebih dekat beberapa
alumni Pabelan yang sebelumnya hanya saya kenal namanya, baik ketika masih di
Pabelan maupun setelah kuliah. Selain Bahtiar Effendy, di PPIM saya bertemu
dengan Jamhari Makruf, Ali Munhanif, dan Hendro Prasetyo. Lulus dari UIN
Jakarta, mereka menjadi dosen di almamater ini dan menjadi peneliti di PPIM.
Pendidikan pascasarjana mereka peroleh dari kampus-kampus di Amerika, Kanada,
Eropa, dan Australia.Nama-nama yang dulu kerap saya dengar lewat
wejangan-wejangan Kiai Najib itu, kini jadi senior dan kolega saya di PPIM UIN
Jakarta. Mereka terus mendorong saya untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri.
Demikiankah,
pengalaman-pengalaman selama di Pabelan turut membuka jalan saya untuk
melanjutkan studi di Amerika. Tahap ini jadi fase lanjutan dari perjalanan
mencari pengetahuan, setelah sebelumnya nyantri
di Pabelan lantas kuliah di UIN Jakarta.
Ada satu syair Imam
Syafi’i dari pelajaran mahfuzhat di
Pabelan yang terus lekat dalam memori: “Merantaulah,
kau akan mendapatkan ganti dari kerabat dan kawan yang kau tinggalkan; bekerja
keraslah karena manisnya hidup hanya terasa setelah lelah berjuang … Singa tak
akan pernah dapat mangsa jika tak meninggalkan sarang; anak panah tak akan
pernah mengena sasaran jika tidak meninggalkan busur.” Para
kiai dan guru-guru di Pabelan selalu mengingatkan kami santri-santrinya untuk
berani menghadapi hidup, meninggalkan kampung halaman, keluar dari zona nyaman,
demi mencari ilmu seluas-luasnya dan setinggi-tingginya. Pesan yang akan selalu
saya ingat.
Gabungan
Pesantren dan Madrasah
Miftahussa’adah
Ketika saya diberitahu oleh kakak
saya, Drs. Nurhamid Effendi –staf guru Pondok Pabelan- bahwa saya diminta untuk
menuliskan kesan-kesan selama menjadi santri di Balai Pendidikan Pondok
Pesantren Pabelan guna penerbitan buku dalam rangka peringatan 50 tahun
berdirinya balai pendidikan tersebut, saya merasa mendapatkan tugas berat
mengingat saya belum dapat memberikan kontribusi yang berarti baik untuk pondok
sendiri maupun untuk masyarakat yang lebih luas. Begitupun untuk merangkai
kenangan yang terbingkai dalam pikiran dan menuangkannya dalam sebuah tulisan
adalah juga hal yang tidak mudah. Namun demikian, saya berusaha untuk mengurai
satu persatu kesan-kesan yang sudah hampir 15 tahun mengendap.
Saya adalah satu-satunya anak
perempuan dalam keluarga, bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakak saya menyelesaikan
pendidikan menengahnya di sekolah umum. Ketika saya lulus dari SDN Pabelan I,
orang tua saya, terutama ibu saya, bersikukuh untuk menyekolahkan saya di
Pondok Pabelan. Padahal sebelumnya saya dan ibu sudah sempat ngobrol dan sepakat bahwa saya boleh
meneruskan pendidikan di sekolah menengah umum. Entah mengapa begitu saya lulus
SD, ibu tiba-tiba berubah pikiran dan mendaftarkan saya di Pondok Pabelan.
Mungkin karena saya adalah satu-satunya anak perempuan sehingga ibu dan bapak
ingin saya tetap dalam pengawasan, mungkin juga karena mereka ingin saya
memiliki bekal ilmu agama untuk masa depan saya. Paklik dan Bulik saya, Dr.
Hj. Juwariyah, Dr. H. Mahfudz Masduki, dan Drs. H. Mahsun Masduki, yang
semuanya juga merupakan alumni Pondok Pabelan, sangat mungkin juga merupakan
inspirasi bagi orang tua saya sehingga saya dimasukkan ke Pondok Pabelan.
Saya mulai terdaftar sebagai santri
Pabelan padan tahun 1994, setahun setelah wafatnya K.H. Hamam Dja’far. Karena
saya asli berasal dari desa Pabelan, maka seperti santri-santri melaju yang
lain, saya tidak tinggal di asrama. Kegiatan saya sebagai santripun relatif
tidak terlalu padat. Kegiatan formal pembelajaran dikelas dimulai pukul
07.00-12.00 dan dilanjutkan pukul 13.30-15.00. Khusus hari Kamis, pembelajaran
di kelas selesai pukul 11.00 yang dilanjutkan dengan kegiatan amal – membersihkan
lingkungan Pondok - bersama-sama sampai sekitar pukul 12.00. Pada hari Kamis
itu pula kegiatan ekstra kurikuler berupa pramuka dilaksanakan dari pukul
13.00-16.00. Kegiatan Pondok yang merupakan ciri khas dan membedakan dengan
institusi pendidikan umum adalah Muhadhoroh.
Dari kegiatan inilah kami, baik santri berasrama maupun santri melaju,
ditempa untuk dapat menjadi pribadi yang percaya diri ketika harus berbicara,
menyampaikan ide pemikiran di depan audiens, walaupun saat itu audiens masih
sebatas teman sebaya. Dari ajang muhadhoroh
ini pulalah saya merasa bahwa kemampuan berbahasa asing saya, yaitu Bahasa
Arab dan Bahasa Inggris, mulai terasah.
Bagi saya, tahun pertama di Pondok
merupakan tahun adaptasi, penyesuaian diri dari dunia pendidikan dasar ke
pendidikan menengah. Pada rentang waktu inilah saya mulai belajar subyek-subyek
baru, termasuk bahasa Arab dan Bahasa Inggris, dengan dibimbing oleh mbak-mbak guru, yaitu santri putri
senior yang telah menyelesaikan pendidikan formal sampai dengan kelas enam (
kelas III MA) di pondok. Sebuatan mbak
guru ini awalnya bagi saya terdengar cukup aneh. Namun, justru dengan
istilah ini, saya merasa jarak antara saya sebagai murid dan mbak guru sebagai pengajar menjadi tidak
begitu jauh. Secara psikologis saya merasa mereka tidak seperti guru formal
yang biasanya mengambil jarak dengan muridnya, tetapi mereka juga berperan
sebagai kakak yang membimbing adik-adiknya dalam naungan sebuah keluarga
bernama Pondok Pesantren Pabelan. Selain karena kegiatan muhadhoroh, saya juga menemukan minat saya dalam belajar Bahasa
Inggris pada masa ini.
Saat itu, untuk pertama kalinya saya
belajar Bahasa Inggris dengan dibimbing oleh
mbak Mudzakiroh, salah seorang mbak guru yang sedang membuktikan
pengabdiannya kepada pesantren dengan jalan praktik mengajar. Hari demi hari
dengan penuh kesabaran beliau membimbing sekaligus memupuk motivasi akan arti
penting penguasaan Bahasa Inggris untuk bekal masa depan. Hingga tak terasa
masa pengabdiannya selesai, sedangkan pemahaman saya pun belum seberapa.
Mungkin beliau paham akan kegalauan
dan rasa penasaran saya terhadap Bahasa Inggris, sehingga sebuah buku grammar self study diberikan oleh mbak Mudzakiroh kepada saya ketika
beliau hendak meninggalkan pondok. “Semoga
ini bisa menjadi teman belajarmu” Begitulah kira – kira yang beliau
katakan. Dari titik tolak buku pegangan mbak
Mudzakiroh itulah saya mulai terbuka untuk belajar Bahasa Inggris dengan lebih
serius didampingi kakak – kakak dan dengan bimbingan guru-guru senior di Pondok
Pabelan. Bekal kemampuan berbahasa Inggris inilah yang di kemudian hari
mempermudah jalan saya ketika saya mencoba apply
beasiswa dari pemerintah Australia.
Mata pelajaran lain yang baru saya
dapatkan ketika belajar di Pondok adalah mahfudlot.
Subyek ini mengajarkan tentang kata mutiara, peribahasa dalam bahasa Arab
yang mengandung nilai-nilai kebijaksanaan dalam hidup. Saat ini, baru saya
tahu. ciri sekolah modern yang berkarakter hebat pastilah mengajarkan mahfudlot, dan, Pabelan telah
mengajarkannya sejak awal berdirinya, 50 tahun yang lalu.
Masih seputar mahfudlot. Ketika saya mulai
terjun ke dunia yang sebenarnya, dalam kehidupan bermasyarakat, saya mendapati
dan baru dapat meresapi bahwa nasehat-nasehat yang diungkapkan dalam
peribahasa-peribahasa mahfudlot tersebut
memang benar-benar berlaku dalam kehidupan manusia baik sebagai individu maupun
sebagai makhluk sosial. Pada rentang waktu 2006-2008 saya berkesempatan untuk
melanjutkan studi pada jenjang master di Flinders University South Australia
dengan beasiswa dari AUSAID. Salah satu topik yang saya ambil adalah Knowledge Management. Topik ini membahas
tentang pengelolaan pengetahuan yang salah satu strateginya adalah dengan knowledge sharing atau berbagi
pengetahuan. Dalam kelas itu seketika saya teringat dengan salah satu mahfudlot yang pernah saya pelajari di
Pondok yaitu ‘al-ilmu bilaa ‘amalin ka
assyajari bilaa tsamarin’. Bukankah knowledge sharing itu kurang lebih selaras
dengan konsep mahfudlot tadi? Disiplin ilmu Knowledge
Management baru dirintis sekitar dekade 80-an, sedangkan para pujangga
Islam telah menuliskan kata bijak tersebut ratusan tahun yang lalu. Saya
menjadi merasa sangat beruntung telah berkesempatan belajar mahfudlot di Pondok Pabelan.
Sejak didirikannya pada tahun 1965,
Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan memang tidak pernah meminta iuran
pendidikan dari santri-santrinya yang asli berasal dari Pabelan. Kegiatan yang
bisa dikatakan sebagai sebentuk kecil usaha balas jasa serta khidmah para santri melaju pada pondok
adalah dengan diadakannya kanis atau
kegiatan amal dengan membersihkan, menyapu lingkungan pondok sehabis shubuh.
Setiap pagi, selepas sholat shubuh, para santri melaju putri yang dibagi
menjadi tiga area, Pabelan Utara, Pabelan Tengah, dan Pabelan Selatan, berbagi
tugas untuk menyapu halaman masjid, halaman rumah kyai, dan jalan utama pondok.
Hal ini adalah salah satu hal yang secara pribadi sangat berkesan bagi saya. Bagaimana tidak, di pagi buta yang
masih gelap dan berembun, belum lagi kalau gerimis menyertai, kami,
santri-santri melaju putri dengan memakai seragam putih dan jilbab yang khas,
berbondong-bondong membentuk barisan berderet-deret, meninggalkan jejak kaki
dan goresan sapu lidi yang tergambar rapi di halaman masjid dan didepan rumah
kyai. Kegiatan tersebut selalu kami lakukan dengan langkah yang ringan dan hati
yang senang. Hal lain yang mungkin bisa
dianggap sebagai proses khidmah para
santri putri melaju adalah kegiatan pada hari raya Idul Fitri. Setiap kali
Lebaran tiba, pada hari pertama sampai hari ketujuh, para santri putri melaju
yang duduk di kelas lima dan enam (II dan III MA) bergantian berjaga di rumah kiai
untuk melayani tamu yang datang dengan menghidangkan minuman dan makanan kecil.
Secara tidak langsung di sini kami mendapatkan pendidikan toto kromo, bagaimana bersikap baik ketika menerima tamu.
Menginjak kelas lima (II MA), kami
santri melaju baru diwajibkan untuk tinggal di asrama. Bersama dengan
teman-teman seangkatan yang memang sudah berasrama sejak awal, kami diberi
tugas untuk mendampingi adik-adik kelas. Secara personal, bagi saya tugas ini
adalah tantangan yang besar. Sebelumnya sebagai bungsu dalam keluarga, hampir
segala kemauan saya dapat dipenuhi. Bukan dalam hal materi, namun lebih pada
kemauan yang bersifat prinsip kebiasaan. Sebagai contoh, ketika ujian tiba,
maka di rumah, saya akan melahap semua materi ujian sejak dari waktu pulang
sekolah sampai dini hari (SKS:Sistem
Kebut Semalam). Saya sadar bahwa cara belajar seperti ini sebenarnya tidak
baik. Tapi seperti itulah saya selalu melewati ujian sekolah. Karena
membutuhkan konsentrasi penuh, maka ketika saya belajar, saya menjadi sangat
egois. Orang tua dan kakak-kakak saya harus mau mengalah dengan menjaga
ketenangan, tidak boleh mengobrol dan
menyalakan televisi terlalu keras. Maka, ketika saya harus tinggal di asrama,
saya ‘terpaksa’ harus belajar untuk tidak egois dan berbaur dengan teman-teman
sekamar dan merubah kebiasaan saya. Suatu saat, ujian sekolah tiba dan saya
sudah harus tinggal di asrama. Dilematis untuk saya karena, di satu sisi saya
ingin benar-benar belajar dan butuh keheningan, tapi di sisi lain saya harus
beradaptasi dengan kondisi kamar yang tentu saja tidak bisa sesuai dengan
harapan saya pribadi. Di samping itu, peraturan yang ada mengharuskan lampu
kamar sudah dipadamkan pada pukul 11.00. Padahal belum seberapa materi yang
saya baca. Di hari yang lain saya berinisiatif untuk menyalakan lilin ketika
lampu sudah dipadamkan dan teman-teman sudah tidur. Namun ternyata hal tersebut
juga bukanlah solusi terbaik, karena penjaga malam (bulis) menggedor pintu kamar dan mengingatkan untuk memadamkan
lilin. Semenjak itulah kemudian sedikit demi sedikit saya mencoba untuk merubah
kebiasaan belajar ala SKS. Puncaknya,
pada ujian EBTANAS, walaupun tidak bisa mendapatkan hasil yang maksimal, tetapi
Alhamdulillah saya dapat lulus dan
masuk peringkat tiga besar terbaik.
Kegiatan-kegiatan santri putri yang
tidak terlalu jauh berbeda dengan kegiatan santri putra mengisyaratkan bahwa
pondok memberikan kedudukan yang setara antara santri putra dan santri putri.
Santri putri juga diberikan kekebasan untuk berkreasi. Setiap akhir tahun, para
santri diberikan kesempatan untuk berkreasi dan berekspresi dalam sebuah ajang
pentas seni. Dalam wadah inilah bakat seni para santri diakomodasi. Santri tidak
hanya berekspresi dalam seni yang bersifat religious, namun juga dalam balutan
budaya pop modern. Di sini terlihat bahwa Pondok Pabelan tidak resisten
terhadap kultur modern. Balai pendidikan ini mendidik santrinya untuk bersikap
terbuka terhadap perubahan dan modernitas, mengambil nilai positif yang
dikandungnya dengan tetap menyiapkan filter
bagi hal-hal negatif yang mungkin dibawanya. Namun demikian, pondok juga tetap
menekankan bahwa nilai spiritualitas, religiusitas serta benteng akidah yang
kuat harus tetap dijadikan pegangan dan pedoman dalam setiap tindakan dan
pengambilan keputusan.
Menurut cerita salah satu alumni
senior, dalam sebuah kesempatan, K.H. Hamam Dja’far pernah mengatakan bahwa
mendidik santri putri berarti mendidik dua generasi, yaitu dirinya sendiri dan
anak-anak serta keluarganya. Kenyataan bahwa santri putri juga diberikan wadah
untuk berorganisasi menunjukkan diakuinya peran mereka sekaligus memberikan
bekal dalam bersosalisai dan bermasyarakat kelak. Nilai berpikiran bebas sebagai
salah satu motto pondok juga memberikan andil bagi terbukanya cakrawala dan
pemikiran para santri putri bahwa tanggung jawab mereka sangatlah besar. Tidak
dapat disangkal bahwa peran perempuan sebagai manajer pengelola rumah tangga
memang tidak dapat tergantikan. Namun, sumbangsih mereka dalam pembangunan
masyarakat juga sangat diharapkan. Pada saat ini, hasil dari pola pendidikan
yang diterapkan oleh pondok Pabelan telah melahirkan perempuan-perempuan
hebat yang mempunyai peran besar dalam
masyarakat.
Secara pribadi, kurun waktu 6 tahun
belajar di Pondok tentunya memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi
pembentukan karakter diri saya mengingat
rentang waktu tersebut adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju
masa remaja. Periode kritis (critical
period) dimana seorang anak mencoba menemukan jati dirinya dan memerlukan
bimbingan untuk membentuk kepribadian, saya lalui dengan menuntut ilmu di
pondok, tentu dengan berbagai macam bumbu problematika khas masa peralihan. Di
pondok jugalah sedikit banyak saya belajar mengenai kepemimpinan dan
berorganisasi. Dalam beberapa kesempatan saya pernah didaulat untuk menjadi
ketua kepanitiaan serta OPP putri melaju. Masih sangat jauh dari sempurna.
Namun sungguh banyak hal yang saya pelajari dari amanah-amanah yang diberikan
kepada saya tersebut.
Dalam usianya yang telah memasuki 50
tahun, Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan telah melahirkan ribuan alumni yang sukses dalam
berbagai bidang dan tersebar diseluruh penjuru nusantara. Jumlah alumni yang
sangat besar ini tentu saja merupakan aset luar biasa bagi Podok maupun bagi
sesama alumni. Jaringan yang luas yang mencakup multidimensi karier dalam
segala lini kehidupan serta profesionalime para alumninya sangat layak untuk
dipandang sebagai kekuatan internal yang selanjutnya dapat membantu
pengembangan mutu pondok di masa mendatang serta peningkatan kualitas alumni
secara umum. Berkaitan dengan jaringan alumni yang luas ini, dalam fase
kehidupan saya selanjutnya, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi
di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga) pada fakultas
Tarbiyah. Di perguruan tinggi ini saya bertemu dengan dosen-dosen alumni Pondok Pabelan yaitu Drs. H. Zainal
Arifin Ahmad, M.Ag dan Dr. Radjasa
Mu’tasim, M.Si. Melalui beliau berdualah jalan saya untuk melanjutkan
pendidikan master menjadi terbuka. Dengan nasehat dan bimbingan beliau berdua
saya dapat melampaui tahapan-tahapan seleksi beasiswa Australia Partnership Scholarship.
Hal ini hanyalah contoh kecil betapa jaringan alumni Pondok Pabelan
sangatlah masif dan dapat saling memberikan kemanfaatan dalam rangka
pengembangan diri. Dan tentu saja masih ada beribu-ribu alumni Pabelan lainnya
yang bertebaran di seluruh penjuru Indonesia bahkan di luar negeri yang sedia
untuk saling memberikan support dan
kemanfaatan bagi kebaikan bersama.
Pada masa kini Balai Pendidikan
Pondok Pesantren Pabelan berada di bawah pengelolaan badan wakaf dengan tiga
orang pimpinan, yaitu K.H. Drs. Ahmad Mustofa, S.H., K.H. Muh Balya, dan K.H. Ahmad
Najib Amin. Memang ada perbedaaan yang signifikan dalam hal jumlah santri pada
masa kepemimpinan K.H. Hamam Dja’far dengan masa sekarang. Namun, hal ini
tentunya tidak boleh menyurutkan niat dan dedikasi para pengelola untuk tetap
meneruskan cita-cita yang telah dirintis oleh K.H. Hamam Dja’far.
Ciri khas dari sebuah pondok
pesantren adalah adanya sosok kiai yang kharismatik. Ketika orang berbicara
tentang sebuah pesantren yang sukses mendidik para santrinya, maka selalu yang
akan ditanyakan selanjutnya adalah siapakah sosok kiai yang membimbing
pesantren tersebut. Pada masanya, K.H. Hamam Dja’far telah berhasil menancapkan
fondasi kekuatan pondok Pabelan dengan segala nilai toleransi, keterbukaan, dan
kharismanya. Beliau menjadi figur sentral yang mengarahkan segala kebijaksanaan
terkait dengan lembaga. Pun pada masa akhirnya, K.H. Hamam Dja’far juga sedikit
demi sedikit telah mengalihkan fokus kepemimpinan pondok dari tangan beliau
sendiri untuk dikelola secara bersama-sama oleh badan wakaf.
Ketika lembaga dijalankan oleh
sekelompok individu sebagai sebuah organisasi dengan pembagian job description yang beragam, maka
kelemahan yang biasanya terjadi adalah adanya persepsi bahwa “the enemy is out there” (Senge: 2006). Dalam persepsi ini, individu -atau
secara lebih luas kelompok kerja- akan cenderung untuk menyalahkan pihak lain
apabila terjadi ketidakberesan yang
mempengaruhi kinerja maupun produk organisasi secara menyeluruh. Persepsi ini sebenarnya merupakan hasil dari
sebuah keyakinan diri bahwa “I am my
position” (Senge:2006). Dengan keyakinan ini, individu atau kelompok kerja
hanya berfokus pada pekerjaan dan tugas pribadi mereka sehingga yang terjadi
adalah minimnya rasa tanggung jawab atas produk atau hasil akhir institusi. Hal
ini juga terjadi karena cara pandang yang non-sistemik
sehingga masing-masing individu hanya berkutat pada posisi mereka tetapi
tidak dapat melihat arti besar andil mereka untuk suksesnya lembaga.
Persepsi-persepsi tersebut dapat
diubah apabila institusi atau organisasi dapat bertransformasi menjadi organisasi pembelajar yang kuncinya antara lain adalah shared vision (visi bersama) dan system thinking (pemikiran sistemik).
Dalam shared vision, seluruh stakeholder yang terlibat dalam keberlangsungan lembaga
harus mempunyai visi bersama. Bukan sebatas pada visi dan pemenuhan tujuan
individu dan kelompok, namun visi dan tujuan individu harus selaras dan
mendukung tercapainya visi lembaga secara menyeluruh. Ketika segenap individu
yang terlibat dalam organisasi mempunyai visi yang sama, maka mereka akan
saling terhubung dan terikat dalam
sebuah aspirasi bersama, membentuk harmoni serta landasan kesatuan dalam
beragam aktivitas. System thinking pada
saat yang bersamaan juga sangat diperlukan untuk dapat melihat fenomena sebagai
sebuah sistem, gambaran yang utuh. Pola cara pandang sistemik ini menuntut
seluruh anggota organisasi untuk melihat permasalahan secara lebih luas, bahwa ketidakberesan bukanlah hanya karena
kesalahan seseorang atau kelompok kerja tertentu. Umumnya anggota organisasi menganggap
tugas atau pekerjaan mereka adalah untuk ‘mengelola posisi’ mereka, terpisah
dari sistem. Padahal yang dibutuhkan sebenarnya adalah bagaimana posisi
tersebut berperan dan berinteraksi dalam sistem yang lebih luas, dalam hal ini
organisasi yang menaunginya.
Sebagai organisasi pendidikan Islam,
Pondok Pesantren Pabelan, yang sebenarnya merupakan gabungan dua model
pendidikan yaitu pesantren dan madrasah, harus tetap dapat bertahan di tengah
tantangan yang semakin kompleks. Meskipun ciri utama pesantren, yaitu kyai
kharismatik sudah tiada, namun dengan kepemimpinan kolektif kolegial ala
Pesantren Pabelan yang diterapkan saat ini sekaligus dengan penguatan visi
bersama dan pola pemikiran sistemik, saya optimis lembaga pendidikan ini dapat
mengulang lagi masa kejayaannya. Pada akhirnya, saya alumni berharap, apa yang
telah diwariskan dan menjadi amanah K.H. Hamam Dja’far, yaitu Balai Pendidikan
Pondok Pesantren Pabelan, dapat terus jaya, melahirkan alumni-alumni yang
tangguh, yang dengan bekal akidah yang kuat dapat berkiprah dalam pembangunan
bangsa dan negara serta mensyiarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘aalamiin.
Insan
Berdaya Jual Tinggi
Eko Prasetio
Pabelan oh Pabelan. Satu
nama yang tak terlupakan selalu ada di hati
Bermula dari kegalauan orang tua yang
takut kalau saya terbawa arus pergaulan yang tidak baik di Jakarta, diantarlah
saya ke Pabelan setelah lulus dari SMP tepatnya tahun 1996. Entah bagaimana
bisa sampai ke sana karena tidak ada referensi dari siapapun sebelumnya. Saya
yakin Allah SWT telah menuntun saya ke Pabelan dan di sanalah saya harus
diproses, di sanalah saya akan berkembang.
Saya mengakhiri pendidikan di Pabelan
pada tahun 2000 dengan rasa puas. Kepuasan saya saat itu Pabelan telah menjadi
solusi bagi permasalahan saya. Masalah saya beragam dari arti hidup,
kebersamaan, kedisiplinan, memecahkan masalah dengan banyak cara juga kesulitan
merumuskan tujuan. Itu yang saya rasakan saat masih nyantri di Pabelan. Maka saat
pergi meninggalkan pondok untuk kembali ke rumah merupakan hal paling berat
lagi terhebat. Saat itu ada pertempuran dalam hati, ingin menangis, senang,
marah tapi bahagia semua terbungkus dalam haru yang sebenarnya itu adalah
ekspresi kepuasan bagi saya.
Proses Mencari Jatidiri
Saya mencoba bergaul dengan banyak orang
di Pabelan, teman sesama santri, senior, junior dan masyarakat Pabelan asli. Di
sana saya banyak belajar bagaimana menghadapi karakter banyak orang yang saya
coba kenal. Di sana pula saya belajar bagaimana arti pertemanan dan kebersamaan
yang mendalam. Saya sungguh sudah mendapat sangu hidup dalam hal bagaimana
bergaul yang baik. Kongkow di bawah
pohon nangka dekat Ancient dan di
kantin putra adalah tempat favorit kami untuk sekedar berbagi cerita. Keluh
kesah diselingi canda tawa juga yang sedih untuk diakhiri, itu akhirnya
mengakar dalam diri kami para santri. Saya yakin momentum itu ‘ngangeni’ sampai saat ini.
Saat berkunjung ke rumah teman sesama
alumni, kami masih sering ngopi segelas berdua bahkan bisa berlima. Kalau habis
buat lagi dan minum segelas berlima lagi. Terasanya
tuh di sini….! Moment awal yang membuat rasa betah, sebab rasa tidak lagi
sendiri, rasa berkumpul dan semua rasa ter-ladeni.
Semua masalah mendapat aneka solusi, dan rasa sakit yang ada bisa tersembuhkan
hanya dengan obrolan ringan dan penuh canda.
Menemukan Jatidiri
Semakin hari dirasakan semakin nyaman
dan kerasan. Saya ingat yang saya dapatkan saat itu adalah hebatnya kebersamaan,
rasa percaya diri tinggi karena semua orang merasa dihargai dan saling
menghargai satu sama lain. Bagi saya itulah awal proses penemuan jati diri
saya, yang sebelumnya saya tidak mengerti bagaimana harus bersikap dan
bagaimana harus bertindak menghadapi banyaknya permasalahan.Saya ingat pesan
ayah saya,” Kalau kamu belajar, jadilah
seperti spon dan rendahkan hatimu,” kalimat tersebut baru saya sadari
setelah saya masuk Pabelan. Ternyata dengan menjadi spon diharapkan saya bisa menyerap ilmu lebih banyak dan lebih
cepat dan merendahkan hati diharapkan
bisa lebih dihargai dalam pergaulan.
Mulai Mencintai Pabelan
Proses panjang berjalan, semakin hari
saya semakin mencintai tempat tinggal saya. Saya belajar, tidur, makan, berbaur
dan membaur di Pabelan. Sebenarnya awalnya saya sangat tidak mencintai hal yang
beraturan bahkan saya membencinya karena saya selalu melompat-lompat dan tak
beraturan dalam hal berpikir dan bertindak. Saya pikir saya mempelajari hal
baru di sana. Sistem yang diterapkan di Pabelan ternyata mampu membuat banyak
hal yang tidak tertata menjadi tertata, membuat seseorang yang sulit bergaul
menjadi mudah bergaul, membuat seseorang yang berkepribadian tertutup menjadi
ramah. Itulah efek positif sistem pondok yang sangat sulit dipahami tapi
terjadi. Itulah Pabelan.
Kepemimpinan dan pola kehidupan
keseharian yang diciptakan oleh Kiai Hamam begitu mengakar kuat sehingga
menjadikan Pabelan semakin maju di masa kepemimpinan penerusnya yaitu Kiai
Ahmad Mustofa, Kiai Najib dan Kiai Balya. Saya lebih senang menyebut sebagai “Era Kebangkitan Pabelan”. Pada era
tersebut kami merasakan betul dengan masuknya santri yang kembali meningkat, banyak,
juga fasilitas pendidikan yang semakin beragam serta maju. Pola pengajaran lebih
terorganisasi dan penempatan pengajar yang memang tepat di bidangnya. Saya
merasa Pabelan generasi penerus ini is My
New World.
Menurut saya peran ketiga pimpinan
terlihat pada semua aspek dan sistem. Kiai Najib untuk urusan internal Pabelan,
beliau adalah sosok yang humanis, visioner, Tegas dan kharismatik. Saya rasa
sangat cocok peran beliau di dalam pondok karena semua santri membutuhkan sosok
seperti beliau dalam menerapkan ilmu kemasyarakatan di dalam pondok. Seperti
kata bijak “Kebiasaan berawal dari rumah”, jadi santri akan belajar dasar ilmu
bermasyarakat dan berakhlakul karimah berawal dari Pabelan. Kiai Najib
mengajarkan banyak hal tentang bagaimana bersikap dalam pergaulan, bagaimana
menghormati orang yang lebih tua, bagaimana menjalankan suatu kedisiplinan, dan
bagaimana cara memecahkan masalah dengan potensi yang ada, serta setiap
kesalahan pasti ada konsekuensinya.
Beberapa kalimat yang sering saya
ingat : “Kalian belajar di Pabelan,
dengan harapan dapat menjadi pribadi-pribadi yang unggul, karena kalian semua adalah
bintang”. Beliau mengajarkan tentang kepercayaan diri, bahwa kita adalah
bintang di manapun dan kapanpun kita berada, dan mengajarkan bahwa jika belajar
betul di Pabelan maka kita akan menjadi insan yang bermanfaat bagi banyak
orang. “Siapa yang melakukan kesalahan
harus berani tunjuk hidung sendiri dan selalu ada konsekuensi yang harus
dijalani”. Perkataan ini mengajarkan betapa pentingnya sebuah tanggung
jawab yang harus dijalani, dan sebagai manusia yang berakhlak harus berani
mengakui kesalahannya sendiri dan bukan menunjuk orang lain atas kesalahan yang
dibuatnya. “Kesuksesan diawali dengan
sebuah proses panjang yang harus dilalui, salah satunya proses belajar di Pabelan”.
Kalimat ini mengajarkan bahwa kehidupan dan kesuksesan tidak ada yang instan,
semuanya harus berproses, tujuan bukan yang utama tapi yang utama adalah
prosesnya. Menikmati proses sama halnya kita sedang menaiki anak tangga yang
diujung anak tangga tersebut adalah pintu keberhasilan.
Kalimat lainnya adalah: “Bagus itu baik tapi kalo gemagus itu
elek, ayu itu baik tapi kalau kemayu elek”. Kalimat ini begitu familier
mengajarkan kami tentang Akhlak yang baik, tidak boleh sombong dan tidak boleh
berlebihan. “ Semua santri Pabelan itu
ganteng-ganteng, cantik-cantik menurut…. Orang tua masing-masing”. Kalimat
itu lucu dan pasti pada awal mendengarnya membuat kita tersenyum, kalimat
tersebut mengajarkan tentang sebuah sikap percaya diri tinggi sehingga kita
tidak merasa rendah diri di hadapan sesama. “ Jodoh kalian itu bukan yang ada di sini (sambil menunjuk santri
putra/putri yang sedang di masjid) jodoh kalian itu yang sekarang masih SD “. Kalimat
di atas beliau menegaskan bahwa di Pabelan adalah tempat belajar jadi fokuslah
belajar dan selesaikan proses belajar dengan baik, sebenarnya menurut
penafsiran saya sama sekali tidak menyinggung tentang masalah perjodohan, tapi
lain hal yang dimaksudkan.
Kiai Ahmad Mustofa adalah adik dari Kiai
Hamam Dja’far sosok fisik beliau hampir mirip dengan almarhum Kiai Hamam. Sejauh
yang saya tahu beliau berperan sebagai Penasehat serta Pembimbing dalam hal
Etika terhadap santri. Saya merasakan betul beliau adalah sosok yang Tegas,
Disiplin dan Berwibawa. Ada kata-kata beliau yang masih saya ingat: “Orang suka memukul itu, karena kehabisan
cara dan tidak pintar bicara”. Kalimat tersebut mengajarkan kami bahwa
memukul adalah tindakan tidak cerdas, sebenarnya semua masalah bisa selesai
jika kita bisa berpikir cerdas dan gunakan banyak cara selain memukul. “Kepribadian seseorang itu bisa dilihat
dari cara dia menyampaikan sesuatu”. Mengajarkan kami tentang ilmu
psikologi, bagaimana cara cepat mengetahui kepribadian seseorang sebelum
menjalin suatu hubungan.
Kata-kata beliau masih saya pegang
hingga saat ini dalam hal bagaimana mempelajari karakter seseorang sebelum
menjalin sebuah hubungan dalam hal pertemanan dan bisnis. Saya tafsirkan
kata-kata beliau sehingga saat ini saya berhasil mendapatkan banyak teman dan
mitra dalam usaha. Saya juga mengerti bagaimana membaca al-quran yang benar
juga berawal dari beliau. Saat mengajar
membaca al-quran di rumahnya beliau sangat tegas, ”Salah ya salah”, kata beliau. “Sudah
tahu salah kok diulangi”, lanjutnya “Kamu
itu mencoba fokus dulu agar salah terus”. Apalagi saat membaca al-quran
bersamaan dengan santri putri seangkatan. Di situlah strategi beliau untuk
berupaya agar santri yang sudah senior ya harus bisa ngaji. Dengan strategi
seperti itu ternyata membuat saya belajar betul, sebab malu dimarahi terus saat
ada banyak santri putri.
Kiai Balya, mempunyai peran yang penting
di Pabelan yaitu sebagai administrator pusat dan keuangan pondok. Sosok yang sederhana,
low profile dan penuh Ilmu serta cepat
terlihat saat beliau pernah berbicara di dalam forum. Semua masalah yang ada
beliau tanggapi dengan cepat dan lihai sesuai dengan keilmuan yang beliau
miliki. Bicaranya tidak terlalu banyak tapi tepat sasaran. Sedikit yang saya
tahu tentang beliau karena memang jarangnya beliau berinteraksi langsung dengan
santri, tapi saya mengerti karena beliau orang yang sangat disiplin dalam tugas
yang diberikan oleh Kiai Hamam.
Model Pendidikan Pabelan
Salah satu kegiatan yang sangat saya
sukai di Pabelan adalah Pramuka. Ini adalah kegiatan ekstra yang mendidik saya
dalam hal pengembangan fisik dan mental. Dengan digojlok, berdisiplin waktu, juga
berketrampilan dan bersuka ria adalah bagian dari kepramukaan di Pabelan. Saya
lihat dan rasakan pramuka di pondok memiliki banyak nilai lebih daripada
umumnya karena ditambah nilai ukhuwah, akhlak dan patriotisme. Kegiatan yang
satu ini membuat saya menjadi lebih terampil dan cepat memutuskan sesuatu dalam
kehidupan bermasyarakat. Juga sangat berpengaruh dalam kehidupan berumah tangga
dalam hal ber-akhlakul karimah sesama anggota keluarga.
Muhadharah kegiatan yang berpengaruh
terhadap profesi dan karir saya. Saya memutuskan sebagai pesyiar Baitullah yang
tugasnya mengajak lebih banyak orang yang ingin berangkat ke tanah suci untuk menjalankan
Umroh dan Haji tapi terkendala biaya dengan cara mudah. Muhadharah melatih saya
untuk bisa percaya diri, berani berbicara di depan umum serta berimprovisasi
dalam menyampaikan sesuatu. Dulu saya sangat takut mengikuti muhadharah karena
merasa tidak bisa dan canggung berhadapan dengan banyak orang. Dorongan
teman-teman akhirnya saya mau, selalu kegagalan yang saya dapatkan yaitu sorak
kecewa dari para audiens. Tapi tidak gentar walau masih mengalami kegagalan
lebih dari lima belas kali akhirnya saya bisa menguasai panggung/podium. Saya
yakin itu buah dari terus mencoba dan berlatih.
Model pendidikan di Pabelan sangat
berwarna dan beragam. Semuanya bermanfaat dan ada nilai lebihnya masing-masing
jika dibandingkan dengan pendidikan umum yang monoton. Kegiatan ekstrakurikuler
tersebut dapat menambah semangat santri dalam belajar dan menggali potensi yang
ada dalam diri. Terbukti dengan banyaknya kegiatan pendidikan di Pabelan
membuat saya pribadi menjadi lebih betah berada di pondok, minat saya pada
bidang Organisasi dan Komunikasi tergali di sana mungkin karena sistem di
Pabelan yang sudah berhasil membuat saya mengikuti semua kegiatan dengan rasa
senang.
Mendewasakan Diri
Sendiri
Pabelan adalah tempat saya bertumbuh dan
menuju kedewasaan, pikiran dan akal, serta kemandirian. Kehidupan yang saya
jalani saat ini tidak lepas dari pengaruh belajar selama di Pabelan. Setelah
saya keluar dari Pabelan saya lalu bergabung dengan sebuah komunitas bisnis di
Semarang, karena saya sangat senang berhubungan dengan orang, dari segi
komunikasi, teknik pergaulan, teknologi dan penyerapan ilmu dapat menyesuaikan
dengan cepat di manapaun dan kapanpun. Semua tidak lepas dari bimbingan Kiai
Najib yang fokus di dalam pengurusan santri secara langsung. Melalui
perpanjangan tangannya yaitu OPP, saya belajar organisasi secara menyeluruh dan
selalu dimonitor oleh beliau. Dua tahun menjadi OPP dan saya dipercaya menjadi
bagian keamanan di tahun pertama dan di tahun kedua saya dipilih sebagai bagian
kesenian. Di sana saya belajar betul bagaimana mengeksplore kemampuan saya
untuk membangun minat santri dalam hal bermusik saat jadi bagian kesenian.
Saya memiliki pengalaman yang cukup
menggemparkan OPP. Saat itu saya
menduduki seksi kesenian, bermitra dengan dua teman. Saya mengusulkan pengadaan
alat musik (alat band) pada tahun 1998 karena belum ada saat itu. Saya bersama dua
orang teman menghadap ke Kiai Ahmad Mustofa yang saat itu memegang santri putra.
Tanggapan beliau datar saja. Tapi keinginan kami begitu menggebu. Waktu terus
berjalan dan kami mulai melobi Ustadz Abdul Syukur sebagai Kepala MA KMI saat
itu untuk mendukung niatan kami, karena beliau memiliki hobi dalam bermusik. Tanggapan
positif kami dapatkan dari beliau walau masih harus kami perjuangkan ke pak Kiai.
Langkah selanjutnya kami mengumpulkan kuisioner kepada para santri untuk
menuliskan hobi mereka dan apa yang mereka inginkan di dalam pondok. Bagai
gayung bersambut saya melihat banyak santri yang senang di bidang seni, lalu
kertas kuisioner keinginan para santri saya kemas dalam satu amplop besar. Lalu
saya coba kirimkan kepada Kiai Ahmad dan beliau menerima.
Kami tunggu sampai dua minggu belum
ada jawaban. Kami bertemu lagi dengan Ustadz Abdul Syukur untuk mendiskusikan
strategi yang harus kami lakukan. Pak Syukur mendukung kami sehingga beliau
mengatakan, “Nanti malam saya akan
menghadap pak Kiai Ahmad Mustofa dan mencoba membicarakan ini”.
Alhamdulillah saya sangat senang mendengarnya. Malamnya kami menunggu
kedatangan ustadz Abdul syukur dari Nusa damai tempat tinggal kami. Akhirnya
beliau sampai dan sebelum masuk rumah kiai, beliau memberikan jari jempol pada
kami. Cukup lama beliau berbincang, dan kami putuskan untuk belajar di kamar,
sampai-sampai beliau pulang kami tidak melihat.
Besoknya kami segera menemui beliau. ”Pada dasarnya pak Kiai Ahmad setuju, tetapi
belum menjadi prioritas untuk pengadaan alat musik tersebut, kalian sabar saja
tapi terus berusaha” itu yang saya ingat perkataan beliau. Dua tiga bulan
tidak ada realisasi, kami bersemangat lagi untuk melancarkan strategi. Kali ini
saya mengkoordinasi semua ketua kamar untuk datang ke Nusa damai, saya instruksikan
untuk semua santri membuat surat permintaan pengadaan alat musik, dan langsung
mengirimkannya ke kotak pos yang ada di samping rumah Kiai Ahmad Mustofa.
Rencana berjalan lancar sehingga kotak pos penuh bahkan sampai jatuh-jatuh di tanah.
Tentu ini cukup mengundang perhatian beliau.
Walhasil, kami bertiga dipanggil ba’da
magrib, kami berpikir ada jawaban positif ternyata benar, positif dimarahi. Pak
kiai, berkata, “Ini pemaksaan, ini
penggrudukkan,” lalu kami dinasehati. Akhirnya kami menyadari bahwa yang
kami lakukan itu salah. Besoknya kami disuruh menghadap bersama ustadz Abdul
Syukur. Datanglah kami berempat, kami sudah ketakutan tapi ustadz Syukur selalu
bilang “Tenang saja, kalau tidak
diizinkan, tahun depan dicoba lagi”. Kami masuk ruangan dengan keringat
sebesar jagung. Kiai Ahmad datang dengan langkah yang tegas lalu duduk di depan
kami. Kali ini beliau tidak marah tapi menasehati kami, akhirnya keringat
sebesar jagung berubah menjadi sebesar kacang ijo. Ini benar terjadi dan masih
melekat dalam ingatan saya.
Beliau mengatakan pada kami berempat,
“Berapa dana yang dibutuhkan?”, “Coba
dirincikan per item,” lanjutnya. Seperti tidak percaya lalu kami saling
berpandangan satu sama lainnya. Pak Abdul Syukur tersenyum, membuat keringat
tadi mengering dan tubuh menghangat kembali. Lalu kami kembali ke kamar untuk
berdiskusi. Dengan bersemangat kami rinci semua kebutuhannya, lalu menyerahkan
ke pak Kiai Ahmad dan beliau menerimanya. Berselang kira-kira empat bulan alhamdulillah
akhirnya alat musik tersebut datang lengkap satu set, dua gitar listrik, satu
gitar bass listrik dan drum yang saya lupa mereknya. Sayangnya saat alat itu
datang kami sudah tidak lagi di bagian kesenian, sudah regenerasi. Bagian
kesenian yang baru meletakkan alat musik tersebut di salah satu ruang kecil di
gedung presiden.
Ilmu Amaliah bukan Teori
Secara tidak langsung belajar
organisasi di OPP membuat saya mampu menguasai banyak ilmu seperti komunikasi, strategi,
negoisasi, diskusi dan kepemimpinan. Di kehidupan
luar untuk mendapatkan semua ilmu tersebut seseorang harus membayar mahal. Tapi di Pabelan saya dapatkan dengan gratis
dan ilmunya bukan lagi teori tapi praktik langsung lapangan. Itu yang mahal
sedangkan jika kuliah biasanya yang ditempuh selama empat tahun, teori dan
praktek. Ilmu negoisasi atau lobi-lobi sangat diperlukan pada saat seseorang
menjadi pengusaha yang biasanya melakukan bisnis dengan cara bermitra. Saya pernah
terapkan dalam dunia usaha yang saya jalankan hingga saat ini. Dulu di Pabelan
saya belajar bagaimana cara bernegoisasi dengan guru, teman dan sesama anggota
organisasi OPP, saat ini saya negoisasi dengan konsumen, produsen, supplier dan
agen. Memang di Pabelanlah saya belajar semua itu, karena sebelumnya saya tidak
mengetahui apapun aspek di kehidupan nyata.
Pada bidang kepemimpinan atau
leadership pernah saya terapkan pada masa kuliah dan saya dipercaya menjadi
ketua Senat Mahasiswa travel dan perhotelan di salah satu universitas di
Jakarta. Di masyarakat saya juga pernah dipilih menjadi ketua RT. Ini bukan
kesombongan tapi lebih kepada keberhasilan Pabelan dalam mendidikkan ilmunya pada
semua santrinya sehingga saya sering mendengar kesaksian para alumni melalui
media sosial tentang keberhasilan mereka di dalam kehidupan dan bersosial.
Hebatnya kebersamaan yang diciptakan
saat di Pabelan membuat ikatan persaudaraan antar alumni di kehidupan nyata
sangat erat. Saya memiliki beberapa teman yang juga lulusan pesantren tapi
bukan dari pabelan. Saya melihat pertemanan mereka tidak sekuat kita alumni
pabelan, canda mereka memiliki tendensi tertentu misalnya memojokkan seseorang
yang berbeda pandangan, cara bergaul mereka tidak seluwes alumni pabelan. Entah
kenapa bisa begitu, itu berarti sistem pabelan berhasil diterapkan dan
aplikatif.
Jadi tidak terlambat untuk berbangga
menjadi alumni Pabelan, kalau bisa segera ambil keputusan untuk menyerahkan
anak-anak kita kepada Pabelan agar mereka juga menjadi bintang yang kelak akan
bersinar di kemudian hari. Alumni yang sampai saat ini masih merasa “memiliki”
Pabelan maka sebarkanlah kebaikan tentang Pabelan, semoga kita semua bisa
menjembatani keinginan banyak orang untuk menjadikan putra-putrinya insan yang
berguna bagi agama, keluarga, masyarakat dan bangsa Indonesia yang berakhlak
mulia.
Banyak berkah yang saya dapatkan saat
menempuh belajar di Pondok Pabelan di antaranya saya rasakan saat ini: Mendapatkan
beragam Ilmu untuk bekal di kehidupan bermasyarakat; Memiliki pertemanan dengan
alumni sebagai motivator dalam menjalani permasalahan kehidupan; Memiliki pertemanan
dengan alumni sebagai mentor yang mengarahkan hidup ke arah lebih baik dari
hidup yang penuh dinamika; Memiliki wadah untuk saling berbagi kebaikan dan
tukar informasi; Memiliki pertemanan/link hampir di seluruh nusantara Indonesia;
Memiliki inspirasi dari tokoh-tokoh Pabelan; Berhasil menemukan jodoh dan
berhasil jadi pasangan hidup. Alhamdulillah
kita masih dan akan terus bersinergi dalam banyak hal sampai kapanpun. Insyallah…
Menggapai
Cita
Meldo Andi Jaya:
Menjadi
seorang santri di pesantren sebenarnya telah terpikir ketika saya masih SD.
Ketika itu masih di kelas 5 SD di Palembang. Saya mengungkapkan keinginan untuk
merantau di Jawa dan tidak mau sekolah kalau tidak di Jawa ke orang tua. Tidak
teringat apa jawaban orang tua saat itu. Namun setelah menamatkan SD, orang tua
menanyakan kembali keinginan sekolah di Jawa. Tanpa ragu saya mengiyakan dan
merasa sangat senang karena keinginan saya terkabulkan. Meskipun saya belum
tahu ke pesatren mana saya akan dititipkan.
Tahun
1994, awal pertama kali saya menginjakkan kaki di pulau Jawa, melalui
perjalanan darat bersama kedua orang tua. Dari Palembang menggunakan kereta api
ke Lampung kemudian menyeberang melalui pelabuhan Bakauheni Lampung. Setelah
menyeberangi selat Sunda, melanjutkan pejalanan ke stasiun Gambir guna naik
kereta ke Yogyakarta. Sampai di Yogyakarta pagi hari dan perjalanan langsung
menuju Muntilan. Di Muntilan menginap satu malam untuk beristirahat dan membeli
perlengkapan sehari-hari untuk di pondok. Esok harinya perjalanan menggunakan
angkot menuju desa Pabelan, tempat Pesantren
dimana saya akan belajar selama bertahun-tahun.
Dalam
perjalanan, saya mendengar sopir bercerita kepada orang tua saya tentang pondok
Pesantren Pabelan. Tidak banyak yang saya ingat pembicaraan mereka, yang saya
ingat sang sopir memberitahu kalau pimpinan pondok Pesantren Pabelan baru saja
meninggal tahun lalu. Yang ada dalam pikiran saya saat itu adalah ternyata
pimpinan pondok pesantren pabelan sangat terkenal, sampai-sampai sopir angkot pun
mengenal beliau. Setelah beberapa menit di perjalanan, angkot pun berhenti dan
sang sopir memberi tahu kalau kami telah sampai. Yang saya ingat ada papan nama
yang menginformasikan letak Pondok Pesantren Pabelan sekian meter jauhnya.
Namun rasanya papan nama tersebut tidak sebesar sekarang dengan tulisan yang
lebih besar dan jelas.
Perjalanan
ke desa Pabelan dilanjutkan dengan menaiki andong, perjalanan yang unik dan
menyenangkan karena saya belum pernah lihat transportasi jenis ini di Palembang
apalagi menaikinya. Mungkin terasa seperti koboi di film-film Amerika. Sesampai
di Pondok Pabelan, saya dikenalkan dengan kak Mulyadi, santri dari Palembang,
yang menjadi bagian penerima tamu di OPP. Beliau banyak membantu dan
mengenalkan santri-santri asal Palembang ke saya.
Hari
pertama di Pondok terasa sangat asing namun ramai. Terasa sangat berbeda dengan
kebiasaan sehari-hari di Palembang. Dari soal menu makan yang kurang cocok di
lidah, karena sayur dan lauk di pondok terasa manis, yang tentu kurang cocok
dengan lidah orang Palembang yang cenderung menyukai makanan pedas. Begitu juga
udara yang dingin, khususnya di malam hari. Apalagi harus bangun subuh untuk
shalat berjamaah, udara terasa sangat dingin ditambah ketika menyentuh air
wudhu badan terasa menggigil. Ditambah dengan kondisi masih mengantuk membuat
perjalan menuju masjidterasa sekali sangat berat.
Hari
kedua di pondok saya bersama orang tua bejalan-jalan ke Candi Borobudur
menggunakan andong dari Batikan.
Sekali lagi saya merasakan layaknya koboi Amerika. Perjalanan yang menarik
selama menuju candi Borobudur melewati persawahan di sisi kanan dan kiri jalan.
Akhirnya sampai juga di Borobudur, candi terbesar di Indonesia menurut buku
yang saya baca dan cerita yang saya pernah dengar. Perjalanan “liburan” yang
menyenangkan, atau mungkin perjalanan perpisahan yang saya tidak sadari, karena
esok harinya orang tua akan menitipkan saya di Pondok.
Ternyata
benar besok harinya orang tua berpamitan untuk pulang ke Palembang dengan Bus di
terminal Muntilan. Awalnya biasa saja, tidak merasa kehilangan atau merasa
ditinggalkan sendirian. Namun setelah shalat Ashar perasaan kehilangan mulai
terasa, galau, sedih, kalut menjadi satu. Ingin rasanya menyusul ke terminal
Muntilan dan ikut pulang ke Palembang. Tapi saya urungkan karena saya tidak
tahu bagaimana cara menuju terminal dan hanya bisa menangis.
Hari
keempat, perasaan sedih dititipkan di pondok sudah tidak begitu terasa lagi.
Mungkin karena sudah mendapatkan teman
dan mulai membiasakan diri hidup jauh dari orang tua. Ketika itu
kegiatan belajar mengajar belum dimulai secara formal. Namun sebenarnya kegiatan belajar sudah dimulai dari kamar.
Ketika itu saya menghuni kamar presiden A, yang merupakan pengelompokan
santri-santri berdasarkan umur, yaitu santri seumuran saya. Di kamar saya
banyak mengenal santri-santri dari berbagai daerah di Indonesia. Sesuatu yang
sangat menyenangkan berkenalan dengan mereka, karena banyak mengetahui budaya
dan karakter orang dari daerah lain.
Bisa
dikatakan pelajaran dan pendidikan pertama dimulai dari kamar. Dari membiasakan
menyiapkan keperluan sehari-hari, pengenalan organisasi sampai pelajaran
berbahasa asing. Semuannya diajarkan dan langsung dipraktekkan mulai dari
kamar. Setiap kamar diasuh oleh kakak kelas lima atau yang disebut Mujanib. Yaitu kak Muntazirin asal
Jambi dan
santri melaju kak Fathur
dan Ahmad
Faisal.
Pembelajaran
Bahasa asing, Arab dan Inggris dimulai dengan menghapal kosakata yang diberikan
oleh Mujanib. Awalnya terasa berat karena ini adalah pertama kali belajar bahasa asing.
Untuk menghapal lima kosakata harus dihapalkan dalam satu hari, karena setiap
malam akan diuji oleh mujanib setiap
habis shalat isyak
dan selalu menambah hapalan kosakata untuk malam selanjutnya. Kegiatan
menghapal sebanyak mungkin kosakata sebagai langkah awal dalam menyiapkan
santri untuk berbicara bahasa asing dalam percakapan sehari-hari. Sehingga
beberapa bulan selanjutnya para santri diwajibkan menggunakan percakapan bahasa
asing setiap hari.
Mewajibkan
menggunakan bahasa
asing dalam percakapan sehari-hari tentu membuat saya menjadi berat menjalani
pendidikan di pondok. Namun usaha berbicara berbahasa asing harus dipaksa tak
peduli tata tahasa benar atau salah yang penting bisa dipahami. Sebenarnya di
pondok sendiri mempunyai strategi yang cukup baik menghapal kosakata yaitu di
pagi hari setelah shalat subuh. Dengan meneriakkan berulang-ulang kosakata
menjadi lebih efektif untuk diingat.
Persoalan
bahasa memang
menjadi hal yang menakutkan untuk santri kelas satu. Apalagi harus menggunakannya dalam latihan pidato (muhadharah). Memang beberapa bulan pertama santri dilatih
berpidato menggunakan Bahasa Indonesia namun beberapa bulan selanjutnya harus
menggunakan bahasa Arab dan Inggris. Untuk santri kelas satu, latihan
pidato yang diadakan dua kali dalam seminggu menjadi hal yang mengerikan dan
tidak diharapkan. Terlebih jika mendapat jadwal berpidato bisa membuat kalut
dan mencoba mencari alasan untuk tidak hadir di malam muhadhoroh.
Kesulitan
berpidato dalam menggunakan bahasa Arab dan Inggris terjadi sampai awal kelas dua. Setiap
mendapat jadwal pidato saya mengalami kesulitan, terutama dalam menulis draft
pidato. Karena tidak ada yang mengkoreksi sebelum dihapalkan. Untungnya ketika
itu uztadz Zamharir,
yang juga pengajar bahasa Arab
di kelas memberikan bantuan untuk mengkoreksi draft pidato yang sudah saya
buat. Baik itu bahasa Arab
atau bahasa Inggris.
Ketika itu beliau menyediakan sejenis kotak surat di gedung barat Alhambra.
Jadi setiap saya mendapatkan jadwal pidato, draft pidato saya masukkan ke
kotak. Yang kemudian beliau koreksi dan diberikan kembali esok harinya.
Bimbingan
ustadz Zamharir
membuat saya tertarik belajar bahasa Arab.
Setiap pelajaran bahasa Arab
(Tamrinul Lughoh) di kelas saya dapat mengikuti dengan baik materi pelajaran
yang diberikan dan mendapatkan nilai yang cukup baik. Di samping itu, ustad Bahar
banyak membimbing dalam belajar bahasa Inggris sehingga pelajaran bahasa Inggris menjadi
pelajaran favorit. Ketika
kelas satu
kedua pelajaran ini terasa sangat sulit.
Ketertarikan akan belajar bahasa Arab
dan Inggris
menjadikan muhadharah yang awalnya
merupakan kegiatan yang menakutkan menjadi sebuah tantangan dan kegiatan yang
menarik.
Masa
di kelas dua
dan tiga
menjadi masa belajar yang menyenangkan bagi saya. Persoalan bahasa bukanlah
menjadi hambatan lagi. Justru dengan belajar bahasa Arab pelajaran
lainnya yang berbahasa Arab
menjadi lebih mudah. seperti pelajaran Fikih
KMI. Bisa dikatakan kelas satu,
dua, tiga merupakan periode awal pembentukan jatidiri dan
ketertarikan akan bidang tertentu.
Setelah menyelesaikan kelas tiga
para santri akan memilih bertahan di pondok atau melanjutkan pendidikan di luar
pondok.
Seleksi
tahap awal terjadi secara alamiah. setalah EBTNAS (UN) kelas tiga banyak para
santri memilih untuk melanjutkan pendidikan sekolah umum sedangkan yang
bertahan di pondok sangatlah sedikit. Seingat saya yang tetap memilih belajar
di pondok hanya saya, Suratmin, Ahmad Rifai, Suharsoyo, Heru Susanto, Fajri Rahmadiansyah, Kristianto, Sulistianto,
dan Fikri
al-Amin
dari sekian banyak santri.
Setelah
EBTANAS saya kembali ke Palembang untuk liburan akhir tahun ajaran. Godaan
untuk melanjutkan pendidikan di luar pondok sempat membuat bingung, apalagi bujukan
dan cerita kakak tentang SMA-SMA favorit di Palembang sungguh menyenangkan,
yang kebetulan nilai EBTANAS saya memenuhi standar nilai untuk diterima di SMA
tersebut. Meski sempat galau, akhirnya saya putuskan untuk kembali ke Pabelan
dengan pertimbangan yang sangat sederhana yaitu jika memilih sekolah di
Palembang akan membuat saya sulit untuk kembali ke Jawa.
Masuk
di kelas empat
merasakan suasana baru karena kelas digabung dengan santri-santri dari kelas Takhasus. Awalnya memang
ada sedikit egois
karena saya dan teman-teman satu angkatan dari kelas satu merasa lebih
dulu masuk pondok dibanding santri-santri yang dari Takhasus yang
baru setahun
di Pondok. Namun perlahan
sikap egoistis itu hilang
dengan sendirinya karena kehidupan sehari-hari di kamar yang menyatu dan
membaur tanpa melihat angkatan.
Menjalani
pendidikan di kelas empat
terasa mulai menurun dan berdampak pada nilai yang kurang baik. Padahal di masa
ini pilihan melanjutkan pendidikan setelah dari pondok mulai terpikirkan.
Sempat terpikir tidak memilih sekolah di Palembang adalah sesuatu kesalahan
karena jika melihat kebanyakan santri yang tamat dari pondok melanjutkan ke
IAIN. Dan pondok tidak menyiapkan para santri untuk mampu bersaing ke PTN.
Perasaaan
menyesal karena tidak memilih sekolah di SMA semakin menjadi ketika memasuki
kelas lima. Saya merasa
pelajaran umum yang diajarkan di pondok tidak membuat saya siap untuk
melanjutkan pendidikan di PTN. Padahal saya lebih tertarik untuk melanjutkan
kuliah di jurusan non-agama.
Kondisi ini semakin membuat saya khawatir akan masa depan, sehingga saya
mengutarakan ke orang tua untuk keluar dari pondok dan berniat untuk sekolah
SMA di Yogyakarta. Apalagi saya melihat ada santri pondok Pabelan yang
melanjutkan sekolah di Yogyakarta setelah kelas empat dan masih sering mengunjungi pondok sehingga membawa
cerita-cerita kehidupan yang terdengar menyenangkan sekolah di sekolah umum.
Mendengar alasan saya, akhirnya orang tua menyetujui niat saya untuk
melanjutkan sekolah di Yogyakarta dengan syarat setelah kelas lima. Namun untuk
kesekian kali saya urungkan niat keluar dari pondok. Dengan alasan rasa
kebersamaan di pondok membuat saya betah tinggal di pondok.
Bisa
dikatakan menjadi santri kelas enam
adalah hal yang paling menyenangkan di masa mondok. Di masa inilah para santri
diberikan tanggung jawab lebih besar
karena akan manjabat pengurus OPP yang merupakan organisasi santri yang
paling tinggi. Layaknya pemerintahan kecil, OPP adalah lembaga eksekutif yang
mengatur kegiatan sehari-hari santri. Seluruh aktivitas
keseharian para santri dijalankan dan dimonitor dari gedung Nusa Damai,
bangunan lama yang berdinding anyaman
bambu dan berlantai semen.
Di OPP yang diketuai oleh Testriono saya dipilih untuk mengemban bagian
Penggerak Bahasa berduet dengan Kristanto yang kebetulan bagian baru di OPP.
Masa-masa di OPP adalah masa-masa di mana dididik mencapai dan menjalankan organisasi
dengan kerjasama, kesetiakawanan, dan tanggung jawab.
Di samping
sebagai pengurus OPP, saya juga aktif di buletin Dialog yang memperkenalkan
saya tentang dunia jurnalistik. Kegiatan ini sangat menyenangkan, apalagi
ketika masa pencetakan bulletin. Ketika itu pencetakan buletin dilakukan di
Yogyakarta, merupakan kesempatan untuk keluar pondok sambil jalan-jalan ke
Yogyakarta. Apalagi ketika pengambilan cetakan bulletin yang sudah selesai,
percetakan sering memberikan ongkos untuk sekedar makan-makan. Biasanya yang
mengambil cetakan buletin saya dan Testriono, kesempatan itu kami gunakan untuk
makan pempek di seputaran Malioboro, sekedar mengobati rasa kangen makanan
tradisional Palembang sambil menikmati sore hari di jalan Malioboro.
Masa-masa
kelas enam,
kekhawatiran untuk melanjutkan pendidikan di luar pondok semakin terasa,
apalagi tidak adanya les tambahan persiapan EBTANAS membuat beban menghadapi
EBTANAS sangat berat. Meskipun saat itu ada juga santri yang mendapat ijin
mengikuti Les tambahan di Muntilan. Untuk menyiasati kekurangan jam belajar dan modul pelajaran dalam
menghadapi EBTANAS, saya belajar dari bukusoal-soal EBTANAS bekas milik
kakak saya yang dibawa dari Palembang dan meminjam modul soal-soal dari teman-teman
yang mengikuti les BIMBEL (Bimbingan
Belajar) di Muntilan.
Meskipun
hal itu telah dilakukan tetap saja membuat tidak siap dalam menghadapi EBTANAS.
Bahkan ada Kekhawatiran tidak akan lulus EBTANAS. Pada akhirnya
kekhawatiran tersebut tidak terjadi setelah pengumuman hasil nilai EBTANAS di
perpustakaan, walaupun dengan nilai yang sangat mengecewakan. Nilai mata
pelajaran yang diharapkan dapat mendongkrak nilai yang kecil, seperti bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris
juga tidak banyak membantu. Justru nilai bahasa Inggris sedikit lebih besar dibanding bahasa Indonesia.
Walaupun
telah dinyatakan lulus EBTANAS kekhawatiran tidak hilang bahkan semakin
menjadi-jadi. Dengan hasil nilai EBTANAS yang kurang baik menjelaskan
ketidaksiapan dalam mengikuti UMPTN. Bagi santri berperan di masyarakat atau
mengikuti UMPTN merupakan langkah selanjutnya yang sangat penting setelah
dinyatakan lulus EBTANAS. Karena ini merupakan langkah awal bidang yang akan
ditekuni di masyarakat nantinya. Mengikuti
UMPTN dan bisa lulus menjadi harapan saya, apalagi ketertarikan saya untuk
menekuni bidang non-agama.
Harapan dapat kuliah di jurusan umum di PTN ibarat pepatah mengatakan jauh
panggang dari api atau besar pasak dari pada tiang. Tekanan juga datang ketika
orang tua menanyakan rencana lulus dari pondok. Pertanyaan
yang sulit dijawab jika melihat dari nilai EBTANAS. Perasaan bingung, khawatir
dan tidak ada arah kemana tujuan setelah lulus dari pondok.
Setelah
pengumuman kelulusan, para santri kelas enam
dikumpulkan dan mendapatkan amplop yang berisikan kertas rencana setelah tamat
dari pondok. Ada dua pilihan yaitu pertama ; mengabdikan diri di pondok, kedua;
melanjutkan peran di luar pondok. Pada saat itu saya memilih pilihan pertama
bersama Kristianto, Fajri Rahmadiansyah,
Rahmad Syaumi,
Amriludin, Heru
Susanto, M.
Rifai dan beberapa santri
melaju. Pada awalnya orang tua sempat mempertanyakan keputusan itu karena akan
menghabiskan satu tahun lagi di pondok, namun setelah diberi penjelasan bahwa
dengan mengabdi saya bisa mempersiapkan satu tahun untuk menghadapi UMPTN pada
akhirnya orang tua menyetujui.
Seperti
tradisi di pondok santri yang mengabdikan diri akan diberi tanggung jawab
mengajar dengan mengemban mata pelajaran di pondok. Semua teman-teman yang
mengabdi mengemban setidaknya satu mata pelajaran, kecuali saya. Awalnya sempat
juga bertanya pada diri sendiri kenapa hanya saya yang tidak mengemban mata
pelajaran dan sepertinya saya akan banyak menganggur selama satu tahun di
pondok, mungkinkah keputusan mengabdi adalah keputusan yang salah. Namun
“kekurangberuntungan” itu saya anggap sebagai peluang, setidaknya saya
mempunyai waktu lebih untuk mempersiapkan UMPTN dan bisa merencanakan mengikuti
les persiapan UMPTN di Muntilan. Namun sayangnya teman-teman menyadari kalau
cuma saya yang tidak mengajar yang akhirnya memberikan “hiburan” dengan
menunjuk saya sebagai ketua TPA di
pondok.
Masa
pengabdian saya lalui di gedung sebelah timur rumah
KH Ahmad Mustofa ditemani oleh Fajri Rachmadisyah, Kristianto dan Mawardi. Mengelola TPA
sedikit banyak menguras waktu, sehingga rencana untuk mengikuti les di Muntilan
tidak terwujud. Meskipun demikian saya sempat mengikuti les intensif persiapan
UMPTN beberapa bulan sebelum UMPTN. Merasa pengusaan materi soal-soal UMPTN
belum siap terutama pelajara IPA yang memang ketika itu di pondok untuk waktu
palajaran tersebut dirasa sangat kurang. Satu tahun dilalui dengan mulai
mempelajari soal-soal UMPTN dan modul-modul soal yang dipinjam dari Fajri yang
telah lebih dulu mengikuti les di Muntilan. Kebetulan saya sempat membaca berita-berita di Koran langganan
pondok, koran Republika
membahas tentang santri di salah satu pondok pesantren yang lulus UMPTN di
jurusan favorit di PTN favorit memotivasi diri dan meningkatkan kepercayaan
diri. Ternyata santri juga mampu tembus UMPTN yang selama ini didominasi dari
sekolah umum.
Masa
kelas enam dan pengabdian setahun
membuat pencarian tujuan setelah tamat dari pondok menjadi pertanyaan yang selalu
menghantui. Mau kemana tujuan saya setelah ini? Melanjutkan kuliah di IAIN atau
PTN. Kuliah di Jawa atau pulang ke Palembang. Memang tidak mudah bagi santri
untuk bisa kuliah di PTN apalagi dengan jam pelajaran umum di kelas sangat
kurang.
Saat
itu ada sedang ada pembangunan gedung kelas baru atas bantuan pemerintah
Jepang. Karena setiap hari melihat pembangunan gedung tersebut menarik saya
untuk mengamati pekerjaan pembangunan hampir setiap hari. Suatu hari ketika
lagi mengamati pengamatan pembangunan
gedung datang seorang ustad yang mengajar bahasa Inggris berkata “Enak kerja jadi kontraktor, penghasilannya besar”
sambil melihat sang kontraktor yang mengendarai mobil Jimni. Setelah percakapan
itu membuka pikiran saya bahwa tidak harus kuliah di jurusan agama, tapi ada
alternatif lain yaitu jurusan teknik. Apalagi saya sempat mendengar dan membaca
berita kalau pondok Pabelan pernah mendapatkan pernghargaan Arsitektur.
Ditambah hobi menggambar menjadi bekal dasar untuk berani mengambil jurusan
teknik.
Di
akhir masa pengabdian saya sempatkan mengikuti UMPTN di Yogyakarta. Persiapan
satu tahun akhirnya terpenuhi dengan diterima/lulus
di Teknik Arsitektur Universitas Sriwijaya sehingga mengharuskan pulang ke
Palembang. Sebelum
masa kuliah ada kekhawatiran tidak bisa mengikuti perkuliahan dengan baik
karena memikirkan kelemahan
di bidang eksakta. Namun kekhawatiran itu ternyata hanya ada di pikiran
saja dan tidak pernah terjadi, justru kuliah di jurusan arsitektur merupakan
pengalaman yang mengesankan, karena jurusan ini unik, merupakan perpaduan
antara ilmu teknik, seni, dan sosial.
Pendidikan
organisasi yang didapat semasa di pondok dilanjutkan di tingkat universitas.
Dipercaya oleh teman-teman untuk mengemban ketua Ikatan Mahasiswa Arsitektur Universitas
Sriwijaya merupakan tanggung jawab yang harus dijalankan selama satu tahun
kepengurusan. Di
samping aktif di ikatan jurusan saya mencoba meneruskan kegiatan
jurnalistik di kampus dengan bergabung di Lembaga Pers Mahasiswa. Tidak banyak
waktu untuk aktif beroganisasi di kampus karena letak kampus sejauh 32 km dengan jarak
tempuh satu jam.
Akibatnya
kegiatan kampus tidak begitu aktif setiap harinya.
Selama
di Palembang hubungan dengan teman-teman masih tetap terjaga, khususnya dengan
santri asal Palembang, Fajri Rachmadiansyah
dan Testriono. Acara buka bersama dan Idul fitri menjadi momen untuk berkumpul
dan bercerita tentang masa-masa di Pabelan. Persaudaraan yang tetap terjaga
meski sudah tidak menjadi santri lagi. Faktor inilah yang menjadi kelebihan santri Pabelan
yang selalu menjaga tali silaturahmi dimana mereka berada. Solidaritas sesama santri demikian
kuat.
Didikan
di pondok tentang mencari ilmu itu harus sampai akhir hayat selalu memotivasi
untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Sehingga ketika ada kesempatan untuk
melanjutkan kuliah di pascasarjana ITB tidak disia-siakan, meski harus
melepaskan pekerjaan yang telah dijalankan selama ini. Dengan keyakinan bahwa
Allah meletakkan orang yang berilmu pada
derajat yang tinggi.
Harapan dengan melanjutkan pendidikan lebih tinggi dapat mengembangkan
diri di dunia profesi, akademik, dan masyarakat. Sadar akan peran santri tidak
hanya di bidang agama namun juga di bidang yang ditekuni dengan serius dapat
berdampak positif bagi diri sendiri dan
masyarakat. Apalagi profesi yang ditekuni adalah hobi yang menghasilkan.
Siapa
Bertahan Dia Pemenang
Tiara Rubiati
Menginjakkan kaki di bumi Pabelan, Juni 1993.
Hari itu, aku,
kakak dan bapakku bersiap-siap akan berangkat menuju Pondok Pesantren Pabelan
Mungkid-Magelang Jawa Tengah. Sebenarnya ini bukan hal pertama bagiku untuk
bepergian keluar kota, karena sebelum-sebelumnya, aku sudah pernah mengunjungi
kampung halaman kakek di Medan Sumatera Utara. Tapi keberangkatanku hari ini
menuju Pondok Pesantren Pabelan adalah yang pertama bagiku dan yang lebih
terasa spesial adalah karena aku akan menjadi santriwati, menyusul kakakku yang
sudah lebih dulu menimba ilmu di sana.
Ya, pada akhirnya
kami empat bersaudara (Damar Restu Sari, Tiara Rubiati, Ridwansyah Rakhman dan
Yunia Larasati) menimba ilmu di Pondok Pesantren Pabelan semua, dengan berbekal
ridho orang tua dan harapan orang tua agar kami bisa menjadi manusia yang
berguna, juga mengerti dan memiliki bekal ilmu agama yang lebih dibanding
anak-anak yang bersekolah di sekolah umum biasa.
Perjalananku dari Jakarta dengan bus malam terasa sangat
menyenangkan, karena dalam benak dan bayanganku semua pasti indah dan nyaman di
sana, terlebih bila melihat kakakku yang ketika berangkat “mondok” dalam
keadaan kurus, begitu pulang liburan sudah menjadi gemuk, pasti sangat
menyenangkan sekali.
Pagi keesokan harinya, sampailah kami di Batikan, tempat
menginjakkan kaki setelah turun bus yang juga merupakan gerbang menuju Pondok
Pesantren Pabelan, yang biasa ditempuh dengan jalan kaki atau dengan naik
dokar. Karena waktu masih sangat pagi, kami mampir di warung makan kecil milik
penduduk sekitar, untuk minum teh panas dan sarapan sekaligus. Wah, dinginnya menusuk
tulang. Aku semakin penasaran seperti apa tempatku menimba ilmu nanti. Tidak
lama setelah kami sarapan, datanglah dokar yang ditunggu-tunggu. Kami bertiga
naik lalu kakakku bilang pada pak kusir, “Ruang
tamu pondok, Pak,”.
Tidak berapa lama sampailah kami di depan ruang tamu
pondok pesantren Pabelan yang berada di sebelah timur rumah Kiai Ahmad Najib
Hamam. Kami turun, lalu memasuki ruang tersebut. Kakakku berkata pada bapak, “Bapak, nanti tidurnya disini ya?... Tiara
saya ajak ke kamarnya dulu”. Setelah itu kami berpamitan pada bapak. Lalu
kakak menunjukkan kamar yang disediakan untuk santriwati baru, kamar Kalpataru
kala itu. Sampai di sana ternyata sudah banyak teman-teman sesama santriwati
baru, kami saling berkenalan, aku masih malu-malu, maklumlah ini kali pertama
aku harus hidup sekamar dengan orang-orag yang belum aku kenal sebelumnya. Ada
yang berasal sama denganku, Jakarta. Ada juga yang berasal dari Semarang,
Cirebon, Majalengka, Muntilan, Magelang, Sumatera dan lain-lain. Dalam kamar
tersebut, santriwati baru tidak hanya lulusan SD tapi juga banyak yang lulusan
SMP yang nantinya masuk kelas Takhasus.
Hari itu, aku diajak kakakku berkeliling pondok,
dikenalkan dengan teman-teman kakak, diberitahu juga tempat-tempat penting
seperti tempat mencuci pakaian, tempat menjemur, kamar mandi, dan tempat-tempat
lain yang ada di sekitar pondok. Yang membuatku agak merasa tidak nyaman adalah
ketika pertama masuk ke kamar mandi pondok, aneh menurutku. Tempatnya sangat
kecil dan tidak ada ruang cukup untuk kita berdiri dan mandi karena wc tepat
berada di bawah badan kita. Tembok juga berlumut di sana-sini. Hal tersebut
yang akhirnya memaksaku mandi di tempat mencuci pakaian selama seminggu,
sebelum akhirnya aku berhasil menyesuaikan diri dengan kondisinya.
Hari kedua di pondok, bapak bertolak kembali ke Jakarta.
Perasaan sendiri tanpa siapa-siapa sangat terasa menjelang tidur malam, yang
biasanya di rumah ada ibu, bapak dan adik- adik. Mulai malam itu tak kudengar
lagi suara-suara mereka. Sedih sekali, terasa hampa walau banyak teman di sekelilingku.
Yang pertama menghiburku seorang teman yang juga berasal dari Jakarta, Iswatun
Hasanah namanya, biasa dipanggil Iis. Selain Iis, ada juga teman-teman yang
lain, yang ikut menghiburku. Pada akhirnya, hampir setiap hari aku menangis
karena membayangkan ibu bapak dan adik-adik di rumah. Walau di pondok aku
memiliki seorang kakak, Damar Restusari, namun kami tidak terlalu akrab. Bahkan
mungkin bisa kubilang sifat kami banyak bertolak belakang, dia juga banyak
membantu dan menghiburku di masa awal masuk pondok.
Hari keempat, aku menjalani tes lisan dan tertulis untuk
penempatan kelas. Selanjutnya masa perkenalan, kami diajari bermacam-macam lagu
pondok, ada lagu Oh Pondokku, Relakan, Cuk Ma Ilang dan lain-lain, juga
dijelaskan tentang Panca Jiwa Pondok dan lain-lainnya. Setelah itu lima hari
berturut-turut Khutbatul Iftitah. Saat itu, santriwati duduk di sebelah
santriwan dengan dibatasi sehelai kain hijau. Peserta Khutbatul Iftitah adalah
seluruh santriwan dan santriwati. Penceramahnya adalah tiga orang Pimpinan
Pondok Pesantren Pabelan yang mengisi secara bergantian. Sungguh pengalaman
baru bagiku, kala itu aku lebih sering mendengarkan khutbah sambil
terkantuk-kantuk.
Departemen Agama dan Kulliyatul Mu’allimin
al-Islamiyah
Selesai khutbatul
Iftitah, pembagian kelas pun diumumkan, aku mendapat kelas 1A2. Saat itu kelas satu
ada tiga kelas terdiri satu kelas putra dan dua kelas putri; sedang untuk lulusan
SMP atau Takhasus ada dua kelas, putra dan putri. Kami menempati kelas papan di
sebelah gedung Alamsyah yang sekarang sudah menjadi kamar-kamar.
Sungguh pengalaman luar biasa kala itu, bersekolah di
kelas papan yang bukan standar kelas, tapi kami amat menikmatinya. Bahkan kami
pernah, sambil menunggu guru pengajar datang, kami memanjat pohon kedondong
yang berada di belakang kelas kami dan memakannya beramai-ramai. Pernah kami
jahil kepada pak guru yang akan masuk. Kelas kami kunci dari dalam sehingga
bapak guru tersebut tidak bisa masuk ke kelas kami, tapi bisa melihat kami dari
jendela kelas yang memang tidak tertutup papan.
Ada yang unik dari pembelajaran di Pondok Pesantren
Pabelan, antara guru dan murid layaknya seperti teman, kami sering bercanda,
sering bergurau dan berdiskusi tanpa canggung. Juga di sana ada istilah yang
mungkin tidak akan ditemukan di Pondok Pesantren manapun, yaitu istilah “mbak
guru”. Istilah mbak guru ini disandang oleh ustadzah-ustadzah junior dari
santriwati yang sudah lulus KMI dan diharuskan mengabdi satu tahun di Pondok
untuk berbagi ilmu kepada adik-adik kelasnya. Dan yang hebat, mbak guru di
Pondok Pesantren Pabelan itu seperti pejuang-pejuang wanita di masa lalu,
mereka harus mengenakan kebaya tanpa melepas jilbab dalam mengajar dan juga
tanpa make up. Terbayang kan zaman
itu, jilbab saja masih menjadi sesuatu hal “aneh” bagi kalangan luar, tapi itu
sudah menjadi tradisi dan budaya turun temurun dalam Pondok kami dan masih
berlanjut hingga kini. Bravo Pabelanku!
Untuk sistem pembelajarannya, Pondok Pesantren Pabelan
kala itu menggunakan dua kurikulum, yaitu kurikulum dari Departemen Agama dan
dari Kulliyatul Muallimin Al-Islamiyah (KMI) yang berkiblat ke Gontor. Setiap
semester, kami mendapat dua buah rapor. Yang pertama rapor dari hasil pelajaran
ilmu umum di bawah Departemen Agama, dan yang satunya lagi rapor KMI yang
didasari kelakuan dan akhlak. Kelas kami pun terpisah antara santriwan dan
santriwati. Penggabungan hanya ada di kelas 3 Aliyah atau kelas 6 KMI
dikarenakan sudah ada penjurusan. Dan aku beserta angkatanku menjadi angkatan
pertama setelah wafatnya KH. Hamam Dja’far.
Seiring waktu berjalan, kurikulum Pondok Pabelan
mengalami pasang surut, ada tambal sulam dalam pembelajaran, beberapa mata
pelajaran yang ada tergeser atau berganti dengan mata pelajaran lain.
Guru-gurunya pun banyak tambal sulam, selain guru-senior yang berasal dari
alumni Pondok sendiri, banyak pula guru-guru senior yang berasal dari luar
alumni Pondok dan itu sangat mewarnai pembelajaran yang ada. Banyak hal-hal
yang bisa dijadikan support dari guru-guru senior di luar, karena dari
beliau-beliau itulah kami mendapat banyak informasi terbaru tentang dunia luar.
Maklum, di Pondok kami tidak sebebas anak-anak yang bersekolah luar. Kami punya
jadwal menonton televisi, yakni hanya pada hari Jumat ketika libur.
Pembelajaran di Pondok Pabelan itu liburnya hari Jumat, sedangkan
hari Ahad masuk sekolah seperti biasa. Selain itu, media kami hanyalah
Perpustakaan. Saat pertama datang ke Pondok, perpustakaannya kurang berfungsi
maksimal, tapi tiga empat tahun kemudian semua berubah. Kami memiliki buletin
intern pondok, juga diadakan pelatihan pustakawan dan pustakawati untuk
mengelola perpustakaan, serta ada pelatihan Jurnalistik.
Santri yang bisa
mengikuti pelatihan tersebut hanya santriwan dan santriwati yang dipilih oleh
kakak-kakak angkatan. Dan alhamdulillah,
aku termasuk santri pilihan yang bisa mengikuti pelatihan-pelatihan tersebut.
Aku pernah diutus oleh KH. Ahmad Najib Hamam bersama Eni Rondi Asmorowati,
santriwati dari Semarang, adik kelasku, untuk mewakili Pondok Pesantren Pabelan
dalam Pelatihan Jurnalistik Pondok Pesantren Putri se-Indonesia yang diadakan
oleh Departemen Agama di Bogor Jawa Barat. Aku dan Eni diantar sampai tempat
pelatihan di Bogor oleh Ustad Hanafi dan Ustad Hamid. Sungguh luar biasa
pengalaman tersebut, bertemu dan berkenalan dengan teman-teman santriwati
Pondok Pesantren putri se-Indonesia. Akhir pelaksanaan tersebut, aku menduduki
peringkat 42 dari 185 peserta.
Bangun tidur sampai
kembali tidur
Selain pendidikan yang menggunakan dua kurikulum, dalam
keseharian kami pun mulai dari bangun tidur sampai kembali tidur, semua
terjadwal. Bangun tidur jam 04.00 wib, sholat Subuh berjamaah di masjid
bersama, dilanjutkan olah raga pagi dengan jadwal bergantian antara jalan pagi
sampai Batikan dan Senam Kesegaran Jasmani di lapangan gedung Alamsyah. Yang
tidak mengikuti olah raga pagi hanya santriwati yang piket kamar saja, karena mereka
punya tugas membersihkan kamar, menyapu, mengepel dan mendekorasi kamar. Mulai dari kasur, bantal dan guling yang
dibentuk bermacam-macam, ditambah hiasan-hiasan kertas krep dan lain-lain untuk
mempercantik kamar masing-masing, dan ini dilombakan setiap hari yang dinilai
oleh bagian kesehatan Organisasi Pondok Putri.
Setelah berolah raga, kami sibuk dengan persiapan
menjelang sekolah, mandi, mencuci dan sarapan. Tepat jam 07.00 wib kami sudah
harus keluar dari kamar menuju kelas. Sekolah kami berada dalam satu lingkungan
Pondok. Kami bisa melihat dengan jelas bila ada bapak atau ibu guru yang
berjalan menuju kelas. Kegiatan belajar mengajar formal dimulai jam 07.00 wib
dan berakhir jam 12.00 wib, kami langsung melaksanakan sholat Dhuhur berjamaah
di masjid. Setelah itu, barulah kami menyantap makan siang.
Tepat jam 13.30 wib kami sudah mulai disibukkan dengan
berbagai kegiatan ekstra, mulai dari qiro’ah, kaligrafi, teater dan lain-lain
sampai jam 16.00 wib. Semua itu pengajarnya adalah mbak-mbak guru. Untuk sholat
Ashar dilakukan secara berjamaah di kamar masing-masing dan diimami secara
bergantian. Begitu pula dengan sholat Isya. Sholat Maghrib dilakukan berjamaah
di masjid. Setelah sholat Isya, kami belajar sampai pukul 21.00 wib. Sebelum
tidur, kami harus merapikan dekorasi kamar yang dipasang selama sehari itu.
Baru kemudian kami bisa tidur setelah memasang sprei di kasur masing-masing. Setiap
kamar kami didampingi oleh kakak-kakak kelas dua Aliyah atau lima KMI dan kelas
tiga Aliyah atau enam KMI sekitar dua-tiga orang. Itulah jadwal harian yang
kami jalani selama bertahun-tahun yang mempunyai dampak sangat besar dalam kehidupan
selanjutnya.
Dalam aktivitas harian, semua hal yang menyangkut pribadi
harus kami kerjakan sendiri, mulai dari mencuci alat makan, mencuci, menjemur
dan menyetrika pakaian. Kami yang tidak melaksanakan aturan atau melanggar
ketentuan pasti akan mendapatkan sanksi. Bermacam-macam sanksi yang diberikan
pada para pelaku pelanggaran. Mulai dari menambahi hafalan, menyapu sekeliling
asrama, menyapu dan mengepel masjid, bahkan sampai menyapu dan mengepel area
asrama santriwan.
Kejadian Lucu di Masjid
Pernah suatu sore, kami diharuskan masuk ke dalam masjid
untuk melaksanakan sholat maghrib. Tiba-tiba datang seorang wanita cantik,
tinggi semampai menggelar sajadah di sebelahku. Lalu beliau bertanya-tanya
padaku tentang bagaimana aku sejak masuk pondok ini, betah atau tidak, dan
lain-lain. Selesai beliau bertanya, gantian aku yang melayangkan pertanyaan
kepadanya. “Emang Tante dari mana? Mau
jenguk siapa?”. Lalu beliau menjawab, “Bukan
tante, tapi ibu”. Kemudian beliau menunjuk ke sebuah arah,”Itu rumah ibu.” Arah yang ditunjuk adalah
rumah pimpinan Pondok, KH. Ahmad Najib Hamam. Aku tercekat, tak mampu bersuara,
hanya menunduk malu dan diam. Batinku, “O,
inilah yang namanya Ibu Ulfa”. Akhirnya kami selesai sholat berjamaah lalu
membubarkan diri masing-masing. Pengalaman tak terlupakan.
Organisasi Santri
Hidup di asrama dengan jumlah orang banyak, tidak mungkin
bisa seirama tanpa adanya organisasi. Sejak menginjakkan kaki ke bumi Pabelan,
organisasi dalam Pondok sudah ada dan sudah berjalan jauh sebelum aku hadir di
pondok ini. Organisasi tersebut bernama OPP. Dikelola oleh santriwan yang putra
dan santriwati yang putri. Terpisah namun saling bersinergi, saling bantu
membantu dan bekerjasama dalam beberapa hal. Setiap santriwati ada acara malam,
pasti akan ada yang berkeliling di kompleks santriwati untuk mengecek keamanan
lingkungan santriwati. Karena memang dulu, ketika aku datang ke Pabelan, pondok
belum diberi pagar atau tembok untuk pembatas dengan masyarakat, sehingga kami
sering berinteraksi dengan masyarakat sekitar pondok.
Banyak sisi positifnya tapi juga ada sisi negatifnya,
salah satunya memudahkan santriwan dan santriwati pergi keluar dari Pondok,
entah sekedar untuk jajan atau bertemu dengan seseorang yang istimewa alias meeting. Aku ingat, dulu setiap pagi ada
mbah-mbah tua yang untuk berjalan
saja harus dibantu dengan menggunakan tongkat, tapi beliau tidak pernah
mengeluh setiap pagi dan sore mencari nasi-nasi bekas para santriwati untuk
dibawa pulang dan dijadikan makanan bagi ayam-ayam peliharaannya. Selain itu,
beliau pun ramah dan mau diajak ngobrol. Pernah beliau bercerita bahwa beliau
hidup sejak zaman penjajahan Belanda. Walau sudah sangat tua tapi masih hafal
cara bicara para penjajah di bumi pertiwi ini. Kadang beliau bercerita dengan
diselingi bahasa Belanda. Menurutku mbah tersebut hebat karena hidup sejak
zaman penjajahan hingga saat itu tanpa terlihat kemalasan dalam dirinya.
Suatu hari, aku tidak melihat si mbah tua itu datang
dengan tongkatnya, kutunggu sore dan keesokan harinya, pun juga tak terlihat.
Akhirnya kuputuskan mendatangi rumahnya yang kebetulan berada di belakang kamar
asramaku sambil membawakan nasi-nasi bekas pagi itu. Dengan mengajak dua orang
temanku, kami bertiga berjalan menuju rumah mbah tua tersebut. “Assalamu’alaikum”, kami mengucap salam
sambil mengetuk pintu, tak terdengar sahutan. Lalu kami ulangi lagi kedua kali,
tetap tidak ada sahutan. Kuputuskan untuk membuka pintu sedikit, mungkin si
mbah tidak mendengar salam kami. Begitu terbuka, ternyata mbah tua tersebut
tergeletak lemah di ranjang reyotnya sendirian. Kami bertiga mendekat padanya
sambil mengucapkan salam dan mengajak bicara, “Mbah sakit ya?” Si mbah
hanya mengangguk pelan. Lalu kami mengajaknya bicara sebentar. Kami berpamitan
sambil meletakkan nasi bekas yang kami bawa tadi. Begitu memasuki area Pondok,
ternyata kami sudah ditunggu oleh Bagian Keamanan OPP, kami langsung digiring
ke gedung Alamsyah untuk disidang. Kami menceritakan segalanya, tapi pada
akhirnya kami kena sanksi karena keluar area pondok tanpa izin Bagian Kemanan
OPP.
Organisasi santri dikelola oleh santriwan dan santriwati.
Selain ada ketua sebagai penanggung jawab organisasi, juga ada beberapa bidang
yang dibawahi ketua, seperti sekretaris, bendahara, bagian olah raga, bagian
kesehatan, bagian keamanan, bagian pendidikan, bagian pengajaran, bagian kantin
dan bagian koperasi. Setiap bagian, memiliki bidang kerja berbeda. Ketua
dipilih secara LUBER. Sebelum pemilihan ada
beberapa kandidat calon yang diharuskan menyampaikan visi misi. Disini, dalam
organisasi semua santri belajar bertanggung jawab atas tugas dan bidang kerja
masing-masing, juga belajar mengukur kemampuan diri masing-masing. Banyak
sekali kegiatan yang dibawahi oleh OPP, seperti Muhadhoroh atau pidato,
dilakukan dua kali dalam seminggu, tiap Ahad malam dan Kamis malam. Juga ada
teater, drum band, merangkai bunga, muhadatsah dan lain-lain. Zamanku dulu,
teater dan drum band tidak terlalu aktif, karena tidak ada pelatihnya. Tapi
kakak-kakak mengajarkan kami cara memainkan alat drum band yang biasa digunakan
ketika ada acara-acara tertentu seperti Upacara bendera maupun upacara pramuka.
Untuk teaternya
pun sama, kakak-kakak langsung yang melatih kami, tanpa pelatih profesional,
walau terseok-seok kegiatan tersebut tetap berjalan seadanya. Itulah semangat
yang kami punya sebagai santri, semangat kebersamaan. Selain itu beberapa
kegiatan ekstra mulai berubah-ubah, ada yang tadinya diwajibkan seperti kitab
kuning, akhirnya menjadi pilihan dan peminatnya jelas sangat berbeda
dibandingkan ketika semua diwajibkan untuk mengikutinya. Aku menjadi Bagian
Olah raga ketika duduk di kelas 4 KMI dan Bagian Pengajaran ketika di kelas 5
KMI.
Di Pondok juga ada Pramuka Penggalang dan Penegak. Semua
santri wajib mengikuti kegiatan Pramuka. Setiap tahun kami mengadakan Latihan Tingkat
juga api unggun. Kami biasa berjalan berkilo-kilo jauhnya dari Pondok untuk
mencari jejak atau renungan malam. Ketika kelas 5 KMI, semua santriwan dan
santriwati wajib mengikuti KMD (Kursus Mahir Dasar) Pramuka, karena setahun
kemudian, ketika kelas 6 KMI harus menjadi Pembina Pramuka untuk adik-adik kami
sendiri. Banyak hal yang pada akhirnya kukagumi dari pembelajaran dalam pondok,
selain kemandirian, percaya diri, hampir seluruh kegiatan ekstra pondok itu
dilakukan swadaya, dari dan oleh santri sendiri.
Tiga Orang Pimpinan
Pondok Pesantren Pabelan
Tidak dipungkiri, setelah wafat KH. Hamam Dja’far, pondok
diasuh oleh tiga orang yaitu KH Ahmad Najib Hamam, KH Ahmad Mustofa dan KH Muh
Balya. Di bawah tiga orang pimpinan itu pondok terasa sangat berwarna,
kebijakan-kebijakan masing-masing ikut mewarnai harmonisasi pondok. KH Ahmad
Najib Hamam, yang secara eksplisit membawahi semua santriwati dan santriwan kelas 5 dan 6 KMI, KH Ahmad Mustofa
membawahi semua santriwan, sedangkan KH Ahmad Balya lebih pada pembangunan
infrastruktur Pondok.
Ada nasihat-nasihat yang sering disampaikan oleh mereka
dalam kesempatan khutbah. KH. Ahmad Najib Hamam, dengan gaya khas candanya,
pernah memberi nasihat begini. “Hidup di
Pondok itu, yang ada hukum alam, siapa bertahan dialah pemenang. Kalau tidak
betah satu tahun, dicoba dua tahun, kalau tidak betah dua tahun dicoba tiga
tahun, begitu terus sampai tujuh tahun. Nah kalau sudah tujuh tahun tidak
betah, ya silakan pulang.” Meledaklah tawa para santri. Lalu pernah lagi,
beliau memberi nasihat sindiran khusus kepada santriwati, “Kalau bahasa Inggrisnya perempuan cantik, itu pretty. Tapi jangan
kempreti, ayu tapi jangan kemayu, pinter tapi jangan keminter”. Beliau juga
mengingatkan tentang adab bertamu dan lain-lain.
Lain lagi dengan KH Ahmad Mustofa yang akrab disebut Pak
Mad. Beliau selalu menyempatkan mengingatkan para santri dalam khutbahnya
mengenai aliran agama. “Pondok Pesantren
Pabelan tidak menganut aliran apapun, tidak NU, tidak juga Muhammadiyah. Jadi
aliran apapun boleh belajar dan menjadi santri di Pondok Pesantren Pabelan ini.
Kalau ada yang bertanya, katakan Pondok Pesantren Pabelan tidak menganut aliran
apapun. Begitu juga dengan cara berpakaian, berpakaianlah yang biasa-biasa
saja. Yang laki-laki ya pakai celana panjang atau sarung, dan atasannya kaos
atau kemeja. Yang perempuan, ya pakaian rok dan kerudung. Jangan pakai penutup
wajah; itu orang curang karena dia bisa melihat orang lain, tapi orang lain tidak
bisa melihat dia”. Pak Mad juga pernah berseloroh dengan canda ketika
memarahi santriwan. “Mas santri, mas
santri. Kempluuuuu.” Sedangkan khutbah KH Muh Balya biasa mengingatkan
tentang nasionalisme dan pluralitas sebagai rakyat Indonesia. Juga santri itu ojo kagetan ojo gumunan.
Bicara tentang Kiai atau Pimpinan Pondok Pesantren
Pabelan, juga berbicara tentang sejarah tata-letak bangunan dalam Pondok.
Konon, KH Hamam Dja’far membangun pondok
mengikuti alur hidup manusia sesuai ajaran Islam. Dari timur ke arah barat: Gedung
paling timur di pondok, adalah perpustakaan, filosofinya adalah mencari ilmu
mulai dari buaian. Perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad ketika diangkat
menjadi nabi adalah Iqra’ ‘bacalah’.
Jadi begitu lahir kita sudah mulai belajar, belajar tentang apa saja. Sebelah barat
perpustakaan ada lapangan, yakni mencari penghidupan, mengarungi hidup.
Kemudian ada masjid, dimaksudkan untuk selalu beribadah kepada Sang Pencipta,
menjalankan shalat sehari-hari setelah mengarungi hidup dan setelah belajar.Lalu
di sebelah barat masjid ada kuburan, yaitu pada akhirnya manusia juga akan
kembali kepada Sang Pencipta. Setelah mencari ilmu, hidup dan beribadah pada
akhirnya semua manusia akan berpulang kepada-Nya lagi.
Pak Pos Pondok, Wo Nah
dan Mbok Urip
Tidak adil rasanya bila aku tidak mengenalkan Almarhum
Pak Badrun yang sangat berjasa besar
bagi para santri. Ketika ATM belum ada, semua hal yang berkaitan dengan
uang masih dikirim dengan wesel. Begitupun denganku. Setiap kali pak Badrun
terlihat berjalan di dalam area pondok, hampir semua anak bergembira sambil
mengerubungi pak Badrun, ada yang bertanya, adakah wesel atau juga surat. Pak
Badrun selalu dengan sabar melayani dan menjawab pertanyaan kami. Betapa
gembira kami hingga menjerit bila mendapat kiriman surat ataupun wesel.
Lalu Wo Nah, tukang masak di pondok putri. Wonah ditemani
dua orang rekannya menjadi juru masak bagi kami santriwati. Mereka memasak
sesuai jadwal makan kami sehari tiga kali. Hampir tiap pagi Wo Nah juga
menggoreng tempe dan pisang untuk dijual. Karena dinginnya udara pagi kala itu,
untuk menghangatkan badan dengan segelas teh ditemani tempe dan pisang goreng
menjadi favorit kami. Sedangkan di area santri putra, kami mengenal mbok Urip
dan dua orang rekannya sebagai juru masak pondok. Mengenal mereka sungguh
menyenangkan, orangnya ramah-ramah dan senang guyon.
1993-2000 Perjalananku
Aku masuk Pondok tahun 1993, dimulai kelas satu
Tsanawiyah dan selesai setelah kelas tiga Aliyah di Pondok Pesantren Pabelan
tahun 1999. Semua kulalui dengan baik,
ada suka, duka, bahagia, sedih, dan lain-lain. Banyaknya teman,
kakak-kakak dan adik-adik kelasku membuatku belajar dengan berbagai tipikal
manusia. Banyaknya kegiatan organisasi dan kegiatan ekstra di pondok, membuatku
menjadi seorang remaja yang mandiri, percaya diri dan bertanggung jawab. Selulus
itu kami mengikuti micro teaching.
Saatnya tiba kami menggunakan kebaya berkerudung,
melakukan belajar-mengajar di hadapan teman-teman seangkatan. Lulus micro teaching, aku mengabdikan diri di
pondok setahun. Beberapa temanku memilih melanjutkan kuliah lebih dulu sebelum
melaksanakan pengabdiannya, dengan perjanjian hitam di atas putih. Aku memilih
menyelesaikan dulu pengabdianku karena khawatir kalau tidak bisa kembali lagi ke
pondok untuk mengabdi.
Setahun terakhir
ini, aku menyandang gelar “Mbak Guru” yang dulu terdengar aneh tapi khas. Pada tahun
ini pula aku mengenal seorang pria, sesama santri di Pondok Pabelan, yang
akhirnya menjadi partner hidupku hingga saat ini. Awal perkenalan kami ditahun
1997, kami beberapa kali bertemu pada pelatihan pustakawan/pustakawati Pondok
Pabelan, juga pada pelatihan Jurnalistik yang diadakan di dalam Pondok. Lukman
Fahmi namanya, berasal dari Salatiga. Beliau masuk Pondok tahun 1995 dari kelas
Takhasus. Menyatakan perasaannya padaku tahun 1998, saat itu kami sama-sama
duduk di kelas dua Aliyah atau kelas lima KMI. Kami mengabdi di tahun yang sama
1999-2000. Selesai pengabdian, kami melanjutkan kuliah masing-masing. Dia
kuliah di STAIN Salatiga, dan aku meneruskan ke UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Kami tetap menjaga komunikasi dan sesekali saling mengunjungi ketika
liburan semester.
Tahun pertama kuliah aku sudah aktif di buletin kampus
tingkat Jurusan. Senang rasanya mendapat kepercayaan seperti itu. Kuliahku di
Fakultas Hukum dan Syariah Jurusan Jinayah Siyasah Program Studi Pidana Islam.
Di kost, aku mengenal beberapa mahasiswi lain, yang juga kuliah di UIN Syahid
Jakarta tapi berbeda Fakultas denganku. Ada kakak angkatan yang aktif membina anak
jalanan Jakarta, street based
katanya. Suatu hari aku ditawari bergabung membina anak-anak jalanan di
Jakarta, tepatnya di Klender. Sebenarnya berawal dari rasa ingin tahu saja maka
aku memutuskan bergabung, tapi pada akhirnya aku menikmati kegiatan ini.
Tahun 2001 menjadi awal aku aktif membina anak-anak
jalanan di wilayah Klender Jakarta Timur. Banyak alasan yang membuat anak-anak
tersebut harus di jalanan walau sebenarnya kebanyakan tidak menginginkannya.
Tahun 2005 di sela-sela pekerjaanku aku mendapat tawaran bekerja di KONTRAS
(Komisi Anti Kekerasan dan Orang Hilang) yang digawangi oleh almarhum Munir. Sebagai
volunteer, tugasku memonitor kasus
HAM yang diproses di pengadilan. Tidak sampai 3 bulan, aku mendapat tawaran
kerja penelitian film di Jakarta. Ternyata bukan penelitian tapi dokumentasi. Satu
bulan percobaan, aku diberi tugas sebagai unit manajer sebuah Production House dan mendapatkan tugas membuat
film dokumenter para kiai se-Indonesia. Selesai film dokumenter pertama di kota
Pati, Kiai Sahal Mahfudz, almarhum, kami kembali ke Jakarta. Ketika rapat
dengan para Produser Film, aku dinyatakan sukses dalam masa percobaan dan
disahkan menjadi unit manajer andalan untuk pembuatan film-film dokumenter para
kiai selanjutnya. Aku meminta izin untuk menyelesaikan skripsi dulu di UIN
Syahid Jakarta. Alhamdulillah dalam waktu tidak terlalu lama skripsi bisa
kuselesaikan dengan baik. Aku mengambil judul skripsi Perlindungan Anak menurut
Hukum Islam dan UU No. 4 Tahun 1979 Studi Kasus: Kekerasan Seksual pada Anak
Jalanan. Selesai menjalani sidang skripsi dan wisuda, aku melanjutkan studi di
Pendidikan Khusus Profesi Advokat di UIN Syahid Jakarta sambil bekerja.
Alhamdulillah, semua selesai dengan baik dan aku kembali aktif sebagai unit
manaer lagi.
Maret 2006 Lukman datang ke Jakarta dan memintaku sebagai
isteri kepada orang tuaku. Tanpa kendala macam-macam, tepat bulan Juli kami
melangsungkan pernikahan. Jadilah aku diboyong ke Kota Salatiga, kutanggalkan
semua karierku di Jakarta. Banyak teman dan sahabat yang menyayangkan
keputusanku, tapi aku meyakini bahwa inilah takdir yang harus aku jalani.
Praktis sejak 2006 aku berdomisili di kota Salatiga. Tidak punya teman dan
tidak kenal siapapun, membuatku merasa sendiri, akhirnya kuputuskan untuk
kembali kuliah, mengambil akta IV di IAIN Walisongo Semarang. Suamiku, bekerja
di Pemkot Kota Salatiga, Bagian Humas.
Berliku-liku pula perjalanan
pernikahan kami. Aku pernah mengajar les
private untuk anak pejabat di Kota Salatiga. Pernah pula diminta bergabung
dengan tim Konsultan Hukum di Kota
Salatiga, tapi aku masih belum mau karena aku belum mendapatkan SIM sebagai
advokat. Tahun 2009, aku bergabung dengan Partai baru, PIS (Partai Indonesia
Sejahtera) dan mencalonkan diri sebagai caleg 2009-2014. Sayang, suara partaiku
di kecamatan tersebut kurang 2.000
suara, kalah, aku tidak berhasil menjadi legislatif. Politik itu, setiap saat
bisa berubah, teman bisa jadi lawan dan lawan bisa jadi teman. Selesai
pencalegan, aku kembali pada aktivitasku sebagai ibu rumah tangga biasa. Datang
tawaran padaku untuk menjadi staf ahli dua buah partai yang lolos melenggang ke
gedung Dewan, tapi aku tolak.
Datang padaku tawaran untuk menjadi pengasuh Panti Asuhan
Putri Aisyiyah di Tuntang. Entah kenapa, aku malah langsung menyetujuinya. Aku
membuat surat lamaran, lalu menjalani wawancara, stressing dan lain-lain. Pada akhirnya aku lulus, resmilah aku
menjadi pengasuh di panti tersebut. Saat itu, 2010 anak-anak asuh yang berada
di asrama ada 52 orang. Sistem yang kuterapkan adalah sistem yang dulu aku
dapatkan dari pondok, bangun pagi jam
04.00 wib sampai menjelang tidur jam 21.00 wib. Banyak perbedaan antara di pondok
dan di panti. Hampir tiap tiga hari anak-anak asuh kukumpulkan dan kuberi
nasihat dan support. Berbekal kehidupan di Pondok yang menempa kemandirian,
kepercayaan diri juga bertanggung jawab, akhirnya semua bisa kuatasi dengan
baik. Kuterapkan reward dan punishment bagi anak-anak asuhku dan
menyenangkan.
Kegiatan kutambah
dengan drumband, rebana lalu hafalan
juz amma, khitabah dan organisasi. Alhamdulillah
semua merespons baik, anak-anak bisa diarahkan dengan baik, walau ada yang
bandel. Lama kelamaan panti yang kuasuh mulai berkembang. Drumband mulai
diminta tampil di mana-mana dan ikut serta berperan dalam acara-acara
organisasi keagamaan maupun organisasi masyarakat. Hingga saat ini, aku masih
berperan sebagai Pengasuh Panti Asuhan Putri Aisyiyah Tuntang. Anak asuhku
sekarang berjumlah kurang lebih 70 orang. Kami bertekad mencetak mereka menjadi
orang yang berpendidikan dan sukses pada masa depannya. Ya, panti kami
memberikan pendidikan hingga bangku kuliah untuk anak-anak asuh. Kami ingin
mereka menjadi manusia berpendidikan dan berakhlaqul karimah. Itu semua kujalani dengan dukungan suamiku
tercinta.
Kini kami sudah
memiliki dua orang putri cantik-cantik. Nawal Zahira Elfahmi lahir 11 Maret
2008 dan Balqis Humaira Elfahmi yang lahir pada 3 September 2012. Kami juga
tinggal di dalam asrama, menemani anak-anak asuh panti 24 jam, layaknya orang
tua mereka. Aku menjadi ibu asrama. Inilah perjalanan hidup yang kujalani, aku
sangat bersyukur karena dulu, orang tuaku memilihkan pendidikan pesantren
untukku, sehingga aku sekarang bisa seperti ini.
Pondok Pabelan sangatlah berarti bagiku, karena di sana
aku ditempa untuk menjadi manusia yang ber-Panca Jiwa Pondok. Ternyata benar
nasihat yang pernah kudapat dari para pimpinan Pondok. Salah satunya, siapa
bertahan dialah pemenang. Ya, akulah pemenang! Bertahan menjalani hidup di pondok,
hingga saatnya aku harus keluar dan aku pemenang hati seorang pria yang juga
alumni Pondok Pabelan. Kini aku pemenang bagi anak-anak asuhku di Panti Asuhan
Aisiyah Tuntang.
Angkatan
2001-2005
Kenangan
Menjadi Santri
Fatoni Afrianto
Saya masuk Pondok
Pabelan tahun 2000 bulan Juli tepatnya tanggal 26. Masuk di kelas Takhasus,
persiapan untuk ke Aliyah selama setahun. Bersama teman dari berbagai macam
karakter kita dituntut belajar menjadi orang yang mampu beradaptasi dengan
lingkungan dan keadaan. Berbeda kepala berbeda isinya, apalagi dari berbagai asal
daerah. Tapi dari sinilah masing-masing kita terbentuk, bahkan dari keadaan
tersulitpun orang mampu bangkit. Asrinya Pabelan pada saat itu memang mendukung
kita untuk asyik menikmati belajar dan termenung sambil mengantuk-ngantuk. Dan
itulah indahnya hidup. Coba kalau difilemkan enaknya nostalgia tidak terkirakan.
Kelas
takhasus berlangsung selama satu tahun, dituntut pelajaran agama, bahasa Arab
dan Inggris. Awalnya ditempa untuk tahu arti hidup dan belajar berbicara di depan
umum dan mengendalikan diri bersama teman-teman. Ada teman senior atau santri
lama, demikian juga yang senasib sama-sama orang jauh atau perantauan untuk
menuntut ilmu. Mahfudzot demi mahfudzot,
Vocab demi Vocab dihapalkan, pidato demi pidato kami buat walau arahnya tidak
jelas, yang penting bunyi kata kata prosedur tetapnya itu-itu melulu. Dari
ujung kelas terdengar I’ll change my
speech by indonesian language. Atau terdengar saubaddil kalami bil indonesiy. Lha siap-siap dipanggil OPP bagian
pengajaran dan pendidikan. Iqob lagi,
iqob lagi. Tidak apa yang penting tidak
digundul aja. Pidatonya jadul, berbicaranya sedikit saja tetapi sambil menendang
meja berkali-kali. Itulah seni mengajarkan keberanian, keberanian yang ngawur.
Tetapi lambat launpun akan belajar bagaimana pidato yang baik dan bagus. Apalagi masih muda dan sedang berproses mencari
jati diri.
Dulu ustadz-ustadzah
sering berkata, kamu sekalian sedang cari jadi diri dan karakter, namun saat
itu masih bingung jati diri itu apa. Pertanyaan pendek yang jawabannya perlu
proses yang panjang dalam hidup. Ternyata lambat laun paham dengan apa hakikat
hidup, mau kemana dan mau jadi apa. Ditanya mengenai cita-cita, bingung mau
jawab apa. Tapi hal itu terjawab setelah apa yang kita laksanakan dan arah
kemana akan kita tuju. Setahun Takhasus penuh kegelisahan pisah dengan keluarga
dan sanak saudara. Tapi tergantikan dengan teman-teman yang banyak di Ponpes. Setahun
berlalu masuklah di Madrasah Aliyah (MA) banyak hal ajaib yang terjadi. Dari
kelas satu MA pelajaran demi pelajaran berlangsung, persaingan demi persaingan
tak dapat dielakkan untuk menjadi yang terbaik. Tapi tidak dengan cara yang
curang. Ditempa di kelas ditempa juga di organisasi. Organisasi Pelajar Pondok
(OPP) bagi santri baru terdengar dan erkesan sangar dan menakutkan, tapi bukan
sekedar itu saja.
Waktu blm
masuk OPP, kami berpikiran bahwa OPP berisi senior yang kaku, galak dan suka
sekali menghukum (iqob, iqob, iqob).
Sejatinya bukan iqob saja yang didengungkan tapi pembentukan karakter santri
yang harus mampu dan berani menghadapi apa yang menjadi risiko dari perbuatan.
Tidak juga menjadikan seorang santri bebal dan kebal karena saking seringnya
dihukum. Iqob yang proporsional bertujuan membentuk santri sadar akan reward and punishment. Lain syakartum Laazidannakum Walain Kafartum
inna adzabi lasyadiid. Orang yang lurus dan ikut alur peraturan akan
selamat tapi yang suka mbalelo dan
suka melanggar peraturan yang ditetapkan mau tidak mau dihukum agar ikut jalan
yang lurus.
Kelas satu
MA sudah masuk menjadi pengurus OPP. Ternyata menjadi pemian tidak segampang
yang dibayangkan penonton. Persis seperti uad orang mengobrol di warung kopi
semua orang lain disalahkan, dari presiden, menteri, pimpinan, pengurus
dll. Namun setelah mereka menjadi
pengurus maka perang-batin dimulai, yang dulunya tidak suka di-iqob karena
salah, kini ya harus di-iqob tapi harus lihat dulu kesalahan apa dan latar
belakang anak tersebut. Secara halus dinasehati atau kesalahan tersebut harus dengan
nada keras dan pedekatan yang intensif. Setelah dimarahi jangan langsung
dibiarkan begitu saja, akan membuat dia merasa minder dan ketakutan serta tidak
percaya diri. Jadilah didekati dan ditunjukkkan secara benar bahwa dia salah,
apa salahnya dan untuk itu sebaiknya melakukan dengan pendekata 3S ( salam,
sapa, santun). Santri kelas 5 belajar menjadi pengurus OPP sampai dengan kelas
6..
Kiai-kiai
dan ustadz/ustadzah menjadi teladan dalam memberikan segenap ilmunya. Proses transfer
ilmu tanpa batas, tapi terkadang muridnya yang terbatas. Kebanyakan masih harus
mencari jati dirinya dan mau jadi apa ke depannya. Hafalan dan pengetahuan
terus digali. Itu merupakan bekal untuk hari nanti. Masih ingat kata-kata ustad
Musyafa’ (alm) beliau menyampaikan: ma
tazakkir yanfaaka ‘apa yang kamu tabung atau simpan akan bermanfaat bagi
kamu’. Menabung bukan sekedar uang, tapi ilmu pengetahuan, belajar, hafalan. Menabung
ilmu pengetahuan jangka pendeknya dipanen saat menghadapi ujian atau menjawab
pertanyaan guru. Tabunagn ini sangat besar manfaatnya bagi pembentukan karakter
dan jati diri seorang santri. “Mau menjadi
lulusan yang pah-poh, ngowoh, atau menjadi pucuk tombak di masyarakat, tergantung
pribadi masing-masing saat mengenyam belajar. Hasilnya akan berbanding lurus
dengan yang diusahakan, prosesnya bagus hasil akan bagus, prosesnya asal lewat
maka dia akan terlewatkan juga. Persaingan kehidupan ke depan akan semakin sulit”.
Pak Nasir pernah
berbicara di depan kelas, kalau kita tidak berlari dan hanya berhenti maka akan
tergilas, itu isi puisi karya filosof Mohammad Iqbal dari Pakistan dan juga isi
puisi Chairil Anwar yang saya lupa judulnya. Semakin maju zaman kita harus
berlari mengejar mimpi. Hidup memang diawali dari mimpi, dari mimpi pun orang
bisa menjadi besar. Lulus kelas 6 saya dipercaya pegang uang makan bersama mas
Komeng. Suka duka pegang uang makan. Itu adalah amanat harus kita tunaikan, junjung
tinggi dan kita jaga sekaligus menjadi pengurus OPP (jadi pengurus selama dua
tahun tidak bosan, meskipun sesungguhnya kelamaan tetapi tanggung jawab harus
diemban suka tidak suka, enak tidak enak). Tanggung jawab harus diemban dan
dilaksanakan dan percaya bahwa itu bukan dari manusia tapi tugas dari Allah SWT
lewat manusia. Intinya jangan sewenang- wenang.
Kelas 6 berjalan di penghujung tahun
ada Ujian Akhir Nasional (UAN). Itulah jalan hidup Pabelan yang berubah dari
sekadar KMI. Nilai standar dicanangkan dan semua siswa sama-sama bingung. Walaupun
sudah disiapkan, pelajaran sudah dipelajari-ulang, buku-buku bahan didatangkan
dan dibagikan secara kelompok untuk dipelajjari. Jadilah SKS, Sistem Kebut Sakkarepe. Terpenting ada nyantol di otak, dan hal tersebut
merupakan seni belajar yang tiada tanding. Terbukti siswa-siswa malah antusias
dalam belajar, banyak yang mojok, cari wangsit, maksudnya ketenagan, di masjid,
di kantin, ada pula yang di WC bawa buku, sampai ada juga yang ngalong naik
pohon, bahkan ada yang di kuburan. Secara tidaksadar siswa mengalahkan dirinya
untuk tidak menuruti keinginan nafsu. Seumur remaja maunya santai, malas, berkumpul
dengan teman-teman, tapi waktu yang ada dimanfaatkan untuk belajar, tirakat dan
prihatin.
Dari kesulitan seperti itu timbullah
hal-hal luar biasa dan menakjubkan yang menjadikan para santri kuat menghadapi
masa depan. Ujian telah berlalu, seni belajar telah dipraktikkan para santri,
giliran seni menerima hasil ujian berupa amplop yang dibagikan pada santri. Diawali
dengan Kutbah oleh Pimpinan pondok dan diakhiri pembagian amplop menuju masa
depan. Banyak seni ekspresi terjadi, ada yang langsung sujud tanda kesyukuran,
ada yang berteriak baru sujud, ada yang pelan-pelan nariknya setelah dilihat
langsung pingsan padahal lulus. Selesai
lulus, bingung lagi mau kemana, mau lanjut perguruan tinggi bapak kayaknya tidak
mampu.
Hari itu Jumat batas santri laporan ke
pimpinan Pondok mau ikut mengabdi atau melanjutkan ke perguruan tinggi. Hari Kamis
saya dipanggil Pak Najib, saya izin mau tanya orang tua dulu. Tetapi setelah
itu bingung, saya mau bertanya ke orang tua pakai apa, telepon orang tua tidak
punya. Pakai surat lama sampainya, pakai telepati? Ternyata setelah Jumatan
dipanggil mendadak ke rumah Kiai Ahmad Mustofa, dan disana sudah ada Kiai Najib
dan Kiai Balya. Kembali saya ditanya mau ngabdi atau lanjut kuliah, bingung
bercampur spontanitas saya jawab, “Mengabdi, Pak kiai.” Walaupun sehabis itu
juga bingung, namun yang penting menjalani dulu, toh skenario sudah dibuat
Allah SWT tinggal kita menjalankannya.
Allah sudah menetapkan jalan kita. “Nikmati
prosesnya walaupun dengan bercucuran air mata’. Hasilnya akan kita nikmati, man yazrok yahshud. Tanaman kita tanam,
prosesnya membuat kita capai, kalau digarap dengan baik maka hasilnya akan baik
juga. Seperti hidup kita, jalani prosesnya walaupun menyakitkan tapi kita siap
ditempa guna menghadapi masa depan yang berat persaingannya.
Selama mengabdi panggilan menjadi “Ustadz”,
keren kayaknya. Padahal kalau dicermati panggilan tersebut berat dipikul,
karena perbuatan, perkataan, tindak-tanduk, teladan dan performa harus
mencerminkan yang harus diemban. Sering dikatakan sebagai Center of Excelence.
Tugas saya memegang uang SPP santri putra dan mengajar Bahasa Inggris. Belajar
cara mengajar kepada sama bu Jauharoh dan belajar memegang uang SPP kepada
masternya pak Nurhamid. Selama mengabdi saya berkeinginan out of the box,
sesuatu hal yang baru, mendaftar di Akademi Militer.
Tanggal 24 Maret 2005 ada kabar pedaftaran
Akmil dari wali santri Ibu Wahyu dari Ungaran. Beliau SMS ke teman saya, Didik Supriyanto.
“Assalamualaikum. Kak Didik tolong beri
tahu Kak Fatoni bahwa ada pendaftaran Akmil yang ditutup tanggal 31 Maret 2005.”
Bingung bercampur tidak percaya, ini adalah kehendak Allah yang harus
dijalankan. Bagaimana tidak, Didik dari
Jakarta bermain ke Jawa hanya mau menunjukkan SMS tersebut kepada saya. Walaupun jarak waktunya tinggal satu minggu,
maka tanggal 25 Maret saya memfoto kopi ijazah dan nilai raport kurang lebih setebal
jilidan al-Quran. Saya mengahadap ke TU meminta untuk dilegalisasi. “Banyak
sekali Ton?” tanya pak Hedi, Kepala MA. “Iya Pak, rencana mau mencari bea siswa”, jawab saya belum jujur.
Setelah itu saya browsing di Telecenter tentang pendaftaran akmil dan mencari info
dari koran di perpustakaan. Alhamdulillah nilai Rata-rata NEM kelulusan MA
memenuhi syarat dan rata-rata raportpun memenuhi syarat. Sehingga tinggallah
saya menyiapkan fisik, mental dan akademik serta psikologi.
Setelah itu saya menghadap ke Kiai
Najib. Saya beranikan berbicara, “Mohon izin
Pak, saya minta izin pulang untuk menyiapkan berkas guna mendaftar di Akmil”.
Antara percaya atau tidak, pak Najib bertanya,
“Opo? Akmil? Yakin Kamu, Ton?” Saya
menjawab, “Iya Pak, saya mau mendaftar di
Akmil, mencoba dulu”. Kemudian saya menghadap ke pak Ahmad dan ke Pak Balya.
Alhamdulillah saya mendapat restu
dari beliau bertiga.
Jarrib
wa lahidh takun arifan. Seperti dalam film keluar dari pondok saya naik
andong. Sampai Batikan saya naik bus jurusan Semarang menuju Kodam
IV/Dipponegoro, mencari tahu pendaftaran. Selasa tanggal 29 Maret 2005 saya mendaftar
diri. Saat mendaftar di Ajendam IV/Dipponegoro memakai pakaian ala ustadz
praktek tanpa dasi dan lengkap sepatu vantofel,
persis orang melamar pekerjaan. Tapi itulah yang menjadi nilai positif
dan dijadikan percontohan, karena setelah saya mendaftar ada yang mendaftar dengan
baju dikeluarkan langsung diusir dari tempat pendaftaran bahkan ada yang memakai
kaos oblong dan celana levis tanpa ampun langsung disuruh pulang. Datang harus
rapi dan siap untuk mendaftar. Pendaftaran selesai dilanjutkan penyiapan fisik
sebelum test, akademik, psikologi, mental ideologi dan lain-lain. Selesai mendaftar,
kembali lagi ke Pabelan sambil menunggu test berikutnya.
Ada kejadian sewaktu saya latihan fisik,
berlari. Mulai jam 12.30 WIB setelah salat dhuhur, rencana mau lari ke Mendut
lewat Pabelan I tembus ke desa-desa. Uang sudah saya siapkan di atas lemari
untuk ongkos naik bus dan membeli minum setelah sampai Mendut. Kumulai start
lari dari depan Telecenter sebelumnya pemanasan, berlanjut lari sampai di Mendut.
Cuaca cerah panas jam 13.15 sampai Mendut. Merasa capai, haus, dan dalam pikiran
saya di kantong celana ada uang. Setelah kucari-cari di kantong celana, jangan kan uang 5000 rupiah, bahkan 100
rupiahpun tidak ada. Kuingat-ingat, ternyata uang tertinggal di atas almari.
Ya, meskipun capai, haus, perjalanan masih harus kulanjutkan dan jauh hingga di
Pabelan. Siang itu akhirnya berjalan kaki lagi dan sampai di Pabelan sudah jam
15.30 WIB. Sungguh kejadian yang mengesankan penderitaan.
Alhamdulillah test demi test terlewati. Ada test subdaerah,
test daerah, akhirnya sampai test pusat di Bandung. Beribu-ribu orang yang mendaftar
dari seluruh Indonesia, dan yang diterima hanya 300 orang. Alhamdulillah saya termasuk di dalamnya, Masuk pendidikan Akmil
tahun 2005-2008. Semua gratis, makan dan gizinya terjamin. Perlengkapan seluruh
prajurit dibagikan. Pertengahan 2009 saya mendapat penugasan di Ambon sampai
dengan sekarang. Saya tidak lupa mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT,
salawat kepada Nabi besar Muhammad SAW, ucapan terimakasih kepada pimpinan
pondok dan jajarannya, para ustadz-ustadzah yang telah menghantarkan kami
menuju masa depan yang lebih cerah, juga teman-teman yang memberikan dukungan, Simbah
Ngah (almarhumah), Mbok Urip, Mbah Empang, Mbah MK dan semuanya yang tidak bisa
saya sebutkan satu persatu. Saya belum bisa membalas kebaikan dan kearifan
Pabelan kepada saya, namun saya bangga sebab dari sanalah saya dilahirkan
kembali.
Kepada adik-adik OPP jaga dirimu, jaga
adik-adikmu, kamu diberi kepercayaan yang tidak mudah-ringan mengembannya. Kamu
harus bisa membagi waktumu, waktu belajarmu, waktu bermainmu dan waktu untuk
mengurus organisasi dan mengurus adik-adikmu. Jangan sia-siakan waktumu, jangan
merasa hebat. Jangan sewenang-wenang saat kamu diberikan tanggung jawab.
Laksanakan tugas dengan senang hati insyaAllah akan ada manfaatnya di kemudian
hari baik kamu sadari ataupun tidak. Ingat pimpinan Pondok pernah mengatakan
ketika engkau menunjuk orang maka satu jari telunjuk menuju ke orang yang kamu
tunjuk dan sisa jari lainnya menunjuk ke kamu sendiri. Itu tandanya kita
disuruh untuk lebih introspeksi diri sebelum kita menyalahkan orang lain.
Kepada adik-adik tetaplah gapai ilmu
yang engkau inginkan. Jadilah dirimu sendiri jangan meniru gaya orang yang
tidak jelas. Selama baik maka lanjutkanlah asalkan sesuai norma dan aturan yang
berlaku. “ Kun nafsak” dan “ Laisal fataa man yaquulu kaa na abii,,
walakinnal fataa man yaquulu ha ana dza”. Seorang pemuda bukan yang
mengatakan inilah bapakku, tapi hakikat seorang pemuda adalah yang mengatakan
inilah saya (Bukan sombong tapi penuh semangat dan percaya diri bahwa dia bisa
berdiri di atas kaki sendiri tidak bergantung pada orang lain) al i’timadu alan nafsi asasunajah.
Jangan membeda-bedakan cara guru
mengajar tapi bagaimana kamu menerima ilmu dengan baik. Jangan hanya menyenangi
guru yang baik pada kamu dan memujimu saja tapi sayangilah semuanya. Cara guru
mengajar berbeda-beda, cintai guru dan hormati mereka niscaya ilmumu berkah. Jangan
hanya prestasi keilmuan semata yang kamu gapai, tapi kesiapan mentalitas jiwa
pantang menyerah juga harus kamu pupuk. Banyak orang berorientasi bahwa nomor
satu adalah segala-galanya, tapi saat gagal rasanya dunia kiamat atau Tuhan
tidak adil. Ini kisah nyata dari SMA dia ranking satu sampai di PT dia masih
juaranya tapi pada saat kelulusan dia nomor dua, dia berketetapan dosen tidak
adil. Kisah dapat kita simpulkan yang dia cari hanya popularitas semata dan
akhirnya dia stress. Ada yang dia lupakan yaitu mentalitas untuk menghadapi
kegagalan, tapi bukan itu saja hakikat
hidup. Jalan hidup masih panjang bukan berhenti pada saat ketika kita gagal, masih
banyak keberhasilan-keberhasilan yang lain yang bisa kita capai.
Ada ungkapan, ‘Banyaknya pekerjaan yang belum ditemukan sebanyak lagu yang belum
diciptakan.’ Saatnya kamu berhasil disyukuri dan saatnya kamu gagal atau
jatuh lantas bangkit lagi. Mudah dikatakan, tetapi kakakpun mencoba untuk
mempraktikkannya walaupun susah. Jangan berhenti berusaha, berjalanlah terus
jangan sekali pun menengok ke belakang. Jika kamu berhenti maka kamu akan
tergilas. Lari, lari dan lari, kata Pak Nasirudin suatu ketika dengan penuh
semangat. Pak Bob berkata (kata orang yang bosan kaya): Kita hidup tidak hanya
kita jalani, namun harus ada inovasi agar sukses. Berjalanlah terus menjalani
hidup. Jika kamu jatuh maka bangkit lagi, jatuh lagi bangkit lagi, jatuh lagi
ya bangkit lagi sampai kamu bisa berlari menggapai masa depannmu. Jangan mudah
menyerah, Sehebat apapun kamu jika memiliki sifat pantang menyerah hidupmu
tiada berarti. Lampaui batas kemampuannmu.
Masa depan kita rencanakan sebaik
mungkin dan Allah sudah memberikan yang terbaik bagi kita semua. Amien, amien. Ya rabbal alamien...
Mengelola
Dana Pondok
Sulistyawati
Saya salah satu alumi Pondok Pesantren
Pabelan lulusan tahun 2003. Alhamdulillah
saya dapat menyelesaikan masa pembelajaran saya di Pondok Pabelan hingga 7
tahun, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah
dan setahun masa pengabdian. Banyak pengalaman dari pembelajaran yang saya
dapatkan selama mondok di Pabelan. Pembelajaran-pembelajaran tersebut hingga
sekarang masih saya rasakan manfaatnya. Selain itu Pondok Pabelan juga tidak hanya
sebagai tempat bagi saya selama itu untuk menuntut ilmu namun juga merupakan
rumah kedua dan keluarga besar bagi saya hingga saat ini, bahkan selamanya.
Awalnya saya masuk Pondok Pesantren Pabelan
mengikuti kakak laki-laki saya yang terlebih dahulu mondok di Pabelan. Pada
awal-awal saya merasa kesulitan mengikuti kegiatan pondok yang cukup padat mulai
dari bangun pagi pagi sebelum subuh, shalat berjamaah, berolahraga, sarapan, sekolah
dari pagi sampai siang, berjamaah Dhuhur. Makan siang, tambahan pelajaran,
shalat Ashar, olah raga sore, shalat maghrib berjamaah di masjid hingga belajar
malam di asrama dan sholat malam. Belum
lagi beberapa kegiatan ekstrakulikuler yang harus diikuti disela sela kegiatan
rutin tersebut, seperti pengajian kitab kuning, etika keputrian, muhadhoroh (pelajaran
berpidato), pramuka, dll. Namun entah mengapa kegiatan rutin tersebut yang
kadang kini saya rindukan.
Kegiatan rutinitas yang cukup padat
selama di pondok menjadikan saya pribadi yang berdisiplin serta mengajarkan
saya agar dapat membagi waktu dengan baik. Selain itu kegiatan ekstrakulikuler
yang pernah saya ikuti juga memberi dampak positif bagi kepribadian saya, seperti
kegiatan etika keputrian, pembelajaran yang merupakan pembekalan tingkah laku (atitude) dalam kehidupan (cara duduk, makan,
sopan santun, dll.) yang tidak akan saya dapatkan bila sekolah di luar pondok. Kegiatan
muhadharah juga banyak membantu saya agar tumbuh menjadi pribadi yang percaya
diri dan berani tampil, selain mengajari saya
bagaimana cara berorasi (pidato) dengan baik.
Setelah terbiasa dengan segala
rutinitas sehari-hari tersebut selama empat tahun, tibalah bagi kami pengalaman
yang sangat berkesan dan memberi pembelajaran yang sangat berharga dalam kehidupan saya, Organisasi Pelajar Pondok
(OPP) Putri. Saat itu saya dipercaya menjadi ketua OPP. Di sinilah saya belajar
bagaimana cara berorganisasi, berhubungan dengan patner kerja (teman), anak
buah (adik-adik kelas) dan atasan (bapak kiai) serta bagaimana mengatur agar
kegiatan rutinitas pondok dapat berjalan dengan baik dan lancar. Ketika kemudian
saya dipercaya untuk memegang uang makan santri putri dan ketua koperasi, di sini
saya belajar harus benar-benar amanah untuk menjalankannya dan teliti, jujur dan
dapat mengolah dana dengan baik. Saya diajari oleh bu Ulfa banyak ilmu praktis
dalam memegang uang dan mengelolanya. Pengalaman
itulah tanpa saya sadari telah membentuk diri menjadi seperti sekarang ini serta
membantu menguatkan bidang pekerjaan yang sedang saya tekuni, berhubungan
dengan berbagai macam orang dan manajemen keuangan.
Kebahagian saya sebagai santri lebih
terasa lagi pada saat saya berada pada masa akhir nyantri , yakni masa pengabdian. Saat itu, saya benar-benar
merasakan bahwa pondok adalah keluarga saya. Mungkin perasaan saya dikarenakan
perjalanan bersama sama (teman, guru, adik-adik kelas, atasan) yang cukup lama dan
intensif hingga menimbulkan suatu ikatan yang kuat.
Demikian sedikit pengalaman, pembelajaran
dan kenangan yang saya miliki selama menjadi santri di Pondok Pesantren Pabelan.
Semoga pengalaman saya ini dapat memberikan warna-cerita yang lain mengenai
pondok kita tercinta, Pabelan.
Belajar
Hidup Ikhlas
Edi Susilo
Tidak cukup satu buku untuk kita
alumni menulis tentang Pabelan. Jangankan bagi kita yang pernah nyantri, bahkan
mereka yang hanya sekedar singgah atau mampir untuk melihat kehidupan santri
dan seisi pesantren pasti langsung memiliki kesan tersendiri dalam benak dan
hatinya. Bagi saya pribadi yang tujuh tahun (6+1) nyantri di pesantren ini, Pabelan
sudah menjadi rumah bagi saya. Bahkan hingga kini rasanya saya ingin selalu
kembali pulang ke Pabelan; ingin kembali merasakan masa-masa nyantri dan
bergelut dengan rutinitas yang ada di pondok mulai dari bangun pagi hingga
bangun pagi lagi, begitu setiap harinya.
Dulu tidak pernah terpikir akan sampai
tujuh tahun saya di Pabelan. Sebab pada masa awal menjadi santri semua terasa
begitu berat dan susah untuk dijalani. Hal pertama yang dirasakan setiap santri
baru adalah homesick ‘kangen rumah’,
rindu orang tua dan kondisi kehidupan di lingkungan rumah yang sudah biasa kita
temui setiap hari namun sekarang harus berganti dengan kehidupan di asrama dan
aturan ini-itu yang tidak pernah kita temui di rumah kita. Menjadi santri baru
artinya kita harus mengikuti kegiatan Khutbatul Iftitah, saat kita diperkenalkan
dengan kehidupan di Pabelan dan seluruh isinya yang waktu itu saya masih
bener-bener blank. Setidaknya dalam Khutbah Iftitah santri diingatkan-diajarkan
untuk ikhlas, ikhlas meninggalkan rumah demi menuntut ilmu dan mencari
pengalaman baru yang belum pernah ditemui. Juga ikhlas meninggalkan orang tua
dan keluarga besar di rumah dengan segala kenyamanan dan kebebasannya. Sebab di
Pabelan kami santri tidak lagi bisa menikmati acara di teve setiap harinya,
tidak lagi bisa main video game yang bisa aku mainkan bahkan sampai lupa waktu
dan mandi. Tidak lagi bisa tidur kapan saja ketika kantuk menyerang dengan
tiba-tiba, tidak lagi bisa pergi bersama teman-teman untuk main layangan di
lapangan ataupun sekedar jalan-jalan di mall ataupu pasar malam bersama dengan
temen-teman satu gank. Santri harus ikhlas meninggalkan semua kebiasaan selama
di rumah dan ikhlas berganti dengan rutinitas baru sebagai santri di Pabelan.
Meskipun berat dan susah, tapi
membiasakan diri untuk melakukan semua kegiatan dengan ikhlas dan penuh suka
cita membuat semuanya menjadi terasa lebih mudah dan ringan. Apalagi bila
dikerjakan dengan santri, teman-teman yang senasib dan seperjuangan. Pabelan
mengajarkanku untuk ikhlas dalam menjalankan segala aktivitas yang ada di
pesantren, agar hasilnya juga manis seperti kata mahfudzot yang artinya “Kesabaran itu pahit, bahkan lebih pahit
dari empedu. Namun hasilnya akan manis,
bahkan lebih manis dari madu”.
Selama di Pabelan kita juga
diajarkan untuk selalu berlaku sederhana dan tidak berlebih-lebihan, karena
pada dasarnya Islam tidak menyukai yang berlebih-lebihan. Lebih dari itu,
dengan kesederhanaan kita akan lebih menghargai sesuatu yang kita miliki. Kita
juga dihindarkan dari yang namanya sombong atau takabur. Kesedarhanaan selama
di Pabelan bisa kita rasakan dalam setiap sendi kehidupan kita sebagai santri.
Tidak ada yang berlebihan dari sosok Pabelan, mulai dari bangunan yang sederhana,
berbentuk sama, bahkan ada beberapa bangunan yang masih menggunakan dinding
kayu dan anyaman dari bambu. Setahu saya hingga saat ini masih ada yang dipertahankan
keasliannya dan merupakan contoh bagaimana Pabelan mengajarkan kesederhanaan.
Makan hanya dengan lauk tahu-tempe, bahkan dalam berbusana santri, Pabelan
mengajar untuk berbusana sederhana. Saya sampai sekarang setiap pergi ke masjid
menggunakan sarung, persis cara mengenakan yang dulu diajarkan oleh kakak-kakak
pengurus ketika Khutbatul Iftitah. Yang tidak saya temukan di luar Pabelan
adalah cara mengenakan jilbab santri putri saat bersekolah. Itu merupakan salah
satu ciri khas Pabelan yang sederhana namun tetap bersahaja. Karena sederhana
bukan berkecil hati atau mengecilkan diri sendiri, sederhana adalah sebuah
sikap yang bijak dan mulia.
Tinggal di asrama artinya kita harus
melakukan segalanya sendiri (mandiri). Mandiri artinya mengerjakan segala
sesuatu sendiri/dengan usaha sendiri, bukan egois tapi lebih kepada melakukan
hal-hal yang besifat pribadi/personal tanpa harus mengandalkan orang lain. Mencuci
pakaian, mengantre makan, mengerjakan PR dan lainnya. Meskipun manusia adalah
makhluk sosial, namun kemandirian merupakan sesuatu hal yang lebih bersifat
personal bukan publik. Kita tidak akan sering mati kalau kita bisa mandiri,
sebagai contoh ketika dulu kita di rumah banyak pakaian kotor kita tinggal
minta asisten rumah tangga untuk mencuci pakaian. Di Pabelan kita harus mencuci
sendiri, tidak ada yang mencucikan pakaian lantas terucap “Mati aku!”. Itu sekali mati, coba kalau setiap hari harus mencuci
pakaian, berapa kalikah kita akan mati? Sekarang
di Pabelan kita harus mencuci sendiri, meskipun di rumah tidak pernah mencuci
sendiri. Kita bisa minta diajari teman atau kakak pendamping. Kalau mau kita
bisa belajar dari melihat teman yang mencuci, lama kelamaan juga akan terbiasa
dan kita pasti akan bisa mencuci sendiri. Memang membiasakan diri itu awalnya
berat, namun setelah terbiasa kita kan merasakan ringan.
Pertama kali di Pabelan dan berkenalan
dengan teman-teman, juga kakak-kakak saya kaget karena tidak hanya orang Jawa
saja, melainkan dari seluruh pelosok tanah air. Seingat saya setelah menyelesaikan pendaftaran
dan diantar oleh kakak yang mengurusi pendaftaran ke Gedung Presiden, kamar C.
Di kamar Presiden C ini aku berkenalan dengan beberapa teman yang sama-sama
masuk ke MTs, dan yang masuk ke Takhasus. Ada si Soffa Zainuddin yang dari
Sleman, Wahyu Purwo dari Wonogiri, Kak Arhaman Sudur dari Medan, Kak Arif yang
alergi kasur-berkapas dari Jakarta dan beberapa teman lagi. Aku tidak pernah
menyangka akan memiliki keluarga baru dari seluruh pelosok negeri di pesantren
ini. Keluarga baru yang hingga tujuh tahun aku di pesantren memiliki kesan
tersendiri dan menjadi bagian dari kehidupanku yang sangat membekas di jiwa
ini. Pernah waktu kuliah di UNNES, saat aku mengikuti pelatihan pembuatan video
pembelajaran dan film pendek yang diadakan oleh Pusat Pengembangan Media
Pendidikan UNNES, saya ditanya oleh salah satu instruktur saat istirahat.
Beliau bertanya dulu sekolah di mana, saat aku jelaskan kalau aku sekolah di
Pesantren Pabelan, belianya langsung memotong penjelasan saya dan langsung
bilang kalau beliau juga dulu di Pabelan meskipun tidak sampai lulus Aliyah.
Beliau juga bertanya kabar Ustad Balya, bagaimana pesantren pada saat itu,
masih seringkah aku ke Pabelan, kalau ke sana titip salam untuk semuanya.
Seingat saya beliau ini berasal dari Sumatra, Riau atau lupa pastinya. Meskipun
sekarang saya lupa nama beliau, ternyata Pabelan begitu plural isinya dan
begitu membekas dalam setiap sanubari santrinya. Entah dari profesi dan
kesibukan apapun kita, pasti jiwa dan rasa Pabelan begitu membekas bagi diri
kita masing-masing.
Pabelan mengajarkan kepada kita
bagaimana menghormati dan menyikapi sesama, entah itu dari satu suku ataupun
berbeda suku, dari satu daerah (konsul) atapun dari beda asal-usul. Di Pabelan
kita belajar tentang ukhuwah Islamiyah, karena semua yang ada di Pabelan semua
beragama Islam. Namun Pabelan tidak melupakan bahwa di luar Pabelan harus tetap
dihormati, termasuk yang memiliki kepercayaan berbeda. Bahkan tak jarang mereka yang memiliki kepercayaan berbeda
datang dan berkunjung ke Pabelan, membantu perkembangan Pabelan. Semua itu
adalah ajaran Islam yang kita pelajari di pesantren agar menghormati sesama manusia, sesama umat
beragama, sesama bangsa Indonesia ataupun sesama masyarakat dunia.
Aturan dibuat untuk membantu kita
belajar berdisiplin dan membagi waktu. Aturan yang mungkin sampai sekarang
paling diingat oleh para alumni adalah aturan tidak tertulis namun paling
ditaati oleh semua santri, yaitu bel depan masjid. Saat bel masuk masjid, maka
semua santri harus segera ke masjid untuk mempersiapkan diri mengikuti sholat
berjama’ah, khutbah/nasehat rutin, muhadoroh, ataupun bel saat makan tiba.
Kalau kita tidak menaati bunyi bel yang ada, maka hukuman akan berlaku bagi
kita yang melanggar aturan ini. Selain itu masih banyak lagi aturan yang harus
kita taati selama di pesantren, seperti kita harus selalu berbicara bahasa Arab
atau Inggris dengan sesama santri, ustadz, juga ustadzah. Tidak boleh pergi
keluar kompleks pesantren tanpa seizin bagian keamanan dan pengurus. Aturan jam
belajar yang harus ditaati oleh semua santri demi mempersiapkan diri menghadapi pelajaran
atuapun ujian esok hari.
Meskipun banyak aturan di pesantren
namun kita memiliki kebebasan untuk menentukan akan menjadi apa kita kelak.
Pabelan tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada kita, tidak ada seorang
ustad/zah pun yang memaksa saya menjadi ustad ataupun kiai. Pabelan tidak
memaksa kita mengikuti salah satu golongan yang ada, namun Pabelan justru
memberikan pandangan yang begitu luas kepada kita untuk bijak dalam memilih
akan jadi apa kita kelak. Bahkan kalau kita merasa bimbang untuk menentukan
pilihan, kita juga difasilitasi untuk bertanya atau meminta bimbingan
kakak-kakak kita di asrama atau kepada ustad/zah.
Selama di Pabelan, kita juga tidak
melulu menyanyikan lagu-lagu yang berbau Islam seperti sholawat, nasyid,
ataupun qosidah. Kita bisa mengekspresikan diri kita dalam berkesenian melalui
lagu apapun selama itu masih dalam batas wajar dan tidak melanggar aturan yang
ada di pesantren. Bahkan Pabelan memfasilitasi kita untuk mengembangkan jiwa
seni kita, ada ruangan studio band, santri putri ada kegiatan marching band,
yang suka melukis bisa mengembangkan bakatnya melukis. Bagi kita yang suka
basket, kita juga bisa mengikuti club basket yang ada di Pabelan, bagi yang
suka sepak bola kita dipersilahkan mengembangkan bakat di club sepak bola, dan
banyak lagi bakat yang bisa kita kembangkan selama menjadi santri di Pabelan.
Semua itu contoh kecil bagaimana Pabelan memberikan kita kebebasan untuk
menemukan jati diri kita. Pabelan tidak pernah memaksakan kita harus menjadi
ustad/zah setelah lulus aliyah. Pada dasarnya jiwa manusia itu jiwa yang bebas,
dan saat direnggut, maka efeknya adalah pemberontakan. Aturan yang ada di
pesantren Pabelan dibuat hanya sebatas untuk mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan, untuk menjadikan kita disiplin dan dapat membagi waktu.
Ketika kita menginjak masa tahun kedua
di pesantren, kita memiliki adik baru yang juga perlu mendapatkan bimbingan dan
contoh teladan yang baik dari kita. Sebagi seorang kakak kelas, sekiranya kita
harus memberikan contoh yang baik kepada adik-adik kita di pesantren, terutama
bagi kita yang menjadi pengurus OPP, pengurus organisasi lainnya. Apalagi kita
yang menjadi pendamping kamar. Semua pengalaman dan ilmu yang kita dapatkan
sekarang saatnya kita tularkan kepada adik-adik kita yang menjadi tanggung
jawab kita. Begitu dari tahun ke tahun berikutnya.
Saat kelas lima adalah saat kita
mendapatkan giliran tanggung jawab untuk menjadi pendamping kamar. Peran kita
sebagai seorang kakak yang dianggap lebih dewasa secara fisik dan psikis dapat
dan mampu membimbing adik-adik kita yang lebih kecil. Saat inilah kita
diberikan kesempatan untuk menjadi kakak sekalian belajar menjadi guru bagi
adik-adik kita. Karena saat itulah kita bisa membagikan ilmu kita kepada
adik-adik kita. Contohnya saat malam setelah isya’ biasanya ada kegiatan
belajar di kamar ataupun ada forum organisasi. Saya masih ingat betul ketika
menjadi santri baru dulu, mufrodat yang pertama diberikan oleh pendamping kamar
saya kak Talkhis (dari Jepara) adalah dalwun (ember). Saat menjadi pendamping
inilah kita juga berperan sebagai guru (meskipun belum mejadi ustad/zah) kita
bisa memberikan bimbingan atapun membantu menjelaskan tentang materi pelajaran
kepada adik-adik kita. Kalau perlu, sebelum mereka (adik-adik) meminta, kita
biasanya menawarkan bantuan kepada mereka, dan mereka dengan senang hati tanpa
harus malu meminta pendamping kamar untuk menjelaskan hal yang belum dipahami.
Selain menjadi pendamping kamar,
biasanya kelas lima memiliki tugas rangkap sebagai seorang pengurus OPP. Sebagai
seorang pendamping kamar, kita bertanggung jawab atas adik-adik kita dalam
lingkup kecil, sedangkan sebagai pengurus OPP kita diberikan kepercayaan dan
tanggung jawab yang lebih besar lingkupnya. Tanggung jawab sebagai seorang pengurus
OPP merupakan kesempatan kita untuk belajar organisasi dalam level yang lebih
luas. Kesempatan menjadi pendamping kamar ini ternyata sekarang sangat
bermanfaat ketika menjadi guru di SMA. Selain bertugas mendidik dan mengajar,
guru juga harus bisa berperan sebagai pembimbing yang memberikan nasehat kepada
murid-murid. Sebagai seorang guru, saya kadang berperan sebagai seorang kakak,
bahkan teman bagi murid-murid saya. Karena permasalahan dari murid-murid tidak
melulu soal pelajaran saja, namun jauh lebih luas, termasuk tentang kejiwaan
dan personal mereka. Disinilah saya mempraktikkan kembali ilmu dan pengalaman
yang didapatkan ketika menjadi pendamping kamar. Meskipun kondisi dan situasi
di pesantren berbeda dengan kondisi di sekolah pada umumnya, namun bisa
dikatakan kejiwaan dari murid seumuran sekolah adalah hampir sama. Mereka
sama-sama mengalami masa kadang malas, masalah terbesar mereka, cinta monyet
menjadi penghias perkembangen kedewasaannya, juga perselisihan dengan teman. Di
sinilah peran seorang guru tidak hanya sebagai seorang guru, tapi lebih bisa
menjadi seorang teman, kakak, pembimbing bahkan orang tua bagi muridnya. Pengalaman
menjadi seorang pendamping, apalagi dulu pernah setahun mengabdi menjadi ustad
di Pabelan saya praktikkan dalam kehidupanku sebagai seorang guru di sekolah.
Pengalaman menjadi pengurus OPP, menjadi
ketua dewan ambalan (Pramuka) dan ketua konsulat pekalongan sangat berperan
besar ketika saya mengikuti kegiatan organisasi. Di kampus dulu pernah menjadi
ketua himpunan mahasiswa (HIMA/HMJ) jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Unnes, di tingkat nasional pernah menjadi bagian organisasi Ikatan Mahasiswa
Teknologi Pendidikan Se-Indonesia (IMATEPSI), menjabat sebagai seksi informasi
dan komunikasi. Pengalaman organisasi di pesantren adalah akar dari keberanian
saya untuk mengikuti kegiatan organisasi di kampus bahkan di luar kampus.
Belajar berorganisasi di pesantren artinya kita dididik dan diajarkan untuk
selalu bijak dalam menentukan aturan yang akan dijalankan, baik oleh diri
sendiri ataupun khalayak ramai. Pabelan mengajarkan kita berorganisasi dengan benar, baik dan bijak agar apa yang
kita putuskan tidak merugikan dan mengecewakan pihak lain.
Dalam organisasi pasti ada sedikit-banyak
perselisihan paham atapun ketidak sesuaian pemikiran kita terhadap pihak lain. Kita
diajari untuk selalu berbesar hati dalam menerima keputusan hasil mufakat,
diajari bagaimana tidak mengecilkan pihak yang tidak sesuai dengan kita. Saat
dalam organisasi, mungkin akan terjadi perdebatan dan perselisihan pendapat
sebelum mencapai mufakat, namun itu semua bagian dari pembelajaran yang ada di Pabelan.
Perselisihan dalam berogranisasi wajar adanya asal tidak sampai terbawa keluar
dari organisasi. Kalaupun ada perselisihan, kita pun bisa menyelesaikan dalam
forum yang telah kita tentukan sebelumnya; kita memiliki seorang pemimpin yang
kita percayai mampu memberikan dan mengantarkan kita kepada kesepakatan yang
baik. Bagi adik-adik yang sekarang sedang belajar berorganisasi khususnya di Pabelan,
gunakanlah kesempatan itu untuk mendapatkan ilmu dan pengalaman yang baik,
kalian dapat mempraktikkan ilmu dan pengalaman organisasi kalian selama di
pesantren. Jadilah pemimpin yang baik dan bijaksana. Pada dasarnya, belajar
berorganisasi adalah belajar menjadi pemimpin yang hebat lagi bijaksana, taat
kepada agamanya dan ia yang tahu dan mau bergaul dengan yang dipimpin.
Pabelan mengajarkan bagaimana kita
untuk selalu berbuat dengan ikhlas, berpenampilan sederhana dalam kemandirian
hidup, berbuat baik kepada sesama, dan bebas dalam menentukan pilihan hidup.
Pabelan dan seisinya juga mengajarkan dan memberikan warna dalam hidup agar selalu
memberikan manfaat bagi sesama dan seluruh makhluk hidup di dunia ini. Pabelan
mengajarkan untuk memiliki budi yang tinggi, seperti dalam sebuah mahfudzot
yang diajarkan di kelas “Sebaik-baiknya
manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”, Lebih luas lagi, kita bisa
memberikan manfaat kepada masyarakat tempat kita berada. Belum lengkap rasanya
hidup ini kalau kita belum bisa memberikan manfaat bagi masyarakat, bagi orang
lain, bagi sesama makhluk-Nya. Ada sebuah ungkapan “Biar miskin harta, asal jangan miskin jasa, biar miskin benda, asal
jangan miskin budi dan jasa”. Itulah sikap seorang yang berbudi tinggi.
Salah satu yang paling saya sukai dari
Pabelan adalah saat sore dan pagi hari, tidak ada yang namanya waktu kosong. Semua
suka berolahraga menyegarkan pikiran sejenak dari segala rutinitas. Semua
lahan, bahkan dulu belakang asrama Presiden
pun sering digunakan untuk bermain sepak bola, meskipun dengan bola. Lahan
paling favorit adalah lapangan di depan workshop yang sering dijadikan rebutan
bila saat berolahraga tiba. Setelah sholat ashar semua santri keluar kamar
untuk bermain sepak bola, basket, sepak takraw, batminton dan bermacam-macam
olahraga lain. Bahkan sampai sekarang pun pasti masih ada lapangan tenis meja
terkuat di dunia yang mungkin hanya ada di Pabelan, begitu kata pak Najib saat
memberikan nasehat di khutbatul iftitah. Olahraga yang kita lakukan adalah
salah satu cara agar kita bisa menjaga kesehatan badan kita untuk dapat
melakukan segala aktifitas sehari-hari, karena jiwa yang sehat tedapat dalam
badan yang sehat.
Pabelan adalah tempat saya mengenal
olahraga favorit saya, sepak bola, olahraga paling populer di seantero dunia.
Waktu di Pabelan sempat terbersit cita-cita menjadi atlet meskipun sekarang
kandas karena Allah mengarahkan haluan hidup saya di pendidikan. Saya tidak pernah menyesalinya, karena tanpa
Pabelan mungkin saya tidak pernah akan tau siapa itu Zinedine Zidane yang saat
itu menjadi pemain termahal di dunia. Pertanyaan tentang siapa pemain termahal
di dunia ini saya ketahui saat kegiatan mencari jejak dalam kepramukaan di
pesantren. Saya masih ingat betul, di daerah Santan ada pos mencari jejak dan
regu saya harus menyelesaikan soal-soal yang ada di pos itu. Salah satu
pertanyaan kegiatan kepramukaan di Pabelan itu tadi. Ya, kegiatan kepramukaan
di Pabelan paling menyenangkan dibandingkan dengan sekolah pada umumnya. Kalau
di sekolah mungkin kita tidak akan pernah merasakan kegiatan pramuka di bawah
guyuran hujan setiap hari Kamis sore.
Selain Pramuka, kita diajari bagaimana
berbicara di depan publik melalui kegiatan muhadoroh. Kegiatan ini sangat
membantu saya secara pribadi dalam memupuk kepercayaan diri dan kemampuan
berbicara di depan orang lain. Apalagi saya sebagai guru, harus mampu
memberikan penjelasan kepada murid-murid saya ketika di dalam kelas, atapun
kepada wali murid atau rekan guru saat ada kegiatan rapat atau pertemuan dengan
wali murid. Dalam kegiatan muhadoroh, kita tidak hanya diajarkan untuk dapat
berbicara di depan umum, tapi juga harus mampu mempersiapkan bahan. Dalam
mempersiapkan materi kita dituntut untuk mampu menemukan materi yang memancing
audiens bersedia mendengarkan pembicaraan kita. Oleh karena itu, materi yang
kita buat harus berbobot, unik dan tentu saja mengandung pengetahuan yang luas.
Di sinilah salah satu tempat agar pengetahuan kita tentang apapun dapat kita
implementasikan sebagai isi muhadoroh.
Santri Pabelan diharapkan memiliki
pengetahuan yang luas. Pengetahuan keagamaan pasti kita dapatkan dari kegiatan
di pesantren, sedangkan pengetahuan umum bisa kita dapatkan pula saat kegiatan
di kelas pagi. Pabelan juga memfasilitasi kita dengan adanya perpustakaan yang
menyediakan buku-buku serta informasi dari koran ataupun majalan yang bisa kita
baca saat tidak ada kegiatan wajib yang harus kita ikuti. Saya sendiri adalah
salah satu dari pengurus perpustakaan pada tahun 2004-2005 bimbingan Ibu Maria dan Pak Jamal. Kesempatan
menjadi pengurus saya manfaatkan untuk membaca buku, koran, majalah atapun
koleksi lain selain belajar sebagai seorang pustakawan. Pengetahuan yang luas
akan sangat membantu kita dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam pergaulan
dengan sesama teman sebaya, bergaul dengan kolega atapun dengan mereka yang
lebih tua. Selain itu pengetahuan yang luas akan membuat kita memiliki derajat
yang lebih tinggi di sisi Allah SWT, karena orang yang berpengetahuan (berilmu)
adalah mereka yang tahu mana yang baik dan buruk.
Ajaran Pabelan yang terakhir adalah
untuk selalu memiliki pemikiran yang bebas. Berpikiran bebas tidak berarti
beripikiran sebebas-bebasnya (liberal). Kebebasan berpikir yang diajarkan Pabelan
adalah bagaimana kita mampu menerima segala sesuatu dengan segala keterbukaan,
namun tetap memegang teguh prinsip-prinsip hidup kita, terutama prinsip sebagai
seorang muslim yang selalu berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan ajaran Nabi
Muhammad SAW. Berpikiran bebas merupakan lambang dari kematangan dan kedewasaan
kita, berpikiran bebas adalah hasil dari pendidikan yang telah kita tempuh
selama di Pabelan. Ajaran untuk
berpikiran bebas adalah implementasi dari ajaran-ajaran sebelumnya yaitu berbudi tinggi, berbadan
sehat, berpengetahun luas serta berpikiran bebas.
Bila kita perhatikan, semua hal yang
telah saya sampaikan di atas merupakan ajaran yang tertuang dalam Panca Jiwa
dan Motto Pondok yang begitu familiar dan melekat pada diri kita santri Pabelan.
Semenjak santri baru, hingga kini saya telah menjadi seorang guru, Panca Jiwa
dan Motto Pondok secara sengaja ataupun tidak telah banyak menuntun saya dalam
menjalani kehidupan. Secara tidak langsung saya juga mengajarkan kepada
murid-murid saya untuk melakukan lima plus empat ajaran dari pesantren Pabelan. Karena saya tidak ingin apa yang telah saya
dapatkan hanya buat saya pribadi tanpa diamalkan dan disebarluaskan. Melalui
sekolah tempat saya mengajar inilah salah satu tempat saya bisa membagikan ilmu
dan pengalaman hidup saya selama di Pabelan.
Terima kasih Pabelan telah mengajari
saya tentang keikhlasan dalam melakukan sesuatu hal, baik bagi diri saya
pribadi maupun bagi orang lain. Terima kasih Pabelan telah mengajarkan
bagaimana menjalani hidup dengan sederhana dan selalu mensyukuri segala karunia
Allah yang telah ada pada diri saya. Terima kasih Pabelan telah menegakkan dan
menguatkan sendi-sendi kaki saya agar semakin kokoh berdiri di atas kaki
sendiri. Terima kasih Pabelan karena telah mengajarkan saya tentang bagaimana
menghormati dan menyayangi semua makhluk Allah, terutama mereka yang seiman.
Terima kasih Pabelan karena telah memberikan saya kebebasan dalam memilih jalan
hidup saya serta telah membekali saya dengan arti dari kebebasan itu sendiri.
Terima kasih Pabelan karena telah mengajarkan saya bagaimana agar saya menjadi
orang yang bermanfaat bagi orang lain, bagi semua makhluk Allah. Terima kasih Pabelan
telah mengenalkan saya kepada sepak bola, dan mengajarkan saya bagaimana cara
agar kita tetap memiliki badan dan jiwa yang sehat untuk terus mencari ilmu, menambah
pengetahuan agar memiliki pemikiran yang bebas namun tetap memegang teguh
prinsip-prinsip agama Islam.
Menghindari
Salah Pergaulan
Lisa Noviana
“Pondok Pesantren”, nama yang sungguh
“gak keren”. Begitulah persepsi saya
sebelum mengetahui lebih dalam tentang institusi pendidikan pondok pesantren.
Tahun 1999 setelah lulus dari SMP Negeri 1 Ciputat saya –dengan sengaja-
dititipkan di pondok pesantren tepatnya di Pondok Pesantren Pabelan oleh orang
tua tercinta. Guna tidak mencederai hatinya, maka menurutlah saya. Terselip
pada waktu itu suatu pembenaran secara sepihak, dari saya, bahwa saya adalah
“korban” yang ‘perlu dibengkeli’. Menurut saya tidak seharusnya pada usia muda
kebebasan (baca: kebahagiaan) saya tergadai (di pondok pesantren). Sungguh awal
yang sulit bagi saya dari sisi manapun untuk mampu menerima pilihan kehidupan
di Pondok Pesantren Pabelan secara utuh.
Banyak ketidaksesuaian yang dengan
cepat muncul. Baru kali itu saya merasa sangat sulit beradaptasi dengan
lingkungan baru setelah sebelumnya saya merupakan sosok yang supel dan mudah familiar dengan siapa saja. Pergaulan di Pabelan sangat berbeda
dengan mekanisme pergaulan saya di kehidupan sosial sebelumnya. Belum lagi saya
harus mengenakan kerudung (hijab rambut dan sebagian kepala untuk menutupi
aurat perempuan). Hal yang sempat menjadi bahan olokan saya dan kawan-kawan
saya dahulu. Intinya, sebaik dan sesempurna apapun materi yang Pabelan tawarkan
dan asosiasikan kepada saya selalu naif dan sia-sia. Bagaimana saya dapat
menerima semua itu jika awalnya saja saya sudah menganggap bahwa masuk
pesantren adalah sebuah kesalahan. Akhirnya saya merasa terbelenggu. Merasa
kesepian. Merasa tak tahu yang harus dilakukan kecuali mungkin bersikap seperti
“robot” dan berharap semua hal ke-pesantren-an ini akan selesai dengan cepat.
Sampai kemudian saya menemukan sesuatu
yang menarik dan layak untuk dijalani di Pabelan. Ternyata ruang gerak dan
kebebasan saya tidak terkekang seperti saya bayangkan sebelumnya. Pabelan tidak
pernah melarang siapapun santri yang ingin mengaktualisasikan dirinya, selama
itu positif bagi kemajuan dirinya dan bagi lembaga. Bahkan saya tidak melihat
lembaga pesantren seperti “penjara”. Aturan dan disiplin yang dibuat di Pabelan
saya rasakan tidak untuk membatasi, namun untuk mengajarkan para santri agar
bertanggungjawab atas segala hal yang dilakukan baik ucapan maupun perbuatan.
Setelah hari demi hari saya jalani
kehidupan di Pabelan, persepsi saya tentang pondok pesantren ternyata kian
keliru. Selama ini saya telah melakukan sebuah praduga tak bersalah terhadap
sebuah institusi pembelajaran berbentuk pondok pesantren. Di luar itu semua,
ternyata Ponpes Pabelan justru memberikan hal-hal positif, yang tidak akan saya dapatkan bila menuntut ilmu
di sekolah biasa (bukan pondok pesantren). Menariknya adalah, saya lantas tersulut
untuk mencari. Pernyataan saya di awal yang menegasikan model pondok pesantren,
khususnya Pabalan, menjadi relatif terbuka hingga jadi sebuah pertanyaan. Jika
saya sendiri merasa ada hal positif dan negatif ketika berada di dalamnya ataupun
andai saat itu saya tidak berada di dalamnya, mengapa?
Pabelan nyata memiliki potensi besar
dalam memberikan pendidikan formal, nonformal dan pembinaan agama kepada santri
dengan tujuan agar menjadi muslim yang bertakwa kepada Allah SWT, mendidik
santri memiliki kepribadian baik, juga mendidik santri menjadi manusia tangguh,
mental dan spiritualnya hingga berkemampuan memberikan pengaruh positif di
masyarakat yang pluralistis. Melalui berbagai kegiatan dan pendidikannya, bukan tendensius, nyata terjadi proses
eksperimentasi pribadi yang saya lakukan. Pabelan telah memberikan banyak
manfaat pada kehidupan saya dalam lingkup masyarakat luas yang memiliki banyak
perbedaan kepercayaan, keyakinan, prinsip, sosial, ekonomi, kebudayaan dan
politik. Pabelan telah memberikan dasar dan bekal yang layak.
Santri mengikuti kegiatan muhadhoroh, suatu agenda nonformal yang
dikemas secara apik sebagai sarana pelatihan public speaking. Pabelan sadar bahwa tidak semua orang memiliki
kecakapan berbicara di muka umum dan tidak semua orang mempunyai kepercayaan
diri untuk “menjadi yang pertama”. Kegiatan muhadhoroh
ini menstimulasi santri untuk berani
unjuk gigi di depan umum tanpa malu-malu meski tak menafikan ada yang mendadak maridl karena takut tampil. Kegiatan muhadhoroh pada zaman saya tidak hanya
sebatas pidato atau ceramah saja, namun ada juga yang berperan sebagai Master of Ceremony, entertainer (menyanyi atau puisi) dan audience. Meski berbeda-beda tugas dalam sebuah ruangan kelas yang
dimodifikasi sedemikian atraktifnya, namun semua mampu memainkan peranan
masing-masing dengan baik. Pembelajaran satu lagi yang didapatkan setelah muhadhoroh selesai yaitu, sinergi! Meski
saya harus jujur bahwa manfaat terakhir ini baru akan terasa ketika saya
berpisah dengan Pabelan dan meneruskan interaksi kehidupan di tempat lain. Tema
dari setiap muhadhoroh pun dibuat
dalam tiga varian bahasa yaitu bahasa Arab, bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada pukul 19.30 WIB, bakda Isya sampai selesai. Saya paling benci
mendapat tugas menyanyi karena saya sadar kualitas suara pas-pasan dan sanggup membuat
bad mood orang yang mendengarnya.
Tapi apa boleh buat, karena sudah ditunjuk akhirnya menyanyi juga.
Selesai dari Pabelan saya menjadi
seseorang yang sesungguhnya tidak lagi saya kenal. Maksudnya positif, saya
menjadi orang yang lebih bertanggungjawab dengan apa yang saya lakukan, dengan
apa yang saya katakan. Jika sebelum menyantri
di Pabelan saya adalah anak manja dengan ruang fasilitas yang tersedia dari
orangtua, di Pabelan sebaliknya. Saya dituntut mengerjakan segala sesuatu
sendiri, merapikan tempat tidur, mencuci dan menyetrika pakaian, hingga harus
bergiliran untuk melakukan piket kamar tidur setiap satu minggu dua kali. Hal
yang selama ini saya jumpai di rumah namun asing dilakukan. Semakin lama saya
semakin nyaman dengan pola keteraturan di Pabelan dengan segala harmoni dan
dinamikanya. Saya belajar bagaimana memakai kerudung (hijab rambut yang
merupakan aurat perempuan yang harus ditutupi) dengan baik. Jika dulu saya
menganggap dan berpendapat bahwa dengan kerudung pasti akan membatasi ruang
gerak perempuan dalam bersosialisasi, ternyata keliru. Justru dengan
berkerudung saya telah berupaya melindungi diri saya di dalam frame keislaman. Di Pabelan sekali lagi,
saya dapatkan sesuatu yang berupa nilai ukhrowi,
melengkapi nilai keduniawian yang selama ini saya jalani.
Tahun demi tahun berjalan, ujian
demi ujian dihadapi, baik formal (Madrasah ‘Aliyah) maupun nonformal (Takhasus,
pondok). Sampailah saya dan kawan seangkatan pada akhir masa nyantri kami. Semua dilanda euforia, kendati perasaan kami jelas tak
serupa. Bagi saya pribadi, empat tahun eksperimentasi nilai dan norma pesantren
tanpa terasa telah mengganti kekecewaan saya belakangan dengan rasa antusias
tinggi dalam menjalani kehidupan sebagai santri puteri di Pabelan. Walau telah
berpisah dari Pabelan selama dua belas tahun, sebagai alumni yang masih belum
dapat memberikan sumbangsih signifikan untuk Pabelan tercinta, saya merasa
bahwa Pabelan menjadi bagian dari identitas saya. Apabila di tahun pertama menyantri di Pabelan saya merasa begitu sulit menyesuaikan diri dan
menerima nilai-nilainya untuk ditanamkan dalam euforia kebebasan masa-masa
muda, ternyata justru di tahun terakhir jauh lebih sulit dari yang terbayang.
Di tahun terakhir saya merasa Pabelan telah menjelma sebagai rumah kedua bagi
saya setelah kediaman orangtua. Di tahun terakhir saya merasa ingin agar
Pabelan lebih mendewasakan diri saya lagi. Di tahun terakhir saya merasa tidak
ingin berpisah dengannya. Saya sudah nyaman. Saya merasa aman. Saya masih ingin
dua perasaan itu tergali lebih dalam. Jujur, di tahun terakhirlah justru saya
semakin haus ingin menempa diri lebih dalam.
Cukup lama merenungkan perjalanan
saya di Pabelan maka selama itu kenangan yang kuat sebagai santri sampai lulus.
Di ujung pelepasan saya dan sejawat satu angkatan ‘99 sebagai “calon alumni
santri” ponpes Pabelan, kami dikumpulkan dan diwejang oleh para kiai, guru dan pimpinan lembaga di sebuah
ruangan “workshop” tepat di samping asrama Presiden depan kediaman Bapak KH
Ahmad Mustofa, SH. Saya mungkin lupa detail acara tersebut namun saya dan
kawan-kawan sesungguhnya diarahkan dan diberikan cakrawala pengetahuan bahwa
hidup pasti akan terus berlanjut. Para Kiai, Guru dan Pimpinan percaya bahwa
setiap alumni Pabelan akan turun dan terlibat aktif serta memberikan corak
khusus terhadap dunia yang akan digeluti di luar. Karya terbaik adalah ketika
nilai-nilai dan pesan Pabelan bisa tersampaikan dengan baik dan diterima oleh
orang-orang lain. Pabelan telah memberikan pembelajaran yang terbaik sebagai
bekal penting untuk tidak dilupakan oleh para alumni siapapun. Selanjutnya
adalah tugas alumni, tugas kami seangkatan untuk membawa pesan Pabelan kepada
dunia yang sangat beragam di luar otoritas Pabelan. Saya masih ingat perasaan
lega itu. Setelah berakhirnya acara pelepasan tersebut membuat saya tidak lagi
berat untuk berpisah dengan Pabelan, karena yang terpenting dari segalanya
adalah akankah saya kehilangan nilai-nilai Pabelan yang sekian tahun disemai
atau apakah saya terapkan dan kemudian saya bisa survival?.
Saat ini saya tengah dan masih akan
terus berkarya di sebuah institusi negara. Di
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Penganalisis Masalah Hukum.
Prinsip dan nilai-nilai Pabelan pun masih saya terapkan dalam keseharian, baik
ketika berkarya di institusi atau saat berkumpul di tengah keluarga.
Alhamdulillah saya telah menikah dan memiliki dua putera yang lucu dan
menggemaskan. Kebetulan yang indah bahwa suami saya adalah alumni Pabelan. Kami seangkatan dan suami saya dulu menjadi Ketua
OPP Putra dan kebetulan saya Ketua OPP Putri.
Kami menikah tahun 2009 yaitu enam tahun setelah lulus dari Pabelan.
Saat ini suami masih terus berkarya sebagai seorang peneliti di sebuah lembaga
riset bernama Purusha Cooperatives di
Jakarta sekaligus dosen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional di beberapa
Universitas seputaran Jakarta Selatan, salah satunya adalah Universitas
Paramadina.
Pabelan
Membanggakan
Muhammad
Citradi
Ketika panitia penerbitan buku ini
menghubungi saya dengan menyertakan Term Of Reference (TOR)-nya langsung
terbayang tingkat kesulitan penulisannya bagi saya. Bagaimana tidak, buku yang
direncanakan terbit ini mempunyai harapan menjawab sebuah pertanyaan besar,
Bagaimana Pondok Pesantren Pabelan pada kepemimpinan tritunggal? Atau dengan
pertanyaan yang historis tetapi bersifat tendensius: Bagaimana Pondok Pesantren
Pabelan sepeninggal KH Hamam Dja’far?.
Bagi saya pribadi berarti tulisan harus
menggambarkan bagaimana kepemimpinan yang dijalankan oleh Bapak saya, Kakak
saya dan seorang alumni yang dari kecil tentu saya sudah kenal, yaitu Pak
Balya. Sudah barang tentu masyarakat, alumni dan orang selalu bercermin dan
membandingkan dengan masa kepemimpinan sebelumnya yaitu masa kepemimpinan pakdhe KH Hamam Dja’far. Timbul masalah
baru bahwa saya sendiri tidak tahu banyak tentang kepemimpinan beliau. Mungkin
saya masih terlalu kecil saat beliau meninggal. Sulit saya menuliskan hal-hal
di atas secara objektif. Namun, sebagai alumni Pondok Pabelan siapa yang tidak
bangga ketika diminta menuliskan tentang almamater tercinta?
Tidak tahu mengapa seteah lulus dari
SLTP Negeri 1 Muntilan Bapak dan Ibu saya mengharuskan saya mondok jika ingin
tetap sekolah. Ya, mengharuskan. Artinya saya tidak boleh melanjutkan sekolah
jika tidak di sebuah pondok pesantren. Padahal dua kakak saya belajar di SLTP
dan SLTA Negeri. Sedikit cerita tentang SLTP Negeri 1 Muntilan. Entah sengaja
atau tidak, kecuali KH Najib Amin, semua pimpinan Pondok Pabelan pernah
menyekolahkan putranya di SLTP ini. Mas Faiz (KH Hamam Dja’far), Mas Faisol dan
Mas Rois (KH Balya), Mas Adi, dan Saya (KH Ahmad Mustofa). Hanya Mas Faisol dan
Saya yang setelah lulus SLTP Negeri 1 Muntilan melanjutkan ke Pondok Pabelan.
Maka setelah lulus SLTP saya masuk ke Pondok Pabelan. Di kemudian hari saya
sempat melanjutkan ke Pondok Modern Gontor tapi karena satu dan lain hal saya
kembali ke Pondok Pabelan.
Mungkin Bapak dan Ibu merasa penting
anaknya ada yang sekolah di Pondok Pabelan. Banyak wali santri yang
memercayakan anaknya dididik di lembaga ini. Maka Bapak sebagai salah satu
pimpinam tentunya juga harus percaya pada pendidikan lembaga yang dipimpinnya.
Itu pemahaman saya ketika itu. Belum terbayangkan seperti apa model pendidikan
di Pondok Pabelan ini. Walaupun dari kecil rumah dan hidup saya di dalam
Pabelan tapi secara resmi saya tidak pernah tahu seperti apa pendidikan dalam pondok
ini.
Saya mendaftar masuk Pondok Pabelan
diantar oleh Kak Feri Husni, dia santri pengabdian atau disebut ustadz praktek.
Seingat saya pendaftaran saat itu di depan Gedung Perpustakaan. Seperti santri
lain yang masuk setelah lulus SLTP, saya harus masuk kelas persiapan atau
disebut kelas takhasus. Saya
mendaftar sebagai santri asrama, bukan santri melaju. Artinya harus tinggal di
asrama bersama santri dari luar daerah, bukan pulang ke rumah seperti santri
asli Desa Pabelan. Pada praktiknya saya lebih banyak pulang ke rumah. Baru
nanti mulai kelas lima KMI saya benar-benar berasrama penuh.
Berbeda dengan ketika di SLTP teman-teman
baru yang saya dapatkan berasal dari berbagai daerah. Tidak hanya penduduk
sekecamatan atau se-kabupaten. Dari kecil saya tahu jika santri Pabelan berasal
dari banyak penjuru nusantara, bahkan dari luar negeri. Tapi baru kali inilah
saya mengalami secara langsung sebagai santri dan mempunyai teman dari berbagai
daerah. Pada awal-awal sekolah, tidak ada yang tahu jika saya asli Pabelan.
Tidak butuh waktu lama mereka tahu bahwa saya asli Pabelan dan anak salah satu
pimpinannya. Tepatnya hanya setelah Khutbah Iftitah selesai. Itu saat
orang-orang yang sebelumnya saya kenal sebagai tetangga ataupun “Mas Santri dan
Mbak Santri” menjadi ustadz-ustadzah saya dan kakak-adik kelas saya. Jujur ada
perasaan lucu dan aneh. Paling rancu adalah ketika harus bertemu Mas Najib
sebagai pimpinan dan Mbak Ulfa sebagai guru English
Lesson di kelas. Karena saya harus memanggil keduaya dengan pak-bu atau
ustadz-ustadzah. Saya harus terbiasa memanggil kakak kelas yang menjadi
pengurus OPP (Organisasi Pelajar Pondok) dengan panggilan “Kak”. Saya harus
memanggil guru-guru dengan “Tadz”. Senioritas sangat terasa di pondok. Hal yang
tidak saya rasakan ketika di SLTP dahulu. Saya belum paham bahwa kakak-kakak
OPP inilah yang sehari-hari membantu pimpinan menjalankan roda pendidikan
pondok. Ternyata berbeda jauh dengan tugas pengurus OSIS di sekolah umum. Para
pengurus OPPP ini yang membantu adik-adiknya belajar. Mereka mengajar kegiatan
ekstrakulikuler, sedangkan ustadz praktek membantu mengajar pada jam KBM. Itu
semua sudah sering saya dengar namun sangat asing dijalankan. Tentu seperti
santri lainnya, saya juga membanggakan atau paling tidak membandingkan Pondok
Pabelan dengan sekolah saya sebelumnnya.
Melihat santri tidur di kelas, seragam
yang ketika itu masih diperbolehkan bebas asal warna bawahan lebih tua dari
warna atasan, apalagi melihat nilai akademis santri, saya merasa superior
dibanding mereka. Nilai saya lebih bagus. Saya merasa bahwa banyak kekurangan
lembaga pendidikan ini. Pokoknya beda sekali dengan sekolah umum. Tetapi yang
aneh, teman SLTP saya bercerita sebaliknya. Di kemudian hari saya menyadari
bahwa santri-santri Pabelan ini walau dengan nilai yang pas-pasan ketika masuk tapi
mereka adalah manusia-manusia super. Coba saja bandingkan jumlah pelajaran dan
kegiatan para santri dengan para siswa sekolah umum. Hebatnya setiap tahun
masih saja Pondok Pabelan masuk menjadi salah satu sekolah dengan nilai
kelulusan terbaik bahkan berkali-kali menjadi yang tertinggi di tingkat
kabupaten. Dengan berjalannya waktu terbukti jika nilai ijazah pemerintah tidak
menjadi jaminan seorang santri kuat atau mampu dalam pelajaran pesantren yang penuh
ini. Saya yang masuk dengan nilai tertinggi hanya naik kelas dengan predikat
negatif. Sebuah standar kenaikan yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya. Selama
ini hanya ranking. Sedangkan di Pondok Pabelan, ada predikat lain, positif,
negatif, percobaan dan tinggal kelas.
Semakin lama nyantri, semakin lupa
sekolah saya terdahulu. Mindset sudah
berubah dengan cara-cara santri. Lidah saya tidak kaku lagi memanggi guru
dengan kata “ustadz”. Saya sudah semakin terbiasa memosisikan diri. Tentu saja
walaupun saya mengaku bahwa saya sama dengan santri lain, tetap saja banyak
kekhususan bagi saya. Lagipula siapa yang akan mengejar saya kabur jika saya pulang
ke rumah? Hal tersebut yang di kemudian hari baru saya sadari merupakan
kerugian terbesar bagi saya sendiri.
Selama nyantri, banyak hal berubah
dalam pandangan saya terhadap pelajaran. Dulu selalu memikirkan bagaimana nilai
ujian, niai ulangan, terutama pelajaran-pelajaran kedinasan seperti Matematika,
Sejarah, Geografi dan lain-lain. Ternyata pelajaran-pelajaran kedinasan tersebut
masih jauh lebih mudah dibanding pelajaran Pondok. Belum lagi ujian lisan,
santri harus bertatap langsung dengan guru penguji. Hal ini yang menurut saya
membuat para santri Pondok Pabelan bermental lebih tangguh. Para santri
terbiasa dengan proses interview dan
menghadapi ujian langsung. Kenaikan kelas di Pondok Pabelan tidak hanya
ditentukan oleh nilai pelajaran semata. Kelakuan dan akhlak lebih mendominasi. Itulah
suluk. Seberapapun nilai kita,
sepintar apapun kita tidak ada gunanya jika pada rapat kenaikan yang dipimpim
langsung oleh ketiga pimpinan menentukan bahwa solah bawa muna muni kita tidak baik. Paling mentok kalau naik
kelas, hanya mendapat predikat percobaan.
Bukanlah pelajaran kelas apa yang saya
dapat yang paling berkesan, tapi bagaimana saya hidup bergaul dengan
santri-santri lain itu yang paling berkesan. Dalam kehidupan berasrama, tanpa
disadari para santri dididik menjadi pemimpin-pemimpin masa depan. Para santri
diajari cara menyelesaikan permasalahan hidup. Paling penting adalah kemandirian,
tetapi sayang, justru itu hal yang paling tidak saya dapatkan. Saat memasuki
kelas lima KMI, saya menjadi Pengurus OPP. Masuk dalam struktur sebagai Bagian
Keamanan. Setelah dua tahun saya belajar untuk diatur-dipimpin. Sekarang
saatnya belajar mengatur-memimpin. Inilah menurut saya saat-saat paling
berpengaruh bagi seorang santri Pondok Pabelan. Di sini pula santri akan
terpengaruh pola kepemimpinan pimpinan pondok. Para pengurus harus bertanggung
jawab atas bagian masing-masing sekaligus bertanggung jawab atas jalannya roda
pendidikan dan kedisiplinan pondok. Meskipun sudah menjadi pengurus, posisinya
masih sama, yaitu seorang santri yang masih belajar di kelas.
Jikalau pengurus OSIS di sekolah
mengurusi ketika jam sekolah, maka pengurus OPPP membantu pimpinan mengurusi
santri dalam waktu 24 jam. Semua disiplin, agenda, acara-acara pondok OPP
inilah yang menjalankan. Bahkan untuk beberapa pengurus sudah ada yang ikut
membantu mengajar pelajaran sore atau les. Hal-hal di atas membuat pengurus harus
berani mengeksekusi aturan atau bahkan memutuskan sesuatu. Tentu dibutuhkan
keberanian untuk memutuskan apa saja. Di sinilah santri ditempa jiwa kepemimpinannya.
Satu sisi mereka masih santri yang dididik oleh pimpinan dan ustadz, pada sisi
lain mereka harus turut mendidik adik-adik kelasnya. Tanggung jawab pengurus
OPPP dapat dikatakan berlipat ganda. Ini menjadikan kenaikan kelas lima KMI
menuju kelas enam merupakan momentum yang sakral lagi menentukan. Banyak santri
yang keluar di kelas-kelas ini. Jika mereka tidak naik kelas, maka mereka akan
menjadi teman sekelas “anak buah”-nya, orang yang dulu mereka urus. Tekanan
seperti itu menurut saya menjadikan para alumni Pondok Pabelan lebih dewasa.
Sebagai bagian keamanan, saya
bertanggung jawab atas keamanan, kedisiplinan yang berjalan di Pabelan. Mulai dari
membangunkan santri hingga menertibkan santri untuk tidur, belum lagi tugas
jaga malam yang digilir untuk semua pengurus. Mencari anak yang kabur, menindak
pelanggaran yang terjadi, membuat laporan pelanggaran yang disampaikan
pimpinan. Namun sebagai seorang santri juga tentunya saya dan para pengurus
lain masih melakukan pelanggaran. Di situ saya banyak belajar tentang
organisasi dan juga hierarki organisasi. Harus tahu diri dan dapat memosisikan
diri dengan tepat. Harus tahu mana urusan pribadi dan urusan bersama (organisasi).
Sayar rasa proses-proses inilah hal yang membekas bagi santri. Ini terbukti
dengan banyaknya alumni yang menduduki posisi-posisi penting di organisasi pada
waktu setelahnya seperti di kampus atau di masyarakat. Para alumni terbiasa
dengan pengorganisiran suatu hal. Hemat saya paling tidak ada tiga atau empat
teman seangkatan yang menduduki posisi tertinggi organisasi di kampusnya.
Semester genap kelas enam KMI pengurus
OPPP digantikan oleh adik kelasnya. Kini kelas enam KMI tidak lagi berwewenang
mengurusi kedisiplinan Pondok, guna fokus pada Ujian Nasional (UN). Selain menggunakan
sistem KMI seperti Gontor, Pabelan menggunakan sistem kedinasan, MTs dan MA. Santri
tertua tapi tanpa kedudukan apa-apa, maka saatnya menjadi manusia yang empan papan. Mereka harus rela diatur
kembali oleh adik-adiknya. Tentu saja post
power syndrome merupakan sebuah keniscayaan. Tanpa disadari, mungkin ini
membantu para santri menjadi tahu diri dan tidak gila kekuasaan. Dari seorang
yang punya hak penuh mengurusi, menjadi seorang yang tidak punya hak lagi. Dimulai
dari sini pula para alumni membandingkan antara angkatannya dengan
angkatan-angkatan setelahnya. Ini pula yang di setiap acara alumni menjadi ajang
perbincangan menarik tentang pengalaman mondok masing-masing.
Setelah lulus dari Pabelan, saya
mencoba mendaftar kuliah di Universitas di Jogja. Saya tidak melakukan
pengabdian. Ternyata tidak diterima, saya dan beberapa teman seangkatan nekat
mendaftar untuk kuliah di Mesir, Universitas Al-Azhar. Ketika sampai di Mesir
itulah terasa bahwa teman-teman saya jauh lebih mandiri dibanding saya yang
nyantri di rumah. Mereka terbiasa jauh dari rumah. Mereka lebih mandiri dan
dewasa menghadapi permasalahan dibandingkan dengan saya. Jiwa berdikari yang
ditanamnkan Pabelan terejawantahkan penuh di sini.
Tidak tahu mengapa, ternyata tidak
saya temukan kakak kelas yang kuliah di Al-Azhar. Ada satu orang teman
seangkatan saya yang mendapat beasiswa ke Al-Azhar dari tingkat Madrasah
Aliyah. Di sinilah kepercayaan diri saya mulai runtuh. Sebuah pesantren sebesar
Pabelan tidak mempunyai jaringan alumni di Mesir. Sedangkan banyak pondok lebih
muda atau lebih kecil sudah mempunyai jaringan alumni yang kuat. Kami serombongan
diminta untuk menerjemahkan kembali ijazah kami dengan menjadikannya sebagai
Madrasah Aliyah Negeri (Hukumiyah). Selama nyantri setahu saya ijazah Pondok
Pabelan sudah mu’addalah ‘diakui,
disamakan’ seperti Gontor ternyata tidak.
Mulailah tersasa bahwa Pabelan
tertinggal dari pondok lain. Saya berpikir, paling tidak sampai pada angkatan
ketika saya lulus sudah ada empat orang yang berangkat ke Amerika untuk
pertukaran pelajar. Namun hanya satu orang yang ke Mesir. Mungkin saya salah,
tapi bukankah seharusnya Pabelan seperti lembaga Islam lain bekerjasama atau
mengirim alumninya ke Timur Tengah lebih prioritas dibanding ke Amerika atau
Eropa? Bukankah sebagai salah satu pondok alumni Gontor, seharusnya Pabelan
masih berada dalam satu rel? Jika dilihat dari sistem pendidikan, sistem pondok
modern adalah mengikuti sistem pendidikan Al-Azhar. Ketika di Mesir saya
mengikuti tausiyah Ustadz Syukri Zarkasyi pengasuh pondok Gontor. Beliau selalu
berkata bahwa Gontor adalah kepanjangan tangan dari Al-Azhar di Indonesia.
Saya dapat membandingkan perbedaan
alumni Pabelan generasi pertama dengan alumni generasi kedua. Sangat terasa
jika dalam dirasat islamiyah alumni
generasi kedua berbeda. Ini saya rasakan dalam mengikuti perkuliahan di Mesir.
Teman-teman alumni seperjuangan di Kairo pun merasakannya jika pelajaran di pondok
kami tertinggal. Hal ini tentu membuat kami down,
kesulitan mengikuti pelajaran. Tapi bukan alumni Pabelan kalau masalah seperti
itu saja menjadi minder. Walaupun dalam akademis tidak, alumni Pabelan cukup
memberi warna di organisasi-organisasi mahasiswa di Mesir. Sayangnya setelah
angkatan kami pulang, belum ada alumni
yang melanjutkan jenjang pendidikannya ke Mesir.
Ketika di Mesir setiap mendapat info
dari rumah yang memberi tahu kalau ada alumni senior hadir di Mesir untuk
perjalanan dinas maupun penelitian, kami usahakan menemuinya. Beberapa yang
saya ingat adalah Pak Uki Sukiman yang melakukan penelitian, begitu juga dengan
Bu Annisa Ridwan. Kak Andi mantan ketua IKPP Jakarta yang dulu rumahnya
dijadikan markas IKPP sempat akan mengambil S2 namun karena masalah birokrasi
menjadi gagal. Rasanya senang sekali bertemu sesama alumni Pabelan. Terakhir
bertemu dengan Profesor Sangidu, guru besar UGM yang ditugaskan menjadi atase
pendidikan KBRI Kairo. Walau tidak sampai tamat beliau pernah mondok di Pabelan
untuk beberapa tahun.
Sepulang dari Mesir saya ikut nyantri di Pondok Pesantren Darussalam
Ciamis, Pimpinan KH Fadhil Munawwar Mashur. Beliau alumni Pabelan, juga putra- putri
beliau. Di Ciamis saya mendapat cerita
tentang Kiai Hamam dari Kiai Fadhil. Pesantren Darussalam Ciamis adalah
pesantren modern juga. Saya menemukan papan nama pesantren yang sama dengan
Pabelan, menggunakan kata “Balai Pendidikaan Pondok Pesantren”. Setelah dari
Ciamis saya ditugaskan Kiai Fadhil mengajar di pesantren beliau di Yogyakarta,
yakni Pesantren Darul Hikmah di Pakem, Sleman. Tidak pernah saya bayangkan dalam
mengajar di pesantren ini hampir tidak menggunakan pelajaran kuliah saya. Justru
lebih banyak menggunakan pengalaman nyantri
di Pabelan. Apa yang saya lakukan di Pakem sini lebih ke arah membangun sistem
pesantren itu sendiri. Apa yang saya didikkan ke santri adalah apa yang saya
dapatkan di Pabelan dahulu seperti muhadhoroh, organisasi, disiplin dan hal-hal
keseharian santri.
Latihan mengurus santri ketika menjadi
OPP membuat saya terbiasa mengurusi santri. Hal-hal yang saya anggap remeh
ketika dulu nyantri ternyata sangat berguna dalam penerapannya sekarang. Tidak
semua orang dapat menjalankannya. Namun dengan bekal nyantri di Pabelan sedikit
demi sedikit saya dapat menerjemahkan bagaimana saya harus mengajar. Kadang hal
yang sepele bagi seorang alumni pondok merupakan hal yang lebih bagi orang lain.
Semua alumni Pondok Pabelan tentu tahu
apa itu Khutbah Iftitah, atau Khutbatul ‘Arsy. Setiap awal tahun seluruh santri
termasuk para ustadz dan ustadzah wajib mengikutinya. Ceramah dari tiga
pimpinan dengan isi yang diulang-ulang. Seorang alumni yang lulus Pabelan pasti
mengikuti rangkaian Khutbah Iftitah sebanyak minimal empat kali jika masuk
setelah SLTP atau enam kali jika masuk dari SD/MI. Seolah membosankan namun
justru sekarang saya memetik hasilnya. Ternyata Khutbah Iftitah yang
berulang-ulang itulah yang mendoktrin santri hingga paham betul apa itu pondok
lantas menjadikan sunah-pondok terjaga hingga saat ini. Sekarang saya jadi tahu
mengapa santri yang tidak mengikuti Khutbah Iftitah akan dihukum berat bahkan
mungkin dikeluarkan.
Jika mengingat masa-masa nyantri di
Pabelan tidak jarang timbul keinginan untuk mengulang masa-masa itu lagi. Masa
paling berkesan dan membekali diri saya dengan ilmu-ilmu kehidupan yang sangat
berguna untuk bekal terjun ke masyarakat. Setelah menjadi alumni dan bertemu dengan
banyak alumni Pabelan, ada alumni yang merasa makin ke sini makin banyak berubah.
Kedisiplinan santri biasa menjadi hal hangat untuk dibicarakan atau
dibandingkan. Sebab kedisiplinan ini
akan berpengaruh langsung pada kualitas santri. Kritik-kritik yang konstruktif
maupun yang destruktif akan selalu terlontar.
Namun renungan setelah saya mengajar
di pondok lain adalah semenurun apapun atau sejelek apapun perbandingan zaman
saya nyantri dibandingkan dengan zaman setelahnya, ternyata itu masih jauh lebih
baik dibanding mondok di tempat lain.
Mungkin kita lupa bahwa perubahan zaman tidak akan pernah bisa dihentikan.
Seperti kata KH Hamam Dja’far, hal yang tidak akan pernah berubah adalah
perubahan itu sendiri. Namun saya yakin jika alumni dapat menerjemahkan nilai-jiwa
Pabelan di manapun tempat dan di setiap waktu mereka berada. Sebab didikan
selama nyantri di Pondok Pabelan membuat para alumninya fleksibel tanpa
kehilangan ketegasan pada prinsip-prinsipnya. Pabelan memang membanggakan.
Prepare
The Future
Malikhatun Nisa’
Jika dicermati keberadaanya pesantren
merupakan institusi pendidikan yang melekat dalam kehidupan warga Indonesia.
Pesantren yang dengan sistem dan karakteristiknya, telah menjadi bagian dari
masyarakat, umumnya di pedesaan. Pabelan salah satunya. Hal khusus yang
melekati Pabelan adalah diperbolehkan anak aseli desa Pabelan untuk turut serta
mengenyam ilmu di Pesantren Pabelan. Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) Pondok
Pesantren Pabelan tidak hanya merupakan rumah bagi para santri untuk menimba
Ilmu Dunia dan Akhirat, akan tetapi juga sebagai “Community Learning Centre”
bagi masyarakat Desa Pabelan pada umunnya.
Penulis tidak dapat mendiskripsikan
model pendidikan di Pondok Pabelan dengan objektif karena penulis merasa
menikmati setiap detail proses pembelajaran yang ada. Pembelajaran yang terjadi
humanis, elegan, terpadu dengan lingkungan masyarakat desa Pabelan. Lunak, tidak kaku, dan selalu menemukan
inovasi sesuai perkembangan dunia pendidikan. Itulah yang dapat saya pahami sejauh
saya belajar di Pabelan. Dari sisi akademik, Kulliyatul Mu’allimien
Al-Islamiyah (KMI) sudah disetarakan dengan SMA/SMU/MA sesuai dengan SK
Mendiknas tahun 2005. Maka dapat dibayangkan berapa banyak jumlah mata
pelajaran yang kami ikuti dalam setiap minggu, perpaduan materi nasional plus
materi KMI.
Tidak ada yang berbeda dalam proses
belajar dan mengajar meski kami terkategorikan santri Asrama dan santri Melaju.
Semua diperlakukan sama, beban pelajaran yang sama, halaman hafalan sama, dan deadline hafalan sama. Semua indah,
semua sempurna bagi saya, belajar Ilmu Agama, Sosial dan Manajemen kepribadian.
Bagi saya yang terkategorikan santri Melaju alias Pabelan asli tetap
berpendapat bahwa pembelajaran di Pondok Pesantren Pabelan adalah 24 jam. Jangan
tanyakan apa saja yang kami lakukan seharian, termasuk di rumah dan keluarga
yang terampas hak bermainnya karena beban pelajaran. Namun kami sangat menikmati setiap detail proses
yang ada, terutama kegiatan ekstrakurikulernya.
Model
extracurricular wajib dan extracurricular
pilihan membuat saya serasa sedang memilih Education
Games. Tidak ada kompromi, extracurricular
wajib harus kami ikuti, no matter how
tired we are! We just asked to do it.
Akan tetapi, semua rasa lelah saat itu, sungguh bisa saya rasakan saat ini
manfaat yang sangat luar biasa. Meskipun tidak berasrama, tapi kegiatan ekstra
kami santri Pabelan dimulai sejak subuh. Yang paling membuat saya disiplin
secara pribadi adalah kanis pagi,
menyapu halaman pesantren dari segala penjuru, di pagi-pagi buta tepat seusai
adzan subuh dan menggunakan seragam resmi sekolah full jilbab resminya. How fantastic we are!. Kegiatan ini
hanya untuk para santri melaju yang
asli Pabelan. Bagi saya, kanis pagi
mengajarkan saya sebagai anak putri untuk dapat bangun sepagi mungkin dan
bergerak positif sebaik mungkin.
Proses pendidikan sekolah dengan waktu
terpanjang hingga tujuh tahun. Itu semua terkontrol dan tersistem dalam hidup
saya. Masa Madrasah Tsanawiyah (MTs) selama tiga tahun, selanjutnya masa
Madrasah Aliyah (MA) selama 3 tahun ditambah
masa pengabdian satu tahun tidak menjadikan bosan ataupun jenuh. Masa pengabdian adalah the real down to earth kami dengan seluruh santri dan juga
masyarakat, terutama para ibu-ibu penyetor
lauk penyemangat makan para santri. Tidak ada yang sia-sia ketika semuanya
dilakukan dengan hati ikhlas. Gambaran tentang beratnya pelajaran dan banyaknya
kegiatan justru membuat diri ini semakin tertempa dengan baik. Berada di
Pabelan membuat saya belajar banyak hal; bersosialisasi dengan ratusan karakter
yang berbeda, bertoleransi dengan sebaik-baiknya dan belajar mensiasati diri
sendiri ketika dihadapkan dengan masalah, baik secara pribadi maupun organisasi.
Banyak faktor bagaimana seseorang
berproses untuk menemukan jati dirinya masing-masing. Bagi saya, berorganisasi
di Pondok Pabelan adalah faktor utama yang membuat saya mengerti tentang dewasa
diri, hati dan pola berfikir. Berorganissai sejak dini di Organisasi Pelajar
Pondok (OPP) luar biasa manfaatnya bagi saya. Organisasi yang dibangun bukan
hanya untuk menduduki jabatan, tetapi untuk dapat mengekspresikan ide-ide dan
gagasan demi kelancara setiap program-program kerja yang ditawarkan pada setiap
bagian. Proses di OPP adalah proses pendewasaan menyeluruh.
Menjadi ketua OPP putri melaju saya
jalani pada tahun 2004 – 2005. Pada tahun inilah pendewasaan saya dimulai,
melatih menyelesaikan sengketa pendapat teman seorganisasi, mendampingi para
santri melaju belajar bertanggung jawab atas semua kegiatan yang ada. Sungguh
itu pengalaman mahal yang pernah saya lalui di Pondok Pabelan. Menjadi ketua
OPP melaju tak ubahnya menjadi “lurah kecil” dengan masyarakat santri melaju
putri. Dari proses membuat program kerja, melaksanakan sekaligus mengamati
serta tentu saja kami semua belajar mengevaluasi setiap kegiatan yang telah
disahkan dan telah dilaksanakan. Yang paling mendasar adalah memiliki tanggung
jawab benar-benar terasah di sini.
Tidak, mungkin saya dapatkan proses
pendewasaan di atas jika saya hanya “biasa” saja di Pondok Pabelan. Pondok
Pabelan, terima kasih atas segala proses di dalammu.
The
most favourite extra curricullar in my mind, Mukhadhoroh. Kegiatan yang dilaksanakan seminggu dua
kali pada malam Senin dan malam Jum’at itu luar biasa bisa membantu saya secara
pribadi belajar public relation
secara alami, tanpa terencana. Mengikuti mukhadloroh pada awalnya memberatkan,
terlebih ketika mendapat bagian bertugas pidato, entah itu bahasa Arab atau
Inggris. Meskipun demikian, secara pribadi saya sangat menikmati proses yang
ada.
Berbicara di depan publik bagi
sebagian orang adalah hal yang paling ditakuti, bukan karena tidak bisa, akan
tetapi malu. Sebagai cerita, ketika awal
masa kuliah, ada malam keakraban atau lebih dikenal dengan istilah Makrab. Setiap
kelompok diminta mengirimkan perwakilannya untuk mengikuti English Speech Contest. Diskusi pun dimulai, dan tidak ada satupun
dari kami bersepuluh yang bersedia mengikuti lomba. Akhirnya saya mengajukan
diri untuk menjadi perwakilan, bukan karena saya terpandai, akan tetapi saya
merasa tidak ada yang aneh dengan English
Speech. Bertahun-tahun itu saya lalui di Pabelan, maka tidak ada alasan
bagi saya untuk menolak mempraktikkan ilmu di luar Pabelan. Ternyata ar hal tersebut membuat saya merasa
dilihat “beda” oleh teman-teman, karena dipandang
lebih percaya diri.
Setelah resign menjadi Ketua OPP melaju putri, pada tahun 2005 saya diberi
amanah untuk menjadi ketua karang taruna Ikatan Generasi Islam Pabelan (IGIP)
Pabelan Empat. Bukan perkara mudah, karena hal ini saya rasakan terlalu awal,
dengan status anak kelas dua MA. Singkatnya, semua saya jalani sampai habis
masa satu tahun, dengan pola kegiatan yang tidak jauh berbeda ketika menjadi
ketua OPP Melaju putri. Benar-benar ilmu yang luar biasa. Memulai forum, mengantarkan forum dan menutup
forum dengan sangat hati-hati dan percaya diri.
Saya meneruskan pendidikan di bidang
pendidikan. Saat selesai dengan percaya diri mendaftarkan diri untuk kembali ke
pesantren. Tidak ada yang saya kurangi metode yang pernah saya dapatkan ketika
menjadi santri, selain hanya memodifikasi beberapa metodenya. Benarlah, saya
merasakan bahwa ketika saya berdiri di depan kelas, nampaklah betapa mata para
santri itu sama seperti saya dulu: memiliki harapan besar dan membutuhkan ilmu untuk
diaplikasikan setelahnya. Karena pilihan memang harus dipilih, maka tiga tahun
kemudian, saya memutuskan untuk melanjutkan pengabdian saya di luar pesantren.
Banyak pengaruh pembelajaran di
Pabelan yang saya rasakan pada dunia kerja saya sekarang, meskipun berbeda dari
disiplin ilmu saya. Ada hafalan mahfudlot yang selalu menginspirasi, “ Cobalah dan perhatikanlah, maka kamu akan
menjadi orang yang mengerti”. Kini dan mendatang saya akan tetap percaya diri
untuk menyelesaikan pekerjaan dalam disiplin atau bidang apapun. Tidak saya
bayangkan, banyaknya hafalan mahfdulot dulu itu justru dapat saya pahami dan
alami dalam dunia nyata setelah 10 tahun kemudian.
Inspirasiku
Pabelan
Arlian Buana
Sering saya gelisah melihat perilaku
orang yang mengaku muslim di internet.
Di tengah kesibukan saya mengelola mojok.co, sebuah media online, hampir
setiap jam saya menyaksikan kebencian dan kemarahan yang direproduksi atas nama
Islam. Orang-orang yang mengaku muslim itu gemar sekali berteriak penuh
kemurkaan, dan mudah mengafirkan orang lain.
Perkembangan teknologi memang seperti
dua mata pisau. Ia bisa bermanfaat, bisa juga
berbahaya. Termasuk internet. Di satu sisi ia berguna untuk mempermudah
komunikasi. Namun di sisi lain, seperti akhir-akhir ini kita saksikan, internet
adalah media paling efektif yang digunakan Islamic
State of Iraq-Syiria (ISIS) untuk menebarkan propapaganda kebencian dan
peperangan. Termasuk di negeri ini, kita dengan mudah menemukan “ustadz-ustadz”
yang gemar sekali menebar amarah dan ancaman.
Menimbang fenomena tersebut, saya
tidak tahu akan seperti apa wajah Islam-Indonesia ke depan. Indonesia adalah
negara demokratis dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dan Islam-Indonesia,
selama ini dikenal sebagai Islam yang ramah, yang rahmatan lil ‘alamin, bukan yang hobi marah-marah. Namun rasanya,
citra yang baik tersebut mungkin perlahan-lahan akan hilang jika melihat apa
yang menjadi mainstream di berbagai
media sosial seperti Facebook dan Twitter:
munculnya gelombang besar generasi muslim yang membabi-buta, suka
menyerang kelompok yang berbeda. Padahal kalau ditelusuri, pemahaman agama
kelompok ini hanya sebatas didapatkan dari Google.
Untuk menahan derasnya arus kebencian
itu, beberapa orang harus mengambil inisiatif dengan membuat dan memperbanyak
konten yang mencerahkan. Saya percaya, banyak sekali orang baik yang jengah
terhadap ulah para makelar kebencian. Dan saya yakin, kelompok santri adalah
kelompok yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk melawan pendangkalan
Islam di internet, kemampuan berdakwah dengan cara yang baik, dengan mau’izhah hasanah.
Ketika beberapa teman mengampanyekan
Gerakan #AyoMondok di berbagai media sosial, dengan senang hati saya mendukung
dan ikut bersuara. Gerakan itu penting, agar anak-anak muda—yang selama ini
menerima informasi-informasi yang keliru tentang Islam—mau belajar di Pondok
Pesantren, mendalami Islam dengan cara yang benar, belajar sampai ke
akar-akarnya, bukan belajar dengan metode serampangan mengandalkan mesin
pencari. Ketika mendapati orang-orang yang sibuk bilang bahwa si X kafir atau si
Y bukan Islam, saya selalu ingat lagi kisah yang pernah saya dapat semasa
nyantri dulu. Kisah Kiai Hamam ketika mendirikan Pondok Pabelan selalu menginsipirasi
saya.
Di usia 25 tahun, beliau berkeliling
ke rumah warga di desanya yang ketika itu kebanyakan tidak memiliki jendela.
Sebagian besar warga Pabelan masa itu meyakini: rezeki masuk lewat pintu, lantas
jendela dan segala jenis ventilasi akan membuat rejeki itu kabur lagi ke luar.
Kiai Hamam dengan sabar memberi penjelasan tentang pentingnya sirkulasi udara dalam
rumah, sehingga rumah tanpa ventilasi alih-alih mendatangkan rejeki justru
mengundang penyakit. Selain itu, beliau menyampaikan keinginan untuk membangun
pesantren dan meminta putra-putri warga Pabelan untuk dididik beliau. Akhirnya
ada 35 orang anak Pabelan yang bergabung menjadi santri pemula, salah satunya
adalah mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat.
Selain belajar berbagai macam ilmu
dasar, ke-35 orang santri itu diajak Kiai Hamam ke Kali Pabelan. “Ayo Islamkan
batu-batu itu!” perintah Kiai Hamam. Meng-Islamkan batu? Ah, yang benar?
Bagaimana caranya?
Batu-batu di Kali itu kemudian diambil,
diangkut ke kompleks Pondok Pabelan. Sebagian dimanfaatkan sebagai fondasi masjid,
membuat beberapa bangunan, dan sebagian lain dijual kepada pihak yang
memerlukan untuk ditukar dengan alat-alat tulis. Begitulah batu-batu di-Islamkan
oleh Kiai Hamam bersama santri awal.
Selama belajar di Pabelan, saya sering
sekali mendengar kisah itu diulang-ulang para guru, dengan berbagai varian,
berikut pelajaran untuk meng-Islamkan segala sesuatu. Kiai Hamam tidak
muluk-muluk dalam mengajarkan Islam kepada santri-santrinya. Cukup dengan
menunjukkan bagaimana meng-Islamkan batu, juga meng-Islamkan segala sesuatu,
meng-Islamkan seluruh alam, meng-Islamkan sekalian manusia. Hal ini
berkebalikan dengan beberapa orang yang mengaku
dan dipanggil “ustadz” tetapi gampang mengafirkan orang lain ataupun melabeli sebagai
bukan Islam.
Bila kiai Hamam mengajak meng-Islamkan
maka ‘ustadz-ustadz’ di internet itu justru sibuk mem-Bukan-Islam-kan. Saya
pikir kita semua mengerti, sikap mana yang harus kita ambil.
Warna Pendidikan di Pabelan
Qurota Ayuni
Dalam dunia pendidikan, keberadaan
pesantren merupakan fakta tak terbantahkan dalam keikutsertaannya dalam
mewujudkan terciptanya bangsa yang cerdas sesuai dengan pembukaan UUD’45. Kedudukan pondok pesantren dalam sistem
pendidikan Indonesia telah diatur dalam UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 tentang
pendidikan keagamaan pasal 30. Bahwa pondok pesantren merupakan salah satu
bentuk dari pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau
kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan (ayat 1), serta dapat diselenggarakan pada jalur formal,
nonformal dan informal (ayat 3). Pada 28 Agustus 1965 didirikanlah Pondok
Pesantren Pabelan oleh K.H. Hamam Dja’far (almarhum). Seiring dengan
perkembangannya, wajah Pabelan sedikit berubah setelah adanya perubahan sistem
pendidikan dari KMI murni ke sistem pendidikan yang digunakan di sekolah negeri
ataupun swasta. Perubahan ini diawali tahun 1989 ketika terdapat tuntutan dari
masyarakat untuk menghendaki ijazah yang dulu tidak pernah dipakai oleh
Pabelan. Kemudian pada tahun 1991 direalisasikan perubahan tersebut.
Pada awalnya, KMI Pabelan berdiri
bersamaan dengan berdirinya Pondok Pabelan dengan kurikulum yang diserap dari
pesantren Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Hal ini yang menjadikan persamaan antara
Pabelan dengan Gontor.Tapi yang membedakan adalah orientasi Pabelan yang lebih
mengacu kepada kemasyarakatan yaitu dengan tidak adanya sekat yang mencolok
antara masyarakat dengan pondok. Namun demikian, nuansa sentralistik dalam
dunia pendidikan dan adanya keharusan lembaga pendidkan untuk berafiliasi ke
pusat, bahkan termasuk lembaga pondok pesantren yang mengelola lembaga
pendidikan umum. Perkembangan yang terjadi dari awal berdirinya pesantren
hingga saat ini telah diwarnai oleh banyak pola. Pada tahun tujuh puluhan masuk
pola pendidikan dan keterampilan, yang menjadikan pesantren memperoleh
pengalaman di bidang ini. Lalu pada tahun delapan puluhan, masuk pola Institut
Pembangunan Masyarakat (IPM) yang menjadikan para pengasuh lebih mampu menyerap
sistem riset dan pengembangan masyarakat. Kemudian pada tahun sembilan puluhan
masuk pola Tsanawiyah dan Aliyah hingga sekarang ini (Dialog, 2000). Sesuai
dengan misi Pondok Pabelan, yaitu; menyelenggarakan pendidikan formal dengan
kurikulum pesantren yang disesuaikan dengan pendidikan nasional.
Hal ini sempat saya alami ketika
belajar di Pabelan tahun 2001, saat itu saya masih kelas satu MTs. Nilai rapor
atau hasil belajar pada setiap akhir triwulan dikirim langsung ke alamat rumah
masing masing siswa. Dengan berbentuk selembar kertas dan ditulis dalam bahasa
Arab. Nilai yang ditulis pun benar-benar murni tanpa ada bantuan dari guru mata
pelajaran. Ketika saya menginjak kelas 3 Mts, sistem yang diadakan mengikuti
Diknas pun berubah. Mulai dari pergantian tri wulan menjadi semester, jumlah
pelajaran KMI yang mulai berkurang, hingga sistem pengisian raport yang mulai
mengikuti sekolah umum dan swasta lainnya. Dengan masuknya beberapa pola yang
ada ini, menjadikan pesantren mempunyai
karakteristik yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Setelah wafatnya K. H.
Hamam Dja’far pada tahun 1993. Kepemimpinan pesantren berada dibawah K.H. Ahmad
Mustofa, K.H. Muh. Balya dan K.H. Ahmad Najib Amin. Perubahan demi perubahan
sedikit demi sedikit muncul, sejalan dengan kemajuan pembangunan, Pabelan telah
membuka isolasinya terhadap pengatahuan umum, sehingga lengkap lah ilmu
pengetahuan yang diperoleh para santri. Pastinya jumlah mata pelajaran pun
semakin beragam. Para santri tidak hanya mempelajari pelajaran KMI murni
seperti imla’, khot, mahfudzot, mutholaah, balaghah, dll. Tetapi para santri juga mempelajari ilmu-ilmu
pengetahuan umum lainnya seperti; fisika, kimia, matematika, tata negara,
sosiologi, dll sebagai penyeimbang antara ilmu duniawi dan ilmu ukhrowi. Dalam
hal ini Pondok Pesantren Pabelan telah berperan aktif dalam mencerdaskan
masyarakat dan membina lingkungan serta berperan sebagai alat transformasi
kultural dalam kehidupan masyarakat.
Mengenai kegiatan-kegiatan pendukung
para santri, pasca kepengasuhan K.H. Hamam (alm), juga semakin beragam. Para
santri bebas memilih kegiatan ekstra kurikuler yang sesuai dengan minat dan
bakat mereka, seperti; karate, marching band, pramuka, band, kesenian, tehnologi
digital, dll. Pesantren selalu peka terhadap tuntutan zaman dan berperan bukan
saja dalam bidang pendidikan, melainkan juga aspek-aspek lainnya. Heterogenitas
pesantren justru dipandang sebagai symbol adanya perubahan yang berarti.
Kegiatan-kegiatan di lingkungan pesantren semaking padat dan semakin
berorientasi kemasyarakatan (Qomar, 2007).
Dari pertama kali saya belajar di
Pabelan tahun 2001 sampai saya lulus tahun 2006, telah banyak perubahan drastis
yang dialami Pabelan. Mulai dari sistem pendidikan dan kurikulum yang selaras
dengan pemerintah akan tetapi tanpa mengesampingkan nilai-nilai KMI. Kemudian
pelatihan-pelatihan untuk para santri, salah satunya pelatihan tentang
tehnologi dan informasi yang berpusat di Pabelan Tele-centre, yang saya yakin
pasti akan membawa dampak positif bagi santri dan pesantren sendiri dalam
menjawab tantangan zaman yang mulai bergerak menuju era digital.
Satu hal yang paling terasa terhadap
model pendidikan di Pabelan adalah saat saya kuliah. Saya baru menyadari bahwa
sistem pendidikan yang ditanamkan pada saya dan teman- teman selama tujuh tahun
ternyata sangat jauh berbeda dengan sistem pendidikan yang dijalani oleh
teman-teman kuliah saya. Ketika mereka bercerita bahwa mereka setiap hari
belajar matematika, kimia, biologi dalam hati saya berkata kok saya hanya empat
jam pelajaran ya dalam seminggu, begitupun dengan pelajaran-pelajaran umum yang
lain, dengan jam yang lebih sedikit tetapi dengan target dan standard yang
harus sama dengan teman-teman kuliah. Saya menyadari bahwa itu membuat saya
belajar lebih keras dari teman2 yang lain dan lebih punya prinsip bahwa semua
bisa dipelajari sendiri apabila kita lebih tekun dan berusaha lebih keras.
Saya ingat ketika pak kiai menasehati
kami sebelum ujian, betapa paniknya kami saat itu karena tryout yang
berkali-kali itu nilai kami jauh dari standar lulus yang ditetapkan pemerintah,
saat ujian kami belajar dengan rasa was-was apakah kami bisa melewati UAN.
Seolah pak kiai tahu kegundahan kami, lalu beliau memanggil seluruh kelas tiga
ke ruang kaca dan mengobrol santai berisi nasehat dan motivasi. Sosok yang kami
anggap sebagai ayah itu berpesan jangan pernah takut menghadapi apapun selama
tanpa putus berdo’a dan kami menjalani proses belajar dengan baik. Saya bangga
ditengah ketidakpastian sistem pendidikan di Indonesia saya tak pernah mengenal
kata bocoran dari guru (ya kami melakukan semuanya sendiri) walau sering
teman-teman saya tak percaya bahwa mustahil pada saat UAN tidak dapat bocoran,
dengan mantap saya bilang benar sedikitpun kami tak pernah tau apa bocoran dan
kunci-kunci jawaban itu, kami hanya mengerjakan soal-soal UAN itu sendiri. Pada
intinya saya memahami betul proses belajar saat kuliah hampir sama dengan
ketika saya kelas 1 MTs, hanya diberi materi dan kami mengembangkan sendiri,
dan itu saya sadari ketika diperguruan tinggi
bahwa keterbatasan dalam proses belajar mengajar tak pernah sedikitpun
menghalangi kami untuk berkembang.
Pondok Pesantren Pabelan yang
merupakan lembaga pendidikan Islam telah tumbuh berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat sekitarnya, oleh karena itu Pondok Pabelan telah
menorehkan warna khas bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan dunia
pendidikan pada khususnya.
Pencarian dan penemuan
jati diri santri
Pondok pesantren merupakan miniatur
kehidupan masyarakat Indonesia yang mempunyai beragam budaya, bahasa,
adat-istiadat, serta latar belakang. Para santri yang belajar di Pondok
Pesantren Pabelan datang dari berbagai wilayah provinsi di Indonesia, dengan
latar belakang suku, budaya dan adat, serta ekonomi yang berbeda. Tidak jarang
para santri yang datang berasal dari kalangan keluarga pejabat, kiai, politisi,
wirausahawan dan keluarga biasa. Tapi itu semua tidak mengurangi hubungan baik
antar santri. Dalam bersosialisasi tidaklah mementingkan dari keluarga mana
seseorang berasal, tapi bagaimana dia bisa melebur, berkomunikasi, beradaptasi
dengan teman-teman dan lingkungan sekitar. Hal ini merupakan aplikasi dari MISI
pesantren yang ke-4, yaitu; Mendidik dan mengantarkan santri untuk mampu
mengenal jatidiri dan lingkungannya serta mempunyai motivasi dan kemampuan
untuk mengembangkan diri sesuai dengan pilihan hidupnya.
Dengan kegiatan-kegiatan di pesantren
yang begitu padat dapat mendidik para santri untuk dapat mandiri melakukan aktivitas
serta mampu melakukan sosialisasi dan penyesuaian diri terhadap teman-teman di
asrama dan lingkungan pesantren. Ketika masih menjadi santri baru yang baru
pertama kali tinggal jauh dari orang tua, yang baru pertama kali tinggal satu
kamar berisi 20 orang yang belum terlalu dikenal, yang baru pertama kali
mencuci baju sendiri, saya merasakan hidup saya akan sangat-sangat berubah
terbalik dari hidup saya ketika sebelum memutuskan untuk belajar di pesantren.
Banyak sekali kejutan-kejutan yang datang bertubi-tubi. Mulai dari bangun pagi
sebelum subuh, antrian panajang ketika mengambil makan atau pun mandi, kegiatan
yang terus berganti tanpa habis dari bangun tidur hingga tidur kembali, kerja
bakti setiap Kamis yang kami sebut dengan “Amal
Massal”, sampai kegiatan yang menurut saya cukup membuat setiap santri
merasa sangat-sangat malu yaitu Kolotan,
ini merupakan salah satu program kerja BaKes (Bagian Kesehatan) dimana salah
satu divisi OPP (organisasi Pondok Pabelan) bertanggung jawab akan
pakaian-pakaian santri yang lupa diambil dari jemuran di malam hari. Baju-baju
yang ditemukan di luar kamar dan tak bertuan akan diumumkan di depan para
santri pada hari tertentu agar diambil oleh yang bersangkutan, apabila tidak
ada yang mengakuinya maka pakaian-pakaian tersebut akan dicuci kembali dan
disetlika kemudian akan di lelang untuk umum, setiap santri berhak untuk
membelinya. Kegiatan ini mengajarkan para santri untuk belajar menghargai
barang-barang milik mereka dan menumbuhkan rasa self belonging terhadap apa pun yang mereka miliki. Di sinilah
karakter para santri yang meliputi rasa tanggung jawab, disiplin, rajin akan
terbentuk. Masih banyak lagi kegiatan-kegiatan di pesantren yang nantinya akan
membantu para santri menemukan jati dirinya.
Faktor lain yang mendukung para santri
termasuk saya untuk menemukan jati diri adalah lima unsur vital yang ada di
pesantren, yaitu Panca Jiwa Pondok.
Kelima jiwa pondok ini sangat berperan penting dalam tumbuh berkembanganya
karakter para santri. Pertama, keikhlasan, segala sesuatu yang dikerjakan
selama di pesantren harus didasari dengan ikhlas yaitu semata-mata bernilai
ibadah Lillahi ta’ala. Keikhlasan ketika menjalankan tugas dan
kegiatan-kegiatan, ketika dididik oleh para guru-guru yang menguasai ilmu
masing-masing. Berkaitan dengan ikhlas, saya teringat akan pengalaman pertama
kali menjadi pengurus OPP putri. Ketika itu saya diberi amanah oleh bapak kyai
untuk bertanggung jawab dengan segala hal yang berhubungan dengan bahasa.
Seperti diketahui bahwa Bagian Penggerak Bahasa (BaPengSa) merupakan divisi
dengan status awas ke-3 setelah bagian keamanan dan bagian pengajaran, bisa
dibayangkan ketika salah satu dari kami lewat diantara para santri putri,
suasana pun seketika menjadi tegang. Mereka seolah-olah melihat momok yang siap
menerkam mereka yang tidak berbahasa Inggris atau Arab. Padahal disini kami
berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga mahkota pesantren yaitu bahasa.
Disinilah keikhlasan saya diuji, seberapa besar kesabaran dan keikhlasan dalam
mengemban amanah demi kemajuan kualitas para santri dalam berbahasa Inggris
maupun Arab. Jiwa ikhlas akan melahirkan para santri yang siap terjun dan
bejuang di jalan Allah kapan pun dan dimana pun.
Kedua, kesederhanaan, para santri yang
datang dari berbagai kalangan ketika sudah masuk asrama akan belajar arti
kesederhaan. Ketika tidur bukan kasur busa tebal lah yang membuat nyenyak, tapi
rasa kantuk itu sendiri. Pun ketika makan, bukan hidangan lauk pauk yang mewah
lah yang membuat makanan terasa lezat, tapi rasa lapar itu sendiri. Hal ini lah
yang selalu diajarkan oleh pak kiai selama mengenyam pendidikan di pabelan. Di
dalam kesederhanaan terdapat kekuatan yang dahsyat yaitu nilai-nilai kekuatan,
kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi ujian dan aral melintang
yang menghadang. Kesederhanaan mengajarkan saya untuk tegar dalam mengahapi
ujian perjuangan hidup serta berani maju dan pantang mundur dalam kondisi
sesulit apa pun. Ketiga, berdikari yang berarti berdiri dengan kaki sendiri.
Ini lah salah satu prinsip yang sampai sekarang masih saya pegang teguh. Ketika
awal masuk pondok, segala sesuatu mulai dari yang terkecil harus saya lakukan
sendiri. Rasanya berat memang, tapi jika bukan kita sendiri siapa yang akan
melakukannya diantara ratusan santri pada waktu itu?. Kesanggupan untuk
menolong diri sendiri merupakan salah satu prinsip yang ditanamkan olen
Pesantren Pabelan dalam pola hidup santri. Di masa yang akan datang, ketika
terjun ke dalam masyarakat yang sesungguhnya, kita tidak akan menyusahkan hidup
orang lain karena yakin bahwa kita mampu melakukannya.
Keempat, ukhuwan islamiyah. Suasana
kehidupan di Pesantren Pabelan diliputi oleh suasana persaudaraan, keakraban
dan saling menghormati satu sama lain. Walau pun tak dapat dipungkiri bahwa
gesekan-gesekan social yang terjadi antar santri pasti terjadi. Walau pun
demikian, para santri yang berasal dari berbagai daerah, suku, ras yang berbeda
tidak mengurangi rasa ukhuwah islamiah. Justru ini akan menguatkan persaudaraan
karena pada prinsipnya keberkahan merupakan berkah dari sang Maha Pencipta.
Rasa kekluargaan ini tidak hanya berlangsung ketika di pesantren saja, tetapi
tetap berlangsung sampai para santri terjun dalam masyarakat. Kelima adalah
kebebasan. Unsur jiwa pondok yang satu ini memegang faktor penting dalam
pencarian jati diri. Kebebasan dalam berfikir, dalam berbuat, dalam menentukan
masa depan, dalam memilih jalan hidup, serta bebas dari pengaruh negatif. Hal
menguntungkan ketika saya baru masuk pesantren adalah, saya bebas dari
kewajiban untuk tidur siang. Karena pada waktu masih sekolah dasar, saya tidak
diperbolehkan untuk bermain dengan teman-teman karena waktu siang adalah jadwal
istirahat saya. Alhasil, waktu bermain dengan teman-teman sekitar rumah pun
berkurang. Di pesantren saya bebas menetukan kegiatan apa pun yang ingin saya
ikuti sesuai dengan minat saya, saya bebas berteman dengan siapa pun, tentunya
tanpa mengesampingkan pengaruh negatif yang bisa kapan pun muncul dan
menginterfensi kehidupan saya di pesantren. Dengan jiwa bebas yang dimiliki,
santri akan berjiwa optimis dalam menghadapi kesulitan tanpa kehilangan arah
dan prinsip. Kebebasan yang tetap pada garis yang benar disertai rasa tanggung
jawab.
Tujuh tahun bukan lah waktu yang
sebentar dalam proses pembentukan karakter seseorang. Jika saya tidak
memutuskan untuk belajar di Pabelan, saya tidak akan mempunyai keberanian untuk
mengambil keputusan serta menentukan arah hidup. Di Pabelan lah, para santri
bernaung, merajut cita membangun pribadi yang tangguh. Disanalah tempat saya
dan para santri yang lain dibimbing, ditempa serta hidup berdikari dan mandiri.
Pengaruh Celupan
Pendidikan pada Pengembangan Diri dan Peran Sosial di Masyarakat
Ketika khutbatul iftitah bapak Najib pernah
menyampaikan kepada seluruh santri, khusunya santri baru, “Jika setelah satu tahun di Pabelan belum juga merasa betah, coba
setahun lagi, kalau masih ingin pulang juga, coba setahun lagi dan begitu
seterusnya”. Dari ratusan santri baru yang memulai pendidikan nya di
Pabelan, sampai mereka menyelesaikan pendidikannya, banyak yang berguguran
ditengah jalan ketika melalui proses pendidikan atau seleksi alam. Mengapa
disebut seleksi alam? Karena proses pembelajaran di pesantren hampir sama dengan
proses kehidupan di masyarakat yang sesungguhnya. Para santri harus mempunyai
mental baja, niat yang kuat serta keinginan yang sungguh-sungguh ketika terjun
di dalam kawah bernama pesantren. Hanya yang bersungguh-sungguhlah yang dapat
memperoleh hasil dengan maksimal dan terjun ke masyarakat. Misi terakhir
Pesantren Pabelan adalah mendidik dan mempersiapkan santri untuk menjadi
manusia mandiri dan berkhidmad kepada masyarakat, agama, nusa dan bangsa.
Pesantren telah membentuk manusia-manusia berbudi tinggi, berpengetahuan luas
dengan pemahaman agama yang sesuai dengan Al-qur’an dan Hadist.
Sekembalinya
dari Pesantren Pabelan, para alumni di harapkan dapat mengembangkan dan
mengamalkan ilmunya di masyarakat luas. Dengan berbekal panca jiwa pondok dan motto
pondok, banyak alumni yang telah berkarya dengan warna nya masing-masing.
Banyak dari alumni semasa K.H. Hamam (alm) yang telah berkontribusi untuk negri
kita tercinta, Indonesia. Namun demikian, diharapkan adanya penerus dari para
alumni semasa K.H. Ahamd Najib yang akan terus mengibarkan karyanya di berbagai
aspek kehidupan. Pengalaman-pengalaman yang di dapat semasa mondok telah
membentuk seseorang dengan karakter yang kuat yang menghargai nilai-nilai
kehidupan. Salah satu pengalaman tak ternilai yang saya dapat kan selama
menempa ilmu di pesantren adalah kesempatan untuk belajar dan tinggal dengan
keluarga di Amerika melalui program AFS-YES bermitra dengan Yayasan Bina Antar
Budaya.
Program YES
adalah kerjasama departemen luar negri AS dengan Indonesia untuk menjembatani
kesalah pahaman antar warga amerika terhadap para muslim pasca kejadian WTC.
Setelah saya memberanikan diri untuk mendaftar dan berjuang mengikuti
tahapan-tahapan seleksi, rupanya takdir memilih saya dan teman-teman yang lolos
untuk mewakili chapter Jogjakarta. Saat itu saya sedang duduk di kelas IV KMI
setara dengan kelas 1 MA. Sejak awal seleksi kami telah diberitahu bahwa
sekembalinya dari program, saya harus mengulang kelas 3 MA yang berarti bahwa
saya akan kehilangan tahun-tahun terakhir bersama teman-teman seperjuangan dari
kelas 1 Mts maupun Aliyah. Sedih itu pasti, akan tetapi kesedihan itu
tergantikan oleh pengalaman setahun bertemu dengan keluarga baru, teman-teman
baru di benua berbeda yang jaraknya ratusan ribu mil dari Indonesia. Saya
tinggal bersama keluarga Schwin dan sekolah di Berkelay High School,
California. Selama program saya sempat merasakan culture shock atau dinamakan gegar budaya. Hal ini terjadi karena
perbedaan nilai, adat, budaya antar negara. Dengan bekal Ilmu yang di dapat
selama di pesantren sangat mempermudah saya dalam beradaptasi dengan lingkungan
baru. Dengan implementasi dari motto pondok yaitu berpengetahuan luas dan
berpikiran bebas, kami saling bertukar ide, pikiran dan pendapat dengan
keluarga, teman, guru, di Amerika.
Tentang bagaimana kehidupan di Indonesia dan masyarakat serta budayanya.
Berikut adalah testimoni
dari keluarga angkat selama saya di Berkeley, California.
Sebelas bulan dari
keberangkatan saya pada Agustus
2004, Juli 2005 saya kembali menjadi santri di Pabelan untuk menyelesaikan
tahun terakhir saya. Banyak hal yang dipelajari ketika saya di Amerika. Amerika
adalah negara serikat yang menganut kebebasan, sangat berbeda dengan Indonesia
yang masih menjunjung adat ketimuran. Akan tetapi penduduk Amerika yang
merupakan imigran dari negara-negara lain mempunyai sikap toleransi yang
tinggi. Mereka juga sangat menjaga kebersihan dan penolong, bahkan terhadap
hewan sekali pun. Banyak nilai-nilai positif yang patut dicontoh oleh bangsa
ini dari Amerika.
Setelah lulus
dari Pabelan, saya melanjutkan pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan. Ketika
itu saya berniat mengambil jurusan hubungan internasional atau ilmu komunikasi,
karena saya melihat jurusan itu sangat-sangat bergensi. Di saat perpisahan
khutbatul wada’ pak kiai
memberi wejangan “bintang tidak akan terlihat sinarnya ketika dia berada
diantara tebaran bintang-bintang yang lain, bintang juga tak akan terlihat
sinarnya di langit yang cerah.” Pesan beliau saat itu akhirnya merubah
orientasi jangka pendek yang pastinya berakibat pada visi jangka panjang saya.
Akhirnya keputusan ditetapkan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa
Inggris. Selama kuliah saya berusaha memanfaatkan peluang yang ada dan berhubungan
dengan bidang saya. Saya aktif di organisasi bahasa inggris EDSA, menjadi
panitia dalam seminar-seminar bahasa Inggris baik nasional maupun
internasional. Saya yakin banyak ilmu yang akan saya dapatkan ke depannya
nanti.
Selain memantapkan pilihan
untuk terjun di dunia pendidikan, selama kuliah saya juga tertarik untuk
mengikuti program volunteer bernama IIWC (Indonesia International Work Camp).
Kegiatan ini berada dibawah naungan UNESCO dan pesertanya merupakan gabungan
bilateral antar negara seperti, Indonesia, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika.
Kegiatan ini fokus terhadap masalah-masalah social, lingkungan, pendidikan,
cagar budaya. Penempatannya pun beragam selama dua minggu di lokasi anak
jalanan, lokalisasi prostitusi yang focus terhadap kesehatan mental fisik dan
psikis anak-anak, Candi Gedong Songo, habitat mangrove, dan masih banyak lagi.
Saat itu saya mendapat amanat bersama teman-teman mahasiswa jepang untuk
memberikan penyuluhan, pendekatan social terhadap anak-anak di wilayah
lokalisasi Tegal Rejo, Semarang. Kami mengunjungi sekolah untuk memberikan les
bahasa jepang dan inggris gratis. Siangnya kami menuju balai desa untuk
memberikan pelajaran kerajinan, menggambar, mental
recovery, informasi kesehatan, dll. Di akhir pertemuan kami mengadakan farewell party bersama penduduk desa lokalisasi dengan memperkenal kan
budaya Jepang dan Indonesia melalui pameran baju daerah, lagu daerah, makanan
serta tarian tradisional. Seperti kata pepatah “ sebaik-baik manusia adalah
yang bermanfaat bagi sekitarnya”, maka saya pun ingin berbagi ilmu, berbagi
kebahagiaan kepada sekitar sebanyak yang saya mampu.
Tahun 2010, tepat 4 tahun
saya menyelesaikan program S1 dan kemudian saya mengajar di lembaga bahasa
Inggris LBPP LIA Palembang sampai sekarang. Jika saya mengingat kembali ke
tahun 2001 dimana saya memegang amanah menjadi BAPENSA, saya mengerti mengapa
Alloh memilihkan saya bagian tersebut sebagai anggota OPP. Jalan hidup,
cita-cita manusia dapat berubah sewaktu-waktu. Kita tidak dapat memilih peran
hidup yang diamanahkan Alloh, sang Sutradara kehidupan. Yang dapat kita lakukan
adalah menjalankan peran tersebut sebaik mungkin. “Al-‘ilmu bi la ‘amalin, kassajari bi la tsamarin”, inilah
kesempatan saya untuk mengamalkan ilmu sebanyak-banyaknya. When you get give, when you learn teach.
Setiap proses belajar yang dialami
dalam hidup, setiap karya yang ditorehkan, setiap kontribusi yang dilakukan
tidak lain adalah wujud pengaktualisasian diri serta pengabdian terhadap bangsa
dan negara. Pada tahun 2013 saya mendapat kesempatan untuk mengikuti program
PPAN (Pertukaran Pemuda Antar Negara) ke Malaysia mewakili prov. Sumsel.
Program ini berada dibawah kerjasama KEMENPORA RI dan Kementrian Belia dan
Sukan Malaysia sejak tahun 1979. Sebagai upaya mewujudkan terbentuknya
jejaring, pemahaman, pengertian yang lebih baik dengan kerjasama di bidang kepemudaan. Kegiatan selama dua bulan
program yaitu pre-departure training, diskusi antara pemuda Malaysia dan
Indonesia membahas isu terkini dan penanganannya, presentasi pemaparan proposal
wirausaha setiap grup (saat itu grup kami mengajuan daur ulang limbah batubara
menjadi souvenir), institusional visit, cortesey call (kunjungan ke Kedutaan RI
di Malaysia), homestay dengan keluarga di Indonesia dan Malaysia.
Seluruh
pencapaian yang didapatkan hingga saat ini tak pernah lepas dari nilai-nilai
yang telah didapatkan selama masa pembelajaran di Pabelan. Proses pembentukan
manusia untuk menjadi insan berkarakter, becita-cita sesuai jati dirinya tanpa
tergerus oleh perkembangan zaman. Dalam
hal ini pesantren sebagai model lembaga pendidikan Islam pertama yang mendukung
kelangsungan sistem pendidikan nasional tidak diragukan lagi kontribusinya
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus mencetak kader-kader intelektual
yang siap untuk mengapresiasikan potensi keilmuan sesuai dengan bidangnya di
masyarakat.
Berdisiplin
dari Dalam
Riansyah
Tuahunse
Asas kedisiplinan pendidikan dalam
pondok pesantren Pabelan secara garis besar telah dirumuskan dalam Panca Jiwa
dan Motto Pondok. Hanya saja penafsirannya diikuti dengan perkembangan zaman.
Panca Jiwa dan Motto Pondok sebagai rel yang mengarahkan kemana arah kereta
kedisiplinan dan pendidikan pondok akan dibawa. Dalam implementasinya,
dibutuhkan setiap elemen untuk berpartisipasi dalam merealisasikan panca jiwa
dan motto pondok. Karena jika salah satu elemen saja tidak bisa ikut
berpartisipasi maka susah terbentuknya kedisiplinan pendidikan.
Kedisiplinan pondok yang 24 jam tanpa
henti dari bangun tidur sampai tidur lagi yang saya rasakan, benar-benar
pendidikan yang sangat membantu pada jenjang-jenjang berikutnya. Kedisiplinan
yang ada dipondok adalah pendidikan seumur hidup, long life education. Dalam segi bahasa pun seperti itu. Di sekolah-sekolah
umum diajari bahasa asing, tapi di pondok kita bukan hanya diajari, tapi
dididik dengan cara menggunakannya setiap hari. Bahkan di waktu libur (Jumat )
santri diperbolehkan untuk berpraktik bahasa langsung dengan native speaker di Borobudur. Di saat
sekolah-sekolah lain belajar vocabularies,
kita santri pondok sudah berbicara sehari-hari menggunakan bahasa asing. Bukan
hanya itu, kita bahkan telah berpidato dengan menggunakan bahasa asing.
Bukan hanya dari segi bahasa, tapi
secara keseluruhan kedisiplinan yang ada di pondok adalah pendidikan terbaik
yang saya rasakan. Dari bangun tidur sampai tidur lagi diisi penuh dengan
kegiatan-kegiatan yang positif dan bermanfaat yang efek ke depannya terasa
sangat penting. Namun bagaimana menjalani segala bentuk kedisiplinan dipondok
dengan ikhlas? Sungguh tidak mudah, maka tak heran dalam Panca Jiwa pondok yang
pertama dan utama adalah keikhlasan. Tanpa ada keikhlasan untuk mengikuti
segala bentuk kedisiplinan akan timbul rasa tidak kerasan, sebab tidak akan
mengerti maksud baik yang akan ditimbulkan oleh kedisiplinan tersebut.
Dengan berbagai kedisiplinan dan
pendidikan yang diberikan oleh pondok, adalah salah satu pembentukan karakter
kita untuk membentuk jati diri. Dan segala pendidikan yang diberikan selama di pondok
adalah benih-benih jati diri. Tinggal kitalah yang mengemudi ke mana arah
tujuan hidup kita dengan bekal yang sangat memadai yang didapat dari pondok. Kemanapun
arah yang kita pilih, selama pedoman pendidikan dan kedisiplinan yang pernah
didapat di pondok diterapkan pasti akan berhasil.Apalagi pada saat ini segala
bentuk sarana telah memadai. Dari laboratorium bahasa yang pasti akan membuat
para santri lebih lancar dan fasih dalam berbahsa asing, ada studio band yang
bisa menggali lebih dalam bakat-bakat para santri dalam bidang musik. Semua
fasilitas yang membantu santri untuk menemukan jati diri telah disediakan di pondok
tinggal pengolahan sumber daya dan penanaman benih dasarlah yang penting agar
tetap berada dalam rel yang benar.
Jiwa keislaman terlebih dahulu di
pondok agar ketika keluar dari pondok dan menjadi apapun kelak, kita tetap
membawa ajaran-ajaran Islam. Jadi penulis ya penulis yang Islami, jadi seniman
ya seniman yang Islami, jadi pengusaha ya pengusaha Islami. Nilai inilah yang
menjadi nilai dasar yang ditanamkan dan terus ditanamkan dari kedisiplinan
pondok. Agar kelak jika santri menjadi apapun benih keimanan ini terus dibawa. Apalagi
era sekarang yang begitu bebas, semua hal begitu mudah didapat. Tanpa ada pendidikan
Islami yang memadai bisa hanyut dalam globalisasi yang negatif. Tapi dengan
adanya pendidikan awal yang Islami serta kedisiplinan yang terus ditanamkan
selama di pondok bisa menjadi rem untuk mencegah arus negatif dan juga mampu
memfilter segala sesuatu yang datang. Karena pendidikan pada masa-masa mondok
mampu membentuk karakter kita. Motto paling pertama adalah berbudi tinggi.
Alur kehidupan pondok begitu teratur,
saya menyadarinya setelah lulus dari pondok. Bagaimana tidak, tak ada sedetikpun
dilewatkan tanpa aktivitas. Dari bangun tidur untuk jamaah sholat subuh, lalu
olah raga pagi, terus mandi, makan dan bersiap-siap untuk masuk sekolah.
Setelah selesai sekolah pun tak ada waktu kosong, masih ada kegiatan lain
seperti pramuka atau olahraga sore. Hingga malam pun masih ada Muhadhoroh.
Keseluruhan kehidupan yang ada di pondok adalah proses belajar mengajar. Ada
satu hal yang paling tak bisa dilupakan didalam pondok yakni ukhuwah yang
terjalin antarsantri. Disadari ataupun tidak, jalinan ukhuwah yang terjadi
didalam kehidupan sehari-hari lama kelamaan akan tumbuh dan berkembang, bukan
hanya sekedar pertemanan ataupun persahabatan tapi lebih dari itu, keluarga.
Ya, jalinan yang terjadi di dalam pondok adalah jalinan kekeluargaan. Pimpinan
pondok sebagai orang tua yang mengayomi para santri, para asatidz dan ustadzah
sebagai kakak yang membimbing secara langsung para adik-adik santri menjadi
adik kita.
Setiap hari, 24 jam kita habiskan
bersama teman-teman, dari bangun tidur sampai tidur lagi tak ada waktu yang
kita habiskan sendiri, melaikan dengan para teman-teman santri. Tak ada lagi
strata ataupun kasta yang menjadi penghalang bagi setiap santri dalam menjalin
ukhuwah. Tak ada lagi sekat atas unsur kekayaan, kekuasaan dah jabatan orang
tua yang dibawa, karena sama menyandang status “santri”. Tak ada perbedaan
dalam pilih kasih, yang salah akan kena iqob,
yang berprestasi akan mendapatkan reward.
Lantas ukhuwah yang terjadi di pondok bisa terjalin lintas alumni yang terpaut
sangat jauh, yang bahkan kita tak sempat bertemu sewaktu didik di Pabelan. Ketika
kita bertemu dan tahu kalau ternyata alumni Pabelan, rasa hangat kekeluargaan
pun tercipta secara spotan. Tanpa ada rasa kaku ataupun canggung, seakan sudah
kenal dalam jangka waktu yang sangat lama. Inilah uniknya jalinan ukhuwah yang
terjalin di pondok, semua seakan masuk dalam hangatnya kekeluargaan tanpa
pandang usia, status atau apapun. Semua hanyut dalam suasana indahnya
kekeluargaan.
Kami pribadi sangat merasakan betapa
pentingnya bahasa. Mungkin karena di pondok dulu menjadi Bapengsa (Bagian
Penggerak Bahasa ) sehingga setelah lulus dari pondok suka merasakan pentingnya
berbahasa asing. Namun saat sekarang semua alumni atau siapapun juga pasti
merasakan pentingnya penguasaan bahasa asing. Komunikasi adalah sarana utama
untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan. Bagamana kita bisa memenuhi
kebutuhan kita jika kita tak mampu berkomunikasi secara baik. Apalagi era
globalisasi komunikasi yang dibutuhkan bukan hanya sesama warga Indonesia,
melaikan seluruh dunia. Di sinilah letak pentingnya berbahasa asing, alat
komunikasi global. Di pondok diajari khoiru
an-naas anfa’uhum li naas ‘sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi
manusia yang lain. Dengan penguasaan komunikasi bahasa, jangkauan manfaat yang
bisa diberikan jauh lebih banyak dan luas. Disamping itu kita dengan mudah
mengerti, memahami budaya, peradabaan masyarakat secara luas.
Al-qur’an diturun dalam bahasa Arab,
bagaimana kita memahami ajaran Islam tanpa tahu bahasa Arab? Semua itu difasilitasi
pondok pabelan dengan kewajiban memakai bahasa asing setiap saat. Bahkan untuk
conversation pagi dan latihan pidato digunakan bahasa Inggris dan Arab. Itu
semua lebih dari cukup untuk memajukan bahasa para santri di pondok. Apalagi sekarang
sudah disediakan laboratorium bahasa, jadi santri lebih mudah mengusai bahasa
asing karena fasilitas yang disediakan lebih dari cukup. Sangat disayangkan
jika santri bermalas-malasan untuk belajar bahasa. Pada akhirnya setelah keluar
dari pondok, banyak alumni yang menyesal tidak belajar sungguh-sungguh. Selama
di pondok kita sering kedatangan tamu dari luar negeri. Apalagi ada program
pertukaran pelajar selama setahun ke Amerika, Jepang, Kenya, seharusnya dengan
ini bisa menjadi motivasi menguasai bahasa asing. Tak ada santri yang tak ingin
merasakan pengalaman belajar di negeri asing, apalagi secara gratis. Untuk lolos
seleksi tak mudah, walaupun yang bisa bahasa Inggris belum tentu bisa
berangkat, apalagi yang tak bisa berbahasa Inggris.
Kami pribadi pernah merasakan hal
serupa. Ketika belajar di Mesir tak sedikit dari kami yang kewalahan. Padahal
yang diajarkan sebenarnya sudah dipelajari di pelajaran KMI semasa di pondok
dulu, hanya saja kali ini pelajarannya jauh lebih lebih detail. Tapi karena
keterbatasan berbahasa memaksa kami harus belajar kembali bahasa Arab. Hampir
semua dari kami ikut kursus untuk berbahasa Arab. Kami menyesal selama di pondok
dulu malas dalam belajar bahasa, kurang disiplin dalam menggunakan.
Pekerjaan yang kami tekuni saat ini mensyaratkan
mampu berbahasa Inggris, karena setiap hari berkomunikasi dengan orang asing. Sebenarnya
fasilitas sarana berbahasa di Pabelan sudah lengkap, pemberian kosa kata,
conversation/muhadatsah, pidato, laboratorium bahasa, sampai praktik berbahasa
di Borobudur untuk berbicara langsung dengan para turis. Seharusnya para santri
lancar berbahasa Arab maupun inggris. Bahkan bapak kiai pernah bilang “Kalau bisa ngigau pun pake bahasa Arab atau
Inggris“. Ini salah satu metode yang sangat membantu para santri agar mau
berbahasa, menstimulus mereka agar jangan pernah takut salah.
Indahnya persahabatan sangat membantu
para santri menjadi lebih gampang bergaul di masyarakat. Tak sedikit santri
pada masa kuliah menjadi menonjol di dunia kampus masing-masing. Santri yang
pendiam dan tak terlalu menonjol menjadi begitu bersinar sekeluar dari Pabelan.
Saya pun ingat salah satu kata pak kiai “ Di
Pabelan semua santri adalah bintang yang bersinar dengan sinarnya masing-masing,
maka tidak akan terlihat kemilaunya di antara bintang yang lain. Saat keluar
nantilah baru terasa sinarnya”. Kebersamaan yang kita alami selama di podok
mengajarkan kita saling menghargai dan perhatian sesama. Pendidikan seperti ini
akhirnya para alumni mampu peka terhadap keadaan di sekitarnya, sehingga tak
jarang para alumni mampu menunjukan diri menonjol di tengah-tengah masyarakat.
Pendidikan Pabelan ini tidak tepat
dipelajari di buku apapun. Ini pendidikan dialami sendiri, bukan lewat
pelajaran. Oleh karena itu pondok menjadi balai pendidikan bukan balai
pengajaran. Santri dididik secara langsung dengan pengalaman, bukan hanya
sekedar diajari lewat buku. Pada awalnya biasa terjadi kesalahpahaman
antarsantri karena latar belakang yang
berbeda-beda. Ada yang dari Sumatera, Sulawesi, Jawa dll. Keberagaman pada akhirnya memperindah suasana di pondok. Lewat
kesalahpahaman itulah antarsantri jadi mengenal satu sama lain, mampu
menghargai keberagaman dan akhirnya memasuki masyarakat yang luas pun sudah
biasa menerima keberagaman.
Begitu banyak cerita dan warna warni
kehidupan di dalamnya. Sistem pendidikan 24 jam, menjadikan para santri
terdidik tentang manajemen waktu. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, semua diisi dengan
berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran. Semua dilalui bersama kawan–kawan.
Karena dilakukan bertahun–tahun selama di pondok maka tidak heran kalau sesama
santri sangat mengenal karakter dan pribadi masing–masing. Setelah selesai dari
pondok antar-alumni masih terjalin hubungan kekeluargaan Pabelan, hingga ada
ikatan alumni yakni IKPP (Ikatan Keluarga Pondok Pabelan). Dengan IKPP para
alumni mengenal satu sama lain bahkan lintas generasi. Kadang pada saat
lebaran, para santri mengundang IKPP untuk silaturahim bersama masyarakat
dengan halal bi halal. Seakan dengan pondok kita bisa menyatukan masyarakat
sekitar lewat acara halal bi halal.
Muhadhoroh, satu kegiatan yang mungkin
saat menjadi santri awal menjadi hal paling dihindari. Bagaimana tidak,
ditunjuk untuk berorasi dengan bahasa Indonesia, Arab ataupun Inggris di depan
teman. Karena kecenderungan para santri baru demam panggung, harus berbicara di
depan kakak kelas yang sudah berulang-ulang berpidato. Makanya tak jarang anak
baru menjadi batu (diam) pada saat berpidato saking grogi dan hapalan yang
sudah dipersiapkan lupa. Tapi pendidikan yang terdapat dalam Muhadhoroh ini
terasa sekali manfaatnya sekeluar dari pondok. Karena sering dilatih untuk
berbicara di depan umum pada saat Muhadhoroh, setelah keluar terbiasa untuk
berbicara di depan umum. Kemampuan berbicara tidak bisa dipelajari hanya lewat
buku, tapi harus dipraktikkan. Seakan muhadharah hanya masalah kecil, tapi efek
yang tercipta sangat luar biasa. Program yang sangat membantu para santri untuk
lebih mudah bergaul dan bergabung dengan masyarakat, berani berbicara
mengutarakan ide–ide di hadapan orang banyak.
Organisasi Pelajar Pondok (OPP), salah
satu kewajiban yang harus dilaksanakan santri kelas 5 dan sebagian kelas 4.
Pengurus OPP dipercaya membantu pimpinan pondok dan para ustadz agar
kedisiplinan berjalan. Berbeda dengan OSIS di sekolah umum, OPP menjalankan
tugas 24 jam sehari membantu menjalankan disiplin di pondok. Ada yang menduduki
jabatan di bagian bahasa, pengajaran, kesehatan, keamanan dan lain-lain. Semua pengurus saling membantu untuk
menjalankan amanat membantu para santri untuk tetap berada dalam jalur
kedisiplinan. Menjadi pengurus OPP inilah salah satu pendidikan pondok agar
santri tumbuh sikap kepemimpinannya. Ini bukan hal yang mudah, belajar menjadi
pemimpin untuk membantu para santri berdisiplin 24 jam, bahkan santri tidur pun
para pengurus harus berpiket menjadi bulis malam, menjaga keamanan pondok dan
juga membangunkan santri tepat waktu untuk beraktifitas pada pagi hari.
Menjadi pengurus OPP punya beban
tersendiri. Pengurus harus bertanggung jawab atas jalannya kedisiplinan para
santri, jika ada salah satu program kerja pengurus yang tidak jalan maka akan
dipertanggung jawabkan kepimpinan pondok. Pemimpin harus siap dengan segala
program-programnya dan menjalakan dengan sepenuhnya. Di pondok kita dilatih
mental, jiwa dan otak untuk bagaimana memimpin dan siap dipimpin. Bertanggung
jawab penuh membantu pimpinan pondok atas jalannya aturan kedisiplinan santri. Maka
tak heran lagi jika banyak sahabat-sahabat, kakak – kakak kelas maupun adik
kelas yang telah lulus dari Pabelan mempunyai peranan penting di lingkungannya,
baik itu diorganisasi kampus, masyarakat atau apapun juga. Selama di pondok
telah mengalami bagaimana mengelola organisasi dan berbekal pengalaman dididik
secara langsung secara aktual tentang kepemimpinan selama menjabat menjadi
pengurus OPP. Pendidikan kepemimpinan yang ada di pondok yang diterapkan dengan
metode learning by doing melalui OPP.
Saya bersyukur bisa merasakan indahnya
pendidikan di Pabelan. Walaupun tidak sedikit dari kawan saya yang tidak
kerasan dan akhirnya pindah sekolah. Mungkin pada saat itu, mereka ingin
merasakan kebebasan dunia luar. Tapi setelah mereka keluar, tidak sedikit yang
menyesal karena sudah keluar. Yang membuat para santri betah dan bahkan
menyesal setelah keluar dari pondok adalah jalinan ukhuwah yang begitu kuat. Tak
heran jika banyak dan sering sekali para alumni pergi ke Pabelan hanya untuk
mengingat indahnya masa lalu. Bahkan acara ulang tahun pondok pun begitu
meriahnya dan begitu ramainya dengan para alumni – alumni yang muda ataupun
yang tua. Semua berbaur dalam satu ikatan, gak ada kesenjangan antara alumni
muda atau yang tua, semua larut dalam indahnya kenangan Pabelan. Itulah magic pendidikan, apapun yang terjadi
selama di pondok, baik suka ataupun duka, semua hilang ketika keluar dari
pondok. Dan pada saat bertemu sekian lama yang ada hanya rasa rindu, cinta, dan
mesra dalam satu keluarga Pabelan.
Selama 4 tahun, mulai dari kelas 3 Tsanawiyah
sampai lulus, adalah hal terbaik yang pernah terjadi. Begitu banyak warna–warni
yang menghiasi lembaran cerita hidupku, dididik menjadi seseorang yang belum
pernah tergambar dalam pikiranku ketika sebelum masuk. Dibekali berbagai macam
pengetahuan, umum, agama bahkan bahasa internasional, hingga ditanamkan rasa
tanggung jawab dan kepemimpinan. Pada saat itu, semua dilalui dengan rasa
terpaksa, karena belum sadar akan masa depan. Maka saat ini terasa 4 tahun itu
masih kurang. Banyak yang belum sempat saya rasakan selama menjadi santri di pondok.
Pendidikan di pondok tidak mendikte
para santri untuk fokus pada satu jalan saja guna masa depan santri, akan
tetapi santri dididik dan dibekali dasar yang mumpuni sehingga ke depan para
santri mampu menjadi apapun sesuai cita–citanya. Para santri diberikan
kebebasan untuk memilih minat dan bakatnya sesuai apa yang dicitakan. Selama
menjadi santri, serasa begitu keras kehidupan di pondok karena banyak aturan
yang harus dipatuhi. Jika melanggar pun akan menerima “iqob” dari pengurus,
ustadz atau bahkan pimpinan pondok langsung. Tapi setelah keluar baru akan
terasa betapa pentingnya disiplin tersebut. Sesudah keluar, tidak ada lagi yang
akan mengerem tindakan yang tidak bermanfaat. Susah mencari orang yang peduli mengingatkan
salah-benar.
Pada akhirnya setiap santri yang ada
di pondok mempunyai pengalaman, sudut- pandang yang berbeda, meskipun tinggal,
hidup, belajar dalam satu atap. Bukan hanya karena intelektualitas yang berbeda
tapi kecenderungan untuk memilih minat dan bakatlah yang menjadikan setiap
orang menjadi fokus, dan akhirnya berkembang pada satu bidang, dan kurang akan
bidang yang lain. Tidak hanya satu atau dua alumni yang dulu tidak suka
mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di pondok. Tapi setelah keluar dari pondok,
berbaur dengan masyarakat, baik di lingkungan tempat tinggal ataupun lingkungan
kampus, banyak alumni yang sadar akan pentingnya kegiatan itu.
Sekarang model pendidikan pondok
pesantren dijadikan role sekolah bertaraf internasional. Walaupun berbeda nama, tapi sistem pendidikan
sama seperti yang ada di pondok. Pada akhirnya masyarakat sadar bahwa model
pendidikan seperti yang diterapkan di pondok sangat baik untuk anak. Diajar
dengan baik tanpa dididik dengan moral yang baik, hanya akan menjadikan orang
pintar yang merusak. Di podok kita diajari dan dididik dengan disiplin yang
ketat agar meciptakan didikan yang berbudi luhur serta berpengetahuan luas
seperti motto pondok.
Ketika masuk dalam pondok dan menjadi
santri, banyak hal dalam hidup yang berubah. Mendapatkan kawan baru sekaligus
keluarga baru, terikat dalam seluruh aspek pendidikan dan kedisiplinan yang
mungkin sebelumnya belum didapatkan ketika berada di rumah. Mungkin kita terpikir
saat itu begitu berat untuk dijalani. Tapi setelah dijalani dan akhirnya
selesai dan keluar dari pondok, ketika
memikirkannya kembali masa–masa itu terasalah sangat membahagiakan dan penuh syukur
bisa masuk dan menjadi keluarga besar pondok. Kadang sempat terpikir untuk
kembali ke masa–masa itu, masa nyantri di Pondok Pabelan.
Seniwati
Nyantri Keseimbangan
Laras Perukya Kinanti
Tidak pernah terlintas
bahkan terbayang sedikitpun dalam benak saya untuk melanjutkan studi atau lebih
tepatnya penempaan diri di apa yang biasa disebut pesantren. Tahun 2002 menjadi
permulaan saya mengenal diri saya sendiri, agama saya, sosialisasi, masalah,
kesulitan, kemudahan dan segala tethek
bengeknya. Pondok Pabelan, nama yang sungguh asing bagi saya yang
berdomisili di kota Yogyakarta dan jujur saja belum ada riwayat keluarga saya
yang nyantri , malahan orangtua saya
seniman. Informasi diperoleh orangtua
yang gencar ingin menyekolahkan saya di pesantren dengan harapan supaya pintar
agama dan selamat. Berbagai pesantren di belahan pulau Jawa dijajaki dan
akhirnya memantapkan diri untuk memasukkan saya di Pondok Pabelan. Pilihan
terakhir yang semoga tidak salah.
Kamar pertama yang saya
tempati adalah kamar Bougenville. Kami anak-anak yang baru tamat sekolah dasar
mau tidak mau sudah harus bertanggung jawab dengan diri kami sendiri. Ini
sungguh pekerjaan yang sulit bagi saya. Malam pertama di Pondok Pabelan terasa
sangat panjang, bagaimana tidak ketika sekitar 18 orang teman yang lain masih
memanfaatkan dispensasi tidur ditemani orangtua saya harus menahan air mata
untuk berpisah dengan orangtua di malam itu juga. Ini langkah awal saya
menguatkan diri sendiri. Akhirnya saya mulai kenal dengan istilahnrimo bagaimanapun keadaan kita. Yang
masih ditemani ya biar saja ditemani, saya berusaha menguatkan diri saya
sendiri meskipun sambil sembunyi-sembunyi menyeka air mata. Intinya tetap
supaya kelihatan keren dan tampak tegar sekaligus dewasa di mata teman-teman. Hehehehe..
Hari-hari berjalan dengan
baik dan semakin baik dengan keberadaan teman-teman yang merasa saling senasib.
Antre ambil jatah makan dengan nampan, antre mandi dengan gayung, kebersamaan
dengan teman-teman satu kamar, satu kelas bahkan antar-kamar dan antar-kelas.
Semakin lama, hilanglah sekat tersebut. Kami satu, bukan lagi penghuni Wijaya
Kusuma, Kalpataru, Berdikari, Anggrek, kelas 1, kelas 2, takhasus dan
lain-lain. Kami santri putri Pondok Pabelan.
Pondok Pabelan, saya
menyebutnya rumah yang modern dan sangat dinamis.Pembentukan karakter muslim
yang dinamis tercermin dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler maupun
kegiatan-kegiatan di asrama. Banyak kegitan yang tidak melulu diisi dengan
pengajian sepanjang hari. Kami bisa tetap olahraga, bermusik, melakukan hobi
kami meskipun dengan waktu yang terbatas. Meskipun nyantri, saya tidak lantas kehilangan minat saya pada seni yang
sudah saya akrabi sejak saya masih dalam kandungan. Maklum saja, orangtua saya
menggeluti bidang seni. Marching band
menjadi pilihan saya dalam menyalurkan hobi berkesenian. Keseimbangan yang ditanamkan
sangat berbekas di jiwa saya meskipun tidak pernah disampaikan secara verbal
dan naratif oleh Pak Kiai maupun Bu Nyai. Pentingnya menjadi perempuan yang
mandiri, berilmu, berkarakter Islami, cakap dan kreatif saya dapatkan di Pondok
Pabelan. Ilmu pengetahuan umum tidak luput dari program mata pelajaran di
Pondok Pabelan. Berbagai kegiatan seperti pramuka, pencak silat, teater pun
pernah saya ikuti. Sungguh bukan pondok pesantren yang kaku seperti apa yang
orang lain pikirkan.
Tiga tahun saya menempa diri
di Pondok Pabelan, tiga tahun pula saya merasakan bulan Ramadhan di Pondok
Pabelan. Begitu juga hari raya Idul Adha yang saya rasakan bersama teman-teman
Pondok Pabelan selama tiga tahun. Saat yang paling mengasyikkan ketika kami
membakar sate daging qurban secara massal di asrama putri. Meskipun terkadang
gosong, kurang matang karena ketidaksabaran, tetapi kami menikmatinya dengan
penuh canda tawa, bahagia dan yang terpenting adalah rasa syukur. Tiga tahun
yang benar-benar hidup. Tiga tahun yang membentuk diri saya. Tiga tahun saat
titik ketika seorang Laras menjadi Laras di masa mendatang.
Keberadaan saya di Pondok
Pabelan menjadi hikmah bagi orangtua saya. Orangtua yang terbiasa dengan
pentas, seni dan segala hal yang melingkupi termasuk gaya hidup seniman lambat
laun berubah. Keberadaan saya sebagai santri memotivasi orangtua untuk mendalami
agama Islam secara lebih intens. Pondok Pabelan tidak hanya membentuk saya,
tetapi sekaligus menjadi media introspeksi dan refleksi bagi orangtua saya.
Tiga tahun saya dibiasakan
dengan disiplin. Disiplin yang paling dekat adalah sholat tepat pada waktunya.
Pondok Pabelan benar-benar melatih saya dan menggembleng saya persoalan ini.
Istilah pesantren populer dengan sebutan penjara suci, terkesan mengerikan dan
“nggak banget” bagi kebanyakan pemuda
masa puber. Pesantren penuh dengan kekangan, membatasi gerak, membatasi gairah,
dan semacamnya. Mungkin saja beberapa pesantren di penjuru dunia ada yang
menerapkan kekakuan-kekakuan peraturan, dan pembatasan yang ekstreem. Namun bagi saya Pabelan bukan
penjara, Pabelan masuk akal, Pabelan madrasah, Pabelan ibuku. Peraturan memang
harus ada untuk melatih disiplin dan untuk menyamakan persepsi. Bukankah agama
Islam ada untuk mengatur kehidupan manusia dan Al-Qur’an Hadits sebagai
pedoman?. Pabelan wadah pembelajaran kehidupan kita yang sesuai dengan
Al-Qur’an dan Hadits. Bagaimana menjalani kehidupan dengan luwes, namun tetap
berpegang pada ajaran Islam. Satu hal yang penting untuk diingat, Pabelan tidak
mengajarkan aliran maupun penganut ormas tertentu. Pabelan mengajarkan kami
menjadi seorang Muslim. Output yang
dihasilkan adalah saya yang tidak fanatik pada ormas manapun. Pokoke Islam (titik).
Tiga tahun berselang,
tahun 2004 saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan menengah atas di
Sekolah Menengah Musik Yogyakarta dengan penuh pertimbangan sebelumnya. Banyak
yang menyayangkan keputusan saya untuk tidak melanjutkan studi di Pabelan,
tetapi lagi-lagi Pabelan tidak memaksakan kehendak. Saya tidak mengalami
kesulitan apapun dalam proses pendaftaran, baik ijazah MTs yang saya miliki,
asal usul sekolah sebelumnya yang notabene pesantren tidak menjadi persoalan.
Saya tetap bisa melanjutkan studi di sekolah yang saya inginkan, tanpa
dipermasalahkan.
Tahun 2007 saya lulus dari
Sekolah Menengah Musik dengan instrumen Biola dan melanjutkan studi di Institut
Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Minat saya pada musik tidak luntur karena
Pabelan tidak menutup akses minat saya pada musik kala itu. Saya tetap bisa
berprestasi dalam bidang yang saya tekuni meskipun saya lulusan pesantren.
Pabelan tidak pernah menjadi penghalang, pesantren bukan alasan untuk tidak
merdeka dan berprestasi.
Tuntutlah ilmu sampai ke
Negeri Cina. Pepatah klasik dari Hadits yang sangat memotivasi hidup saya.
Tahun 2012, saya lulus dari ISI Yogyakarta. Belum puas dengan ilmu yang saya
miliki, saya melanjutkan studi S2 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta prodi
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Tidak mudah menyamakan persepsi
bagaimana kaitan seni dengan religi, tetapi hal tersebut tidak saya ambil
pusing. Saya jalani kehidupan saya dengan jalan yang saya pilih dan berusaha
tidak ndableg dengan aturan agama.
Yang penting tetap dalam koridor agama. Toh dulu di pesantren saya tidak
diajari untuk berkaku-kaku ria pikir saya begitu. Tapi benar, Pabelan mengajari
kami hidup yang logis. Hidup yang riil, bahwa senyatanya kita juga membutuhkan
hal-hal yang sifatnya komplementer. Ilmu agama yang mengatur jalan hidup kita.
Habluminallah dan Hablumminannaas. Keseimbangan.
Pabelan bukan sekedar
sarana untuk mengikuti aturan yang dibuat pengurus, bukan sekedar menyelamatkan
diri dari pergaulan bebas, bukan sekedar belajar mengatur uang, bukan sekedar
belajar tidur tanpa orangtua. Pabelan adalah sarana ngelmu bagi saya. Segala hal yang terjadi dan terdapat di Pabelan
menyimpan maksud dan pembelajaran yang luar biasa. Saya bisa merasakan dengan
sangat nyata setelah raga saya tidak berada di Pabelan. Menerapkan apa yang
pernah dilalui sebelumnya di Pabelan. Pabelan mempersiapkan diri saya untuk
tangguh menghadapi dunia luar. Kompleksitas peristiwa yang ada di Pabelan saya
temui di dunia luar, di masyarakat. Bagaimana cara mengatasi teman yang egois,
yang tidak mau piket. Bagaimana mengatasi gayung yang sering di-ghasab. Bagaimana menerima keadaan
dengan menu makan yang agak monoton meskipun dibumbui sedikit kenakalan remaja
level santri. Hehehe. Kabur dengan teman satu kamar saat itu ukhti Rina Y.S
demi semangkuk bakso Santan yang jadi idola dan andalan para santri atau nasi
goreng bu As yang bisa kami dapatkan dengan cara menitip pada kakak santri putra
yang terjadwal bulis alias jaga malam.
Langganan saya saat itu adalah Kak Imam Rosyidin yang sedang menjalani masa
pengabdian. Kelabakan tutup pintu rapat-rapat karena takut ketahuan ketika
mendengar suara moge dan sorot senternya Bapak Najib yang selalu check situasi di malam hari. Itu adalah
salah satu akting terbaik kami. Hehehe (buka kartu). Sensasi sanksi oleh
pengurus karena pelanggaran itu luar biasa menyehatkan dan mencerdaskan. Sanksi
berupa bersih-bersih komplek asrama atau setor hafalan kata-kata dalam bahasa
Arab, Indonesia dan Inggris. Kalau mau cerdas dan sehat, silakan melanggar
peraturan. Hehehe, bercanda. Akan lebih terhormat jika kita sehat dan cerdas
dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan. Sanksi yang diterapkan pun tetap
memilki unsur manfaat bagi santri. Tidak sekedar mempermalukan tanpa tujuan dan
maksud yang jelas.
Pabelan, bukan sekedar
nama. Pabelan, kesatuan komponen di dalamnya. Pak Kiai, Bu Nyai, asrama,
ustadz, ustadzah, masjid, lonceng, speaker, sawo bludru, tahu, gumbingan,
nampan makan, gayung, ruang tamu, kelas, semuanya. Pabelan, ternyata orangtua
saya tidak salah memilihmu. Ternyata saya tidak salah mencintaimu. Saat ini
saya bekerja sebagai salah satu pengajar musik di perguruan tinggi swasta di
Banjarmasin. Saya made in Pabelan
yang memilih jalan hidup di dunia musik dan tetap menjadi diri saya sendiri
yang masih selalu belajar bermental baja seperti yang ditanamkan Pabelan.
Bagaimana berpendirian, bagaimana tegas mengambil keputusan, berani mengambil
langkah, melihat terus ke depan. Pabelan, terimakasih untuk segala ilmunya.
Suatu saat saya ingin kembali padamu dalam wujud yang lain, keturunanku kelak.
Semoga Allah merahmatimu. Semoga engkau panjang umur sehingga dapat terus
mencerdaskan dan memupuk karakter anak bangsa yang sholehah, mandiri, disiplin,
merdeka dan penuh semangat. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin. Salam rinduku padamu
Pondok Pesantren Pabelan.
Angkatan
2006-2010
Pesantren dan
Impianku
Setyawan Saputra
Bersabar
dan ikhlaslah dalam setiap langkah perbuatan
Terus-meneruslah
berbuat baik, ketika di kampung dan di rantau
Jauhilah
perbuatan buruk, dan ketahuilah pelakunya pasti diganjar,di perut bumi dan di atas
bumi
Bersabarlah
menyongsong musibah yang terjadi dalam waktu yang mengalir
Sungguh
di dalam sabar ada pintu sukses dan impian akan tercapai
Jangan
cari kemuliaan di kampung kelahiranmu
Sungguh
kemuliaan itu ada dalam perantauan di usia muda
Singsingkan
lengan baju dan bersungguh-sungguhlah menggapai impian
Karena
kemuliaan tak akan bisa diraih dengan kemalasan
Jangan
bersilat kata dengan orang yang tak mengerti apa yang kau katakan
Amerika
merupakan suatu negara maju dan besar yang sudah tidak asing lagi di telinga
santri. Mendengar ada berita seleksi exchange program yang diselenggarakan
oleh Bina Antar Budaya dengan AFS membuat beberapa santri dari pondok Pabelan
menggeliat dan bersemangat untuk mengikuti seleksi di Yogyakarta; aku termasuk
di dalamnya. Dari sekitar 30 santri pondok Pabelan hanya aku dan satu santri
putri yang berhasil lolos ke tahap selanjutnya untuk mengikuti seleksi pusat di
Jakarta. Akhirnya kami berdua lolos, dan yang paling membanggakanku adalah
karena aku santri putra pertama yang lolos mengikuti seleksi AFS setelah
tahun-tahun sebelumnya hanya santri putri yang berhasil menaklukkan ujian itu.
Tekad semangat itu terbayar dengan keberangkatanku ke negeri Paman Sam pada
tanggal 11 Agutus tahun 2006.
Diiringi doa dan restu dari orang tua, ustadz-ustadzah dan saudara-saudaraku di
pesantren Pabelan tepat dua hari
setelahnya kakiku berhasil menginjak negara industri terbesar itu. Hatiku tergetar
tak percaya, bangga sekaligus haru, betapa tidak aku tak membayangkan betapa
jauh akan menimba ilmu sampai melewati beberapa benua di belahan dunia. Berkali-kali
aku mengucapkan tahmid, tasbih, dan takbir sebagai ungkapan rasa syukur pada
Allah yang telah menganugrahkan ini padaku.
Pengalaman menggembirakan ketika
sampai di Amerika, kami diarahkan oleh AFS Program di Hotel Hilton Washington
DC dan bertemu dengan peserta exchange
program dari seluruh dunia. Di tempat inilah pertemuan kami dengan 50 saudara
kami dari Indonesia untuk disebar di seluruh negara bagian di Amerika. Akhirnya
saya ditempatkan di keluarga Charles and Luanne Pierson Family yang
beralamatkan di 18 Terrace Drive, Orange, Massacuhets (MA), USA 01364 dan
belajar di lembaga pendidikan Ralph C. Mahar Regional High School. Berbagai
model pembelajaran yang berbeda dengan pembelajaran sekolah di Indonesia aku
dapatkan, dan itu aku sukai yang kemudian aku kolaborasikan dengan sistem KMI
(Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah) ketika mengabdikan diri sebagai ustadz di
pesantren Pabelan.
Hidup memang sudah diatur Allah dan
manusia menjalaninya dengan berikhtiar, berdoa dan tawakkal. Awalnya pun aku
tak pernah membayangkan kehidupan pesantren, tidur bersama banyak santri, makan
bersama dan segala aktivitas yang penuh aturan, pengawasan dan keharusan
menjadi pribadi mandiri. Setelah lulus dari SD aku berniat untuk melanjutkan sekolah
ke SMP Negeri 2 Semarang yang terkenal sebagai sekolah favorit dan diminati
banyak orang. Tapi aku gagal masuk karena nilaiku tidak mencapai batas minimum
yang ditentukan. Sedikit kecewa aku kembali kerumah dan di tengah perjalanan
pulang orang tuaku berkata “Berarti
takdirmu ora neng kono, Le” (berarti takdirmu bukan di situ, Nak). Keesokan
harinya pamanku datang dan menasihatiku untuk masuk pesantren agar bisa sekolah
sekaligus mengaji. Aku tetap termenung, akhirnya orang tuaku kembali angkat bicara
“Mondok wae Le ben isa ngaji, sesuk isa
ngirim donga wong tua wes ora ana” (mondok saja Nak supaya bisa mengaji dan
bisa mengirim do’a ketika orang tua sudah tiada). Akhirnya aku setuju, dengan
segenap kebulatan tekad dan keyakinan hati aku memutuskan untuk masuk
pesantren, pamanku menyarankanku untuk ke Pesantren Pabelan agar bisa mengaji,
sekolah, cakap berbahasa Inggris dan bahasa Arab. Niatku tulus aku ingin
mengaji, menanggalkan kebodohan yang menggelapkan hati dan fikiran.
Gerbang bertuliskan “Balai
Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan” terlihat dari kejauhan oleh mataku, hatiku
bergetar, antara suka dan sedih bercampur aduk menjadi satu. Senang aku
terdampar dalam kebaikan dan sedih karena aku harus berpisah dengan orang tua,
saudara dan harus lebih mandiri dan disiplin. Aku benar-benar menjadi santri
sekarang, bisikku dalam hati. Momentum istimewa menjadi santri baru adalah khutbatul iftitah (khutbah penyambutan
santri baru) saat itu KH Ahmad Najib Amin pimpinan Pondok Pabelan menyampaikan
kata-kata motivasi, “ Kalau kamu tidak
krasan di pondok cobalah satu tahun, kalau masih belum krasan coba satu tahun
lagi, kalau sudah tujuh tahun kok masih belum krasan, keluar saja tidak apa apa.” Kalimat itu yang akhirnya menjadi cambuk
semangatku untuk mengikuti segala kegiatan dengan senang hati. Ketika merasa
penat dan ingin pulang aku ingat lagi kalimatnya “coba lagi”. Bagi sahabatku
yang merasa terpaksa nyantri mengatakan bahwa pesantren adalah “penjara suci”
tapi bagiku pesantren adalah ibu yang mendidik dan membesarkanku, makan, minum
tidur di pesantren. Pesantren adalah rumahku “Ma’hady baity, Baity Jannaty, walhasil Ma’hady jannaty” (Pesantren
adalah rumahku, Rumahku surgaku, dan akhirnya pesantren adalah surgaku).
Keyakinanlah yang membuatku bertahan di pesantren, keyakinan bahwa pesantren
akan menuntunku untuk menjadi manusia paripurna, manusia berakhlaq mulia dan
kelak manusia yang dipersilahkan masuk ke surga dari pintu mana saja yang dia
mau.
Keyakinan dan tekadku benar-benar
diuji. Kebiasaan malas yang biasa kujalani di rumah mulai digilas roda kegiatan
yang terus berjalan di pesantren. Mulai ayam jago berkokok dan lonceng waktu
yang memekakkan telinga, saat itu aku harus
memaksa diri membuka mata. Bergelut dengan dingin air wudlu, sholat
subuh berjamaah kami lakukan dan menjadi pembuka kegiatan rutin sehari-hari.
Lantunan ayat suci al-Qur’an mulai terdengar di sudut-sudut bilik para santri,
sang pembimbing yang selalu setia menemani dan mengajari kami mengeja huruf
demi huruf dari Al Qur’an. Kegiatan yang membedakan dengan pondok lain di
desaku adalah olah raga setiap pagi, di situlah kami disadarkan pentingnya
kesehatan dan kebugaran, kami umat Islam harus sehat, jasmani maupun ruhani,
karena dengan kesehatan menunjang peribadatan kita kepada Allah. Hari Selasa
pagi kami tidak berolahraga, namun ada kegiatan Muhadatsah (latihan dialog) antara santri junior dengan senior,
suka ataupun tidak suka harus dengan dua bahasa internasional kami yaitu Bahasa
Arab dan Bahasa Inggris hingga waktu sarapan tiba. Lantas kami mempersiapkan
diri untuk belajar di Madrasah. Waktu yang krusial bagi kami karena sewaktu di rumah
kita mandi di kamar mandi sendirian sedang di sini kita bergantian dengan teman
yang lain. Al waqtu asmanu mina dzahabi ‘waktu
lebih berharga dari pada emas’, mahfudzat yang dipelajari di pesantren bahwa
untuk menjadi orang yang tidak merugi harus disiplin. Ketika sarapan belajar
untuk bersyukur, mulai dari mensyukuri apa yang ada di depan mata, sepiring
nasi dan tahu opor, harus qona’ah
‘merasa-cukup’. Yang unik bagi kawan yang miskin piring dan alat makan, kami
makan bersama dalam sebuah baki/ nampan besar. Di situlah kenangan yang tak bisa
kami lupakan, indahnya kebersamaan, ukhuwah islamiyah membuat kami selalu
saling rindu meski kami sudah terpisah jarak dan telah menjalani kehidupan
masing-masing.
KMI (Kulliyatul Mu’allimin al Islamiyah)
adalah kurikulum resmi pesanren kami yang diadopsi dari pondok pesantren Gontor
Ponorogo. Bukan melawan pemerintah, atau membenci kurikulum nasional, tapi
inilah kemerdekaan kami, kemerdekaan dalam berfikir (kalau dalam motto
pesantren kami adalah berfikiran bebas) di samping pendiri pesantren kami alumni
Pondok Gontor. Kurikulum ini berbeda dengan kurikulum nasional, karena apa yang
diajarkan di Madrasah langsung dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari secara
teratur dan terstruktur. Contohnya di Madrasah santri diajari Nahwu Sorof, ilmu
ini akan dipraktikkan di asrama berbekal vocabulary
yang diajarkan kakak-kakak pendamping dan pengurus OPP lewat percakapan dalam
kehidupan sehari-hari. Salah satu kelebihan sistem KMI adanya dua sistem ujian
santri yaitu ujian tertulis dan ujian lisan; kemampuan santri akan benar-benar
diuji. Kemungkinan contek-mencontek dalam ujian tertulis akan terbantahkan
dengan adanya ujian lisan; mental santri pun diuji di hadapan ustadz. Sistem
KMI juga menyatukan sistem pembelajaran secara berkelanjutan yang dimulai dari
kelas satu sampai kelas enam KMI.
Di sela-sela rutinitas kegiatan
pesantren, aku mengikuti ekstrakurikuler sepak bola, kegiatan yang membuatku
merasa terlepas dari beban. Kita diberi kebebasan memilih ekstrakurikuler
apapun yang kita mau dan kita inginkan. Di sini kita mengasah bakat tersembunyi
para santri, hingga suatu hari aku mendapatkan sertifikat sebagai pemain
belakang terbaik sebuah turnamen yang diadakan oleh pesantren.
Kegalauan, kegundahan sebagai remaja pun
tak dapat terhindarkan ketika kami para santri kelas tiga lulus ujian. Sebagian
dari kami ada yang pindah ke sekolah lain, aku sempat ingin keluar. Bayanganku
tentang sekolah favorit tiba-tiba muncul dan menari-nari di otakku. Namun
kebingungan itu hilang ketika orang tuaku dengan tegas memerintahkan aku untuk
tetap tinggal, meneruskan kebaikan yang selama ini telah kutapaki. ”Bismillah aku yakin tetap tinggal di pesantren,”
begitulah bisikku dalam hati.
Waktu terus bergulir, tak terasa aku
kelas IV KMI. Kakak kelasku Qurrota ‘Ayuni santri pertama yang mendapatkan
kesempatan belajar di luar negeri memotivasi untuk mengikuti jejakkya. Usaha
kecil sudah aku lakukan untuk menempuh asaku, setiap hari Jum’at semua santri
diberi kesempatan untuk izin keluar pondok, sebagian kami ada yang shopping,
ada yang jalan-jalan kuliner dan sebagainya, namun aku bersama seorang kawanku
Maman (Aulia Rahman) meminta izin untuk pergi ke Candi Borobudur. Di samping
rekreasi melepas kepenatan, kami juga mengasah kemampuan bahasa asing dengan
berdialong bersama para turis dan wisatawan asing. Salah satu trik sukses yang
sedang aku perjuangkan yaitu i’malu fauqo
ma ‘amilu atau going the extra miles ‘berusaha
di atas rata-rata orang lain’. Pada waktu yang bersamaan aku mulai mendapat
kepercayaan sebagai pegurus Rayon[2]
bagian bahasa, bertugas memberikan vocabulary
kepada para santri dengan lima kata setiap hari dihafalkan; setiap pekan sekali
para santri mengujikan hafalan kepada pengurus Rayon. Dari sinilah aku mendapat
manfat yang begitu banyak. Di samping hafal berbagai vocabulary, aku juga mencari dan menemukan vocabulary baru yang belum diketahui para santri. Hal ini
mengingatkanku pada kisah sahabat sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW yaitu
Imam Ali RA saat ditanya untuk memilih antara harta dan ilmu, maka beliau
memilih ilmu dengan alasan bahwa ilmu akan menjaga pemiliknya sedangkan
harta pemiliknyalah yang menjaga. Ilmu
jika diberikan kepada orang lain akan semakin bertambah sedangkan harta jika
diberikan kepada orang lain kan berkurang. Sungguh luar biasa, ketika seorang
membagi-bagikan ilmunya maka secara tidak langsung dia juga belajar dan
kemampuannya akan semkin terasah.
Tahun berikutnya, aku diberi amanah baru yaitu sebagai pendamping
kamar. Kedewasaanku mulai terlatih dan
tertata, seolah-olah aku menjadi kakak, bahkan orang tua bagi adik-adik
kamarku. Masalah ketertiban, kebersihan, akulah yang harus mengatasinya, akupun
menjadi tempat bersandar setiap mereka diterpa masalah, hubungan kami penuh
dengan cinta kasih sebagai keluarga santri pondok pesantren Pabelan.
Tahun kelima di pesantren adalah tahun
yang bersejarah dalam hidupku. Pada tahun ini
keseharianku dipenuhi dengan perjuangan keras, tetesan keringat dan
semangat membara karena mengikuti seleksi Bina Antar Budaya, program pertukaran
pelajar yang diselenggarakan tingkat chapter
‘cabang’ Jogjakarta. Pertama adalah seleksi administrasi, mayoritas semua
santri di kelasku mengirim berkas seleksi administrasi sebagai tahapan awal. Dari
lima puluh santri yang mendaftar ada sekitar tiga puluh santri yang lolos
seleksi administrasi dan berangkat mengikuti ujian tertulis di Jogjakarta.
Berbekal vocabulary yang kuhafalkan
di pesantren dan kebiasaanku mengisi waktu luang di perpustakaan untuk mengupdate informasi dan pengetahuan
umum akhirnya meloloskanujian tertulis ini. Ujian terakhir Chapter Jogjakarta
adalah interview, hal yang terberat adalah konferensi pers. Di sini kami
diposisikan sebagai muslim di luar negeri, dengan isu terorisme dan radikalisme
yang ditakuti dunia barat. Di sinilah kita bisa menjelaskan bahwa kita muslim
yang mencintai perdamaian, Islam yang rahmatan
lil ‘alamiin. Pada sesi ini kecerdasan kita benar-benar diuji, bagaimana
kita menjawab semua pertanyaan dengan argumentasi tepat tanpa terprovokasi isu
yang ada, dan bagaimana kita membawa diri untuk tenang tanpa terpancing emosi.
Pada waktu bersamaan aku diangkat
menjadi OPP (Organisasi Pelajar Pondok) bagian penggerak bahasa. Tanggung jawab
meliputi pengaturan siklus penggunaan bahasa para santri putra, mengadakan
debat bahasa, mengajarkan penggunaan bahasa yang baik dan benar. Tanggung jawab
ini menjadi momentum belajar yang santai dengan rekreasi bersama santri lain
berkunjung ke Borobudur, sebagai ajang praktis penggunaan bahasa dengan turis
mancanegara. Tiga bulan berlalu dan tibalah saatnya pengumuman hasil seleksi
AFS tingkat Chapter Jogja, seluruh santri yang mengikuti seleksi dikumpulkan
oleh pemimpin pondok pesntren KH Ahmad Najib Amin untuk mengetahui hasil
seleksi yang diumumkan langsung oleh beliau. “Tahun ini tidak sebanyak tahun kemarin santri yang lolos seleksi namun
ada satu kebanggaan karena dari dua santri yang lolos satu di antaranya adalah
santri putra.” Inilah kata kata pengumuman dari Kiai yang mencambuk
semangatku untuk bisa lolos di tingkat nasional atau pusat. Dua minggu setelah
ini aku bersama sembilan kawan lainnya
dari chapter Jogja berangkat ke Jakarta untuk mengikuti seleksi penentuan, dan
akhirnya dari sepuluh anak chapter Jogja, tujuh dari kami lolos untuk menerima
beasiswa pertukaran pelajar selama satu tahun.
Hari-hari berikutnya di pesantren
terasa lebih indah, detik demi detik, hari demi hari menanti keberangkatanku ke
Amerika. Ustadz kami bapak KH Ahmad Najib sering mengguyoniku dengan
humor-humor renyah di sela-sela pidatonya,
salah satu yang ku ingat saat itu beliau khutbah di depan para santri, “Tahun ini kita akan mengekspor sapu”
sejenak para santri terdiam lalu beliau melanjutkan “Sapu itu Saputro, Setiawan Saputro.” Semua tertawa lebar. Hatiku
berbunga-bunga serasa menjadi selebritas papan atas, tak ada satu santri pun di
pesantren yang tak mengenal namaku, sedikit bangga tidak masalah asal tidak
sampai takabur begitu bisikku dalam hati.
Singkat cerita sepulangku dari
Amerika, aku mulai mendapat banyak kepercayaan dari pesantren, seperti
pembuatan makalah bahasa Inggris, menjadi trainer
anak-anak dalam lomba Bahasa Inggris. Sedikit kegalauan menggelayuti jiwaku
yang masih labil, aku harus menyelesaikan pendidikan satu tahun lagi di saat
teman-teman seangkatanku sudah lulus. Namun semua kujalani dengan cinta, cinta
pada pesantrenku. Tahun berikutnya aku dan temanku Isnatul Arifah diwajibkan
mengabdi di pesantren satu tahun, bersama teman-teman lainnya yang
mengikhlaskan dirinya untuk mengabdikan diri. Aku mulai diberi tanggung jawab
sebagai ketua BK (Bimbingan Konseling) serta mengajar Matematika dan Bahasa
Inggris untuk kelas 1 KMI).
Dengan diberinya amanah mengorganisasi
dan mengamalkan ilmu-pengalaman yang pernah saya dapatkan selama menjadi santri
dan pertukaran pelajar, saya membuat inovasi yang belum ada di pondok. Misalnya
membuat permit card bagi santri untuk
ijin keluar kelas dalam jam pelajaran. Semua
itu terjadi berkat jasa
pondokku dan segenap warga yang ada di dalamnya.
Terima kasih pondokku,
ibuku.
Darah
Daging Pabelan
Fikri Fahrul Fais
Banyak orang memandang bahwa Pondok
itu mengerikan. Tidak hanya anak yang menolak menjadi santri, tapi para orang
tua juga punya berbagai alasan untuk enggan mengirimkan anaknya masuk pondok.
Di mata mereka, pondok itu kumuh, nggak keren, banyak peraturan, pengalaman pun
cuma sedikit karena lingkungan yang terbatas. “Kenapa harus susah-susah di Pondok, kalau sekolah di tempat lain saja
bisa.” Tapi, semua itu sangat berbeda dengan pengalaman saya sebagai
seorang alumni Pondok Pesantren Pabelan. Pengalaman yang saya yakini khas dan
tidak ada di tempat lain.
Saya mondok hasil dari keputusan saya
sendiri. Tidak merasa terpaksa. Mungkin karna orang tua saya sukses menanamkan
doktrin-doktrin mondok di otak anaknya yang masih kecil. Wajar memang, karna
sebenarnya kehidupan saya juga tidak jauh-jauh dari Pondok Pabelan. Bapak dan
Ibu saya pernah nyantri di Pabelan. Begitu saudara saya, beberapa dari mereka
juga bekas lulusan Pabelan. Belum lagi, saya sering ikut ngumpul dengan
teman-teman orang tua saya yang dulunya di Pabelan. Oleh karena selalu berada
di dalam lingkarannya, mungkin saya adalah orang yang Pabelan-nya kaffah.
Saya bisa resapi, ada khas tersendiri
dalam gaya pembelajaran di Pabelan. Dipaksa, terpaksa, terbiasa, bisa, luar
biasa. Kegiatan santri di Pabelan melahirkan beberapa aturan yang harus diikuti
para santri. Aturan ini seperti sebuah paksaan yang mau tidak mau, senang atau
tidak, santri harus siap untuk menjalankannya. Tapi akhirnya, paksaan ini
menjadi kebiasaan yang berbuah manis. Selaras dengan apa yang sering dikatakan
oleh Pak Kiai dalam khutbah beliau, kami para santri bisa karena terbiasa.
Salah satu contohnya adalah penggunaan bahasa. Ya, di Pabelan santri harus
pakai bahasa Arab dan Inggris. Kandang pergantiannya seminggu sekali. Dengan
ancaman hukuman yang akan diterima, santri mau tidak mau harus menggunakan bahasa
tersebut. Dengan terbata-bata, bahasa Arab/Inggris yang terkesan medok dan
seadanya, yang penting pakai bahasa.
Di pikiran kami para santri, mempraktikkan
bahasa itu bukan karena ingin bisa, tapi kaerna menghindari hukuman.
Sesederhana itu. Kami juga tidak memilih untuk bisa berbahasa asing. Tapi
kebiasaan memakai bahasa membuat kami sedikit demi sedikit bisa. Vocab semakin hari semakin bertambah.
Tidak hanya percakapan sehari-hari, lambat laun kami mulai bisa berargumen
dengan menggunakan bahasa asing tersebut. Bahkan beberapa dari santri Pabelan
berhasil mendapatkan penghargaan karenanya. Pengalaman saya pribadi, saya
mendapat juara II dalam lomba bahasa Inggris tingkat Madrasah Aliyah se-Kabupaten
Magelang. Selain bahasa, Pabelan juga mendidik santrinya untuk mempunyai
kepercayaan diri yang tinggi. Lewat muhadhoroh,
santri dituntut untuk berani berbicara di depan banyak orang. Di mata santri,
kegiatan ini menajdi kegiatan paling menakutkan dan menyebalkan, harus membuat
naskah dan menguasai bahan pidato menjadi rintangan tersendiri. Apalagi
diwajibkan menggunakan bahasa Inggris dan Arab. Jika penampilannya dirasa
kurang maksimal, hukumanlah yang akan diterima, tak jarang dipaksa berpidato di
kuburan dengan suara lantang.
Namun, berkat muhadhoroh kepercayaan diri sedikit demi sedikit dapat dibangun.
Santri Pabelan berani berbicara di depan banyak orang tanpa malu. Pemilihan
kata dan cara penyampaian juga dilatih dalam kegiatan ini sehingga bisa lebih
enak didengar. Dulu, saya pernah mendapatkan juara muhadhoroh di Pondok dan
terpilih untuk mewakili Pabelan dalam lomba pidato bahasa Inggris tingkat
Sekolah Menegah Atas se-Jawa Tengah di IAIN Semarang. Pulang tidak membawa
juara memang, tapi pengalaman ini sangat berharga bagi saya untuk tidak mudah
merasa puas dan terus belajar lebih giat.
Tidak hanya itu, banyak ilmu yang bisa
santri dapatkan di Pabelan. Termasuk bagaimana santri dididik untuk mempunyai
tanggung jawab dan peran dalam kehidupan sosialnya. Ini juga terkait dengan
bagaimana santri menemukan jati dirinya. Caranya unik. Para santri diterjunkan
langsung dalam organisasi. Hampir setiap kegiatan, para santri terlibat dalam
organisasi dan masing-masing mempunyai tanggung jawab mereka sendiri. Mulai
dari yang cakupannya paling kecil seperti organisasi kamar, atau Organisasi
Pelajar Putra/Putri (OPP) yang mengatur
hampir 24 jam kegiatan santri. Melalui organisasi inilah santri terlibat
langsung dalam merancang program kerja, implementasi, dan evaluasi. Memang
tidak ada kelas khusus bagaimana cara berorganisasi yang baik dan benar. Tapi
justru dengan terlibat langsung di dalamnya para santri tahu benar bagaimana
peran dan tanggung jawab mereka. Atau mungkin bisa dikatakan, santri mbelan itu
learning by doing. Dalam hal ini,
santri dididik untuk berani bermimpi dan berencana, tidak takut untuk memulai,
dan bertanggung jawab untuk mengakhirinya.
Para santri juga belajar bagaimana
bersosialisasi. Murid-murid yang datang tidak hanya dari satu daerah, melainkan
dari segala penjuru Indonesia. Kondisi ini membuat santri mau tidak mau harus
berkomunikasi dengan orang yang berbeda daerah. Beda daerah, mungkin beda
wataknya. Tapi, semua terlebur dan berbaur menjadi sahabat di bawah naungan
Pabelan. Unity in diversity. Ini
mungkin tidak terasa oleh para santri. Terlewat begitu saja. Namun ini justru
menjadi landasan yang penting bagi para santri jika kembalinya mereka ke
masyarakat setelah lulus. Mereka lebih toleran akan perbedaan. Lebih fleksibel,
tidak kaku, tidak pilih-pilih dalam berteman. Paham bagaimana bersikap dan
menghargai satu sama lain.
Lulusan Pabelan adalah para survivor yang mempunyai mental kuat. Ini
telah dididik semasa nyantri di Pabelan. Santrinya bisa saja memilih untuk
keluar, menikmati kehidupan yang lebih menyenangkan. Lebih bebas dan dapat jam
bermain lebih banyak. Hal yang seperti itu mungkin menjadi daya tarik
tersendiri bagi anak-anak seusia kami waktu menjadi santri. Tapi dengan memilih
untuk bertahan di kehidupan pondok, santri akan lebih mandiri. Terbiasa untuk
tidak bergantung pada orang lain dan melakukan kebutuhanya sendiri. Apa yang
saya dapatkan di Pabelan juga sangat berpengaruh dalam kehidupan saya setelah
lulus. Termasuk saat kuliah. Awalnya sempat bingung untuk menentukan jurusan
apa yang akan saya ambil. Tapi akhirnya saya diterima di jurusan Hubungan
Internasional kelas internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Senang sekaligus khawatir, karna semua kelasnya
menggunakan bahasa Inggris.
Awal-awal kuliah, saya sering
ditertawakan oleh sekitar 40 orang teman sekelas karena bahasa Inggris saya
masih ecek-ecek. Waktu di Pabelan memang mempraktikkan bahasa, tapi bahasa
seadanya. Tidak peduli grammar, yang
penting lepas dari hukuman bagian bahasa. Untuk percakapan sehari-hari sudah
saya kuasi, tapi itu belum cukup untuk memahami pelajaran Hubungan
Internasional dengan bahasa politiknya. Salah spelling, bahasa Inggris yang medok, membuat teman-teman saya
begitu geli saat mendengar saya berbicara bahasa Inggris. Tapi saya tidak mau
tetap pada keadaan seperti itu. Terngiang khutbah Kiai dulu bahwa “hidup itu seperti di atas rel kereta api:
bergerak, atau terlindas.” Dengan pedoman Mahfudlot “Idza shodaqol azmu
wadhohas sabiil” yang dulu wajib untuk dihafal saat mondok, berbagi cara
saya lakukan agar tidak menjadi bahan tertawaan lagi. Salah satunya dengan
membuat kelompok belajar beberapa teman. Kegiatan kami membaca bahan kuliah
yang berbahasa Inggris dan mengartikannya. Secara bergantian, setiap orang
bertanggung jawab untuk menjelaskan satu paragraf. Ini terus kami lakukan
sehingga kami terbiasa dengan gaya bahasa Inggris yang sering dipakai dalam
kelas HI.
Pada akhirnya, kerja keras saya
terbayar lunas tuntas. Bahasa Inggris bukan lagi sebagai hambatan. Nilai saya
waktu kuliah semakin lama semakin meningkat. Saya juga menjadi salah satu dari
tiga orang pertama dari kelas yang berhasil lulus kuliah. Yang lebih spesial
lagi, skripsi saya ditulis dengan bahasa Inggris, adalah satu-satunya
mendapatkan nilai terbaik. Salah seorang dosen penguji sewaktu sidang skripsi
malah merekomendasikan penelitian saya sebagai bahan percontohan bagi
teman-teman. Dari sinilah, saya sering diminta untuk berdiskusi oleh teman
tentang skripsi mereka. Sikap dan transformasi saya ini berkat ilmu yang
Pabelan berikan. Memang bukan materi ilmu spesifik yang Pabelan beri bagi
santrinya, melainkan pedoman hidup sehingga lulusan santrinya siap mengejar
mimpi mereka. Pabelan tidak memberikan kesuksesan bagi santrinya, tapi lebih
penting dari itu: mental dan karakter untuk bisa sukses, apapun bidang yang
digeluti santri usai lulus.
Di mata saya Pabelan punya warna yang
berbeda dengan pondok pesantren lain. Di saat beberapa pondok pesantren menutup
diri, Pabelan justru membuka pintu selebar-lebarnya. Ini dibuktikan dengan
seringnya tamu yang datang. Pabelan juga pernah menjadi tuan rumah perkumpulan
dari pemuka agama dari beberapa agama, tidak hanya Islam. Inilah yang membuat
Pabelan mempunyai nilai-nilai toleransi dan sangat menghargai
perbedaan.Keterbukaan Pabelan juga nampak pada dijalankanya program The International Award For Young People
(IAYP), sebuah program dari kerajaan Inggris untuk pengembangan kemampuan diri
anak muda. Program ini sudah tersebar di lebih dari dari 120 negara. Di
Indonesia sendiri, ada beberapa sekolah yang rajin mengikutsertakan anak
didiknya ke dalam program ini. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Pabelan.
Sebenarnya, kegiatan yang ada di IAYP
sudah ada dalam pondok. Rekreasi fisik, skill, dan pembaktian diri pada
masyarakat. Dengan alasan inilah pada awalnya saya menolak untuk ikut. Ada
ekstrakulikuler olahraga, sklill public
speaking, kanis yang bisa
dikatakan pembaktian masyarakat pun para santri sudah menjalankannya. Ada
jadwal rutinnya pula. Tujuan program ini sebenarnya sudah Pabelan terapkan, yakni
pesertanya dituntut untuk disiplin dan bertanggung jawab.Tapi kemudian, saya
diajak berdiskusi dengan Bu Nyai Ulfa. Beliau menjelaskan bahwa apa yang sudah
dijalankan santri sangat dihargai oleh orang di luar. Program ini memberi
apresiasi untuk apa yang telah dilakukan oleh para santri. Singkat cerita,
akhirnya saya ikut IAYP dan berhasil menyelesaikan tingkat Gold, tingkatan
tertinggi dalam program tersebut.
Tanpa disangka, keikutsertaan saya
dalam IAYP inilah yang membawa pengalaman terbesar dalam hidup saya. Pada tahun
2011, saya dan Nabil, kakak kelas di Pabelan, terpilih menjadi wakil Indonesia
untuk International Gold Event (IGE)
di Kenya. IGE adalah sebuah event yang diadakan setiap tiga tahun khusus bagi
peserta IAYP yang telah menyelesaikan level emasnya.Unik, saat teman-teman saya
berkesempatan exchange di beberapa
negara besar, saya justru pergi ke Kenya. Negara third country di benua Afrika yang keadaannya tidak lebih baik dari
Indonesia. Ketika teman-teman saya melihat gedung-gedung mewah di Amerika,
teknologi maju di Jepang, infrastruktur megah di Australia, semua itu tidak ada
di Kenya. Pemandangan yang saya dapatkan beda, rumah dari tanah yang lebih
kecil dari kandang sapi, jalan off road,
serta sekolah reot yang kurang guru dan kelebihan murid. Tapi justru karena
berangkat ke Kenya, saya dapat memiliki warna pengalaman dan wawasan
tersendiri, khususnya di bidang sosial.
Tidak terpikir mondok di Pabelan bisa
membawa saya ke negara Kenya. Bertemu dengan pemuda dari segala penjuru negara
untuk membahas dan merancang solusi bagi isu-isu kekinian tentang kepemudaan.
Kami juga diberikan kesempatan untuk mempresentasikan solusi yang kami rancang
kepada para petinggi IAYP, termasuk pangeran Edward yang sengaja hadir dalam
setiap kegiatan IGE sebagai wakil dari kerajaan Inggris. Tidak hanya itu, kami
juga melakukan pengabdian masyarakat dengan mengunjungi sekolah-sekolah yang
membutuhkan bantuan. Kami merenovasi dan memberi bantuan alat sekolat bagi para
siswanya. Setelah itu, bersama dengan guru dan siswa sekolah tersebut, kami
menanam pohon bersama. Dengan kegiatan ini pula, saya merasa lebih berguna bagi
Indonesia dengan mempresentasikan Indonesia dan keragaman budayanya. Termasuk
demo tari Jatilan. Tidak luwes memang, tapi cukup untuk membuat beberapa teman
tertarik belajar Jatilan.
Di sinilah ajaran-ajaran Pebelan
begitu terasa. Kepercayaan menjadi landasan ketika saya berada di negeri orang,
bertemu dengan orang-orang yang tidak biasa. Modal kepercayaan diri inilah yang
saya dapat ketika mengikuti kegiatan di Pondok, khususnya muhadhoroh.
Pengalaman organisasi di Pabelan juga sangat membantu saya dalam berdiskusi,
baik mengungkapkan pendapat maupun mendengar pendapat orang lain. Terlebih,
bahasa Inggris yang saya pelajari di Pabelan juga menjadi landasan saya untuk
dapat berkomunikasi. Dari pengalaman saya pergi ke Kenya menjadi wakil
Indonesia, saya terpilih untuk meraih beasiswa berprestasi di kampus. Beasiswa
ini diberikan kepada orang-orang yang dianggap berprestasi dan mengharumkan
nama UIN Jakarta di kancah nasional maupun global. Sekali lagi, prestasi yang
saya terima ini tidak luput dari pengaruh Pondok Pabelan, bahkan saat setelah
menjadi alumni.
Warna lain yang unik di Pabelan adalah
ukhuwah para alumninya yang sangat solid.
Baik alumni senior maupun junior aktif untuk mengadakan pertemuan. Bahkan pada
level daerah atau konsulat. Sampai saat ini saya sering diajak orang tua untuk
berkumpul dengan para alumni senior Pabelan. Pasti ramai dan seru kala mereka
berkumpul, menanggalkan jabatan dan status mereka di luar. Tidak peduli dengan
periode atau angkatan, yang ada hanyalah kebersamaan dan kekeluargaan di bawah
payung Pabelan. Tidak hanya kumpul temu kangen, tapi terkadang mereka juga
membuat acara sosial bersama.
Inilah yang sedikit saya ceritakan
tentang Pabelan dan pengaruhnya dalam hidup saya. Secara keseluruhan, benang
merahnya adalah Pabelan tidak memberikan meteri riil-nya, tapi mendidik
santrinya untuk mempunyai karakter dan siap-sedia secara mental apapun keadaan
yang dihadapi. Inilah yang menjadi modal penting bagi lulusannya untuk mengejar
mimpi mereka. Pabelan tidak membangun pintu kesuksesan, tapi memodalkan kunci
sukses pada para santri. Saya bersyukur bisa menjadi bagian dalam keluarga
Pondok Pabelan, sosok penting yang membantu menemukan jati diri dan membentuk
karakter saya. Teruntuk Bapak Sholeh Hasan dan Mama Umi Sa’idah: terimakasih
telah menanamkan doktrin-doktrin Pabelan ke anakmu ini sewaktu kecil. Mondok di
Pabelan adalah keputusan terbaik yang pernah saya buat saat masih kecil. Saya
bangga menjadi anggota keluarga Pabelan. Oh pondokku, engkau Ibuku…
Menyantri
di Kenya
Ahmad Nabil Athoillah
Antara bangga dan bimbang ketika
mendapat berita bahwa saya akan diberangkatkan ke negara Kenya. Pertama,
yang membuat bangga adalah saya dipilih oleh Kiai dan Bu Nyai untuk
menggantikan salah satu delegasi Indonesia yang gagal berangkat (tetap bangga
walau pengganti). Kedua, yang membuat saya bimbang adalah, bagaimana
mimik muka saya ketika masuk ke dalam pesawat terbang? Saya tidak tega melihat
muka saya yang sangar (berkumis dan berjenggot) harus bertransformasi menjadi
mimik muka yang lugu ketika pesawat mulai take off. Padahal dari dulu
saya bercita-cita berfoto selfie dengan background pesawat,
tetapi perlu ditekankan bahwa tidak dengan pesawat yang sedang terbang dan di
dalamnya ada saya! Satu lagi yang perlu diketahui bahwa saya pernah naik
pesawat sebelumnya, tetapi saya tidak mendapatkan air ketika berencana membuang
air besar, akhirnya saya men-jama` ta`khir “aktivitas urgent”
tersebut. Tentu saya tidak ingin kejadian ini terulang dua kali, akan tetapi
pepatah yang saya dengar di Pondok adalah “siap tidak siap harus siap”
dan juga mahfudzot yang saya dapatkan, yakni “barang siapa yang
keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah swt sampai ia kembali”.
Maka dalam hal yang serius ini, mau tidak mau saya harus siap, dan jika merujuk
kepada mahfudzot tersebut agaknya saya merasa lebih tenang ketika naik pesawat
yang sedang terbang, karena saya yakin saya sedang mencari ilmu, apalagi ini
adalah amanah langsung dari Kiai dan Bu Nyai saya. Apapun kerikil dan badai
yang menghadang, tidak menyurutkan niatan saya untuk mengabdi kepada almamater
tercinta Pondok Pesantren Pabelan Mungkid, Magelang, Jawa Tengah dan secara
khusus kepada Kiai saya Bapak K.H. Ahmad Najib Amin beserta Ibu Nyai Nurul
Faizah.
Singkat cerita, pesawat yang kita
tumpangi transit dahulu di Bandara Thailand. Beberapa menit saya dan Fikri tercengang
melihat besarnya bandara Thailand ini. Ketercengangan itu hampir membuat kami
lengah untuk mencari pintu masuk pesawat yang akan kami naiki selanjutnya.
Ketika kami berjalan untuk mencari pintu tersebut, kami melihat dua perempuan
dan satu laki-laki menggunakan kaos berlambangkan logo sama dengan kita. Tanpa
pikir panjang kami menghampiri mereka, akhirnya kami berkenalan. Mereka
antusias menjawab pertanyaan kami. Dua perempuan tersebut berasal dari Korea
dan yang pria dari Singapura. Saya paham betul bahasa Inggris yang mereka
ucapkan jelas terdengar aksentuasi “bahasa ibunya”, seperti halnya saya yang medok
Jawa dan kadang Sunda.
Hal menarik saya cermati dari
perkenalan tersebut. Saya merasakan kegiatan praktik bahasa di candi Borobudur
yang diselenggarakan oleh BAPENGSA (Bagian Penggerak Bahasa) yang saya ikuti
selama menjadi santri di Pondok bermanfaat. Tidak hanya dalam bahasa Inggrisnya,
melainkan kegiatan tersebut mengasah keberanian mental para santri untuk
menyapa orang asing. Dahulu ketika saya mengikuti kegiatan tersebut, saya dituntut
untuk mencari tanda tangan wisatawan asing yang berwisata di candi Borobudur.
Akhirnya saya menyapa terpaksa wisatawan tersebut untuk mendapatkan tanda
tangan. Walhasil, perkenalan dengan teman baru Korea dan Singapura berjalan
mulus tanpa hambatan, saya tidak bisa membayangkan jika dahulu tidak praktik
langsung di candi Borobudur, mungkin saya keringatan karena gugup dengan orang
asing.
‘Presiden’
di Nairobi
Gedung Presiden adalah nama tempat
santri merasakan pertama kali atmosfir Pondok Pabelan. Gedung ini menjadi saksi
sejarah awal mula saya menjadi santri. Memori demi memori tersimpan dengan rapi
dalam setiap kamar presiden A hingga E. Tangis rindu kepada orang tua, tawa
bergema karena lelucon kawan, bahkan ketakutan yang klimaks ketika terjadi
penyidangan yang dilakukan setiap jam sembilan malam. Sungguh, bukan sesuatu
yang mudah untuk dilupakan, seakan semua kenangan itu terikat dalam hati dan
otak saya seperti lilitan anaconda.
Lokasi pertama yang saya kunjungi di
Kenya tidak lain seperti gedung presiden yang dulu pernah saya “tiduri”. KCB Traning
Center Karen Nairobi adalah tempat peserta berkumpul untuk saling
berkenalan. Tempat inilah yang menjadi penentu apakah saya akan menjadi peserta
yang “wow” atau biasa saja, seperti pula di gedung presiden, ataukah saya akan
menjadi santri yang banyak teman atau sedikit teman? Setiba di lokasi pertama,
badan tetap utuh sekalipun sisa-sisa mimik wajah saya yang lugu masih terlihat
karena jet-lag. Saya bersyukur kepada Allah swt yang memberikan
keselamatan kepada saya. Sesampai di sana, kami langsung chek-in untuk
mendapatkan kamar. Saya satu kamar dengan orang Inggris, tetapi saya cukup
kaget ketika kami berkenalan dan melihat barang bawaan kami masing-masing,
ternyata dia membawa dua koper yang besarnya setengah badan saya! Saya pikir,
dia membawa semua peralatan rumah ke dalam koper tersebut, untung saya tidak
melihat gas elpiji yang nyelip di dalamnya. Akan tetapi pelajaran yang saya
ambil dari pengalaman satu kamar dengan orang tersebut adalah mereka sangat
mempersiapkan segala sesuatu dengan perfektif.
Acara perkenalan dengan seluruh
panitia dan peserta pun berlangsung. Inilah waktu terbaik mempromosikan nama
negara Indonesia, harapan saya, ingin memperlihatkan Indonesia dengan
“kegokilan”. Ketika panitia selesai memperkenalkan diri mereka akhirnya mereka
menyetel musik LMFAO dengan keras lalu berjoged shuffling. Selang
beberapa detik, tanpa ragu saya bergabung dengan barisan joged panitia, dan
tanpa malu, saya berjoged solo yang jika saya ingat, joged tersebut sangat
menjijikkan. Tetapi saya tetap percaya diri menyelesaikan joged hingga musik
selesai. Setelah itu, akhirnya misi saya sukses, selang beberapa menit beberapa
teman saya berdatangan untuk menyapa dan berkenalan. Di sinilah saya
menjelaskan, berasal dari Indonesia. Sekalipun tidak saya pungkiri ada beberapa
teman yang memang terganggu dengan joged saya karena tadi sempat muak melihat
joged shuffling KW 3!
Saya sering mendengar dari alumni dan
Kiai saya bahwa dahulu, ketika K.H Hamam Dja`far mempromosikan Pondok Pabelan,
beliau tidak mainstream dalam berpromosi. Cara beliau dengan menginstruksikan
santri putri mengenakan baju berwarna merah berkeliling di Desa Pabelan. Saya
terinspirasi ide beliau yang “gokil” tersebut dalam mempromosikan nama negara
Indonesia. Hal itu saya lakukan karena yakin bahwa Indonesia belum begitu
dikenal oleh teman-teman saya yang berasal dari berbagai negara. Terbukti
dengan pertanyaan dari teman Korea yang bernama Han-Sol Kang, bahwa pertama
kali dia bertemu saya, dia mengira saya orang Jepang.
‘Kuwait’
di Sagana
Gedung Kuwait adalah tempat yang penuh
dengan “keringat” anak muda. Semangat dan energi menjadi ruh gedung tersebut.
Santri tidak bisa lagi hanya mencari teman, tetapi santri juga harus dapat
“bertahan hidup” di alam gedung Kuwait yang terkenal keganasan dalam membakar
semangat santri. Bagi saya, tempat ini adalah mesin pencetak karakter disiplin
manusia, bagaimana tidak? Lha wong, dari bangun pagi hingga tidur
kembali semua dilakukan dengan kecepatan tinggi dan berlari-lari karena OPP
sudah menghitung di luar kamar, baik untuk shalat jama`ah maupun aktivitas
santri lainnya. Dengan tegas mereka berteriak seperti ini,”saahsabu ila
khomsah, wahiiiiiidddd...!!!!, istnain...!!!” Ditambah
ekspresi muka garang yang terpancar dari raut muka para OPP tersebut.
Santri lama adalah sebutan bagi para
santri yang berasrama di gedung Kuwait. Saya sebagai santri lama tidak bisa
lagi sesantai dahulu ketika menjadi santri baru di gedung Presiden. Gedung ini
menyimpan begitu banyak kenangan yang menantang. Semangat, keberanian,
ketakutan dan kesedihan baru benar-benar terasa setelah berada di gedung ini. Inilah
yang membuat saya berpikir bahwa lokasi kedua acara di Sagana White Water
Rafting Camp seperti ketika saya berasrama di gedung Kuwait. Lokasi acara
ini memberikan tantangan kepada saya untuk melakukan kegiatan alam sekitar.
Disiplin yang tinggi, teamwork, keterampilan dan kegigihan menjadi kunci
dalam mengikuti kegiatan outbond yang diadakan di lokasi kedua ini.
Setelah beberapa jam acara perkenalan
dilaksanakan, akhirnya seluruh peserta dinstruksikan untuk packing
barang-bawaan menuju bus keberangkatan. Hati saya semakin berdebar, rasa
penasaran yang semakin berkecamuk, karena tidak sabar untuk mengikuti kegiatan outbond.
Singkat cerita, tibalah saya dan teman-teman di lokasi kedua. Suguhan alam
menakjubkan ketika melihat lokasi kedua ini. Saya melihat banyak pohon yang
berkolaborasi dengan suara aliran sungai. Akan tetapi hal ini tidak membuat
saya lupa bersyukur dengan sungai Pabelan, tempat semua kenangan ceria
tersimpan, tempat kami menjadi manusia
purba sambil memegang rokok yang dihisap bersama-sama.
Kami semua dikumpulkan untuk di-briefing
oleh panitia. Kami duduk di rumput hijau sembari mendengarkan arahan panitia.
Rasa penasaran saya kian memuncak, karena sudah tidak sabar untuk mengikuti
kegiatan outbond tersebut. Beberapa kegiatan: climbing, hiking,
rafting dan cycling. Di antara kegiatan tersebut ada yang memang
sering saya lakukan ketika nyantri di pondok, yakni hiking. Hiking saya
berjalan jauh memutari areal persawahan desa agar tidak diketahui oleh BAKEM
(Bagian Keamanan) ketika hendak “kabur” menuju Muntilan dan Magelang hanya
untuk melepas penat bersama teman-teman.
Kami tidur di dalam tenda yang telah
disediakan panitia. Tenda ini mengingatkan dahulu ketika mengikuti kegiatan
pramuka di pondok. Setidaknya saya pernah mengerti bagaimana rasanya tidur
dalam tenda sempit berbantalkan pakaian untuk menyenyakkan tidur. Lagi-lagi
semua ilmu yang saya dapatkan di pondok sangat bermanfaat ketika menyantri di
negara Kenya. Bayangkan jika dahulu saya tidak pernah ber-pramuka, saya akan
membawa spring bed dari Indonesia dan saya gunakan dalam tenda. Kegiatan
demi kegiatan saya ikuti dengan semangat 45. Ketika mengikuti climbing
saya mendapatkan julukan Jackie Chan dari salah satu panitia, karena saya
lentur bergerak memanjat tebing bebatuan. Akan tetapi jika sekarang saya
ditantang untuk memanjat lagi tentu akan menolak dengan halus, karena keadaan
perut saya yang sudah cukup “offside” dan saya tidak bisa bergerak
bebas. Saya bersyukur dahulu perut saya masih kempes hingga tidak mengganggu
saya mengikuti climbing tersebut.
Penutup acara di lokasi adalah api
unggun disertai perform tiap peserta, akan tetapi hujan turun dengan
lembutnya dan membuat acara akrab-akraban ini diganti dengan acara musik DJ. Sebagai
santri pondok modern saya tidak hanya mendengar Hadad Alwi saja, melainkan
berbagai aliran musik saya dengarkan juga, termasuk jenis musik remix hip-hop
dan RNB. Ketika musik dikumandangkan tanpa ragu saya berjoged lagi dan
memberikan aksi-aksi “gokil” untuk memeriahkan suasana. Akan tetapi keasyikan
ini hanya bertahan sebentar saja, karena sebagian besar teman saya memang
sedang meminum alkohol agar dapat berjoged menggila. Tentu bukan maksud saya
untuk menjauhi mereka, akan tetapi saya tidak suka bau yang dihasilkan dari
minuman tersebut. Saya pikir baunya seperti kaos kaki yang sudah sebulan tidak
dicuci, menyengat dan tajam. Akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari acara
tersebut dan kembali ke tenda sambil mendengarkan musik dari nokia butut saya.
Peristiwa ini tidak luput dari jasa
pondok dalam mendidik saya. Saya ingat betul bahwa motto pondok yang terakhir
adalah berpikiran bebas. Berpikiran bebas tidak berarti bahwa saya harus
berpikir untuk ikut meminum alkohol dengan dalih menghormati teman dan membuat
kami semakin akrab, akan tetapi makna dari motto yang keempat ini adalah
bagaimana kita secara bebas mengekspresikan ide dan tingkah laku kita sesuai
dengan koridor agama, karena ilmu dan agama tak terpisahkan.
‘Nusa
Damai’ di Naivasha
Gedung Nusa Damai adalah gedung yang
terletak persis di depan masjid Pondok Pabelan. Bangunannya memang tidak
terbuat dari beton, akan tetapi santri yang mengisi gedung ini memiliki “jiwa
beton”. Status santri sebagai anak buah meningkat menjadi pengurus/OPP ketika
berasrama di gedung ini. Gedung diperuntukkan bagi santri terpilih kelas empat
dan seluruh kelas lima. Selain menjadi tempat tinggal, gedung ini juga menjadi
kantor para OPP tersebut. Ketika menjadi anggota OPP maka semua ego kita harus
dikubur dalam-dalam, karena menjadi OPP adalah menjadi agent of change
yang harus selalu kuat berada di garda terdepan dalam menjaga amanah pondok. OPP
adalah santri yang juga masih mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah secara
formal, tetapi mereka harus dapat menyelaraskan antara pendidikan formal
sekolah dengan tanggung jawab penuh sebagai pengurus pondok. Alasan inilah yang
membuat saya lantang mengatakan OPP “berjiwa beton”.
Tidak berlebihan jika saya katakan
bahwa lokasi ketiga acara yang berada di Great Valley Lodge Navasha
seperti ketika saya tinggal di gedung Nusa Damai. Kegiatan di lokasi acara ini
menuntut saya sebagai delegasi Indonesia untuk mengharumkan nama negara
Indonesia. Inilah amanah dan tanggung jawab besar yang saya emban. Jika dahulu
ketika menjadi OPP saya mengemban amanah Pondok Pesantren Pabelan, maka dalam
acara di lokasi ketiga ini, saya mengemban amanah lebih besar yakni menjadi
delegasi Indonesia dalam mengharumkan dan mempromosikan ragam budaya Indonesia
di mata dunia. Jika saat berada di lokasi kedua saya berkemah dan mengantri
mandi, maka di lokasi ketiga tidak lagi kesulitan untuk memanjakan diri saya
dengan seluruh fasilitas cottage yang saya tempati. Setelah beberapa jam
istirahat, acara pembukaan di lokasi ini dipimpin langsung oleh Presiden Kenya.
Dalam sambutannya, beliau memberikan apresiasi kepada seluruh peserta dan
panitia kegiatan IGE (International Gold Event) dan, di akhir acara
pembukaan ini, kami disuguhi tarian budaya Kenya yang menakjubkan.
Hari selanjutnya saya disuguhi forum
“berkelas dunia”. Dalam forum ini berbagai program anak muda dunia dibahas
sesuai dengan tema yang ditentukan panitia. Para peserta dituntut saling
memberikan pendapat terkait dengan langkah program yang akan dilaksanakan di
negara masing-masing dengan tema-tema: research, training, communication,
governance, youth policy dan fundraising. Pengalaman luar
biasa yang pernah saya alami, karena saya dapat bertukar pikiran dengan anak
muda hebat yang datang dari seluruh penjuru dunia. Keikutsertaan dan keaktifan
saya dalam forum ini tentu tidak datang dari “tempat yang kosong”, melainkan
jasa pondok yang benar-benar menggembleng saya sedemikian keras sehingga
membentuk karakter percaya diri dan bersaing pendapat dengan teman-teman hebat
lainnya.
Ketika di pondok, saya pernah
mengikuti forum yang berani saya katakan “berkelas jagad raya” (setingkat lebih
tinggi dari “berkelas dunia”), yakni MUKER (Musyawarah Kerja). Siapa saja yang
pernah menjadi OPP tentu akan mencicipi lezatnya atmosfir intelektual yang ada
pada forum tersebut. Bagaimana tidak, forum ini membuat semua anggota OPP
berpikir keras merumuskan program kerja di setiap bagian demi kemaslahatan
seluruh komponen yang ada di pondok. Semua permasalahan santri dibahas secara
detail, dari program kerja keamanan pesantren yang dilakukan oleh bulis
malam hingga membuat taman-taman indah di depan setiap kamar santri. Seluruh
anggota terlibat aktif dalam forum ini, mereka saling melontarkan pendapat
masing-masing. Tidak jarang gelas dan piring berterbangan hanya karena
perbedaan pendapat antara satu bagian dengan bagian lainnya. Tidak sedikit pula
antara satu individu dengan individu lain saling berteriak karena kesalahan
merumuskan gramatikal bahasa di dalam program kerja. Sekali lagi saya katakan
bahwa tidak berlebihan jika forum ini disebut sebagai forum “berkelas jagad
raya”.
Malam hari adalah waktu yang selalu
ditunggu oleh setiap peserta, dikarenakan setiap perwakilan negara
mempresentasikan dan menunjukkan budaya masing-masing. Kegiatan ini kesempatan
terbaik untuk menunjukkan nasionalisme. Sebenarnya kegiatan ini sedikit membuat
saya dan Fikri kebingungan, karena kami tidak mempersiapkan sedikit pun
penampilan apa yang kita tunjukkan nanti. Lagi-lagi pepatah “siap tidak siap
harus siap” terbesit dalam otak saya. Ah! Sungguh saya semakin cinta dengan
Pondok Pabelan, dia selalu memberikan solusi saat otak kehabisan bensin.
Seketika itu beberapa jam sebelum acara dimulai, saya dan Fikri men-download
lagu jatilan, ya! Lagu jatilan, lagu daerah yang cukup populer di tanah Jawa
dan dijadikan hiburan bagi masyarakat pedesaan. Ada waktu beberapa jam untuk
menonton tarian jatilan tersebut di youtube, dan kami mempelajarinya
dengan mata melotot. Walhasil, kami tetap belum dapat menguasai tarian tersebut,
sungguh ironis! Tetapi tidak sedikit pun hati ini gentar untuk menampilkannya.
Sebelum nama Indonesia dipanggil dalam
acara tersebut, ada kesalahan teknis yang dilakukan panitia terkait
proyektornya. Maka dalam beberapa menit kegiatan tertunda dan cukup hening.
Seketika itu pula saya bereaksi dengan cepat menanggapi masalah tersebut. Saya
dan Fikri maju sambil membawa gitar dan menyanyikan lagu penghibur untuk
teman-teman yang lain sembari mengisi jeda waktu memperbaiki kesalahan teknis
tersebut. Sekalipun saya sadar suara saya hancur, setidaknya mereka bertepuk
tangan dengan halus dan memberikan senyum setengah-setengah. Akhirnya waktu
kami tiba, kami membuka presentasi dengan gaya pembukaan muhadhoroh yang
dahulu sering saya lakukan. Ahai! Lagi-lagi pondokku memberikan pembukaan
bahasa Inggris yang ok punya, saya tidak membayangkan jika dahulu tidak
mengikuti kegiatan muhadhoroh, mungkin saya terbujur kaku di podium
sambil keluarkan busa dari mulut karena saking gugupnya berhadapan dengan
dengan teman-teman dari seluruh penjuru dunia.
Tema yang kita presentasikan terkait
ke-Indonesiaan, baik sisi geografis, bahasa, maupun budaya. Pertama,
terkait dengan letak geografis, bahwa mayoritas teman dari negara lain
mengetahui Indonesia dari pula Bali saja, parahnya sebagian lain menganggap
Indonesia bagian dari Bali. Kami meluruskan persepsi salah ini dengan menjelaskan
letak pulau Bali yang berada dalam lingkup negara Indonesia. Kedua,
terkait dengan bahasa, mereka pun tertegun, terkesima mendengar bahwa Indonesia
memiliki ratusan bahasa yang berbeda-beda. Orang asli Indonesia pun sangat
mustahil menguasai seluruh bahasa yang ada di negaranya sendiri. Ketiga,
terkait dengan budaya, keragaman budaya yang kita miliki menjadi daya tarik
bagi seluruh negara di dunia ini. Bagaimana tidak, di satu pulau setiap suku
memiliki budaya yang unik dan berbeda yang mungkin juga tidak dapat dipelajari
hanya dalam satu atau dua tahun saja. Tidak lupa kami mempromosikan batik
sebagai warisan budaya Indonesia yang diakui dunia.
Tibalah waktu kami menunjukkan salah
satu tarian budaya Indonesia, yaitu Jatilan. Tanpa pikir panjang setelah lagu
dimainkan, kami berjoget layaknya topeng monyet yang bingung akan memulai
gerakan apa, akan tetapi seiring berjalannya waktu kami menikmati setiap
dentuman nada khas jatilan dan menggerakkan badan secara teratur mengikuti
tempo irama musik tersebut. Aura mistis yang timbul dari lagu jatilan tersebut
terasa begitu menusuk gendang telinga dan mempengaruhi otak saya untuk menyuruh
tubuh ini bergoyang tanpa henti. Akhirnya tarian jatilan jadi-jadian tersebut
sedikit menghibur teman-teman saya, bahkan ada yang mengatakan gerakan tersebut
sangat sulit untuk dilakukan. Saya bingung karena saya yakin 100% bahwa tarian
jatilan yang saya lakukan berbeda dengan aslinya.
Keberanian saya untuk tampil di depan
teman-teman tersebut bukan bakat yang muncul tiba-tiba, melainkan dahulu ketika
saya nyantri, saya pernah beberapa kali tampil di panggung untuk menghibur para
santri. Sudah tentu jika dahulu saya tidak tampil di panggung maka mustahil
saya berani menari jatilan di depan banyak orang, apalagi saya tidak menguasai
tarian tersebut. Untuk kesekian kali pondokku memberikan ilmu yang tidak bakal
didapatkan di bangku sekolah formal. Hari selanjutnya adalah kegiatan bakti
sosial yang diadakan di sekolah dasar. Tugas kami adalah merekonstruksi
bangunan yang sudah mulai rusak. Saya mendapatkan jatah membuat lantai setiap
kelas. Sesekali saya mengaduk semen dan menyerok pasir, saya pikir menyerok dan
mengaduk pasir itu mudah, tapi ternyata sungguh sukar dan memerlukan banyak
tenaga. Pasir begitu berat jika diserok, mungkin karena pasir Kenya.
Hal menarik ketika kegiatan
beralangsung, waktu itu teman saya yang wanita mendorong pasir dengan gerobak
pasir. Saya melihat wanita itu sempoyongan badannya, karena mungkin terlalu
berat pasirnya. Mendadak saya menjadi superman dengan ototnya yang gemuk dan
siap membantu wanita tersebut dari sempoyongan. Saya mendekati dan berkata
kepada wanita itu, “Let me do this!” Tetapi ekspresi muka yang saya
lihat bukanlah pancaran dari sinar kebahagiaan karena ada laki-laki mirip
superman menolong wanita yang sempoyongan, melainkan ekspresi kecut. Wanita itu
berkata “No! no! no! I can do this”. Seketika itu saya mendadak ciut mengecil
seperti kerupuk kena air. Alangkah heran dan aneh, bagaimana bisa wanita itu
menolak bantuan saya. Karena saya lihat bahwa pasir itu sangat berat, dan badan
dia terlihat sempoyongan. Apakah saya kurang ganteng? Atau saya terlalu
agresif? Setelah saya pikir secara serius, akhirnya saya mendapatkan alasan
wanita menolak bantuan saya tersebut. Wanita barat memang memiliki karakter
mandiri yang setara dengan laki-laki, mereka tidak ingin dibantu oleh laki-laki
ketika pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya, ada laki-laki yang mau membantu.
Mereka justru tersinggung karena merasa
diremehkan kemampuannya. Sungguh pelajaran berharga saya dapatkan.
Kegiatan bakti sosial tersebut bukan
pertama kali yang saya lakukan. Dahulu ketika saya nyantri di pondok, saya
berbakti sosial hampir setiap hari, karena BAKES (Bagian Kesehatan) memberikan
hukuman kepada saya untuk kanis di tempat yang telah ditentukan BAKES.
Tidak jarang saya membersihkan toilet karena membuang sampah sembarangan atau
nasi yang saya makan tersisa di lantai dan tidak dibersihkan. BAKES juga
membuat jadwal membersihkan setiap area di kompleks pondok, baik perpustakaan,
masjid, gedung workshop, kuburan, dll. Tentu benih naluri berbakti sosial
tumbuh dengan pesat ketika saya mondok di Pabelan dan akhirnya membuat saya
bersemangat ketika mengaduk semen dan menyerok pasir membuat lantai yang rusak
di sekolah yang berada jauh dari kota.
Saya,
Pabelan dan Kenya
Saya anak ingusan yang manja luar
biasa pada awalnya. Pertama kali saya mondok di Pabelan, tepatnya kelas satu Tsanawiyah,
saya sering pura-pura sakit hanya untuk mendapatkan izin agar dapat pulang ke
rumah. Saya belum begitu memahami apa maksud orang tua saya menyekolahkan saya
jauh dari mereka. Pikiran saya waktu itu mondok adalah jenis sekolah yang
“kejam” karena bangun pagi saja harus dihitung-hitung oleh OPP agar tidak telat
masuk masjidnya. Padahal seharusnya bangun pagi adalah kenikmatan yang tiada
tara tetapi berubah menjadi balapan lari santri yang mau tidak mau memacu
jantung untuk berdebar dan mengeluarkan keringat di baju koko yang kita pakai.
Saya cukup lelah dengan
aturan-aturan pondok tersebut, karena saya pikir seumuran saya pada waktu itu
adalah waktu saya bebas bermain tanpa harus banyak orang yang mengatur. Saya
ingin bebas bermain petak umpet, bermain bola, dan bermain musik. Saya ingin
bebas menjadi anak muda yang masih mencari jati diri dengan cara naik motor
ngebut-ngebut, rambut disemir pirang, dan bolos sekolah untuk maen play
station atau video game. Umur-umur segitu tentu saya ingin merasakan
bagaimana tawuran dan perkelahian jalanan antara satu orang dengan yang
lainnya. Saya ingin bebas seperti anak muda lainnya yang tidak mondok di
pesantren. Saya ingin nakal agar saya punya banyak pengalaman indah masa-masa
labil.
Hanya dalam hitungan bulan dari
pertama saya mondok di Pabelan, tiba-tiba semua pikiran dan perasaan lelah itu
hilang ditelan planet Jupiter. Entah daya magis apa yang ada di pondok hingga
membuat saya berubah dari benci menjadi cinta. Cinta pondok ini berawal dari
pertemanan saya dengan beberapa santri. Saya mendapatkan teman yang berbeda
dengan suku saya. Perbedaan ini yang membuat saya kesengsem dengan pondok
Pabelan. Bagaimana tidak, kita yang berbeda suku dan bahasa dapat menjadi satu
hanya karena baki wadah kita makan,
sungguh ilmu bhineka tunggal ika yang tidak bakal didapatkan di sekolah umum.
Saya makan menjadi lahap karena makan kita tidak menggunakan piring seperti
dianjurkan OPP. Saya dan teman-teman merasa bahwa makan menggunakan piring
adalah cara tradisional yang kurang relevan dengan “kehidupan modern ala
pondok”. Bermula dari makan bersama menggunakan baki inilah komunikasi saya dan
teman-teman terjalin sangat romantis, bahkan lebih romantis dari kisah Romeo
dan Juliet. Saya yakin Romeo dan Juliet tidak pernah makan dalam satu baki!
Baki menjadi pemersatu perbedaan suku dan bahasa kami. Baki adalah kunci
keberhasilan kebetahan santri.
Hari demi hari, minggu demi minggu,
bulan demi bulan, tahun demi tahun saya resapi dengan sungguh-sungguh ketika
berada di pondok. Kebersamaan merdu, kekompakan militan, dan kepedulian natural
menjadi ukiran cerita di atas baja anti peluru bagi saya dan teman-teman.
Teman-teman saya adalah power bank yang siap mengisi energi saya ketika
habis digunakan untuk browsing ilmu kehidupan di pondok. Mereka selalu
ada dan tidak pernah lelah menemani, sekalipun saya menjadi jarum yang jatuh di
tumpukan jerami. Pabelan adalah ibu bagi saya dan teman-teman. Dia mengajarkan
bagaimana seharusnya bersikap di kehidupan yang keras ini. Ketika saya dan
teman-teman kabur, merokok dan tidak berjama`ah, dia tidak segan-segan menjewer
rambut kami (dibotak). Peraturan pondok memang memaksa akan tetapi yang lebih
penting adalah bagaimana saya bertanggung jawab ketika melanggar peraturan tersebut,
bukannya malah melapor ke polisi atau komnas HAM karena membotaki rambut adalah
pelanggaran HAM. Dia juga mengajarkan bagaimana menjadi sabar ketika mengantri
mengambil makan, mandi, dan menunggu kiriman uang dari orang tua yang tak
kunjung terbit di buku rekening. Dia juga selalu mendidik saya menjadi pribadi
yang sederhana dengan cara memberikan lauk favorit Tahu berenang tanpa rasa di
pagi hari. Bayangkan jika saya makan daging setiap hari di pondok, saya
dipastikan kena kolesterol dan terbiasa makan enak yang berimplikasi pada
memilih tempat makan yang mewah dan memboroskan uang.
Semua pendidikan itu hanyalah sejumput
dari apa yang saya rasakan selama enam tahun nyantri di pondok. Huruf, kata,
dan kalimat tidak cukup untuk menarasikan legit pahit perjalanan hidup saya
bersama Pondok Pabelan. Ekspresi suka duka tidak dapat merepresentasikan
perasaan saya yang terlalu mabuk kepayang dengan pendidikan khasnya. Kehebatan
pondok juga bukan hanya karena namanya yang sudah tenar, melainkan di dalamnya
terdapat komponen yang bersinergi dengan mantap dan secara konsisten mengharumkan
nama besar pondok. Kiai saya yang cerdas, guru saya yang ikhlas, ustadz praktik
saya yang anti lemas, mereka bersatu padu membuat pondok menjadi lebih
bertenaga. Peran mereka tidak dapat dipisahkan dengan kehebatan pondok itu
sendiri. Pondok Pabelan hanyalah sebuah nama, dan nama itu akan terus mengkilap
jika di dalamnya terdapat komponen-komponen yang terus menggosoknya. Seperti
batu akik yang semakin digosok semakin sip.
Pondok Pabelan dari dahulu hingga
sekarang tetap menjadi Pondok Pabelan. Jika memang ada yang berpendapat bahwa
pondok ini telah berubah seiring dengan perubahan zaman, tentu “yang berubah hanyalah hidung bukan nafasnya”.
Bentuk hidung yang permanen bisa saja berubah sesuai dengan yang dikehendaki
pemilikinya. Menginginkan lebih mancung atau lebih kecil biar terlihat lebih
seksi seperti artis-artis Korea. Bisa juga berubah tanpa dikehendaki jika
terjadi kecelakaan yang mengakibatkan diamputasi hidungnya. Akan tetapi nafas
tetaplah ajeg seperti itu, bentuknya
sungguh misterius dan kerjanya tanpa pamrih. Dia tidak terlihat tetapi tidak
kalah penting dari hidung, bayangkan jika memiliki hidung tetapi tidak bernafas.
Nafas ini tetap dihembuskan oleh semua komponen pondok hingga detik ini, baik
Kiai, guru, ustadz praktik, santri, simbok dapur, dkk. Sekalipun hidung sedikit
berubah, percayalah, “nafas tetap akan
berhembus melewati kedua lubang hidung tersebut”.
Sebagian orang mungkin menganggap
bahwa “nafas” ini berhembus tidak teratur. Sebagian yang lain menganggap bahwa
“nafas” telah terhenti. Tetapi bagi saya itu tidak terbukti. Saya pikir “nafas”
ini tetap berhembus hingga detik ini. Jika dahulu jumlah santrinya ribuan dan
namanya menggaung di penjuru dunia, dewasa ini jumlah santrinya ratusan tapi
pergi nyantri ke penjuru dunia. Terbukti dengan banyaknya santri yang
disantrikan di berbagai negara, baik Amerika, Jepang, Australia, Mesir dan
Kenya. Termasuk saya sendiri yang disantrikan di negara Kenya. Pada akhirnya
dapat disimpulkan untuk sementara, bahwa argumentasi “nafas” yang tidak teratur
atau terhenti ini belum dapat dilabelkan kepada Pondok Pabelan untuk saat
sekarang ini, bahkan saya yakin bahwa “nafas” ini akan terus berhembus hingga
kiamat datang menggerus.
Menyantri di Kenya bukan kebanggaan
mutlak saya, melainkan ini prestasi membanggakan yang dimiliki pondok.
Bayangkan jika pondok tidak memiliki relasi dengan IAYP (International Award
for Young People), mungkin teman-teman saya dari negara lain yang mengikuti
acara di Kenya tersebut tidak mengerti bahwa Bali adalah milik Indonesia, tidak
tahu jika Indonesia memiliki ratusan bahasa, tidak mengenal keindahan warisan
budaya Indonesia lewat batiknya, tidak memahami banyaknya tarian yang dimiliki,
termasuk jatilan salah satunya. Pondok telah berkontribusi secara masif
terhadap bangsa Indonesia. Sekalipun pemerintah belum memfasilitasi, pondok
tidak memicingkan mata dan memangku tangan menunggu bantuan dari pemerintah
untuk mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. Pondok memilih jalan yang
sunyi dalam berpartisipasi untuk kemajuan bangsa Indonesia, seperti ahli
tarekat yang menjalani riyadhah khusus dengan menyepi di gua atau gunung
untuk mencintai Allah swt. Pondok tidak menuntut wartawan atau surat kabar menceritakan
jasanya dalam membangun Indonesia. Pondok juga tidak perlu mengumumkan dengan
TOA kepada seluruh orang jika pondok tetap berhembus “nafasnya” dengan cara
mengharumkan nama Pondok Pabelan dan Indonesia di ranah internasional.
Terimakasih pondokku, terimakasih
para founding fathers al-Magfurlah Kiai Raden Muhammad Ali, Kiai
Anwar, Kiai Asror, terimakasih al-Magfurlah Guru Besar Pembaharuan K.H
Hamam Dja`far dan Ibu Nyai Rr. Djuhana Rofi`ah, terimakasih K.H Ahmad Najib
Amin Hamam dan Ibu Nyai Nurul Faizah, terimakasih K.H Ahmad Mustofa dan Ibu
Nyai Nunun Nuki Aminten, terimakasih K.H Muhammad Balya dan Ibu Nyai Suswati,
terimakasih Guru-guru senior yang tidak bisa saya sebut satu persatu,
terimakasih Ustadz Praktik, terimakasih OPP, terimakasih para santriwan dan
santriwati, terimakasih simbok dapur, terimakasih Bapak tukang sapu,
terimakasih warung sekitar, terimakasih masyarakat setempat, terimakasih
tumbuhan, terimakasih hewan-hewan. Terimakasih semuanya yang telah memberikan
pendidikan hebat kepada saya. Saya mendoakan semuanya agar selalu sehat dan
terus dapat mengembangkan Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan Mungkid
Magelang. Jasa kalian tidak akan pernah saya lupakan dan Allah pasti
membalasnya dengan berkah di dunia maupun keselamatan di akhirat nanti, amin ya
Allah, al-Fatihah!
Segala
Hal Dibelajarkan
Yasser Azka Ulil Albab
Saya berkali-kali menolak kepada orang
tua untuk dimasukkan ke pesantren. Alasannya sangat kanak-kanak, pengin terus bergabung dengan
teman-teman SD yang rasanya sudah klop dan kadang merasa tidak yakin kepada
masa depan kalau saya melanjutkan studi di suatu lingkungan yang menurut saya
terkucilkan itu. Tapi apa boleh buat, perintah orang tua adalah titah. Masuklah
saya di Pesantren Pabelan. Tiga tahun pertama tentumen jadi masa yang berat. Saya
sudah meminta lagi ke orang tua untuk pendidikan saya lanjutkan di SMA, di luar
pesantren, tetapi lagi-lagi ide itu hanya angan. Saya kembali meneruskan hidup
di sini, di pesantren.
Anak baru lepas SD sudah diajak untuk
berpikir bagaimana berorganisasi yang baik dan benar, diajak mengerti,
menerapkan, dan berbagi kedisiplinan. Di kamar, setiap anak diberi tanggung
jawab untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan fungsi yang ia
pegang di organisasi kecil yang ia emban. Semuanya jujur saya rasakan sebagai
keterpaksaan yang kalau boleh dibilang adalah keterpaksaan yang indah. Tingkatan
organisasi yang diberikan juga berkembang, dari yang paling kecil adalah
organisasi di kamar dan di kelas, kemudian meningkat dengan organisasi di
tingkat rayon dan terakhir organisasi di tingkat pondok yang membawahi semua
santri. Bahkan berbagai ruang kerja yang lain (seperti ekstrakurikuler), selalu
saja harus ada pembentukan organisasi. Setiap santri tidak ada yang tidak
merasakan bagaimana berorganisasi itu, seolah kami disadarkan bahwa setiap
elemen dalam hidup itu tidak bisa lepas dari organisasi. Waktu masih pertama
tidak pernah diajari secara teoritis apa itu organisasi dan kepemimpinan, kami
hanya “dicemplungkan” saja, diajak untuk merasakan sendiri dulu, mengerti di mana
kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi. Selanjutnya tahap demi tahap kami
mulai diajarkan menggabungkan antara teoritis dan praktikal.
Di sini semua hal dilatih, terutama
soal keyakinan diri. Hal itu dibangun dari berbagai macam segi kehidupan. Kita
dipaksa untuk membentuk keyakinan diri yang secara tidak sadar tertanam dari
berbagai kegiatan yang kita lakoni. Latihan Muhadhoroh
contohnya, setiap anak diajari untuk pertama kalinya berbicara di depan umum.
Ini bukan persoalan mudah, berbicara dalam rangka berbincang dan berbicara di
depan umum memiliki pertanggungjawaban yang tidak sama. Apalagi kalau si anak
kecil yang baru berkembang ini digoda-goda oleh kakak kelasnya, kegugupan bisa
tambah meletup. Tapi dari sinilah menurut saya para santri bisa berkembang
untuk menebalkan rasa yakin pada apa yang sudah kita persiapkan dan tampil
sebaik-baiknya. Awalnya tentu gugup, tapi kalau sudah menemukan ritmenya bisa
jadi malah kecanduan untuk terus mencoba dan mencoba.
Persoalan lain soal pengajaran
keyakinan adalah beberapa bulan pertama sebagai santri baru kami sudah harus
bisa mulai menanggalkan bahasa Indonesia dan bahasa ibu kami. Tidak ada pembelajaran
grammar mumpuni baru dilepas, kami
hanya dibekali kosa kata keseharian yang (kemungkinan) akan sering sekali
digunakan untuk berkomunikasi. Sekali lagi, penanaman secara tidak langsung
untuk yakin pada diri sendiri diajarkan. Keyakinan ini diajarkan pula di ruang
kelas kami, ustadzah kami mengajak kami untuk berteriak lantang di kelas
mengulang-ulang kalimat “al-I’timadu
‘alannafsi asasunnajah” ‘Bergantung pada diri sendiri adalah fondasi
kesuksesan’. Pabelan tidak menjanjikan kepada para santrinya untuk setelah
selesai dari Pabelan setiap alumninya bisa menjadi orang sukses, Pabelan hanya
menyediakan kunci pembuka dari setiap gembok yang kemungkinan akan dihadapi
oleh para santri nanti di kehidupan berikutnya.
Keyakinan yang dilatihkan “di dalam kandang” itu agar
semakin terasah, kami juga diajak untuk mengenal dunia luar. Berbagai
pengalaman yang saya rasakan ketika berkompetisi dengan berbagai pihak lain di
luar Pabelan digunakan untuk memperuncing rasa kebergantungan pada diri sendiri.
Di waktu MTs kami dipercaya untuk ikut lomba Pramuka antar-SMP/MTs se-Kabupaten
Magelang. Rasanya waktu berangkat, gejolak untuk tidak mempercayai diri sendiri
begitu besar. Bisakah kami paling tidak bersaing dengan orang-orang lain di
luar kami? Kelengkapan yang kami punya rasanya tidak selengkap yang dimiliki
oleh team lain, tapi bukankah yang diajarkan Pabelan bukan luarnya, tetapi
selalu dalamnya. Jadi kami terus menanamkan kepercayaan diri untuk bisa
menghasilkan yang terbaik. Sewaktu ikut AFS, apa yang Pabelan ajarkan juga bisa
saya rasakan. Kini levelnya lebih naik lagi, yaitu bersaing dengan murid-murid
SMA se-Jogja. Jogja adalah kota pendidikan yang tentu saja jam terbang
pengajaran mereka lebih panjang daripada kami yang belajarnya bermacam-macam.
Awalnya tentu saja rasa ketidakyakinan ini mengganggu, selain harus bepergian
ke Jogja kami harus membayar sejumlah uang untuk bisa mengikuti test ini. Bagi
beberapa orang mungkin ini bukan soal, tapi bagi saya yang uang jajan
pas-pasan, yang uang SPP dan makannya lebih sering terlambat dari pada tepat
waktunya tentu bukan persoalan hitungan sederhana. Untung saja ada kakak kelas
yang tahu kalau saya mau ikut, dia mau membayari untuk keperluan ini.
Setelah persoalan administrasi
selesai, memasuki babak ujian, prinsip untuk yakin kembali berguna, bahwa kami
adalah apa yang ada dalam diri kami. AFS sendiri punya tiga tahapan untuk bisa
lolos, di tahap pertama hanya berupa tes tertulis yang menguji berbagai
pengetahuan, tak disangka, di sini hanya saya yang lolos ke dua tahap
berikutnya. Saya awalnya tak yakin bisa berjuang hingga akhir yang harus
bersaing dengan berbagai macam orang yang mungkin lebih qualified dari pada saya untuk memenangkan AFS ini. Di tahap kedua,
kami di-interview dalam dua tahap,
tahap pertama interview bahasa Inggris
mengenai kehidupan kami sehari-hari dan kedua dalam bahasa Indonesia mengenai
motivasi dan pendapat-pendapat kami tentang persoalan sehari-hari. Lagu Mesemmow yang diajarkan ketika pertama
kali nyantri, saya nyanyikan untuk dapat menenangkan diri selama masa ujian. Ternyata
keyakinan ini berbuah baik. Saya melanjutkan ke babak paling menentukan.
Di sini keyakinan kembali diuji, kami
diminta oleh panitia mempersiapkan sebuah pertunjukan kesenian yang menunjukkan
rasa kebudayan daerah. Bingunglah saya, terutama karena saya tidak punya banyak
biaya untuk mempersiapkan macam-macam. Untung saja saya ingat pernah menjadi
delegasi pondok untuk mengikuti salah satu perlombaan Pramuka dengan salah satu
perlengkapannya adalah baju adat Jogja, walaupun itu hanya atasannya saja,
karena kebetulan saya punya celana jalan yang seolah-olah bisa dipakai dan
ditunjukkan sebagai pakaian daerah. Beginilah kreativitas mulai diajarkan
kepada kami, gunakan apa yang ada di sekeliling sebagai pengganti. Kehidupan
yang kita miiki kadang tidak bisa memenuhi persyaratan yang diinginkan, tapi
penggunaan sumber daya yang seadanya akan memungkinkan kita untuk tetap berada
di mimpi itu.
Akhirnya ketika ujian terakhir
dimulai, justru tim penilai menilai saya bagus karena bisa bergerak luwes dalam
pertunjukan. Oh tidak, Bapak saja yang tidak tahu betapa apa yang ditunjukkan
ini adalah kelemahan yang ternyata dianggap kelebihan. Pabelan mengajari lagi,
bisa jadi sebelum “manggung” apa yang
kita punyai membuat kita jadi minder dan ketakutan, tapi ternyata bisa jadi
penilaian orang menjadi lain lagi. Yang jelas ketika tampil, tunjukkan bahwa everything is ok. Singkat cerita, Allah
memberikan kuasanya, saya dinyatakan sebagai salah satu peserta yang lulus
kualifikasi di antara ratusan peserta ujian ini. God, di sini saya ditunjukkan bukan masalah dari mana sekolahmu,
bagaimana bangunan sekolah, sepelosok apa tempat tinggalmu, semua itu hanya
masalah siapa dirimu. Tetapi, sama seperti sarjana yang diwisuda, dia bahagia
ketika namanya disebut di acara wisuda sebagai lulusan yang berhasil
menyelesaikan pendidikan dengan memuaskan, rasa puas itu kadang hanya berada
sesaat setelah disebut, karena rasa capek dan payah setelah itu jauh lebih besar
daripada ketika kuliah. Karena berbagai kondisi, kelulusan saya di tingkat
nasional ini tidak bisa bertahan, “hadiah hiburan” pun diberikan kepada kami
untuk mengikuti kesempatan selama dua minggu di Jepang dalam program Jenesys.
Awalnya saya menolak untuk ikut tes
dari lembaga yang sama itu agar bisa diberangkatkan ke Jepang. Tetapi saya
merasa beruntung punya “orang tua” yang memiliki daya jangkau lebih baik dari
kami yang tidak bisa dilihat oleh anak muda, yang dilihat orang tua berlian
bisa jadi hanya dilihat anak muda sebagai berlian. Demikian pula sebaliknya,
apa yang dianggap anak muda adalah emas, bisa sangat jadi terlihat hanya daun
berguguran oleh orang tua yang seharusnya tak perlu ditanggapi.
Seperti biasa Jum’at pagi selepas
sholat Subuh berjama’ah di pondok diadakan kuliah subuh, waktu itu yang mengisi
adalah Pak Najib. Kebetulan malamnya saya bertugas jaga malam, saya tidak
diwajibkan untuk mengikuti kuliah subuh itu, tetapi apa daya karena kamar kami
tepat berada persis di depan masjid, suara khutbahnya tetap saja terdengar oleh
kami. Dan tidak dinyana, ketika memasuki akhir khutbah, Pak Najib menanyakan
keberadaan saya, kalimat selanjutnya adalah nasihat yang akhirnya membuat saya
bergerak untuk mengikuti tes tersebut. Syukurlah, perjalanan selanjutnya memang
menawan bahwa saya bisa keluar negeri walaupun hanya dalam hitungan jari,
tetapi pengalaman yang ada membuat saya bisa melihat dunia lebih baik.
Banyak hal yang bisa saya pelajari
selama di Jepang, tetapi lebih utama adalah di tempat sepelosok Pabelan saya
tetap bisa meraih apa yang mungkin dicitakan oleh banyak orang lain seumuran
saya di luar sana. Belum tentu saya kalau berada di sekolah luar, bisa
diperjalankan Allah ke negara lain. Di Jepang, kami dipertemukan dengan banyak
peserta dari bermacam negara, Malaysia, Flipina, Thailand, India dan Australia.
Pertemuan majemuk ini juga menjadikan kami lebih luas memandang dunia,
menghadapi kawan dari berbagai negara ini ternyata pendekatan yang bisa
digunakan tidak bisa sama, karena bisa jadi apa yang click untuk negara satu
belum tentu bisa diterapkan untuk negara yang lainnya.
Setelah pulang dari Jepang hal yang
paling “menyenangkan” selanjutnya adalah mengenai tanggung jawab. Di Pabelan
setiap anak diberikan tanggung jawab, minimal adalah tanggung jawab mengurusi
kebutuhan dan keperluan dirinya sehari-hari. Di Pabelan tidak ada pembantu
bahkan orang tua yang menyiapkan segala apa yang kita inginkan, bila ingin
sesuatu, do it yourself. Menariknya,
baru sekarang saya sadari ini berguna dalam hidup bahwa pembelajaran yang
sesungguhnya terjadi saat kita sedang bertanggung jawab. Hanya orang yang
sedang tidak memiliki tanggung jawab yang akan mengarahkan hidupnya
sembarangan. Dengan memegang tanggung jawab kita dituntut untuk berbuat sesuatu
agar apa yang kita tanggung itu mencapai apa yang diinginkan.
Di Pabelan, saya dan kawan-kawan
diberi tanggung jawab dan kepercayaan untuk menerima tamu asing dari berbagi
negara. Tamu dari bermacam profesi, ikut andil dalam berbagai kegiatan yang
melibatkan berbagai pihak luar yang mengadakan acara disini. Ternyata setiap
apa yang kita terima dan mampu kita tanggungkan membentuk rasa percaya diri
semakin tinggi dan menurut saya inilah bekal yang cukup penting yang diberikan
Pabelan kepada kami.
Hal penting lain yang diberikan
Pabelan adalah kebebasan. Kami bebas menentukan kami mau masuk ekstrakurikuler
apa, kami bebas untuk handal dalam bidang apa, kami bebas menentukan mau IPA
atau IPS, kami bebas mengikuti perlombaan di luar pondok ini, kami bebas menentukan
pilihan warna agama kami sendiri. Tetapi kebebasan tersebut harus dibingkai
dalam nuansa bertanggung jawab. Kalau kami kelewatan, teguran adalah bahasa
indah agar kami tidak melewati batas yang diberikan kepada kami. Bebas juga harus dirangkai nuansa disiplin.
Setiap anak diberikan kebebasan dalam menentukan bidang apa yang mau ditekuni,
tetapi setelah itu harus disadari bahwa ia harus memegang komitmennya hingga
selesai.
Segala yang kami lewati di pondok ini
menjadi modal penting ketika kuliah dan kini bekerja. Karena tidak memiliki
biaya untuk melanjutkan kuliah, maka terpaksa saya harus mencari kuliah yang
mau memberi saya gratisan dari awal bahkan kalau bisa sampai lulus. Beruntung
saya ketika ditugaskan menjadi penjaga tamu di saat anak-anak ujian, ada
serombongan mahasiswa UII Jogja datang hendak mengantarkan sejumlah Qur’an
Wakaf kepada kami. Ketika berbincang mereka sampaikan bahwa di kampusnya ada
program beasiswa pondok pesantren yang memungkinkan pada pesertanya untuk
kuliah gratis hingga lulus kuliah. Kesempatan ini pun tidak saya sia-siakan
ketika memasuki akhir-akhir masa pengabdian, saya mulai mencari informasi
mengenai berbagai hal yang perlu disiapkan untuk bisa lolos beasiswa ini.
Syarat pertama untuk bisa mengikuti
beasiswa ini lolos seleksi mahasiswa baru yang salah satunya diadakan dengan
CBT (Computer Based Test). Ternyata
bekal tanggung jawab mengajar IPA kepada murid MTs bermanfaat bagi saya, karena
soal yang saya temui tidak jauh berbeda dengan apa yang saya ajarkan itu.
Sekali lagi Pabelan ajarkan kepada kami bahwa teaching is mastering. Berkat itulah, bisa mendapatkan biaya
registrasi dan sumbangan sebesar Rp.0,- sebuah awal pencapaian yang melegakan
tentunya. Pada akhirnya, setelah mengikuti berbagai tahapan, saya dinyatakan
lolos sebagai penerima beasiswa ini. Apakah hidup selesai sampai di sini?
Belum. Masih ingat bahwa seperti habis
gelap terbitlah terang, maka setelah terang tentu akan gelap lagi. Pemahaman
ini Pabelan ajarkan, agar tidak terlalu sedih ketika gelap dan tidak terlau
bungah ketika terang. Tantangan setelah ditetapkan sebagai penerima beasiswa
UII adalah kenyataan hidup bahwa beasiswa ini hanya memberikan gratis kuliah
dan asrama, tapi tidak untuk kepentingan lain selaku manusia. Maka karena orang
tua sudah tidak bisa memberikan uang saku, saya harus cari harapan sendiri
untuk tidak berpangku tangan terhadap nasib. Pabelan mengajarkan kita bisa
handal di bidang apapun asalkan kita komitmen dan disiplin mengerjakan itu. Mengambil
peran itulah, saya mengambil peluang bisa terampil dalam bidang penelitian dan
tulis menulis; sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya karena di
Pabelan kami belum pernah dibekali dengan pengetahuan seperti ini.
Tetapi modal berharga adalah keyakinan
diri, kebergantungan pada diri sendiri serta disiplin. Saya sempat minder di awal
kuliah karena belum nyaman berada di luar pesantren, lingkaran saya selama ini.
Saya memililih pendidikan di Teknik Industri yang tidak saya bayangkan
sebelumnya. Beberapa bulan di perkuliahan, saya tahu ada kabar lomba menulis
nasional yang diadakan oleh salah satu kampus di Jakarta. Saya tahu kalau saya
ini masih anak bawang dalam dunia tulis-menulis, tetapi apa boleh buat ini
harus saya lakukan untuk tetap bisa menyambung hidup. Kepercayaan diri dari
bekal di Pabelan berguna untuk menyakinkan diri sendiri selama proses meneliti
dan menulis. Juga rasa tahan banting di Pabelan berguna ketika disindir untuk
cepat menyelesaikan tulisan ketika saya meminjam laptop dari berbagai teman. Hehe modal saya yang lain hanyalah flashdisk.
Tidak dinyana tulisan saya dinyatakan
sebagai satu finalis dari 10 finalis yang berhak lolos ke Jakarta untuk
mengikuti presentasi. Tetapi apa daya kampus tak kunjung memberikan uang jalan
kepada kami, saya jadi kebingungan bagaimana caranya biar bisa ke Jakarta untuk
presentasi. SMS yang saya berikan kepada Bu Ulfa, ternyata sungguh di luar
dugaan. Saya bilang ke Bu Ul, kalau saya mau ke Jakarta tapi tidak punya
ongkos, jawaban Bu Ul sungguh di luar dugaan. “Yasser kirimi rekeningnya ya, nanti Ibu transfer untuk biaya ke Jakarta”.
Duh hati siapa yang tidak lunglai ketika kita butuh jawaban dari pertanyaan,
ada orang yang menawarkan diri begitu baiknya. Maka tidak enak rasanya
menyelesaikan tulisan ini melebihi tenggat waktu yang diberikan Bu Ulfa, untuk
ini saya mohon maaf sebesar-besarnya.
Kembali lagi ke masa kuliah, persoalan
untuk bisa memenuhi kebutuhan saya sebagai manusia tercukupi dari dunia
penelitian dan tulis-menulis yang saya geluti. Kalau tidak ada rasa percaya diri
dan kebergantungan diri yang Pabelan tanamkan pada saya tentu saya bisa menjadi
salah satu mahasiswa yang lunglai dalam mengejar cita-cita. Jarak antara asrama
kami dengan kampus tergolong cukup jauh, lebih dari 16 Km. Karena kampus kami
berada di dekat dengan Gunung Merapi sedangkan asrama berada di pusat kota maka
perjalanan terus mendaki. Yang sulit adalah karena tidak punya sepeda motor,
maka saya memutuskan untuk membeli sepeda onthel
bekas yang harganya masih bisa saya rengkuh waktu itu. Banyak juga teman-teman
di asrama yang juga seperti saya tidak punya motor dan kesulitan untuk bisa ke
kampus, biasanya mereka menunggu di depan teras untuk bisa nebeng dengan orang
yang punya motor berangkat ke kampus. Tapi menurut saya ini sulit saya lakukan.
Pertama karena jadwal kuliah tidak menentu dan ini tentu saja adalah bagian
dari bergantung kepada orang lain. Masak kita tidak masuk kuliah karena tidak
ada tebengan, kan lucu. Saya merasa
beruntung dibekali rasa percaya diri. Kedua, rasa kebergantungan pada diri
sendiri.
Bekal lain yang Pabelan berikan adalah
bagaimana cara mengajar pada orang lain. Ketika kami kelas 6 (3 MA) kami
diberikan kesempatan untuk bisa mengajar (micro
teaching) berikut bekal yang diperlukan dalam mengajar. Kami mengabdi dan diberi
kepercayaan untuk mengajar murid-murid MTs sesuai kemampuan kita. Pengalaman
mengajar selama setahun, membuat saya mengerti bagaimana cara mengajar kepada
orang lain dengan baik, dan hal itu berguna ketika kuliah. Ketika masa UTS/ UAS
berbagai teman kampus baik laki atau wanita yang indekosnya menyebar di
berbagai lokasi, datang ke asrama, untuk belajar bersama, hal yang sebelumnya
belum ada di asrama kami. Mereka bilang bahwa cara mengajar saya mengalahkan
cara dosen mengajar, apa yang diajarkan oleh dosen selama setengah semester
selalu bisa saya sampaikan dalam waktu hanya sepersekian jam. Itu hanya pujian
yang lebay sebenarnya, namun menurut
saya mengajar adalah mengorganisasi apa yang kita pahami kemudian kita berikan
kepada orang lain dengan metode yang tepat.
Hal yang paling melekat dalam hidup
saya adalah Pabelan membuka ruang pemahaman baru untuk saya agar berani
menjelajah walaupun itu selalu memetik pertanyaan, bisakah saya mencapai itu?
Waktu duduk di bangku Madrasah Aliyah saya pernah mendapati Pak Nasir, guru bahasa Indonesia yang jarang
mengajarkan Bahasa Indonesia di kelas. Pernah suatu waktu beliau mengajarkan
kami tentang tujuh kebiasaan efektif yang dilakukan oleh orang sukses yang
dituliskan oleh Stephen Covey. Pabelan membuka ruang baru untuk kami tidak
hanya terkungkung dalam konstanta pelajaran. Akibatnya ketika di kampus, banyak
di antara lulusan Pabelan menjadi bintang, karena kita sudah terbiasa
berorganisasi, terbiasa berbicara di depan umum menyampaikan gagasan, dan lebih
utama, kami terbiasa diberi tanggung jawab, kebebasan dan rasa percaya diri.
Dari Pak Nasir dan Pak Najib saya
belajar banyak, bahwa orang lain bisa mengingat apa yang kita sampaikan dalam
waktu yang lama, dengan selalu gunakan cerita. Pak Nasir pernah mengisi khutbah
Jum’at di masjid pondok kami hanya dengan menggunakan sepenggal cerita tentang
kebun kurma. That’s it, tidak kurang
tidak lebih. Tidak dibumbui nasihat, anjuran atau kalimat pengukir khutbah
lainnya. Saya rasa itu adalah pidato khutbah Jum’at tersingkat yang pernah saya
alami. Beliau pernah menyampaikan kalau mau tahu bagaimana isi kepala orang dan
bagaimana menjadi seperti dia, ketahui buku-buku apa yang dibaca oleh orang
itu. Demikian pula dengan Pak Najib, isi khutbahnya banyak diingat oleh kami karena
berisi cerita yang mengandung makna hidup. Beliau pernah bercerita kisah
pangeran dan rajawalinya, yang belakangan saya ketahui cerita itu ada di salah
satu buku karangan Paulo Coelho (Gengis Khan dan Burung Rajawalinya).
Berbakal itulah saya lebih suka
menggunakan cerita ketika diminta untuk menyampaikan materi tertentu sekiranya
masih bisa menggunakan cerita. Sebab dengan cerita itulah apa yang kita
sampaikan bisa lebih lama melekat di ingatan mereka.
Terima kasih pondokku, Ibuku…..
Dumai, 10 Mei 2015
Bekal
Hidup dari Pabelan
Isnatul Arifah
Pondok Pesantren Pabelan merupakan
lembaga pendidikan yang mengajarkan santrinya berbagai ilmu pengetahuan formal
maupun tidak formal yang nantinya akan bermanfaat bagi kehidupan santri.
Sebagai suatu lembaga berlabel pesantren bekal dasar ilmu agama disampaikan
secara menyeluruh, karena sesungguhnya di sinilah pegangan awal umat muslim.
Bekal kedua yang diberikan adalah ilmu
pendidikan formal, sebagaimana layaknya sekolah pada umumnya. Di sini kami
belajar mata pelajaran umum dan mengikuti ujian nasional. Untuk beberapa
kalangan ijazah negara masih menjadi tolak-ukur seorang pelajar. Di
sinilah santri Pabelan memiliki
kesetaraan pendidikan dengan siswa dari sekolah umum.
Bekal yang ketiga adalah skills dan kreativitas yang diperlukan
dalam kehidupan nyata nantinya. Bekal keempat adalah kematangan mental dan
kepribadian. Hidup di pesantren mempunyai atmosfer yang sangat bebeda yang
menjadikan santri pribadi yang berani, kuat dan bertanggung jawab.
Bekal kelima adalah jiwa sosial.
Dengan kelima bekal itu santri dilepas untuk menjalani hidup mandiri sebagai
seorang manusia yang siap berkompetisi dalam banyak hal. Saya akan menceritakan
sedikit pengalaman pribadi yang saya rasakan sebagai hasil dari pembekalan
pendidikan dari pondok pesantren Pabelan.
Sebagian besar pengalaman ini muncul dan baru terasa ketika saya sudah
tidak berada di Pabelan.
Saya anak biasa saja, itulah anggapan
yang muncul pada diri saya belasan tahun yang lalu. Masuk ke Pesantren Pabelan
tahun 2001 karena disuruh orang tua, dengan sedikit ancaman “tidak akan disekolahkan kalau tidak mau ke
pesantren”. Meskipun sedari kecil saya sudah diberitahu jika nanti lulus SD
saya akan disekolahkan di pesantren. Saya sempat melihat wujud pesantren itu
sendiri ketika kakak saya masuk pesantren dua tahun lebih awal. Saya
tetap merasa keputusan ini agak dipaksakan, akan tetapi sebagai seorang
anak berumur 12 tahun, apa yang bisa saya lakukan.
Diantar keluarga berangkat ke
pesantren lebih awal dari jawal check in
santri baru, sehingga belum banyak siswa yang datang. Hanya ada kakak senior
membuat saya semakin galau dan beberapa kali menyembunyikan tangis karena homesick. Waktu itu orangtua saya belum
mempunyai telepon rumah ataupun HP sehingga tidak bisa dihubungi, saya terpaksa
harus menerima masib menghadapi kenyataan sendirian hingga teman yang lain
datang. Setengah hati, mungkin begitulah saya menghadapi hari-hari di Pesantren
Pabelan tiga tahun pertama. Saat itu saya merasa sekolah di pesantren tidak
keren, ibarat ungkapan penjara suci. Sekolah negeri tetap terlihat lebih
menarik, hingga selesai UN kelas 3 MTs saya masih rajin mengutarakan bujukan
kepada orangtua untuk memindahkan saya ke sekolah lain, akan tetapi tidak
dikabulkan. Yang saya tahu alasan bapak tetap kekeuh menyekolahkan anaknya di pesantren karena teman-temannya
dulu lulusan Pabelan. Mereka pintar-pintar dan berhasil. Sungguh alasan yang
kurang meyakinkan. Meskipun pak Najib juga sering menceritakan hal yang sama
tentang kakak-kakak alumni Pabelan. Tapi pada saat itu hati saya belum
tergugah.
Sampailah saya pada tahun keempat. Waktu itu
tidak banyak teman saya yang melanjutkan ke MA di Pabelan, meskipun bertambah
teman dari kelas Takhasus jumlah kelas 4 tidak sebanyak kelas 3. Merasa
terjebak keadaan, saya mulai merenungkan nasib saya yang masih juga terdampar
di tanah Pabelan. Saya terus merenungkan apa yang harus saya lakukan, saya
bosan dengan kenyataan dan saya tidak ingin hidup dalam keterpaksaan terus
menerus. Pikiran tersebut selalu terngiang ngiang, menjadi pertanyaan besar
yang belum juga saya temukan jawabannya.
Sudah menjadi ciri khas Pak Najib mengumumkan
prestasi ataupun pelanggaran santri di sela-sela ceramah beliau. Yang
berprestasi biasanya akan dipanggil dan diceritakan kisah suksesnya, sedang
untuk yang melanggar peraturan akan disuruh berdiri untuk sedikit interograsi;
bahkan kadang santri yang melakukan pelanggaran disuruh berdiri mendampingi
beliau selama sesi ceramah. Oleh karena itu ketika jadwal beliau ceramah selalu
menjadi momentum mendebarkan untuk mereka yang melakukan pelanggaran. Tetapi
yang berprestasi ini saatnya ujuk gigi. Tindakan ini sebagai apresiasi dan punishment, tujuannya agar santri yang
berprestasi bisa dicontoh dan mereka yang melanggar supaya tidak ditiru. Dengan
jumlah santri yang sekian ratus orang sepertinya metode ini efektif.
Ceramah di tahun 2004 pak Najib menginformasikan
tentang lolosnya salah satu santriwati
di program pertukaran pelajar ke Amerika. Waktu itu kak Qurota Ayuni diminta
berdiri di depan sebagai wujud apresiasi atas prestasi yang diperoleh. Saat
itulah saya menyatakan pada diri saya, besok saya yang akan berdiri di sana,
dengan prestasi yang sama. Sebenarnya informasi tentang seleksi beasiswa
ini sudah disampaikan berkali-kali dari
awal proses seleksi, hanya saja pada momentum itu Tuhan membukakan pintu hati
saya untuk menantang diri saya sendiri. Semenjak itu saya mulai bersemangat
untuk memenangkan tantangan, saya mulai mencari tahu dari teman dan bertanya
langsung ke kak Qurota mengenai proses seleksi, syarat dan penilaiannya. Saya
diberitahu jika nilai akademis tidak menjadi hal mutlak, prestasi di luar
sekolah, keaktifan dalam organisasi, dan leadership
menjadi point penting. Saya dari dulu tidak pernah berprestasi di mana pun akhirnya
memutar otak supaya syarat-syarat tersebut terpenuhi. Masuk ke kelas 4 saya
mulai rajin belajar, aktif di organisasi, sering ikut lomba dan rajin membaca.
Bekal keempat, dari sinilah saya
belajar mengubah mental dan kepribadian. Awalnya saya hanya ingin menantang
diri sendiri, akan tetapi dari proses itulah saya mulai sadar, bahwasanya
kehidupan ini tidak semuanya pemberian, ada banyak hal yang bisa diciptakan dan
diusahakan. Manusia memang tidak bisa memilih dari siapa dia akan dilahirkan,
di negara mana dan sebagai pria atau wanita. Akan tetapi itu hanya permulaan,
selebihnya kehidupan ditentukan usaha manusia itu sendiri dalam menjalaninya.
Seperti banyak kisah sukses yang selalu diceritakan pak kiai, semua dicapai
karena usaha dan kerja keras.
Tahun 2006 saya resmi dinyatakan lolos
pada beasiswa yang sama, dan mendapat apresiasi yang sama.The best way to make
dreams comes true is to wake up make it
true.
Bekal Pertama
Tahun 2006 saya resmi berangkat ke
Amerika. Waktu itu informasi tentang penempatan dan negara bagian yang akan
dituju baru saya dapat beberapa minggu sebelum keberangkatan. Akhirnya saya berangkat
tanpa tahu pasti apa yang akan saya hadapi di negeri Paman Sam. Yang saya tahu
ketika orientasi sebelum keberangkatan negara bagian yang akan saya tuju adalah
Alaska. Suatu daerah di ujung utara benua Amerika yang bersebelahan dengan
Kanada dan terpisah dari negara bagian lain. Sebagai orang tropis, saya tidak
membawa bekal pakaian hangat dan hanya berharap pertolongan Allah semoga bisa survive.
Saya tinggal di Anchorage, kota
terbesar di Alaska. Alhamdulilah
orang tua angkat saya muslim, pasangan Pakistan dan Amerika. Untuk urusan
ibadah dan makanan halal di rumah tidak menjadi hambatan. Akan tetapi di
sekolah, ceritanya menjadi sangat berbeda. Di Amerika sekolah umum ditentukan
berdasarkan lokasi tempat tinggal kita, kebetulan karena bapak angkat saya
bekerja sebagai enginer di pangkalan
darat tentara Amerika, maka tempat tinggal kami pun tidak jauh dari lokasi
tersebut. Artinya sebagian besar dari total 5000-an siswa di SMA tempat saya
belajar, adalah keluarga tentara yang mayoritas ditugaskan ke wilayah Timur Tengah.
Selama peperangan berlangsung banyak dari mereka yang keluarganya ditugaskan,
bahkan ada beberapa yang kehilangan anggota keluarganya. Hal ini menimbulkan
kebencian dan kesalahpahaman dari mereka terhadap Islam dan orang muslim. Meski
tidak semuanya, akan tetapi sebagian besar memiliki paham yang relatif sama.
Hal inilah yang menjadi tantangan kecil selama proses sekolah.
Saat keberangkatan sebenarnya
kemampuan bahasa Inggris yang saya miliki sangat terbatas. Counselor di sekolah menyarankan saya untuk mengambil pelajaran HIP
(Humand Interdisciplin Programe). Ini
adalah dua sesi kelas yang diampu oleh tiga guru, di dalamnya siswa diajari
berbagai macam subject. Adakalanya kita membahas sejarah, ekonomi, iptek dan
lain lain. Karena ini kelas besar, kebanyakan siswa dibagi dalam kelompok-kelompok
diskusi. Berbeda sekali dengan di Indonesia, di Amerika orang cenderung lebih vocal dalam menyampaikan pendapat, tidak
ada ewuh pakewuh atau penyaringan
bahasa dalam mengutarakan sesuatu. Tantangan pertama di sekolah adalah sikap
teman terhadap agama dan asal saya, banyak dari mereka yang tidak suka dengan
muslim, dan tidak tahu di mana Indonesia.
Pada awal sekolah ada saat saya tidak mengerti
apa yang dibicarakan dalam kelas, tapi ada saat saya bisa menangkap isi
diskusi. Tiga bulan pertama saya masih belajar beradaptasi dengan bahasa dan sistem
pembelajaran. Pada saat itu, ada materi diskusi yang bertemakan keikutsertaan
Amerika dalam perang di Iraq dan usaha pemberantasan terorisme. Dalam diskusi
itu saya mengetahui bagaimana pemahaman mereka akan Islam dan muslim, dan juga
perasaan mereka atas perang tersebut. Inilah pertama kali saya harus
menjelaskan apa itu Islam dan muslim di depan teman saya, dengan bahasa yang
masih ala kadarnya. Awalnya ejekan dan kata sinis masih saya dengar, tapi
setelah sekian bulan berlalu, mereka mulai berubah sikap karena melihat
langsung seperti apa teman muslimnya. Di sinilah saat perbuatan lebih berarti
dari pada kata-kata. Sebagai seorang muslim sudah selayaknya kita bersikap baik
meskipun dengan mereka yang membenci kita. Seperti rasulullah yang tetap
bersikap baik dengan Kafir Qurois yang setiap hari mengejeknya.
Tantangan
kedua adalah pelaksanaan ibadah. Alaska memiliki musim yang extreme. Ketika winter matahari hanya akan terlihat 3-6 jam saja. Ketika summer malam hari hanya akan berlangsung
selama 3-4 jam. Pada saat winter saya
melaksanakan sholat subuh dan zuhur di sekolah. Solat subuh jatuh tepat sebelum
bel masuk, di sinilah tantangan terberat saya, karena saya harus sholat di sekitar
teman-teman yang sudah ramai hendak masuk ke kelas. Waktu itu saya meminta izin
untuk menggunakan ruangan kecil yang terletak di depan kelas. Akan tetapi
beberapa hari kemudian ada orang yang iseng mengambil hordeng pintu yang
menutupi kaca, sedang kiblat tepat menghadap pintu kaca tempat semua orang yang
akan masuk kelas pasti melewatinya. Karena tidak nyaman saya memutuskan mencari
tempat lain, meski cukup jauh dan harus berlari lari saat kembali ke kelas, tapi
di sana lebih nyaman untuk beribadah.
Untuk sholat zuhur jatuh tepat saat
jam berganti pelajaran terakhir. Jeda waktu pergantian hanya 10 menit, untuk
wudhu, sholat dan berganti kelas. Alhamdulilah
dengan kebaikan hati guru matematika saya diizinkan untuk keluar kelas 5 menit
sebelum bel. Pada saat summer waktu solat magrib jatuh sekitar
pukul 23.00, isya pukul 00.30 dan subuh jatuh pada pukul 02.00 . Agar tidak terlewat waktu solat saya harus
bergadang menunggu waktu solat tiba.
Tantangan ketiga sebagai muslim di
Amerika adalah ketika bersosialsisasi. Tawaran makanan dari teman, pesta, dan
kebiasaan mereka yang berbeda kadang membuat canggung. Beberapa kali teman
sekelas saya mencoba memeluk sebagai ungkapan kebahagiaan, jika perempuan
mungkin tidak masalah. Akan tetapi laki-laki di sana juga melakukan hal yang
sama. Saya sering harus berusaha menghindar atau menolak dengan halus. Untuk
tawaran makanan pun sama, kadang untuk menjaga perasaan teman, atau tidak cukup
waktu untuk menjelaskan apa itu halal, saya suka mengatakan jika saya vegetarian.
Alhamdulilah selama di pesantren bekal ilmu agama
yang diberikan cukup banyak. Meskipun banyak godaan selama tinggal di sana ada
benteng yang melindungi. Di sinilah saya merasa ke-Islaman saya benar benar diuji.
Tidak ada yang mengingatkan kewajiban kita sebagai seorang hamba, sehingga
kesadaran diri akan tanggung jawab sebagai seorang muslim menjadi kuncinya.
Saya merasa bekal pertama yaitu ilmu agama dari pesantren Pabelan sangat
berharga.
Bekal kedua
Banyak yang menganggap lulusan SMA dan
SMK pasti lebih unggul dalam ilmu pengetahuan umum, saya pun awalnya
beranggapan sama. Setelah lulus MA, saya
sempat mengabdikan diri di pesantren selama satu tahun baru melanjutkan kuliah.
Saya mengambil jurusan manajemen di UIN Jakarta, sedang selama MA di Pabelan
saya mengambil konsentrasi IPA. Awal mula kuliah saya merasa minder karena dari
satu kelas yang berjumlah 40-an mahasiswa, hanya ada empat yang lulusan
pesantren. Sedang yang lainnya lulusan SMA dan SMK. Sebagai bekas anak IPA
tentu pelajaran sosial seperti ekonomi dan akuntansi menjadi hal yang baru, apalagi jika
berkompetensi dengan mereka yang sudah belajar sebelumnya. Ternyata ketakutan
saya tidak terbukti, meskipun harus belajar ekstra saat semester satu berakhir
nama saya ada di posisi lima besar. Selama di pesantren santri diajarkan untuk
belajar banyak hal dalam waktu yang singkat, dengan materi yang berbeda-beda.
Dulu ketika di Pabelan pagi hari setelah sholat subuh sudah harus belajar mufrodhat, atau praktik muhadasah. Terkadang sambil berolah raga
sambil menghafalkan mufrodat, setelah
itu santri belajar di kelas dengan materi pelajaran umum dan agama. Siangnya
kadang sudah kegiatan pengembangan skills,
sorenya ada tahfiz atau pengajian
kitab. Malamnya sudah ada pemberian mufrodat
atau pelajaran lain, begitu terus setiap harinya. Dari sinilah saya merasa
kebiasaan tersebut memudahkan saya dalam mempelajari hal-hal baru dan
belajar singkat dengan efektif.
Sama halnya ketika saya menjalani
kuliah, ada kegiatan Ma’had UIN, mengajar les private dan berorganisasi. Ketika besok ada tugas dan ujian
menanti, malam harinya saya masih harus memberikan les atau mengikuti kelas
pembinaan di Ma’had UIN. Anehnya ketika
tantangan semakin banyak, ketika banyak hal saling berhimpitan, prestasi
akademis saya justru semakin membaik. Alhamdulilah
hingga akhir kuliah ada beberapa prestasi akademis yang bisa diraih.
Bekal ketiga dan kelima.
Sebelum lulus dari UIN Jakarta saya
sudah mulai bekerja, awalnya ada dua tawaran yang potensial. Pekerjaan pertama linier dengan jurusan yang saya ambil di
universitas, sedang pekerjaan kedua terkait pendidikan. Saya lolos keduanya,
akan tetapi saya memilih terjun di bidang pendidikan. Tiga bulan setalah
bekerja saya lulus dari UIN, dan fokus mengembangkan karir, akhirnya belum satu
tahun bekerja saya sudah dipromosikan. Saya bekerja di sebuah lembaga
pendidikan bertaraf internasional yang mengusung konsep boarding intermodal. Awalnya tugas saya hanya sebagai guru di
asrama, setelah dipromosikan saya merangkap tugas sebagai tim muadib dan academic counselor.
Di sini bekal skills dan kreativitas dari Pabelan berguna dalam merancang salah
satu program sekolah, yaitu pilar interpersonal
skills. Hanya dengan pengembangan materi dan penyesuaian dengan kondisi
terkini, banyak ide yang bisa dihasilkan. Hidup di pesantren mengharuskan
santri berbaur dengan santri lain yang memiliki banyak perbedaan. Kemampuan
bersosialisasi menjadi hal yang wajib agar bisa bergaul dengan mereka yang berasal
dari suku atau daerah lain. Hal seperti ini terus berlanjut hingga tua, kita
akan selalu bertemu dengan orang orang baru dari berbagaimacam latar belakang.
Jika sudah terbiasa beradaptasi dengan perbedaan akan memudahkan kehidupan
sosial kita kelak.
Dulu ketika di pesantren santri yang
menjadi pengurus OPP ditugasi banyak hal, salah satunya adalah piket ruang
tamu. Terlihat sepele memang, akan tetapi sebenarnya kemampuan pembawaan diri
dan kecakapan komunikasi dengan orang yang berbeda usia, pendidikan, suku dan
lainya dilatih. Jika diperhatikan secara lebih teliti ada perbedaan dalam cara
komunikasi, susunan bahasa, pola pembawaan, tema obrolan, cara penyampaian dari
orang dengan latar belakang yang berbeda. Ketika menjadi academic counselor saya harus menjalin komunikasi yang baik dengan
orang tua dan wali murid dari berbagai latar belakang. Kemampuan ini menjadi
sangat penting, tentunya kita tidak mau salah berkomunikasi dengan mereka yang
memiliki jabatan gubernur, walikota, kapolda, direktur, ceo ataupun para
entrepreneur sukses yang pasti memiliki power dan pengetahuan yang luas. Salah
salah complain mereka bisa berujung
serius. Hal hal yang terselip di antara proses pendidikan santri Pabelan adalah
bekal-bekal yang nantinya berguna bagi kehidupan di masa depan.
Laboratorium
Kehidupan
Mega Saputra
Pabelan rahim para intelektual kelas
bangsa dan dunia dilahirkan. Dapur yang di dalamnya tercipta racikan-racikan
pemikiran progresif dan mencerahkan. Laboratorium kehidupan yang telah menempa
besi menjadi pedang, mengasah pisau tumpul menjadi tajam. Rumah idaman bagi
para musafir ilmu yang haus untuk memunuhi hasrat intelektual dan khasanah
keagamaan. Nama yang sama dengan tanah tempat kakinya berdiri mengisyaratkan
bahwa Pabelan adalah milik ummat dan untuk ummat. Melejitnya karir dan derap juang para
alumninnya tentu bagian dari model
pendidikan dan kekayaan value yang
dimiliki Pabelan.
Diskursus, kritik dan rekomendasi
persoalan institusi pendidikan termanivestasi dalam berbagai macam model pendidikan
ideal. Masyarakat modern yang telah melek teknologi dan informasi
berbondong-bondong selektif dalam memilih tempat pendidikan untuk anaknya.
Pendidikan dianggap sebagai investasi
masa depan yang kalkulatif dan pragmatis. Orangtua berharap anaknya akan
mendapatkan kehiidupan layak dan bekerja di tempat yang bergengsi setelah
menamatkan pendidikannya. Opini public
ini yang mewarnai realitas pendidikan kontemporer. Pendidikan jauh dari kata
memanusiakan manusia sebagaimana harapan
Paulo Freire dan pendidikan tercerabut dari akar filosofisnya sebagai kontruksi
kebudayaan sebagaimana cita-cita bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara. Lebih dalam lagi Ivan ilich mengangap bahwa
pendidikan kekinian menjadikan peserta didik tidak dapat membedakan proses dari
substansi sehingga muncul logika baru : semakin banyak pengajaran semakin baik
hasilnya, atau menambah materi pengetahuan akan menjamin keberhasilan sehingga
murid menyamakan begitu saja antara pengajaran dan belajar, naik kelas dengan
pendidikan, ijazah dengan kemampuan[3].
Kegelisahan masyarakat akan masa depan anaknya menyeret hasrat kedua orangtua
untuk membekali anaknya dengan ilmu-ilmu praktis dan aplikatif. Lalu bagaimana
dengan eksistensi Pesantren ?
Lembaran sejarah dan goresan tinta
emas keberadaan pesantren terekam jelas dalam pergulatan perjuangan kemerdekaan
dan pemajuan pendidikan di Indonesia. Pesantren yang dikenal masyarakat sebagai
lembaga penddikan agama terlahir dan berkembang dalam dua dikotomi yang
mencolok. Menjamurnya pesantren yang mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dan agama
atau yang biasa disebut dengan pesantren modern dan bertahannya pesantren
tradisional yang istiqomah dengan kajian kitab dan keilmuan Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Dalam
perkembangannya pendidikan tradisional yang menitikberatkan studinya pada
fiqih, tasawuf dan aqidah dianggap kurang mampu memberikan konstribusi konkret
bagi pergulatan dunia intelektualitas kekinian. Sehingga pengakuan masyarakat
pada pesantren tradisional sangatlah minim atas dasar kekhawatarin tentang
potensi keilmuan lulusannya yang bersumber dari pembelajaran yang dogmatis dan
monolog. Salah satunya tergambar dalam pandangan Abdurrahman Wahid :
“… hidup dipandang
sebgai ibadah, ajaran guru agama tidak dapat dibantah lagi karena ajaran ini
merupakan bagian dari ibdah; cinta terhadap doktrin Islam; dedikasi pada
masalah-masalah agama dan kesinambungan semangat santri. Nilai-nilai ditambah
dengan kedudukan mereka selain menjadi guru dan pemimpin pesantren sekaligus
pemiliknya, menempatkan para kiai sebagai pemegang kekuasaan mutlak di lingkungan
pesantrennya. Dengan perkataan lain, kiai dan para pembantunya merupakan
hirarki kekuasaaan satu-satunya yang secara eksplisit diakui dalam lingkungan
pesantren[4].
Seiring berjalannya waktu dan
kebutuhan masyarakat modern, dinamika pondok pesantren telah bertengger pada
pucuk kemajuannya dengan menampilkan wajah baru yang lebih modernis (kholaf, ashriyah). Masyarakat pelosok
negeri mengenal istilah pondok pesantren modern dari keberadaan Pondok Gontor.
Tidak ada definisi final tentang bagaimana pesantren patut disematkan label
modern. Pendidikan Islam memilki makna sentral dan berarti proses pencerdasan
secara utuh dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia akhirat atau keseimbangan
religious-spiritual[5]. Pesantren
modern telah menjelma menjadi institusi pendidikan yang kooperatif terhadap
perkembangan sains dan teknologi. Pembelajaran yang dipraktikkan telah
terwarnai oleh berbagai kriteria pembelaran humanis dan berbasis IT, kurikulum
yang digunakan juga telah merujuk pada ketentuan pemerintah dan penyediaan
fasilitas belajar baik teoritis maupun praksis yang memadai santri untuk
mengeksplore minat, bakat, skill dan keahliannya. Pondok pesentren Pabelan
adalah bagian dari pondok modern yang mulai menunjukkan eksistensi dan
kekhasannya di Indonesia.
Gambaran pesantren inilah yang terekam
dalam memori kedua orang tuaku, ayah
yang sempat mengecap pendidikan di pesantren salaf di daerah Cilacap dan ibu
yang warna pengetahuannya banyak bersumber dari sekolah Muhammadiyah di
Magelang. Melihat realitas pendidikan yang minim akan vitamin rohani akhirnya
sepakat untuk mengamanahkanku pada pondok pesantren Pabelan. Titik inilah
kemudian yang akan mengantarkanku dalam babakan baru kisah perjalanan dan perenunganku
tentang arti kehidupan di Pondok yang kerap disinggahi oleh santri-santri
kalong yang pemikirannya menjadi bagian dari genealogi berfikirku saat ini,
seperti, Cak Nun, Dawam Rahardjo, Mansour Faqih dan lainnya yang telah
berkiprah dalam percaturan dunia intelektual Indonesia bahkan dunia.
Relasi
Kemanusiaan Sejati
Bagai kubah raksasa hitam, langit
mendung memayungi kepergianku dari Jakarta ke tempat yang tak satupun gambaran
konkret pesantren bersamayam dalam pikiranku. Benakku selalu bertanya, bagaimana
mungkin aku harus berebut kamar mandi, berebut antri demi makanan yang mungkin
tak selezat masakan orang tuaku. Bersahabat dengan baju koko dan sarung
yang hanya akan mengurangi radius perilakuku yang hobby bermain dan bercanda
beserta kegelisahan lainnya yang mulai berkecamuk dalam diri. Roda bus
terus berputar seiring terbitnya mentari di kota yang terkenal dengan makanan
gethuk dan asal dari keajaiban dunia Borobudur. Kutatap kedua wajah orangtuaku,
berharap ada kesempatan negosiasi untuk memutar balik niat dan kembali ke
Jakarta dan cukup sekolah bersama kawan-kawan lamaku. Sayangnya, kemantapan
hati kedua orangtuaku untuk menyalamatkan anaknya dari pergaulan Jakarta dan
meng-uploud anaknya dengan ilmu agama
nampak serius dengan bekal makanan yang awet bertahan hingga beberapa minggu
untuk persediaan anaknya belajar. Pak kusir memacu kudanya, sejenak aku begitu
menikmati suasana desa yang asri serta nampak pematang sawah yang hijau tak
seperti tempat tinggalku Jakarta yang beratapkan kepulan asap polusi dan
beralaskan semen pembangunan yang
arogan. Berat bekal dan pakaian yang
dibawa kedua orangtuaku tak seberat kegelisahanku ketika mulai menatap gedung
berbilik dan bertembok di depanku. Pohon besar dan berakar memutar balik
memoriku tentang kisah-kisah menyeramkan yang sering berkeliaran di dunia
pertelevisian yang hiperrealitas. Tapi kenapa tidak ada pintu gerbang dan
pemisah dengan warga sekitar di pesantren ini.
Sejenak berjalan bersama keluaraga dan
beberapa orang yang mungkin kelak aku panggil bang akhirnya aku sampai di
tempat aku akan tidur dan memimpikan rumah asalku. Akhirnya, mereka benar-benar
meninggalkanku untuk belajar di sini, dengan lemari kayu yang penuh coretan
bahasa arab yang entah apa artinya. ‘ Mega
.. belajar yang bener,, jangan telat makan, kalo ada apa apa tanya kakak
kelasnya … kalimat ini yang akhirnya menjadi sekapur sirih dan menjadi awal
petualangan hidupku bersama santri lain. Suara kentongan mengema dilangit cerah
walau tak secerah diriku karena jauh dari orangtua. Kentongan yag biasa aku
berlari untuk mengejar maling justru berbalik aku harus berlari untuk mengejar
ridhoNYA dan melemparkan kepala ku kesajadah seraya berdoa ,, ‘Ya allah … kangen rumah ,, semoga betah disini … “. Jarum jam
tak pernah berhenti berputar, kawan-kawan baru mulai berdatangan dan berbagi
kisah kerinduan kampong halaman. pertemuan multi etnik dan multi cultural
inilah yang menjadi corak kekhasan tersendiri sebuah pondok pesantre. Lewat
dialog dan silaturahim kudapatkan berbagai pengetahuan baru tentng Sumatra,
Kalimantan, semarang dan hamper semua daerah diindonesia. Inilah pelajaran yang
tak harus kupelajari di bangku sekolah bersama guru IPS atau PKN. Kesaharian
dan kebersamaan dalam menjalani kehidupan
sebagai santri mengantarkanku pada hakikat kebhinekaan tunggal ika atau
secara theologies ada dalam surat Al Hujarat 13. berbagi bekal dari keluarga,
berbagi odol dan bantal mencerminkan relasi
kemanusian sejati.
Harmoni kehidupan ini yang kami terima
sebagai santri yang mungkin tidak semua anak Indonesia mendapatkannya
diseumuran kami. Lantunan syair Abu Nawas beriringan dengan tenggelamnya
matahari menorehkan cerita tersendiri bagiku. Setiap syairnya bagai cambukan
keras tentang hakikat manusia yang rendah tempat penciptanya. Tepat sekali jika
sirat At-tin meceritakan bahwa manusia adalah makhluk sempurna yang kemudian
akan jatuh dalam tempat yang serendah-rendahnya. Doa Abu Nawas kepada Tuhannya
mengajarkan santri untuk berkontemplasi dan berefleksi tentang kenaifan dirinya
dan keagungan Dzat-Nya. Derasnya air mata tak lagi terbendung dibumbui oleh
bayangan perjuangan kedua orangtua di rumah yang pada sepertiga malam mendoakan
kesuksesan anaknya menimba ilmu di pesantren. Wajah keduanya selalu napak dalam
kilauan sinar sore di langit seraya berkata, “ Naak .. ayah dan ibu bukan tidak sayang dan ingin mengucilkan kamu,
tapi pondok Pabelanlah yang kelak akan menempamu menjadi muslim sejati
penyelamat peradaban..”. Di luar asrama langit penuh bintang, detik
berganti menit begitupun minggu berganti bulan. Salam perpisahan tidak lagi
dapat dilupakan.
Beberapa kawan terdekat dan kawan
lainnya tengah bersiap merapihkan baju dan alat perlengkapan kesehariannya.
Mereka pergi dan memilih menempa diri di rumah dan lingkungan sekolah bersama
kawan lamanya. Satu persatu tekad
belajar di Pabelan mulai berjatuhan seiring jatuhnya daun cokelat pohon Sawo Bludru
depan asrama yang menghantui santri setiap piket sore. Inilah jihad sejatinya,
teringat pesan ustadzku di kelas ,, “ man
khoroja fii tholabul ilmi fahuwa fii sabilillahi hatta yarji’…” bahwa siapa
yang keluar untuk mencari ilmu dia sedang berjihad hingga ia berpulang.
Mahfudzot ini cukup menjadi pondasiku
dan kawan-kawan untuk yakin dan percaya bahwa jihad ini membutuhkan banyak
pengorbanan dan perjuangan. Bukankah Imam Ghazali pernah berkata dalam 6 nasehatnya bagi para
musafir ilmu, di antaranya orang yang ingin meraih ilmu haruslah orang
yang bertekad cerdas, memiliki bekal,
bersungguh-sungguh (man jadda wajada),
membutuhkan waktu lama, dan berkemauan
keras, tutur para murokib di asrama untuk memotivasi santri baru agar tetap
istiqomah menimba ilmu. Pesan kiai dalam
khutbatul iftitah juga selalu terpatri dalam sanubariku, meja yang kokoh akan
berdiri dengan 4 kaki penyangga jika kau hanya membuatnya dengan satu kaki
kelak meja itu tidak akan seimbang, begitupan dengan nyantri yang harus memilki
kemauan menyeluruh untuk menyelesaikan amanah belajarnya di pesantren.
Nyanyian malam tetap menjadi irama merdu
tersendiri yang dimiliki Pabelan. Jika di Jakarta terbayang suara klakson yang
membuat telinga dan pikiran penat, maka di Pabelan alunan nada jangkrik,
burung, kodok dan berbagai ciptaan-Nya kerap menemani malam santri yang
sesekali rindu akan kehangatan rumah di kampung halaman. Penyerbukan budaya dan
lalu lintas pemikiran yang plural menjadikanku santri yang akrab berteman
bahkan beberapa santri sudah kuanggap seperti keluarga sendiri. Keberadaan
santri yang berlatar belakang ekonomi majemuk tidak menjadi jurang berarti bagi
santri untuk membangun ukhuwah islamiyah sejati. Jika di kota-kota besar nampak
stratifikasi sosial kerap
memarginalkan kaum tertentu dan menjadikannya kelompok subordinat dan inferior,
maka tidak dengan santri yang terkadang mereka berbagi bantal dan tidur bersama
walau mimpi mereka tentang masa depannya berbeda. Sebelum mata terpejam candaan
dan berbagai kisah keseharian kehidupan pondok selalu menjadi dongeng
tersindiri bagi para santri. Bertukar kisah dan saling memberikan support mengajarkan kami bahwa muslim
satu dan lainnya adalah saudara (al-muslimu
akhul muslim) dan setiap muslim sejatinya bagaikan bangunan yang satu sama
lainnya harus saling menguatkan (al-mukminu
lil-mukmini kalbunyan yasuddu ba’dhuhu ba’dha).
Ketika rindu rumah mulai membeku,
tetap ada pendamping (murokib) yang
setia mendampingi dan mangayomi adiknya di asrama. Murokib tak ubahnya kedua
orangtua yang membakar spirit santri untuk tetap semangat belajar dan memanajemen
diri untuk disiplin dan bertanggung jawab. Asah asih asuh setidaknya semboyan
yang pantas santri sematkan kepada kakak murokib. Kesabarannya untuk membina
santri adiknya tak sebanding dengan hiruk pikuk warga Jakarta yang berebut
zakat dan daging korban hingga memakan korban
baru (manusia) setelah sapi dan
kambing. Jika kita mengenal istilah orang
tua atau ibu adalah sekolah yang pertama (madrasatul
ula), begitupun dengan murokib, mereka yang mengajarkan santri tentang
habituasi berbahasa Arab dan Inggris, menghafal mufradat, vocabularies bahkan menemani dan mendampingi santri saat
mengalami kesulitan baik persoalan belajar maupun privasi. Kekraban ini yang
menjadikan suasana pemindahan kamar terkadang jadi mengharu-biru dan dihujani
isak tangis santri, karena kedekatan santri dengan murokib dan kawan asrama
bagaikan keluarga baru. Bagaimanapun pemindahan kamar bagian dari sistem
persaudaraan yang dibangun di Pabelan supaya santri dapat mengenal lebih banyak
santri di kamar berbeda sehingga santri di pondok yang sempat dikunjungi oleh
pendeta dari lingkungan persekutuan gereja-gereja Asia (Christian conference of Asia) ini diajarkan untuk tidak menjadi eksklusif
melainkan menjadi santri inklusif, belajar untuk berubah dan siap menerima
perubahan lingkungan. Kelak di masyarakatpun santri dipertemukan pada suasana
kemajemukan.
Senyum mentari selalu menghangatkan
santri dalam melewati tahun-tahun tersulitnya mondok/nyantri. Kesetiaan persahabatan
bulan dan bintang serupa dengan ukhuwah
yang dirajut santri bersama hingga bertahun-tahun di pondok. Relasi kemanusiaan
tanpa basi-basi adalah predikat yang layak untuk perjalanan santri, tak seperti
basa-basi politisi yang akrab dengan konstituennya ketika kontestasi pemilihan
diselenggarakan. Selanjutnya kata rakyat hanya menjadi pemanis di deretan
kalimat visi misi mereka dan visi misi partainya yang kebusukan partai dan para
petingginya yang makin telanjang. Walaupun beberapa santri mulai tereliminasi
dari panggung kehidupan pesantren bak buah Mathoa depan Kalpataru yang kerap
berjatuhan dimangsa kelelawar dan petugas Bulis tapi keyakinan akan tali
persaudaraan tetap menjangkar dalam diri santri. Tebalnya kebohongan draft APBD dan APBN tidak akan
dapat menyaingi lembaran kisah manis yang dimiliki santri hingga Ujian Nasional
terakhir Madrasah Aliyah memisahkan kita untuk kembali dan berjuang di luar
pesantren hingga saatnya pulang ke Pabelan dan kembali bersama membangun
peradaban pesantren yang cerah dan
mencerahkan.
Nuansa
Pendidikan Holistik yang Transformatif
dan Humanis
Ketika esensi pendidikan telah
tercerabut dari akar filosofisnya dengan dikotomi pendidikan moral-agama
dan keilmuan teknis-pragmatis maka
pendidikan telah kehilangan elan
vitalnya. Ketika di banyak sekolah pendidikan
moral hanya berada di atas kertas lusuh buku teks agama atau PKN
maka tidak dengan Pabelan. Pendidikan dengan jargon dan berbagai tujuan
substansialnya terjemahkan dengan baik dan komprehensif di pesantren yang
sempat dikunjungi beberapa pastur Jesuit dari Federation Asian Bishop Conference
(FABC) untuk berdiskusi tentang hidup dan dialog untuk kemanusiaan (dialog for humanization). Stigma
masyarakat yang menyematkan santri sekedar pelajar bersarung dan berpeci akan patah melihat realitas pendidikan yang
berlangsung di Pabelan. Pandangan yang
menganggap pembelajaran pesantren monolog dan konvensional akan tergantikan
dengan wajah pendidikan pesantren yang kooperatif dengan dinamika kemajuan
IPTEk dan berbagai side skill yang
dibutuhkan dalam pergulatan masyarakat modern.
Integrasi antara ilmu umum dan agama
yang saat ini membumi dan bergaung di banyak institusi perguruan tinggi
sejatinya telah lama dipraktikkan di Pabelan. Ketika kiai berkata bahwa
pendidikan di Pabelan 100 % agama dan 100 % umum telah mempertegas progresivitas
paradigma pendidikan yang diusung Pabelan. Selain belajar nahwu saraf, mutholaah
dan pelajaran berbahasa Arab lainnya santri juga dipertemukan dengan berbagai
pelajaran umum seperti yang ada dalam jurusan IPS dan IPA untuk tingkatan Madrasah
Aliyah. Kebutuhan tentang kemampuan berbahasa misalnya, selain dipelajari di kelas,
kemampuan berbahasa secara praksis juga diwajibkan dalam keseharian santri.
Hidup adalah pendidikan (Life is
education ) menjadi motto tersendiri selama menjadi santri karena setiap
detiknya sejatinya santri berada dalam ruang dan sistem pendidikan 24 jam yang
didesain pesantren.
Setelah belajar seharian di kelas
dengan kontrol pendidikan diamanahkan kepada ustadz dan guru santri kembali ke asrama
dan bersiap untuk mengikuti les tambahan seperti pemantapan dan peningkatan (upgrade) kemampuan bahasa Inggris dan Arab
yang didampingi oleh kakak-kakak (akhi
kabir) pengurus Organsasi Pelajar Pondok. Pembelajaran tutorial sebaya (peer teaching) ini selain menjadikan
santri baru dan setingkatnya semakin mantap juga mendidik santri untuk belajar
menjadi pendidik sedini mungkin. Pembelajaran micro teaching ini memberikan kesan dan pengalaman tersendiri bagi
para santri yang merasakan bagaimana menjadi seorang guru. Pada hari yang
ditentukan, sore harinya santri belajar kitab kuning dan kitab lainnya seperti ta’limul muta’allim dan safinatunnnajah di masjid. Pembelajaran
kitab-kitab agama menjadi bukti bahwa Pabelan menegaskan begitu pentingnya
pelajaran basic agama berbahasa Arab
yang membahas fiqih, nahwu sharaf dan pelajaran Islam klasik lainnya.
Beberapa pesantren alergi dengan
kebudayaan modern seperti seni musik, teater dan lainnya, Pabelan justru membuka
peluang bagi santri yang memang berbakat dan berkeinginan menemukan dan
mengoptimalkan potensi dirinya di bidang seni, budaya dan olahraga. Filosofi
kolam kunci yang ada tepat di belakang rumah kiai adalah simbol bahwa para
santrilah yang memegang kunci dan Pabelan menjadi lubang kunci tersebut. Maka
secara bebas santri berhak mengoptimalkan potensi dirinya dengan kemauan yang
sungguh-sungguh. Ketersediaan fasilitas yang mencukupi bahkan dinilai istimewa
ketimbang pondok lain seperti, lapangan basket, bulu tangkis, lapangan sepak
bola, studio band, sanggar seni telah menempatkan pesantren sebagai fasilitator
dan santri sebagai subjek pendidikan. Santri tidak buta terhadap berbagai
perkembangan bidang-bidang tersebut. Bahkan di beberapa kesempatan, aku dan
kawan-kawan terlibat dalam pembuatan film Ketika
Cinta Bertasbih (KCB) I dan II yang konon film pertama yang syuting di
Timur Tengah. Persinggungan pesantren dengan beberapa budayawan dan satrawan
seperti, Cak Nun (Emha Ainun Najib), Ajip Rosidi, sutradara kawakan Chairul
Umam, budayawan Umar Khayam, maestro lukis Afandy telah memberikan warna
tersendiri bagi perkembangan seni budaya di lingkungan pesantren.
Keberanian berorasi yang sampai ini
aku rasakan manfaatnya berasal dari kegiatan mukhadoroh dua minggu sekali yang
diselenggarakan pondok. Melatih retorika, mental dan keberanian menyampaikan
gagasan telah menempa diri santri sebagai insan kritis, berani, dan bertanggung
jawab. Walaupun harus berdiri di pinggir pembatas kuburan dan di atas pembatas
jalan bahkan kerap di ruang kelas kosong dan gelap karena tidak maksimal saat
berpidato, bagi santri itu adalah bagian dari penggemblengan yang wajar dan
mendidik. Memoriku masih merekam ketika aku berkesempatan tampil di panggung
megah perayaan milad pondok dengan
berpidato Bahasa Indonesia dan mewakili Kabupaten Magelang dalam perlombaan
pidato pesantren tingkat Jawa Tengah. Utlubul
ilma walau bissin ‘tuntutlah ilmu
sampai negri Cina’ adalah pepatah Arab yang memacu santri untuk belajar ke luar
negri hingga beberapa santri berhasil mengecap
program pertukaran pelajar di Jepang, Amerika dan beberapa negara lain.
Kemampuan manajerial santri dapatkan
dengan berlatih dan menempati berbagai struktur di kepengurusan organisasi baik
dari tingkat rayon sampai OPP. Penempaan daya tanggung jawab (responsibility) santri akan amanahnya
terwujud dalam pelaksanaan program-program organisasi di masing-masing
tingkatan. Kemampuan administrasi dan pengelolaan sumber daya organisasi santri
dapatkan langsung dengan menjadi pengurus. Pendidikan pesantren yang sangat
dinamis dan adaptatif dengan kebutuhan zaman ini menunjukkan bahwa Pabelan
berdaya saing global dan melahirkan lulusan yang berfikir sesuai dengan konteks
zamannya dengan bingkai pemikiran yang islami dan modern. Keunggulan pendidikan
dalam mentransformasikan gagasan filosofis ke dunia kehidupan santri menjadikan
santri akrab dengan realitas masyarakat pesantren sebagai miniatur realitas
masyakat tempat ia berkarya kelak.
Pendidikan yang humanis dan tranformatif ini kemudian menjadikan santri
dapat pengenal identitas dirinya, makna dan tujuan hidupnya di masyarakat serta
posisinya sebagai khalifatullah fil ardi.
Membiasakan
Berjiwa Terbuka
Lutfi Hani Kusumawati
Pabelan tempat saya dibesarkan. Tempat
saya mengerti berbagai hal. Pabelan, pondokku ibuku memang benar adanya.
Pabelan selayaknya ibu bagi saya karena di sinilah saya tumbuh besar dan
mempelajari berbagai hal. Saya belajar di Pabelan selama 7 tahun, saya masuk
tahun 2003 dan lulus tahun 2009 serta mengabdi selama satu tahun. Maka dari itu
bisa dikatakan saya besar di Pabelan. Saya mengetahui Pabelan dari saudara dan
tetangga saya. Awalnya saya ragu untuk masuk ke balai pendidikan ini namun
untuk membahagiakan orang tua saya, akhirnya saya mencoba untuk belajar hidup
mandiri di sini. Memang tidak mudah untuk hidup mandiri di lingkungan yang baru
dan jauh dari orang tua, terlebih lagi dengan umur yang bisa dikatakan masih
kecil. Namun seiring berjalannya waktu satu, tiga, lima bulan bahkan
bertahun-tahun saya bisa melewati hari-hari nyantri di sini.
Sekilas teringat masa lalu pertama
masuk ke Pabelan. Bertemu dengan teman yang mempunyai backgroud budaya dan kebiasaan yang berbeda, seperti dari Sulawesi,
Kalimantan, Aceh dan lainnya. Memang terlihat sulit hidup bersama orang yang
mempunyai kebiasaan dan bahasa yang berbeda. Namun, seiring berjalannya waktu
beradaptasi kami belajar bahwa kita itu sama, sama-sama jauh dari orangtua, dan
sama-sama menuntut ilmu dan yang paling penting kita mempunyai agama yang sama.
Jika mengingat dulu ketika masih
nyantri banyak sekali hal baru saya temui. Tentang bagaimana mengatur waktu,
bagaimana mengatur keuangan sendiri, bagaimana cara menyelesaikan masalah
sendiri. Ketika itu ada pendamping kamar ada yang membantu segala macam. Tapi
bagaimanapun juga mereka bukan orang tua kami, jadi kita harus belajar
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Ya kira-kira begitu yang saya rasakan
pertama kali. Setiap hari tanpa diajarkan kami belajar mulai dari hal-hal
kecil. Dan dari masalah ataupun kendala- kendala yang dialami, kami belajar problem solving.
Tidak mudah memang anak lulusan
Sekolah Dasar hidup sendiri jauh dari orang tua. Perlu waktu memang untuk
bertahan hingga tujuh tahun. Saya ingat ketika khutbatul iftitah yaitu khutbah perkenalan, pak kiai mengatakan
intinya jika tidak satu tahun belum betah ya dicoba hingga dua tahun; dua tahun
belum betah maka dicoba satu tahun lagi hingga
tiga tahun dan seterusnya. Memang betul apa yang dikatakan pak kiai
Najib yang biasa kita sapa dengan bapak, karena beliau memang seperti bapak
kami. Saya mencoba teori beliau dan ternyata itu benar, akhirnya saya di sini
betah hingga tujuh tahun karena mengabdi satu tahun untuk pondok. Mungkin pemikiran itulah yang membuat saya
betah di Pabelan bahkan sering kangen untuk mengulang masa-masa menjadi santri.
Khutbah-khutbah yang disampaikan pak kiai
memberi pengaruh positif untuk setiap santri. Terkadang memberi motivasi,
dengan berbagai cerita yang dikupas dengan bahasa yang mudah dipahami oleh
santri. Dulu kami, para santri tidak pernah merasa ngantuk ketika khutbah
beliau. Bisa dikatakan masing-masing beliau mempunyai ciri khas sendiri dengan
aksen khasnya. Setiap kiai mempunyai cara yang berbeda untuk memberi wejangan
para santri. Dari berbagai wejangan dan khutbah-khutbah itulah kami mendapatkan
banyak pelajaran.
Berdasarkan pengalaman saya, pak kiai
mempunyai ciri khas dalam menyampaikan khutbah. Dari yang saya ingat pak kiai
Balya ketika menyampaikan khutbah, cara penyampaiannya seperti seorang
politisi. Ketika saya mendengar khutbah beliau, saya seperti mendengar seorang
politisi sedang berbicara. Karena kekhasan tersebut kami para santri pasti
mengingat beliau dengan hanya mendengar suaranya saja kami sudah tahu bahwa
beliaulah yang sedang berkhutbah. Sedangkan yang saya ingat dari kiai Ahmad
yaitu, gaya bercandanya. Tentang bagaimana menasihati para santri putri untuk
tidak berpakaian seperti “barbie”.
Itulah salah satu nasihat yang saya ingat dari kiai. Karena nasihat beliaulah
sampai sekarang alhamdulilah saya
masih istiqomah dengan jilbab, meskipun belum sempurna seutuhnya.
Kemudian Kiai Najib yang biasa kami
para santri dengan “Bapak”. Panggilan ini biasa terdengar namun sarat akan
makna. Kami santri putri, karena asrama kami terletak dekat dengan rumah pak kiai
mungkin kami merasa lebih dekat dengan beliau dan otomatis kami lebih sering
bertemu dengan beliau. Sekilas mengingat nasihat dan wejangan beliau kami
banyak diajarkan menjadi santri yang berwawasan luas ataupun open
minded. Khutbah-khutbah hampir tidak pernah membuat kami mengantuk. Ada
saja cerita-cerita lucu ataupun membagi cerita pengalaman-pengalaman alumni
terdahulu agar kita termotivasi menjadi orang yang berguna di masa mendatang.
Banyak sekali kenangan ataupun hal
yang kami ingat meskipun saya sudah lulus sekitar kurang lebih lima tahun yang lalu.
Dengan banyaknya kenangan itu, ketika bertemu dengan teman-teman alumni ada
saja yang kami perbincangkan. Mungkin ini terlihat sepele namun ketika dilihat
dari sudut pandang lain, maka Pabelanlah yang menyatukan kami. Pabelan adalah
tempat yang tidak bisa kami lupakan. Banyak pengalaman yang tidak bisa saya
beli dengan uang. Semua wejangan pak kiai, pelajaran di sekolah, dan hal-hal
yang kami dapatkan di asrama memotivasi saya untuk maju.
Dulu ketika di Pabelan, saya bukanlah
santri yang banyak mencetak prestasi. Di kelas saya seperti murid yang lain
dengan kenakalan yang wajar pada umumnya. Namun saya diberi kesempatan oleh Pabelan
untuk pergi ke Negeri Matahari Terbit. Faktor “Bejo” memang ketika saya mendapatkan kesempatan itu. Ucapan terimakasih
pun tidak cukup untuk membalasnya, maka dari itu pengabdian satu tahun itu saya
dedikasikan untuk Pabelan sebagai bentuk
terimakasih. Juga terimakasih kepada teman-teman untuk hingga memilih saya
mengemban amanat tersebut.
Saya tidak tahu kenapa saya dipilih
teman-teman untuk pergi ke Jepang karena ada beberapa kandidat. Bahkan secara
akademik mereka lebih pintar dari pada saya. Tapi mereka malah memberikan
kesempatan kepada saya. Ketika saya dipilih keberanian dan percaya diri adalah
alasan saya untuk menerima tawaran tersebut. Dengan motto Pabelan “Berwawasan luas” kami diajarkan untuk
mencari, mengetahui, dan mempelajari segala sesuatu yang ada. Meskipun background kami yaitu pesantren, bukan
berarti kami hanya mempelajari agama saja, namun kami diajarkan untuk menjadi
orang yang open minded seperti yang saya katakan sebelumnya.
Pabelan tidak seperti sekolah-sekolah
lain. Mereka mengutamakan akedemik. Namun di Pabelan kami mendapatkan ilmu
secara akademik dari sekolah dan juga mendapatkan pelajaran agama bahkan hingga
pelajaran hidup. Memang secara akademik kami kalah dengan kebanyakan murid dari
luar sana yang berprestasi akademik bagus, namun kita tidak hanya diajarkan
untuk menjadi pintar, melainkan diajarkan untuk menjadi orang yang bijaksana.
Karena di Pabelan kami tidak diajarkan ilmu dunia saja melainkan akhirat juga agar
keduanya seimbang.
Di sekolah kami diajarkan ilmu
pengetahuan umum seperti sekolah-sekolah lain. Di dalam asrama kami diajarkan
ilmu agama, mengaji dan mengkaji Al’quran. Kami juga belajar mandiri karena
segala sesuatunya kami kerjakan sendiri. Di sekolah kami seperti murid pada
umumnya, kami mempelajari ilmu sosial, ilmu alam, matematika, science dan lain-lain. Namun diajarkan
juga kurikulum KMI (Kulliyatul Muallimin
Al islamiyah) yang tidak didapatkan di luar sana. Rutinitas asrama juga
merupakan suatu pembelajaran untuk kami, para santri. Apa yang kami lakukan
setiap harinya bermanfaat untuk kedepannya. Tentang bagaimana mengelola waktu,
bagaimana menyeleseikan masalah sendiri dan bagaimana cara untuk menjadi oleh
yang lebih baik setiap harinya.
Jika saya lihat santri Pabelan, mereka
mempunyai karakteristik tersendiri. Entah kenapa dulu ketika kami pergi ke
suatu tempat, ke Magelang atau Muntilan, orang yang melihat kami tahu bahwa
kami santri Pabelan. Padahal ketika kami pergi kami tidak memakai almamater Pabelan.
Tentu dalam diri kami ada karakter santri Pabelan, rumah yang tidak pernah kami
lupakan. Mungkin memang ada yang mengatakan kami nakal, sering melanggar
aturan, tapi ketika kami keluar dari lingkungan pondok kami tahu bagaimana berlaku sopan santun, dan
menjaga nama baik Pabelan.
Hal-hal seperti ini kami dapatkan di sekolah,
namun kami mendapatkan banyak pelajaran hidup dalam lingkungan berasrama. Kami
diajarkan untuk menjadi orang yang ringan tangan bukan panjang tangan. Kami
diajarkan menjadi orang yang peduli kepada sesama. Dengan belajar berorganisasi
kami juga mendapatkan banyak pengalaman dan pelajaran. Bagaimana menjadi
pemimpin dan panutan untuk adik-adik. Bagaimana membuat aturan agar kegiatan di
pondok berjalan dengan lancar, bagaimana menyelenggarakan acara hingga sukses
selayaknya seorang event organizer
dan bagaimana kami menjadi pendamping kamar yang siap menjadi kakak untuk
adik-adiknya di asrama.
Semua pelajaran hidup itu kami
dapatkan dari Pabelan, maka tidak heran kalau kami menyebut Pabelan sebagai “ibuku”. Pabelan membesarkan kami,
mengajari kami berbagai hal, memandang masalah dari berbagai sudut dan
mengajari kami mengenal dunia. Kenapa? Opini menyebutkan bahwa kebanyakan
santri itu kolot, mereka hanya mengetahui ilmu agama saja. Namun tidak untuk
santri Pabelan, opini tersebut salah. Di sini kami diajarkan berbagai hal. Kami
juga tidak buta internet ataupun teknologi lainnya, karena Pabelan adalah
pondok pesantren modern yang membuka segala pintu pengetahuan.
Ketika
kami lulus dari pesantren kami tidak menjadi orang yang “gumunan”. Saya
diterima kuliah di universitas yang tidak mempunyai background agama Islam. Apa yang saya dapatkan dari Pabelan tidak saya
lupakan. Contohnya pengalaman berorganisasi. Organisasi yang saya ikuti di Pabelan
sangat bermanfaat. Pasti sebagai mahasiswa tidak luput dari kegiatan
organisasi. Saya berusaha mempelajari setiap apa yang saya temui, saya bisa
lebih dewasa menyikapi masalah dengan sendirinya tanpa merepotkan siapapun. Ya
masalah itu mendewasakan kita. Saya
teringat dengan kata mutiara yang tertulis di salah satu bangunan di Pabelan
ketika itu tulisanya menggunakan bahasa Inggris, kata mutiara dari Salahuddin
Al-Ayyubi, seorang pejuang tersohor pada masanya yang kurang lebih seperti berikut ini: 1. Saya
meminta kekuatan, dan Allah memberi saya kesulitan untuk membuat saya kuat; 2.
Saya bertanya tentang kebijaksanaan, dan Allah memberi saya masalah untuk
diselesaikan; 3. Saya meminta untuk kemakmuran, dan Allah memberi saya tenaga
untuk bekerja; 4. Saya meminta keberanian dan Allah memberi saya bahaya untuk
diatasi; 5. Saya meminta cinta, dan Allah memberi saya orang-orang yang
bermasalah untuk dibantu; 6. Saya meminta nikmat, dan Dia memberi saya peluang;
7. Saya tidak meminta apa-apa untuk diri saya, tetapi saya menerima semua apa
yang saya butuhkan.
Itu salah satu kata mutiara favorit
saya yang ada di Pabelan. Secara tidak langsung kata mutiara ini mengajarkan
kami, santri mengenai satu hal yaitu kekuatan sebuah doa. Hinga sekarang kata
mutiara ini memotivasi saya untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat, dan
berfikir positi setiap harinya. Ya begitulah kira-kira bagaimana sebuah tempat
mengingatkan akan hal yang baik. Ketika santri menginjak kakinya keluar dari Pabelan,
mungkin status kami bukanlah santri lagi, tapi secara etika kami masih seorang
santri. Memang tidak semua orang sempurna dan mempunyai sisi baik, tapi
setidaknya kami bisa menempatkan diri pada tempatnya. Saya keluar dari Pabelan
mengikuti kemauan saya di bidang apa yang saya sukai. Memang dari dulu sejak di
Pabelan saya menyukain film dan hobi saya adalah menonton film. Mungkin itu
salah satu alasan mengapa saya menyukai bidang studi sastra Inggris d
Universitas Dian Nuswantoro. Dengan bekal bahasa Inggris yang diajarkan di Pabelan
saya mengikuti minat tersebut. Ketika saya mengambil jurusan sastra kedua orag
saya tidak setuju dengan ini. Mereka menginginkan saya kuliah di bidang
managemen.
Perbedaan pendapat antara orang tua
dan anak wajar terjadi. Kedua orang tua saya menginginkan itu mungkin ingin saya
menjadi seperti mereka, wirausaha. Tapi semua itu mengingatkan saya ketika
pertama kali saya tidak mau dipesantrenkan di Pabelan yang akhirnya betah.
Pasti kedua orang tua saya bahagia mendengar anaknya betah di tempat yang bisa
dipercaya. Saya alumni tahun 2009. Lebih dari empat tahun setelah keluar dari pabelan kami
belum menjadi apa-apa. Saya mahasiswi biasa yang setiap harinya berangkat
kuliah, melakukan kegiatan di kampus ataupun luar kampus. Saya masih tahap
belajar mengenal dan memperbanyak pengalaman. Seperti mahasiswi biasa yang
sebagian waktunya untuk kuliah dan sebagian waktunya untuk bekerja sebagai les privat anak-anak begitu sampai di rumah
dengan gaji tidak seberapa yang penting bisa mengisi waktu luang dan berbagi
ilmu. Kadang saya juga belajar enterpreneur
mengikuti saran orang tua. Tapi apa salanya untuk mencoba hal-hal yang baru,
dan pastinya pengalaman semakin banyak.
Kegiatan di luar kampus juga membantu
saya untuk menemukan jati diri. Bergabung dalam sebuah perkumpulan relawan dan
melakukan berbagai kegiatan menolong sesama. Mengenal dunia dengan teman-teman
dari berbagai kalangan dan dari penjuru dunia. Bertemu dengan teman-teman
dengan perbedaan agama, budaya dan negara terkadang mereka sering bertanya
kepada saya. Kenapa saya memakai hijab dan kenapa dulu saya mau bersekolah di tempat
yang menurut mereka tidak bebas. Pertanyaan-pertanyaan dari teman seperti itu
yang sering dilontarkan kepada saya. Namun patut disyukuri karena mereka sama
sekali tidak mengucilkan saya yang memakai kerudung, bahkan setelah itu ada
beberapa yang tertarik dengan Islam.
Pabelan bukan satuk-satunya pondok
pesantren modern yang terbaik. Namun tempat ini mengenalkan dan mengajari
banyak saya tentang kehidupan. Pabelan mempunyai tempat sendiri di hati saya.
Terus belajar dan menggali berbagai hal untuk mecapai titik tertinggi entah itu
kebahagiaan dan kesuksesan menurut kita karena ukuran kebahagiaan dan
kesuksesan setiap manusia itu berbeda. Ada yang ketika dia mencapai ketinggian
500 kaki dia sudah merasa bahagia, namun ada juga manusia yang sudah mencapai
ketinggian 1000 kaki dia belum merasa puas hingga dia bisa menaklukan dunia.
Satu yang terpenting untuk kita semua yaitu senantiasa mensyukuri karena hal
yang sangat membahagiakan. Jangan pernah menyerah dalam menggapai keinginan dan
lakukan yang terbaik setiap harinya.
Pabelan telah membawa saya melihat
dunia dan membesarkan saya dari kecil hingga sekarang. Terima kasih Pabelan
yang selama tujuh tahun memberikan berbagai hal yang tidak bisa saya lupakan dan
dibeli dengan uang. Terimakasih atas kenangan-kenangan indah yang tidak bisa
saya lupakan. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua. Selamat ulang
tahun Pabelan yang ke-50. Usia 50 tahun bukan hanya sekedar angka, namun inilah
Pabelan yang selama itu mencetak orang-orang yang luar bisa. Semoga di usia 50
tahun ini Pabelan semakin maju dan berjaya hingga seribu tahun lagi dan tetap
menjadi Pabelan yang hebat di mata saya dan orang-orang yang mencintanya. Terima
kasih pondokku, ibuku...
Angkatan
2011-2015
Jatidiri
dari Asrama
Agusviani Nurhayati
Pabelan dalam Pandangan Santrinya
Sebelum masuk
Pondok Pabelan saya kira ia sekadar
Pondok Pesantren yang terfokus mengajarkan ilmu agama saja, ternyata perkiraan
saya meleset jauh. Setelah merasakan enam
tahun nyantri di Pabelan saya mengerti apa itu Balai Pendidikan Pondok Pabelan. Kebebasan
berpikir yang disediakan luas di sana menjadikan saya mengerti bahwa
Pondok Pabelan ialah Pondok kehidupan bukan sekedar mengajarkan ilmu agama dan umum, tapi
mendidik santri untuk mengenal diri seutuhnya sebagai manusia dengan segala
fitrah yang Allah SWT anugerahkan kepadanya. Singkatnya Pabelan adalah sebuah
Pondok kehidupan yang memanusiakan manusia.
Meskipun menghabiskan enam tahun,
namun belum cukup untuk menyerap nilai-nilai yang dimiliki oleh Pabelan. Baik
pengajaran teori yang diberikan di kelas maupun pengajaran yang diberikan di
asrama oleh Pak Kiai. Khutbah, nasehat, dan kegiatan-kegiatan yang dijalani
saat nyantri sama sekali belum mampu saya ambil pelajarannya saat itu juga.
Meskipun begitu, bukan berarti saya tidak mendapatkan apapun dari sana, justru
semuanya masuk ke dalam ingatan yang akan terus teringat sampai kapanpun. Saya
tidak tahu apa itu Pabelan selama nyantri, yang saya tahu hanya menghafal Panca
Jiwa Pondok, sejarah pondok, hafalkan lagu-lagu Pondok, hafalkan pelajaran KMI
dan mendengarkan khutbah. Bukan tidak mau memahami ataupun mencari tahu, hanya
saja tinggal di Pabelan merupakan hal yang membahagiakan, sehingga saya begitu
menikmati setiap momen. Masalah nilai-nilai apa yang akan saya dapatkan tidak
terpikirkan sama sekali.
Tidak mudah menemukan arti Pabelan
yang utuh, saat begitu banyak sudut pandang dari santri, alumni, ustadz/ah,
wali santri, dan warga sekitar membuat bingung. Setelah keluar dan memikirkan
apa yang dialami di sana serta mengingat penilaian pabelan dari banyak sudut
pandang barulah menemukan apa itu Pabelan dan mengapa KH. Hamam Dja’far
merancang Pondok Pabelan sedemikan rupa dan melekatkan Panca Jiwa Pondok di
dalamnya. Semenjak masuk Pondok Pabelan, bobot badan naik karena bahagia bisa
mandiri sehingga hati dan pikiran saya terbebaskan. Topik pembicaraan
sebenarnya bukan naiknya bobot badan saya, melainkan tentang bagaimana rasa
ikhlas dan menerima akan mempermudah proses penanaman ilmu seperti lahan subur
yang siap ditanami benih. Memang tidak akan langsung tumbuh dan berbuah tapi
pasti tumbuh dan berkembang dengan baik hingga akhirnya menghasilkan buah
berkualitas baik. Itulah yang telah Pabelan lakukan kepada saya dan semua
santri, baik disadari maupun tidak. Jadi, hal pertama dan yang paling utama
dalam proses tholabul ‘ilmi di Pondok
Pabelan adalah niat, baik niat santri maupun wali santri dan akad yang
menyatakan percaya sepenuhnya kepada Pondok untuk merelakan putra-putrinya
dididik Pabelan.
Pendidikan yang terjadi di Pabelan
sebenarnya bukan di kelas maupun ujian-ujian, itu semua adalah formalitas.
Pendidikan yang sesungguhnya adalah serangkaian kegiatan di asrama. Bukankah
kenangan di asrama itu yang selalu diingat oleh semua santri baik yang masih
nyantri maupun yang sudah alumni?
Bermasyarakat merupakan hal mutlak
yang dijalani manusia. Dalam bermasyarakat setiap pribadi harus mempunyai
kemerdekaan atas dirinya sendiri tanpa mengganggu orang lain agar tidak taklid dan mudah dipengaruhi oleh hal
yang tidak sesuai dengan prinsip hidup. Dia pun harus merdeka dari ikatan yang
dipaksakan dan ikatan yang tidak mencerminkan siapa dirinya sebenarnya. Inilah
yang ditanam kiai yang mengakar kuat hingga saat ini, yaitu mendidik santri
agar kuat kepribadiannya sehingga mereka siap dengan kehidupan tak terduga yang
akan dihadapinya setelah keluar dari Pondok. Santri dididik agar menjadi
pribadinya sendiri dan bukan pribadi yang ditempeli dengan nama ‘orang tua’
maupun ‘kelompok’. Status sosial apapun yang dimilikinya tidak akan
menjadikannya merasa tinggi ataupu merasa rendah di masyarakat.
Di Pabelan, seluruh penghuninya
dipaksa untuk melepas segala atribut partai ataupun golongan karena di sini
sangat terbuka serta menerapkan kebebasan jiwa sebebas-bebasnya sebagaimana
Islam memandang sebuah kebebasan. Pabelan sangat jauh dari yang namanya
kesenjangan sosial ataupun elitisme pergaulan, baik sesama santri, santri
dengan para pengajar, santri dengan para kiai, santri dengan penduduk sekitar,
bahkan antara santri dengan tamunya (bahkan terjadi komunikasi yang baik dengan
Seminari Magelang). Tidak ada yang namanya
‘saya NU’ atau ‘saya Muhammadiyah’ tidak juga PAN, PKB, PPP, GOLKAR, ataupun
PDIP. Saat keluar memilih untuk berorganisasi di partai politik ataupun ormas
tertentu seperti NU dan Muhammadiyah tidak
menjadi masalah karena yang mengambil keputusan, mempertimbangkan baik
dan buruknya adalah dirinya sendiri. Semuanya sama, sama-sama mengantri mandi
di Hamko bukan di shower apalagi air
hangat, sama-sama sarapan Tahu berenang dan gumbingan, sama-sama harus cuci-setrika
sendiri bukan laundry. Di Pondok ini
hanya ada ‘Saya Muslim, Tuhan saya Allah, dan Nabi saya Muhammad SAW’. Salah
satu nilai penting dari sini adalah menjauhkan santri-santrinya dari sifat
sombong yang amat dibenci Allah SWT.
Menurut pandangan saya, pendidikan
kesetaraan di Pondok Pabelan merupakan metode yang tepat untuk menemukan
kebenaran sejati, menemukan Allah SWT di dalam dirinya (man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu), menemukan kebebasan dalam
berpikir. Mungkin itu juga mengapa KH Hamam Dja’far tidak memaksakan nilai
harus pakai jubah melainkan lebih menekankan pada pakaian sopan dan menutup
aurat. Beliau tidak mengutamakan tampilan fisik melainkan adab sopan santun.
Karena sekali lagi Allah tidak menilai manusia dari pangkat, harta, terlebih
lagi pakaian. Allah SWT menilai manusia dari hatinya, apakah berkiblat dan
meng-esakan-Nya atau tidak dan Allah SWT memberi tingkatan kepada
hamba-hamba-Nya berdasarkan ketakwaan.
Keseluruhan Pondok Pabelan adalah
satu paket pendidikan kehidupan manusia yang sangat manusiawi. Tidak ada
doktrin, tidak membentuk santri sesuai keinginan Pondok (misalnya harus hafal
Al-Quran) tapi mengarahkan santri untuk menemukan jadi-dirinya sendiri lengkap
dengan karunia masing-masing. Itulah mengapa banyak kegiatan di Pondok yang kadang
membuat kita tak habis pikir “Kok banyak
sekali sih?” Sekali lagi KH. Hamam Dja’far seperti hendak memberikan ruang
seluasnya kepada santri untuk mengenali potensi dirinya sendiri. Bukankah
manusia seperti pohon yang hanya berbuah satu macam saja namun sangat spesial
dengan manfaatnya masing-masing? Setelah mereka temukan, mereka harus
mengembangkannya. Pabelan hanya memberi ruang.
Lulus dari Pabelan dan memikirkan
semua yang pernah dialami, sudah tak tersangkal lagi begitu banyak pengajaran
yang ditanamkan Pabelan dalam diri saya tentu dengan izin Allah SWT. Rasanya
seperti diingatkan bahwasa (1) Saya ‘manusia’ adalah rahmatan lil’alamin yang harus menebarkan kasih sayang Allah di
bumi-Nya ini. (2) Saya ‘manusia’adalah pemimpin ‘kullukum roo’in’ setiap kamu adalah pemimpin yang akan mempertanggungjawabkan
kepemimpinannya kelak. (3) Saya ‘manusia’ adalah makhluk ciptaan Allah yang
sempurna karena diberi akal dan hati juga diberi kelemahan dan kelebihan. (4) Saya
‘manusia’ adalah makhluk Allah yang spesial karena diberi hak prerogatif bahkan
tidak Allah usik sama sekali, yaitu ‘Hak
untuk memilih’ yang darinya kita dibebaskan untuk memilih baik atau buruk,
iman atau kafir, serta surga atau neraka. (5) Saya ‘manusia’ diciptakan dengan
nafsu di dalamnya yang dengan penuh perjuangan saya kendalikan agar tidak
diperbudak olehnya.
Dari kesetaraan tercipta
kesederhanaan lantas dari kesederhanaan terbentuk sikap ikhlas, ridho, Qona’ah dan terlatih mengendalikan nafsu.
“Kesederhanaan” salah satu dari Panca Jiwa Pondok (rumusan nilai-nilai
kehidupan) memiliki banyak nilai di dalamnya yang direalisasikan hampir di setiap
kegiatan berasrama. Bagaimana dengan empat lainnya? Pernahkah kita para santri
maupun alumni merenunginya? Kegiatan dianggap remeh, sehingga tidak kita coba
mencari maknanya. Manusia cenderung pada sifat membanding-bandingkan yang
akhirnya menutupi atau menghalangi kita menemukan nilai-nilai baik di dalamnya.
Adakah yang merenungi mengapa Pabelan diformat KH. Hmam Dja’far ini seperti
ini? Apa maksud kegiatan yang kita jalani? Renungi saja betapa banyak nilai
terkandung dalam Panca Jiwa Pondok. Pabelan dari dulu sampai sekarang tidak
berubah menurut saya, sama-sama memanusiakan manusia. Selama Panca Jiwa Pondok
dipegang erat, maka Pabelan akan terus menjadi Pabelan Pondok kehidupan. Subhanallah. Semoga AllahSWT ridho
kepada KH. Hamam Dj’far dan menaikkan derajat beliau. Amin.
Ngelmu
Iku Lakune Nganti Kelakon
Kurang
lebih begitulah falsafah Jawa yang mengandung nilai bahwa ilmu tidak ada
artinya jika belum atau tidak diamalkan. Sama halnya dengan mahfudzat yang
berbunyi “Al’ilmu bilaa ‘amalin ka
assajari bilaa tsamarin” yang bermakna ilmu yang tidak diamalkan seperti
pohon yang tidak berbuah. Untungnya ilmu yang ditekankan di Pabelan tercinta
ini bukan ilmu pengetahuan dan teori saja, tapi lebih kepada yang sering saya
sebut di awal yaitu ilmu kehidupan. Jadi, pasti akan berbuah karena selalu
diamalkan selama yang memegang ilmu itu masih menjalani kehidupannya. Santri
tidak tahu bagaimana esok, akan menjadi apa, juga pengalaman selama di Pondok
akan memberi manfaat apa. Santri tidak akan tahu jika belum dilepas, namun
kelak akan tahu jika ia menemukan permasalah yang butuh solusi dan ‘klik’ ternyata solusinya sudah ada dalam dirinya, mengakar pada
dirinya dan itu karena Pabelan telah menempanya sedemikian rupa sampai kadang
terasa bosan hingga lupa bahwa dari sanalah kita sudah disiapkan. Saat itulah bibit
yang tertanam akan tumbuh dan berkembang hingga pada akhirnya akan berbuah
manis. Insya Alloh.
Saya pribadi mengalaminya. Di awal
saya tuliskan betapa bodohnya saya tidak memahami betul apa itu Pabelan dan
isinya. Namun setelah keluar, terkadang senyum sendiri ketika ada permasalahan
yang saya hadapi terasa diringankan. Salah satunya pengajaran yang saya dapat
dari membantu pengelolaan koperasi Pondok, pusingnya membuat laporan, kesalnya
tidak selesai-selesai. Coba tengok sekarang, jika tidak mengerti administrasi
perniagaan mungkin saya belum bisa menemukan cara menghitung keuangan toko
sendiri. Tapi saya dimampukan oleh Allah SWT karena sudah disiapkan di Pabelan agar sewaktu-waktu bisa saya gunakan.
Misalnya lagi, sebagai santri yang tidak pandai pelajaran KMI, masuk dari kelas
Takhasus, menerima beasiswa AFS/YES menggoda saya untuk mengutamakan kuliah dan
karir yang tidak terlalu sesuai tujuan kesuksesan. Kesuksesan saya sejak dulu
yaitu mengabdikan diri pada keluarga sebagai istri, ibu dan hamba Allah SWT.
Ketika Dia menyodorkan tujuan itu tepat sebelum saya keluar pondok, rasanya
campur aduk antara ingin kuliah atau menyempurnakan agama dengan menikah. Namun
ternyata, Ilmu tentang ‘pengabdian’ yang ditanamkan Pabelan lebih mengena yang
akhirnya menguatkan tekat saya untuk segera ‘mengabdi’ di keluarga.
Tidak diragukan lagi Pabelan
merupakan lembaga pendidikan yang sudah jarang ditemukan juga unik menurut
saya. Unik dengan semua visi-misinya, unik dengan Panca Jiwa Pondoknya, unik
yang berarti berbeda dengan sekolah kebanyakan yang ,mengutamakan akademik
saja. Kesetaraan, tanggung jawab, pengabdian, adalah beberapa nilai yang saya
dapat dari Pabelan. Ada juga yang mengena, yaitu Pabelan mengajarkan kepada
saya bawha ‘nilai’ bukanlah tolok
ukur utama akan kesuksesan seseorang. Di Pabelan seorang santri tidak akan
mendapat ‘penyanjungan luar biasa’
atau penghormatan apabila mendapat prestasi dan tidak juga merasa ‘kehinaan atau perendahan’ jika mendapat
prestasi akademik yang kurang. Tolok
ukur utama di Pabelan adalah budi pekerti luhur, sekali lagi bukan nilai. Jika
seorang wali ingin menitipkan putra-putrinya di Pabelan dengan tujuan nilai,
maka harus siap-siap kecewa. Mungkin ada yang mengalami?
Menurut saya sekolah adalah formalitas
yang mempunyai nilai pendidikan sendiri, dan KH Hamam Dja’far memahami betul
bahwa ‘nilai’ bukanlah tolok ukur kesuksesan seseorang. Bahwa pintar akademis
dan otak pintar tidak selalu dinaikkan derajatnya tetapi akhlak dan budi
pekertilah yang utama. Pernah tidak mendengar orang-orang sukses karena tujuan
hidupnya adalah membantu orang lain? Yang diberi Allah kesuksesan karena
berjuang atas nama-Nya? Ataukah mungkin orang tidak sekolah tinggi tapi diberi
kesuksesan oleh Allah karena keinginannya membahagiakan orang di sekitarnya?
Tidak cukupkah contoh-contoh di negeri ini tentang betapa suatu kesalahan besar
menjadikan hanya ‘pintar’ dan ‘ijazah’ sebagai ukuran utama suatu kepemimpinan,
bukankah para koruptor dan rampok negara itu berijazah semua, adakah yang lulus
SD saja?
Testimoni Pengalaman
Nyantri
Sebagai santri tengahan, tidak
teladan tidak juga ‘bandel’ menjadi terasa nyaman menjalani hidup di sana. Saat
mendapat hukuman, saya tidak kesal ataupun mengadu pada bapak saya. Kalaupun
mau cerita, ‘memang pantas, bandel’
pasti itu yang akan diucapkan beliau, sebab sudah terjadi akad tak tertulis
antara beliau dengan pondok tempat beliau menitipkan saya. Apapun keputusan dan
pengajaran yang diberikan kepada saya tidak akan diganggu oleh beliau. Misalnya
saja jika Pabelan tidak memberi saya izin keluar, beliau tidak memaksa dan juga
ketika Pabelan mewajibkan saya untuk mengabdi, beliau tidak protes padahal saya
sudah ketinggalan dari teman lain masuk perguruan tinggi. Inilah yang menambah
kesyukuran, memiliki orang tua yang mempunyai pola pikir seperti Pabelan yang
membebaskan segala pilihan di tangan saya, karena saya yang memegang kendali
mau diapakan hidup ini. Beliau hanya melihat, memberi support materi dan mengingatkan jika dirasa langkah saya ada yang
keliru. Tanpa kerelaan beliau mungkin saja saya tidak bisa merasakan manisnya nyantri di Pabelan.
Selama di Pabelan begitu banyak kenangan
berharga penuh pengajaran. Menghabiskan
enam tahun bukanlah suatu pengorbanan besar (usia 16-21 tahun) dibandingkan
dengan ilmu yang saya terima dari sana. Tak sedikit yang menyayangkan kenapa
saya mau menghabiskan enam tahun. Bahkan kerelaan saya dibayar oleh Allah SWT
dengan banyak hal lebih yang mungkin santri lain tidak dapat.
1.
Mendapat
Kesempatan jadi Santri Pertukaran Pelajar memalui
AFS/YES
Jika masuk sekolah favorit
di Magelang atau Muntilan mana mungkin saya mendapat kesempatan emas ini karena AFS belum merambah daerah Magelang dan
sekitarnya. Di Jawa
Tengah Chapter Semarang yang diberi kesempatan, tapi Pabelan yang notabene
masih daerah Jawa Tengah mendapat tempat khusus dan diizinkan untuk mengikuti
seleksi di Chapter Yogyakarta. Kesempatan ini menjadi kesyukuran besar
pertamaku.
Ada beberapa santri yang
mendapat kesempatan menginjakan kaki di negeri orang ketika masih nyantri, begitu juga dengan saya. Masuk Pabelan yang tidak
bisa saya bayangkan akan bagaimana di dalamnya, sama halnya menjadi siswa
pertukaran pelajar. Kesempatan ini seperti berdiam dirinya Nabi Muhammad SAW di
gua Hira untuk mendapatkan petunjuk. Karena hal tak terduga mengharuskan saya
ditempatkan di daerah country side
yang amat sangat jauh dari keramaian, tidak ada kendaraan umum di sana, jaringan internet pun
sulit. Jangankan kendaraan umum, jarak antar rumah berkilo-kilo meter
jauhnya. Host family sangat baik, mereka pun sangat menyayangi saya namun
menyangkan ke-Islaman
dan kerudung saya sebab mereka adalah penganut Nasrani yang taat dan memandang Islam teroris, serta rumah yang kami tempati
berseberangan
dengan gereja. Saya salut
mereka di usia yang sudah amat sangat senja bahkan sudah memiliki cicit namun
berusaha untuk menyenangkan saya agar tidak merasa sedih jauh dari rumah. Saya tahu diri, tidak banyak
mengharap, malah berusaha untuk tidak merepotkan sehingga tidak banyak kegiatan
luar sekolah yang saya ambil agar mereka tidak kerepotan mengantar jemput. Pernah
suatu waktu teman mengantar pulang seusai prom,
ia pun tidak tahu jalan kembali pulang. Itu membuktikan betapa terpencilnya
saya.
Bukan berarti tidak
mendapatkan apa-apa, justru menjadi semakin khusyuk
merenungi jalan hidup yang saya lalui kemudian menemukan betapa banyaknya hal
yang lupa disyukuri. Salah
satunya adalah Pabelan dan Indonesia. Hal penting lain dari kondisi merasa sendiri ini
adalah ikut mempelajari agama
lain yang semakin
menguatkan keimanan saya kepada Allah
SWT. Ada lagi kejadian tak terduga yang sepertinya dimaksudkan agar saya tidak “sombong”
dengan pencapaian ini adalah
semua gambar di memori kamera saya terhapus
tepat pada acara
perpisahan di USA. Subhanallah dengan
segala rencana-Nya.
2.
Mengenal
banyak Pribadi dari Dekat
Memiliki banyak angkatan
itu menyenangkan karena dari sana bisa menemukan banyak pribadi yang beragam
dan belajar dari mereka. Jangan dianggap turun angkatan adalah hal yang mudah.
Awalnya begitu berat meninggalkan angkatan SMP, lalu harus meninggalkan
angkatan lagi untuk ikut pertukaran pelajar, sampai turun lagi untuk mengabdi
dan akhirnya menjadi terbiasa. Jadi,
turun angkatan lagi untuk menikah bukanlah masalah besar. Saya tidak malu, dan untuk apa malu? Terkadang
adik-adik malah lebih dewasa. Baru tahun 2014 kemarin mendaftar kuliah, itupun
di UT agar bisa tetap mengurus keluarga full
time.
Pelajaran penting yang
ditanamkan adalah jangan membesar-besarkan angkatan, merasa yang satu lebih
baik yang lain. Tidak terikat dengan satu kelompok saja, itu menutup kesempatan
untuk melihat hal baik lainnya. Semua angkatan yang saya singgahi adalah
teman-teman terbaik yang memberi banyak kebaikan.
Jika boleh saya sebut ada seorang santri melaju namanya Fina Tri Kurnia yang
banyak mengajari saya lewat kesehariannya yang santun, lembut, pekerja keras, suka menolong bahkan
tidak pernah menolak jika ada orang membutuhkan pertolongan. Dia juga suka berbagi dan
selalu merendah, menyayangi teman dan adik kelas juga hormat kepada yang lebih
tua dan yang paling saya kagumi darinya adalah tidak pernah sekalipun keluar
kata-kata keluhan dari bibirnya sekalipun dia terlihat sangat lelah. Terkadang melihat
kesehariannya saya menjadi malu pada diri sendiri. Jika saya jabarkan lebih
banyak pelajaran yang saya ambil dari dia. Bukan hanya dia saja, dari setiap
pribadi orang yang ada di sekitar saya saat itu benar-benar menjadi ladang
untuk belajar tentang kepribadian manusia.
3.
Dijodohkan
di Pondok
Bertahan selama 6 tahun di
Pabelan ternyata menjadi jalan dipertemukannya saya dengan jodoh. Umur 21 tahun, belum juga khutbatul wada’ sudah diminta oleh
seorang alumni Pabelan, namanya Danang Tejo Kumoro. Orang tua ridho dan Pondok ridho, berarti ini jodoh,
saya pikir. Jadilah saya menikah saat masih nyantri, dan dia resmi jadi
wali santri. Terima kasih yang
sebesar-besarnya saya ucapkan kepada para kiai,
ustadz/ah, teman-teman praktik
dan alumni yang telah memberikan restu. Juga kepada KH Najib yang menjadi saksi
pernikahan kami. Banyak orang yang bertanya kenapa setelah lulus bukan mengejar
kuliah yang sudah ketinggalan jauh justru
menikah. Alasannya bukanlah ‘malas’ melainkan bagi saya itu merupakan pintu
untuk meraih cita-cita saya yang sebenarnya, yaitu mengabdikan diri untuk
keluarga.
Jadi, jika
ada yang menanyakan apakah saya merasa rugi menghabiskan enam tahun di Pondok Pabelan,
maka jawabannya adalah ‘tidak sama
sekali’ sebab kebalikannya justru suatu kesyukuran yang luar biasa. Keseharian di Balai
Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan baik di asrama maupun di sekolah sangat
saya nikmati sehingga tak terpikirkan sama sekali makna-makna yang tersembunyi
di dalamnya. Mengapa begini dan mengapa begitu, pokoknya
jalani dan nikmati saja seperti air yang mengalir yang kelak pasti akan
terlihat apa-apa yang menempel selama menyusuri Pabelan ini.
Berikut inilah hal yang sudah Pabelan tempelkan dalam dalam diri setiap
santri yang kebanyakan tidak menyadari hal-hal penting tersebut.
1.
Tanggung
Jawab dan Mandiri Optimal
Bertanggung jawab atas diri sendiri,
atas ibadahnya, atas benda-benda miliknya, atas organisasi/kelompoknya, dan
lain sebagainya. Semua itu diasah mulai dari
menjaga barang-barang pribadinya sendiri karena tidak ada orang tua ataupun
pembantu yang akan mengurusnya. Tanggung jawab terhadap kebersihan badan dan
lingkungannya, itu wajib kalau tiidak maka teman-teman akan sangat sungkan
mendekat, kalau bukan diri sendiri yang sadar akan kebersihan, siapa lagi? Tanggung jawab dalam
berorganisasi diwujudkan dalam setiap kegiatan, misalnya saja OPP, organisasi
di kamar, kelas, bahkan pembentukan panitia-panitia dalam setiap acara. Hidup di asrama menempa santri mulai bertanggung jawab,
mandiri hingga belajar hidup sederhana tidak berlebih-lebihan.
2.
Kerja
Sama/Gotong Royong
Hidup bersama-sama 24 jam menghasilkan kerukunan
yang kemudian menciptakan budaya kerja
sama dan gotong
royong. Saya ingat mempunyai teman/partner mencuci
bernama Arsyis
Musyahadah, tidak sedikit yang mempunyai partner berdua atau bertiga. Ini
adalah salah satu budaya yang tumbuh di Pabelan, yaitu budaya bekerja sama.
3.
Budaya
Antre
Kalau sedang dalam antrean lalu ada yang
menyerobot, maka saya yakin betul itu bukan santri/alumni Pabelan. Sebab “ngantre’ sudah mendarah daging pada
diri seorang santri. Pendidikan yang tidak mudah dan sulit ditemukan bukan?
4.
Kesetaraan
5.
Percaya
Diri
Kepercayaan diri seorang santri dilatih saat kegiatan
Muhadharah, PKAT, Pramuka, acara-acara yang mendongkrak
kepercayaan diri, menyingkirkan sifat minder.
6.
No
Korupsi, No Kolusi, No Nepotisme
Ini adalah pendidikan yang lebih
penting dan dibutuhkan bangsa ini dari sekedar nilai akademik.
7.
Belajar
untuk Melayani Masyarakat.
Dalam Islam, memuliakan tamu adalah sunah
Nabi, maka setiap kali ada tamu datang, santrilah yang melayani, menyiapkan
keperluannya (di sini
masuk pada tingkatan OPP).
8.
Pendidikan
‘Manajemen
Waktu’dan “Manajemen Keuangan” terbaik.
Wali santri yang mengharapkan nilai 9
berderet dalam rapot putra-putrinya mungkin harus mengurungkan niatnya tersebut. Pelajaran yang diberikan di Pabelan cukup banyak,
yaitu KMI dan pelajaran
akademik dari pemerintah, sedangkan waktu yang dimiliki adalah seminggu untuk
semua mata pelajaran. Apalagi kehidupan di asrama menjadikan santri memiliki kegiatan
lain lagi
seperti mengaji Al-Quran, Pengajian Kitab, Olahraga, Pramuka, Muhadhoroh, dan
ektrakurikkuler pilihan masing-masing santri (karate, silat, qiro’ah, teater
dll). Maka,
santri secara tidak sadar belajar dan ditempa mengatur waktunya secara efektif.
Kelebihan lainnya adalah menutup celah dari
menyia-nyiakan waktu untuk hal yang tidak penting. Setelah lulus mereka menjadi pribadi kuat, mandiri
dan pekerja keras, tidak menutup kemungkinan akan sukses dalam memimpin dan menata kehidupannya.
9.
Pengabdian
KH Hamam memahami betul bahwa fitrah manusia
adalah pengabdian, pencapaian tertinggi seorang manusia apabila ia bisa
mengabdi. Tengok saja kemuliaan seorang ibu yang mengabdikan hidupnya mengurus
keluarganya, pengabdian seorang ayah yang mencari nafkah untuk kelurganya, ada lagi yang mengabdikan
hidupnya misalnya untuk penderita kanker, untuk membangun masyarakatnya.
Pendidikan pengabdian
ini sangat penting yaitu “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat
untuk orang lain”. Hadist
Nabi yang menjadi pegangan pendidikan pengabdian ini. Pengabdian adalah jalan
menuju kemuliaan, pengabdian kepada Allah SWT dengan melayani hamba-Nya yang
lain. Pendidikan
sekolah umum yang terlalu mengutamakan nilai, atau saya sebut men-Tuhan-kan nilai akan
menjadikan muridnya berpikir materi sebagai tolok ukur utama kemuliaan.
10.
“Invisible
Wall”(Dinding Tak terlihat)
Dinding itu sudah dibangun KH Hamam
Dja’far 50 tahun silam dan masih berdiri tegak sampai detik ini. Ini adalah suatu konsep pendidikan untuk membentengi
diri dari segala hal yang tidak baik, namun benteng ini bukan terbuat dari bata
dan semen tapi dibangun dengan perlahan di hati setiap santri. Karena beliau
begitu memahami bahwa pertahan paling kuat adalah hati.
11.
Kolam
Kreativitas
Jika teringat saat pertama masuk ke
asrama, saya terkagum-kagum melihat betapa rapi dan cantiknya lemari pendamping
kami. Baju-baju tertata rapi dan lurus berderet sesuai warna, dinding-dinding
dilapisi dengan kertas kado yang cantik. Ada tempelan foto, kaca dan
perlengkapan lainnya. Mereka benar-benar menjadikan almarinya sebagai ruang
pribadinya. Dari
situ saya mulai mendekor lemari sendiri dan menatanya secantik mungkin. Bukan
hanya mendekor lemari, ruang kreativitas
diciptakan sedemikian rupa lewat acara muhadhoroh
(pidato), PKAT, Teater, Pramuka, dan masih banyak lainnya. Pada setiap acara ada yang
mengharuskan dekorasi agar kegiatan menjadi menyenangkan. Bahkan, di Muhadhoroh
pun ada ‘piket dekor’. Puncak nya adalah PKAT ( Pentas Kegiatan Akhir Tahun). Pesta kreativitas, mungkin suatu saat
para wali santri perlu diundang untuk melihat betapa kratifnya putra-putri
mereka di Pabelan.
Penutup
Seperti dua
sisi sekeping
mata uang, Pabelan pun memiliki banyak kelebihan tapi juga memiliki kekurangan.
Tentu tidak baik hanya melihat kurangnya saja, biarlah menjadi pekerjaan rumah
yang perlu dicari solusinya. Saya lebih senang melihat kelebihan Pabelan dan
apa yang mampu saya gali dari sana. Banyak-sedikitnya
peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan tidak melulu menjadi ukuran bagus
atau tidaknya lembaga pendidikan tersebut. Bagi saya, Pabelan dengan santri
banyak ataupun sedikit bukan masalah besar. Selama Panca Jiwa Pondok tetap
tegak maka kualitas Pabelan terjamin. Perihal naik turunnya jumlah santri bukan
semata
kesalahan
Pondok, banyak faktor
luar yang mempengaruhi, salah satu nya adalah suburnya pola pikir materi yang
dalam hal ini nilai dan prestasi yang bisa dilihat dan dibanggakan. Perlu diingat
zaman ini adalah zaman instan, banyak orang ingin melihat kesuksesan secara
instan termasuk melihat perkembangan putra-putrinya
secara instan. Yang
perlu ditingkatkan oleh Pondok tercinta ini adalah kualitasnya agar tetap
mengikuti zaman. Janganlah dihakimi jika Pabelan mengikuti zaman, hakimilah Pabelan jika ia mengubah nilai-nilai utama
yaitu Panca Jiwa Pondok.
Dulu dan sekarang sama-sama
hebat, masing-masing memiliki tantangannya. Pada masa KH Hamam Dja’far diberi
kemudahan oleh Allah SWT, sebab
konsep yang dirancang beliau didukung oleh
belum begitu majunya teknologi saat itu, seperti handphone, telepon, internet,
kendaraan dan pos
kilat. Contohnya konsep
kesabaran, manajemen
keuangan, dan tanggung jawab atas dirinya sendiri bisa diterapkan dengan mudah
sekali. Tempaan pada masa itu benar-benar mampu membentuk pribadi santri
menjadi lebih kuat. Namun, pada masa itu juga memiliki tantangan yang
mengharuskan KH Hamam
Dja’far mencari solusi yang tepat tanpa mengganggu konsep pendidikannya. Saat ini kemajuan teknologi menjadi tantangan
Pimpinan Tritunggal, manajemen
keuangan dan kesabaran menjadi tantangan berat untuk diterapkan. Tanpa kerjasama dengan wali
santri maka santri mudah sekali menghabiskan uang sakunya karena begitu habis tinggal telpon dan
hari itu juga bisa ditransfer
ataupun diantar. Lalu jika santri
mendapat masalah atau hukuman akibat dari kesalahannya sendiri tak jarang
mereka adukan kepada orang tua lewat telepon. Orang tua mana yang tega mendengar
kesusahan buah hatinya? Maka para orang tua santri secara tidak langsung ‘meng-intervensi’ Pondok. Di sanalah pendidikan
bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan problem
solving menjadi terganggu.
Tulisan ini
adalah wujud rasa terima kasih saya kepada Pondok Pabelan dan juga ingin menyampaikan
bahwasanya Pabelan adalah Pondok Pesantren yang memiliki nilai tinggi jika saja
orang mau merenungi. Teman-teman alumni era baru, setelah masa KH Hamam Dja’far, termasuknya saya mungkin
belum terlihat buah kesuksesannya
seperti kakak-kakak alumni pada masa KH Hamam Dja’far dulu. Namun, saya tidak
khawatir karena memang bibit yang tertanam dari Pabelan baru tumbuh dan
berkembang dan suatu saat pasti akan berbuah kesuksesan pula, sesuai dengan
bentuk kesuksesan masing-masing.
Keliling
Dunia dari Pabelan
Hibatul Wafi
Keliling dunia. Itulah
cita-citaku. Terdengar biasa memang, banyak orang yang memiliki cita-cita yang
sama, namun aku tak peduli. Bagiku, berkeliling dunia, apapun caranya, dapat
memberikan banyak hal dan pengalaman. Bukan sekedar memuaskan mata dengan
menyaksikan hal-hal unik yang ada di luar negeri, keliling dunia juga bisa
menjadi ajang mengenali jati diri. Berkeliling dunia bagiku juga bukan sekedar
memenuhi keinginanku semata, ia bisa menjadi sebuah ibadah. Dalam Al-Qur’an
tercantum salah satu perintah Allah, siiruu fil-ardli, ‘berjalanlah kamu
di muka bumi.’
Dalam meraih cita-cita,
kita perlu memulainya dari suatu tempat. Sering dikatakan, bahkan perjalanan
jutaan mil dimulai dari satu langkah kecil. Dan aku memulai perjalanan
berkeliling duniaku ini dari satu tempat yang mungkin tak pernah
disangka-sangka. Melalui tempat ini aku berhasil menempuh perjalanan ke dua
buah negara tanpa harus mengeluarkan biaya, sebuah permulaan yang aku kira
cukup meyakinkan. Di manakah tempat tersebut? Bandar udara, bukan. Pelabuhan,
bukan juga. Pondok Pesantren Pabelan, di situlah kumulai langkah awal
perjalananku.
Sebelum aku bercerita
bagaimana Pabelan bisa menjadi tempatku memulai perjalananku, terlebih dahulu
aku ingin bercerita tentang pengalamanku di dua negara yang berhasil aku
kunjungi. Negara pertama adalah Amerika Serikat. Cukup lama aku tinggal di sana
sehingga banyak sekali pengalaman yang aku dapatkan. Terlalu banyak untuk
diceritakan semuanya dalam tulisan ini. Namun ada satu hal berharga yang aku
dapatkan, di negeri yang terletak di belahan lain bumi ini kutemukan diriku
sendiri. Negara kedua adalah Korea Selatan. Hanya dua pekan aku menikmati udara
negeri ginseng itu, namun pengalaman yang kudapatkan cukup untuk mengubah
hidupku.
Amerika
Agustus 2011 hingga Juli
2012 adalah sebelas bulan waktu yang tak akan terlupakan dalam hidupku.
Saat-saat itu aku merasa seperti berada di dunia lain. Secara tiba-tiba aku
tinggal di sebuah tempat yang tak pernah kukenal sebelumnya, bersama orang-orang
yang belum pernah aku temui sama sekali. Itulah periode ketika aku mengikuti
sebuah program pertukaran pelajar bernama YES (Youth Exchange and Study), sebuah program yang dijalankan dan didanai
oleh Pemerintah Amerika Serikat dengan tujuan menjembatani kepahaman antara
warga Amerika dengan negara-negara yang memiliki mayoritas penduduk beragama
Islam.
Dari program tersebut
aku berkesempatan tinggal bersama dan menjadi bagian dari sebuah keluarga di
sana serta bersekolah di sekolah negeri yang terdekat dari tempat tinggalku. Sebuah
kesempatan yang langka karena biasanya hanya warga negara Amerika yang dapat
bersekolah di sekolah negeri. Dengan kesempatan tersebut aku dituntut untuk
bisa berinteraksi dan berbaur dengan komunitas tempat tinggalku. Tujuannya
adalah agar aku bisa belajar bagaimana gaya hidup dan kebudayaan mereka, dan
sebaliknya mereka dapat belajar dariku seperti apa sebenarnya orang Indonesia
dan orang Islam itu. Di situlah tugas beratku yang sebenarnya,
merepresentasikan negara dan agamaku, tindak tandukku di sana akan memberikan
kesan pada mereka dan aku harus berhati-hati dengan kesan apa yang aku
tinggalkan bagi mereka.
Aku tinggal bersama
sebuah keluarga asuh, biasa disebut host
family, yang terdiri dari seorang
ayah, ibu dan tiga orang anak. Ketiga anak tersebut tidak tinggal bersama orang
tuanya karena kuliah di luar kota, sehingga hanya sang ayah dan ibu yang
tinggal di rumah. Sang ayah bernama Clement Haldeman, berumur sekitar enam
puluhan dan sang ibu, Donna Haldeman berumur sekitar lima puluhan, mengasuhku
dengan sangat baik dan menganggapku seakan aku adalah anak kandung mereka
sendiri.
Membayangkan tinggal di
Amerika, sebagian besar dari kita mungkin berpikir tentang kota-kota besar
dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi, seperti itulah yang aku bayangkan
sebelum aku menginjakkan kaki di sana. Namun kenyataannya berbeda. Entah sebuah
keberuntungan atau bukan, aku mendapatkan penempatan di sebuah daerah yang sama
sekali berbeda dengan bayanganku, aku tinggal di sisi lain negeri ini yang tak
terlalu sering diketahui atau terlihat di film-film action Hollywood. Aku
tinggal di pinggiran sebuah kota kecil bernama Greencastle, di sebelah selatan
negara bagian Pennsylvania. Tidak ada gedung-gedung pencakar langit di sana,
tidak ada mobil atau taksi berseliweran di jalanan, tidak ada toko-toko dengan
lampu neon beraneka warna dan bentuk. Yang aku temukan di sana sungguh jauh
dari apa yang aku bayangkan! Hal pertama yang terlihat ketika aku sampai di
rumah keluarga asuhku adalah hamparan ladang jagung yang luas dan sekawanan
sapi. Ya, jagung dan sapi. “Jauh-jauh aku
ke Amerika dan yang kutemui di halaman rumahku adalah jagung dan sapi, di
desaku juga banyak yang seperti ini,” begitu pikirku spontan.
Rumahku berada di
pinggiran kota, dikelilingi oleh ladang jagung yang saat itu menjadi lahan
menggembala sapi. Donna dan Clement dulunya adalah peternak sapi dan petani.
Namun mereka sudah beralih profesi, mungkin karena usia mereka sudah tidak
memungkinkan lagi. Donna menjadi guru bahasa Inggris di sekolah dasar,
sedangkan Clement bekerja sebagai milk tester, ia mengambil sampel susu
dari berbagai peternakan untuk dites kualitas dan kelayakannya. Lahan di
sekitar rumah mereka yang biasa mereka olah telah dijual kepada tetangga mereka
yang masih beternak dan bertani. Kota ini begitu kecil untuk ukuran sebuah kota
di Amerika. Jumlah penduduknya hanya sekitar 4.000 orang. Tidak ada
transportasi umum. Sedangkan pusat kota ratusan kilo meter jauhnya. Hal ini
menyulitkanku karena membuatku tidak bisa pergi ke mana-mana sendirian. Aku
harus meminta tolong Donna atau Clement untuk mengantarku.
Pernah suatu kali aku
bertanya, “Donna, what’s the most interesting
place in this town?”[6]
Dia terlihat agak kaget,
dan menjawab,”Hm... Probably, the library..!”[7]
Aku tak bisa membayangkan, betapa membosankannya sebuah tempat yang tempat
paling menariknya adalah perpustakaan..Hari-hari awal merupakan perjuangan,
karena hari-hari pertama aku sampai di rumah keluarga Amerikaku bertepatan
dengan hari pertama bulan Ramadhan tahun itu. Dan lebih beruntungnya lagi, saat
itu adalah pertengahan musim panas, waktu siang hari lebih panjang dari malam
hari. Matahari tidak akan turun hingga pukul 20.00 waktu setempat. Kujalani
waktu adaptasiku sambil menahan lapar 16-17 jam setiap hari.
Ada satu hal menarik,
Donna dan Clement adalah penganut Kristiani yang taat, mereka tidak pernah
absen ke gereja di setiap hari Minggu, namun mereka ternyata telah mempelajari
apa yang aku lakukan, yaitu berpuasa Ramadhan. Aku suka kata-kata Donna yang
mengatakan aku sedang celebrating
(merayakan) Ramadhan. Tidak hanya itu, mereka juga benar-benar menghormatiku
yang sedang menahan lapar. Keluarga di Amerika memiliki tradisi makan malam
bersama, begitu juga dengan Clement dan Donna, namun kali itu mereka sedikit
menunda makan malam mereka hingga waktuku berbuka, aku sungguh terharu dengan
apa yang mereka lakukan.
Tiga minggu setelah
kedatanganku ke Amerika, musim panas hampir berakhir, yang menandakan bahwa
musim liburan juga berakhir. Saatnya untuk masuk sekolah. Aku cukup penasaran
saat itu. Tiga minggu aku menghabiskan sebagian besar waktuku diam di rumah.
Saat itu aku merasa, untuk pertama kalinya, aku sangat rindu dengan sekolah. Aku
masuk ke sekolah bernama Greencastle-Antrim High School. Sesuai dengan kotanya
yang kecil, sekolah ini juga cukup kecil untuk ukuran sekolah Amerika, namun
jika dibandingkan dengan sekolah di Indonesia, ia mungkin cukup besar untuk
menjadi sekolah terbesar di tingkat provinsi. Bersekolah di tempat itu cukup menjadi tantangan
buatku, aku hanya satu-satunya orang Indonesia di sana, tidak ada yang aku
kenali, fisikku juga berbeda dengan mereka. Dengan segala perbedaan itu aku
harus segera mencari teman, tidak mungkin aku selamanya sendiri.
Dalam usahaku mencari
teman dan bersosialisasi, yang paling menjadi tantangan bagiku bukanlah masalah
bahasa, kepercayaan, atau kebudayaan yang berbeda. Namun tantangan muncul dari
diriku sendiri. Aku adalah orang yang penyendiri dan tertutup. Aku selalu
memiliki kesulitan dalam mendekati orang lain. Dalam berteman, selalu
teman-temanku yang mengajakku terlebih dahulu. Dan di Amerika, aku bukanlah
bagian dari mereka, aku
yang harus mendekat kalau ingin mendapat teman.
Hal ini ternyata menjadi
masalah yang cukup serius, aku sulit mendapatkan teman. Apalagi ditambah dengan
sistem moving class yang diterapkan oleh sekolah Amerika, teman
sekelasku berbeda-beda seiring dengan berubahnya mata pelajaran yang aku ambil,
sehingga waktu pendekatanku untuk mencari teman sangatlah terbatas. Sekitar
tiga bulan awal aku tidak memiliki satu pun teman dekat, memang ada beberapa
kenalan, namun interaksi kami hanya sebatas mengenai pelajaran. Aku mencoba
mengikuti beberapa kegiatan seperti Boyscout
(gerakan kepanduan seperti Pramuka), dan klub drama. Namun karena sifat
introvertku, aku tetap saja kesulitan.
Aku mencoba untuk mengubah
diriku agar menjadi lebih supel. Aku coba untuk mendekati beberapa teman,
mencoba untuk mengobrol. Namun, aku tak tahu apa yang salah, mencoba untuk
menemukan bahan pembicaraan terasa sangat sulit bagiku. Lebih sulit dari
memecahkan soal-soal aljabar yang menjadi PR-ku setiap hari. Hasilnya adalah
obrolan yang aku usahakan terasa canggung. Berusaha mengubah diriku ternyata
malah membuatku semakin stres.
Suatu hari, aku
kesepian, aku rindu dengan teman-temanku di Pabelan. Aku ingin berkumpul lagi
dengan mereka, bercanda gurau bersama-sama di kamar, mengobrol tanpa harus
bingung mencari bahan karena teman-temanku selalu punya hal yang bisa dijadikan
bahan obrolan seru. Saat-saat itu aku bisa menjadi diriku sendiri. Lalu
tiba-tiba aku teringat pada sesuatu. Salah satu kamar yang pernah aku tinggali bersama teman-temanku. Gedung Workshop, sebenarnya bukan
kamar, tapi kami sempat tinggal di sana selama beberapa bulan karena gedung Quwaid sedang direnovasi. Aku teringat,
di salah satu sisi ruangan, terdapat tulisan besar yang menyadarkanku. Aku
berpikir, tulisan itulah yang dapat menjadi jawaban dari permasalahanku saat itu.
“BE YOUR SELF”
Ya, selama ini aku
kehilangan diriku sendiri. Aku terlalu fokus pada kekurangan-kekuranganku
sehingga aku kehilangan kepercayaan pada diriku sendiri. Aku tidak perlu
berubah, aku hanya perlu menjadi diriku sendiri, merasa nyaman dengan segala
kelebihan dan kekuranganku. Aku telah memaksakan diriku untuk menjadi orang
lain. Setelah itu, aku tak lagi memaksakan diri mendekati orang lain. Kulakukan
apa yang membuatku nyaman. Walau aku kembali menjadi pendiam, namun aku merasa
lebih tenang. Dan perlahan-lahan, semuanya terasa sangat menyenangkan. Akhirnya
aku menemukan beberapa orang yang dapat kusebut teman. Mereka menerimaku apa
adanya.
Banyak hal baru yang aku
temukan di Amerika. Namun yang menurutku paling berharga adalah, aku menemukan
diriku sendiri.
Korea
Perjalanan meraih
mimpiku berlanjut. Satu negara lagi berhasil aku kunjungi. Berbeda dengan
sebelumnya, kesempatan kali ini datang dengan tiba-tiba dan tidak
kusangka-sangka. Sekali lagi Pabelan memberikanku jalan, bahkan setelah hampir
satu tahun aku lulus meninggalkan Pabelan. Kali ini aku berkesempatan
mengunjungi Korea Selatan melalui program International
Award for Young People (IAYP, dikenal juga dengan nama The Duke of Edinburgh’s International Award) yang pernah aku jalani
semasa di Pesantren. Saat itu aku sedang kuliah di kampusku di Jakarta, ketika
tersiar kabar bahwa IAYP Indonesia mengadakan seleksi untuk mencari Duta IAYP.
Dua orang akan terpilih menjadi representasi dari IAYP Indonesia dan
berkesempatan mengikuti International Gold Event (IGE) 2014 di Korea Selatan.
IGE adalah forum Internasional tempat para peserta IAYP dari berbagai penjuru
dunia yang sudah mendapat Gold Award berkumpul dan berdiskusi bersama.
Awalnya aku tak begitu
tertarik mengikuti seleksi tersebut. Ada beberapa persyaratan yang menurutku
merepotkan, seperti menulis essay dan
membuat video tentang IAYP. Apalagi saat itu aku sedang disibukkan dengan
tugas-tugas kuliah. Tiga hari sebelum batas pengumpulan persyaratan, masuk
sebuah pesan singkat ke handphone-ku. Ternyata dari Ibu Ulfa, beliau
mendorongku untuk mengikuti seleksi tersebut. Akhirnya, dengan waktu yang
tersisa, aku melengkapi segala persyaratan yang dibutuhkan. Kukirim tepat
semalam sebelum batas akhir pengumpulan.
Di luar dugaanku, aku
lolos seleksi. Aku menjadi satu di antara dua orang yang terpilih menjadi Duta
IAYP dan akan mewakili Indonesia di IGE 2014 di Korea Selatan. Aku sungguh
bersyukur, tak kusangka sekali lagi aku mendapatkan kesempatan menambah
pengalamanku ke luar negeri. Walau perjalanan kali ini hanya untuk sekitar 2
minggu, namun aku merasa akan ada banyak sekali pelajaran yang dapat kuambil
darinya.
Ada banyak yang harus
aku dan Rauf, Duta IAYP terpilih selainku, persiapkan. Yang cukup membuat kami
cukup kerepotan adalah kami harus mempersiapkan sebuah pertunjukan budaya di
depan para peserta. Aku dan Rauf memutuskan untuk membawakan pertunjukan tari
tradisional dari daerah Jawa, Jathilan dan Kuda Lumping. Kebetulan aku pernah
belajar menari untuk aku tunjukkan di Amerika. Namun yang menjadi masalah
adalah kami tidak mempunyai cukup waktu untuk berlatih bersama karena tempat
tinggal kami berjauhan. Aku di Jakarta, sedangkan Rauf di Yogyakarta.
Rencana awal kami
adalah, Rauf akan mempelajari sebuah tari dari temannya yang seorang penari,
dan merekamnya dalam bentuk video. Kemudian video tersebut dikirimkan kepadaku
untuk aku pelajari sendiri di Jakarta. Namun entah mengapa, rencana tersebut
tak sempat terwujud. Akhirnya sampai tiba waktu kami berangkat, kami sama
sekali belum berlatih. Kami berharap ada waktu luang di sela-sela acara nanti
kami dapat melatih tarian kami. Tak lupa, Aku dan Rauf membawa kostum dan
aksesori yang kami perlukan. Aku membawa sebuah topeng berwajah siluman kerbau,
sedangkan Rauf membawa sebuah kuda lumping kecil.
Setelah mendapat
beberapa orientasi dan pelatihan dari IAYP Indonesia selama dua hari, tiba
saatnya kami berangkat. Keberangkatan kali ini agak berbeda, karena kami hanya
berdua, tak ada keluarga atau teman yang mengantar, tapi tak apa, toh perjalanan
kami cukup singkat. Aku sendiri cukup berpamitan dengan orang tuaku via
telepon.
Penerbangan kami
berjalan cukup lancar. Sesampainya di Incheon Airport, kami telah ditunggu oleh
beberapa sukarelawan dari IAYP Korea. Setelah menunggu beberapa peserta IGE
lain tiba, akhirnya kami diantar menuju tempat acara diadakan, sebuah National
Youth Center di Cheonan. Di IGE, kami berjumpa dengan 79 peserta dari 34
negara. Sekali lagi sebuah tantangan bagiku karena aku harus bisa akrab dengan
mereka dalam waktu yang sangat singkat. Namun dengan banyaknya kegiatan ice breaking
yang menyenangkan membuat kami saling mengenal dengan cepat.
Salah satu program
terpenting dalam IGE adalah serangkaian Leadership
Training. Kami dibagi ke dalam
kelompok yang terdiri dari 10-12 orang. Kemudian setiap kelompok diberikan satu
buah isu untuk dibahas. Isu-isu tersebut antara lain lingkungan, keamanan,
gender, ketenagakerjaan, dan lain-lain. Setelah diberikan berbagai materi
mengenai kepemimpinan, kami diberi tugas untuk mengunjungi beberapa organisasi
di berbagai penjuru Korea untuk belajar mengenai isu yang diberikan kepada
kami. Setelah itu, kami diminta mempresentasikan hasil diskusi dan belajar kami
di depan dewan IAYP Internasional.
Kelompokku mendapat isu
“Social Inclusion” untuk dibahas. Isu
tersebut berfokus pada mengurangi pengucilan sosial yang dilakukan oleh
masyarakat terhadap berbagai kelompok minoritas. Sebuah isu yang sangat baru
dan menantang bagiku karena aku sendiri merasa kurang inklusif dalam hal
bersosialisasi. Dalam tugas kunjungan, kami diharuskan mengunjungi dua buah Multicultural
Center dalam dua hari. Satu di Seoul, dan yang lainnya di kota Asan. Satu
hal yang menarik dalam tugas kunjungan ini, panitia tidak menyediakan
transportasi. Kami diminta untuk memutuskan sendiri bagaimana kami akan menuju
ke tempat tujuan kami dalam waktu yang sudah ditentukan dan anggaran yang juga
sudah ditetapkan. Kami hanya ditemani oleh satu orang relawan asli Korea yang
memiliki bahasa Inggris pas-pasan.
Hari pertama, ketika
kami menuju Seoul, kami cukup kerepotan. Rute transportasi yang belum kami
kenal dan perbedaan bahasa menjadi tantangan terbesar kami. Hampir seluruh
anggota kelompok kami cemas. Beruntung kami dapat mengendalikan diri dan tidak
panik. Kami dapat sampai di tempat tujuan dengan tepat waktu. Kunjungan ke multi cultural center berjalan dengan lancar.
Hari kedua, tempat
kunjungan kami tidak begitu jauh dari tempat kami menginap. Berada di Kota Asan
yang masih dalam satu wilayah dengan Cheonan. Perjalanan cukup ditempuh dengan
menaiki kereta subway. Karena sudah
memiliki pengalaman di hari sebelumnya, perjalanan kami cukup santai dan
menyenangkan. Melalui kedua kunjungan kami, aku merasa terkesan dengan negara
ini. Pemerintahnya begitu peduli dengan isu Social inclusion, mereka
mendirikan banyak multi cultural center untuk membantu para imigran yang
datang dari luar Korea mempelajari budaya Korea dan menyatu dengan
masyarakatnya.
Setelah berbagai
pelatihan, kunjungan, dan diskusi yang kami lalui, kami diminta untuk mempresentasikan
yang kami pelajari di depan para pejabat The Duke of Edinburgh’s International
Award, termasuk sang Chairman, Prince Edward the Earl of Wessex. Satu lagi hal
yang cukup berkesan bagiku adalah pidato Sekretaris Jenderal Duke of Edinburgh’s
International Award, John May pada sebuah kesempatan. Ia mengatakan, “Leadership
is like a bag of tea. We cannot know how good it is until we put it in a glass
of hot water.”[8]
Untuk melihat bakat
kepemimpinan seseorang, dia perlu diberikan kondisi yang tepat. Kondisi yang
memaksanya untuk mengeluarkan semua kemampuan yang ia miliki. IGE adalah gelas
berisi air panas, sedangkan para pesertanya adalah kantung-kantung teh yang
menyimpan berbagai rasa. Di IGE kami ditantang melakukan tugas yang tidak
mudah, berada di lingkungan yang tidak kami kenali sama sekali, dan bersama
orang-orang yang belum pernah kami temui dan memiliki latar belakang,
kebudayaan dan bahasa yang berbeda. Dengan berbagai tantangan tersebut, kami
harus berusaha mengeluarkan seluruh kemampuan kami untuk bisa berbaur, saling
memberikan dan menerima pendapat, serta kompak dalam menjelajahi dunia yang
belum kami kenal.
Aku kemudian menyadari
sesuatu, sebenarnya hal ini tidak asing bagiku. Pengalaman ‘dicelupkan ke dalam air panas’ ini
sebenarnya sudah pernah aku rasakan, bahkan dalam skala yang lebih hebat. Bukan
hanya segelas air panas, namun sebuah kawah Candradimuka. Itulah pondokku,
Pabelan.
Dengan segala metodenya,
Pabelan memberikan sebuah lingkungan yang mampu memunculkan apapun yang terbaik
yang ada dalam diri santrinya. Jauh dari orang tua, sarapan Tahu setiap pagi,
berbagai kegiatan pendidikan baik di kelas maupun asrama, berbaur dengan
ratusan teman dari berbagai penjuru daerah, berbagai organisasi yang ada,
Pabelan menyediakan lebih dari sekedar lingkungan yang kondusif untuk belajar
menjadi pemimpin. Ia adalah laboratorium pendidikan tempat setiap santri
menjadi penelitinya, bekerja dengan segala fasilitas yang ada untuk menemukan
potensi terbaik dari diri mereka.
Semua Berawal dari Sini
Jika ditanya, berapa
waktu yang kutempuh selama perjalananku ke Amerika, aku akan menjawab mungkin
sekitar 30 jam, termasuk waktu transitnya. Namun, sebenarnya perjalananku lebih
jauh dari itu. Perjalanan yang kutempuh adalah lima tahun. Aku tidak menghitung
langkahku sejak keluar dari rumah atau melangkah di bandar udara, kuhitung
langkahku sejak hari pertama aku memasuki Balai Pendidikan Pondok Pesantren
Pabelan.
Berawal pada malam
pertama aku tinggal di asrama Pabelan, saat itu sebagai pembukaan dan
perkenalan, kami para santri baru dikumpulkan oleh kakak-kakak pendamping kami
di sebuah kamar di Gedung Asrama Presiden. Aku masih ingat, kakak-kakak
pendamping kami satu persatu memperkenalkan diri mereka masing-masing, kemudian
memberikan beberapa nasihat serta mengumumkan aturan- aturan yang berlaku di
asrama kami. Mereka bertanya kepada kami, “Ke
Pabelan apa yang kau cari?” Sebuah pertanyaan sederhana, namun pertanyaan
itulah yang menjadi kunci dari segala pintu kesempatan yang tersedia di Pabelan.
Satu lagi hal paling
kuingat saat itu adalah ketika mereka menceritakan, beberapa teman mereka
sedang menjalani sebuah program pertukaran pelajar di Amerika. “Teman-teman kami itulah yang sudah
mengetahui jawaban dari pertanyaan tadi,” ujar salah seorang kakak
pendamping. Sejak saat itu, aku mengatakan pada diriku, aku harus menjadi
seperti mereka. Saat itulah, kuambil langkah awalku menuju Amerika. Langkah
awalku menggapai cita-citaku.
Kulakukan segala hal
yang aku yakin dapat mendekatkanku pada tujuanku. Kupelajari bahasa Inggris
lebih dari mata pelajaran lainnya, kugali informasi dari kakak-kakak kelas yang
mengikuti seleksi program pertukaran pelajar itu, kubayangkan diriku sedang
berada di Amerika di setiap waktu tidurku, tak lupa kupanjatkan do’a di setiap
shalatku. Pabelan, dengan caranya sendiri, membantuku mewujudkan cita-citaku.
Ia memberikan berbagai masalah agar aku lebih kuat. Ia memotivasiku untuk terus
melangkah tanpa menyerah. Ia menekanku agar aku mampu menjadi pribadi yang
mandiri dan disiplin. Namun Pabelan juga memberikanku kebebasan, kebebasan
untuk menjadi diriku sendiri, kebebasan untuk menentukan cita-citaku.
Bagiku Pabelan bukanlah
mesin cetak yang dapat menghasilkan produk yang sama, ibaratnya kertas putih
yang dimasukkan akan menghasilkan kertas dengan tulisan atau gambar yang
serupa. Pabelan adalah sebuah panci berisi air mendidih yang output nya
sesuai dengan apa yang dimasukkan ke dalamnya. Jika kentang yang dimasukkan, ia
akan melunak, namun jika telur yang dimasukkan, ia akan mengeras.
Begitulah yang terjadi
dengan para santrinya, mereka tidak pernah dibentuk menjadi pribadi yang sama.
Pabelan tidak membentuk santri menjadi da’i atau kiai, Ia juga tak pernah
memaksakan santrinya untuk menjadi ilmuwan ataupun politisi. Pabelan membentuk
santrinya untuk menjadi dirinya sendiri. Menemukan potensi terbaik dalam
dirinya dan menggunakannya untuk kebaikan umat manusia.
Sebagai penutup, aku
cantumkan sebuah quote dari sebuah buku yang bagiku sangat menginspirasi dan dengan jelas menggambarkan
apa yang telah aku lalui di Pabelan. Aku membacanya pertama kali pada tahun
2010, ketika aku sedang mempersiapkan seleksi mengikuti program YES. Namun
kusadari, apa yang tertulis di situ ternyata telah diajarkan oleh Pabelan dan
kupraktikkan sejak awal aku menuntut ilmu di sini, sejak 5 tahun sebelumnya.
“Mimpi-mimpi
kamu, cita-cita kamu, keyakinan kamu, apa yang kamu mau kejar, biarkan ia
menggantung, mengambang 5 centimeter di depan kening kamu. Jadi dia nggak akan
pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu itu setiap
hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu bisa.
Apa
pun hambatannya, bilang sama diri kamu sendiri, kalo kamu percaya sama
keinginan itu dan kamu nggak bisa menyerah. Bahwa kamu akan berdiri lagi setiap
kamu jatuh, bahwa kamu akan mengejarnya sampai dapat, apapun itu, segala
keinginan, mimpi, cita-cita, keyakinan diri..
Biarkan
keyakinan kamu, 5 centimeter mengambang di depan kening kamu. Dan… sehabis itu
yang kamu perlu cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan
yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama
dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang
seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari
biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa..”
-
Donny
Dhirgantoro, 5 cm
Atsar dari Rumah Keduaku
Rizqi Anggita Lailatul
Hikmah
Namaku Rizqi Anggita Lailatul Hikmah,
teman-teman biasa memanggilku Anggi. Aku berasal dari keluarga sederhana yang
hidup di Ungaran, kota yang cukup luas berada di Kabupaten Semarang. Dari
kecil, orang tuaku menyekolahkanku di Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar yang
berbasis pendidikan Islam. Namun ketika aku menyelesaikan sekolah dasarku, di situlah
orang tuaku memberikan kebebasan kepadaku untuk memilih tempat aku akan
meneruskan pendidikan. Hingga akhirnya, dengan ajakan salah seorang temanku
kala itu, aku memutuskan untuk mencoba memulai kehidupan baruku di Pondok Pesantren Pabelan, rumah
keduaku yang mengantarkanku mendapatkan pengalaman tidak terlupakan sebagai
Exchange Student di Amerika. Pada awalnya orang tuaku sangat terkejut dengan
pilihanku ini, mereka menganggapku masih sangat kecil untuk memulai kehidupan
yang menuntut mandiri. Namun pada akhirnya kedua orang tuaku menyerahkan
semuanya kepadaku. Banyak ilmu dan pengalaman yang telah aku dapatkan selama
aku berada di rumah keduaku ini, salah satunya adalah pengalaman ketika aku
menimba ilmu di negeri Paman Sam. Membayangkan hal tersebut pun tidak pernah,
bermimpi pun tidak berani, namun Allah telah menunjukkanku jalan dengan
menuntun langkahku menuju Pesantren Pabelan.
Kisahku berawal ketika aku mengikuti
seleksi program YES (Youth Exchange
Student), program pertukaran pelajar ke USA kurang lebih selama satu tahun
(sebelas bulan). Tidak mudah memang, keikutsertaanku pada program ini karena
pada semua santri yang duduk di kelas IV atau kelas I Aliyah berkesempatan
mengikuti seleksi program YES. Awalnya aku sama sekali tidak berniat untuk
sampai pada tahap dimana aku menyandang predikat sebagai salah satu siswa pertukaran pelajar yang lolos ke USA.
Awal niatku hanya ingin melihat Kota Yogyakarta, karena kebetulan pada saat itu
proses penyeleksian diadakan di salah satu universitas di Yogyakarta. Ada salah
satu hal yang sangat berkesan untukku pada proses penyeleksian. Pada saat aku
membuat essay, aku memilih salah satu
tema yang pada saat itu aku sangat ingin memilihnya, entah mengapa, aku tidak
terlalu ingat dengan tema yang diberikan pada saat itu, tapi yang aku ingat
adalah judul dari karangan yang kubuat. “Doa
di atas segalanya, tetapi bukan segalanya”. Ya, itulah judul yang aku
pilih. Kalimat itu aku dapatkan dari seseorang yang sangat berharga untukku,
Ibuku. Sampai saat inipun, kalimat itu masih aku jadikan sebagai suatu
keyakinan, karena percaya atau tidak, banyak hal yang terjadi dalam kehidupanku
karena kalimat tersebut. Dan mungkin salah satunya adalah kisahku di Negeri
Paman Sam. Ya, begitulah niatku kala itu, hanya sekedar ingin melihat kota
Yogyakarta dan belum benar-benar ingin berpartisipasi dalam program YES ini.
Ternyata keberuntungan sedang berpihak
kepadaku, tidak lama setelah seleksi tahap pertama, hasilnya pun sudah kami dapatkan. Ternyata
aku merupakan salah satu di antara dua belas temanku yang saat itu lolos menuju
tahap kedua. Entah ini kebetulan atau semacam keberuntungan untukku. Pada
seleksi tahap kedua pun aku belum terlalu berniat untuk lebih serius dengan
keikutsertaanku pada YES program ini, jika niatku sekedar jalan-jalan pada waktu itu, sekarang niatku adalah hanya sekedar
ingin coba-coba . Seleksi tahap kedua tersebut aku jalani dengan niat coba-coba. Pada saat itu aku harus
melewati dua jenis interview, interview dalam Bahasa Indonesia dan interview dengan Bahasa Inggris. Sempat
merasa panik memang, karena niat coba-cobaku
itu, di samping itu kemampuan bahasa Inggrisku pun belum bisa dibilang cukup
baik. Dari situlah aku sudah yakin bahwa aku tidak akan lolos ke tahap
berikutnya. Namun ternyata keberuntungan itu masih berpihak kepadaku.
Aku menyebutnya masih dengan sebuah
keberuntungan karena aku tidak merasa bahwa hasil yang aku capai untuk sampai
pada tahap ini adalah hasil dari kerja kerasku. Dari sinilah aku mulai
menyadari, bahwa mungkin ini sebuah petunjuk untukku agar aku mengubah
keberuntungan yang telah aku dapatkan menjadi suatu prestasi yang akan aku hasilkan dari kerja kerasku. Singkat
cerita, pada seleksi tahap ketiga ini, juga merupakan seleksi tahap akhir di
tingkat chapter Yogyakarta, aku sudah
memulai untuk lebih mempersiapkan diriku, mempersiapkan segala hal yang mungkin
akan aku dapatkan ketika proses penyeleksian ini. Ternyata Allah masih
memberiku kesempatan untuk lebih berusaha dan belajar, ya aku lolos seleksi pada
tahap ketiga ini, dan masih ada satu tahapan lagi, yaitu seleksi tingkat
nasional yang akan diadakan di Jakarta. Berbagai macam perasaan yang aku
rasakan pada saat itu, namun satu yang pasti, bahwa sekarang niatku untuk ikut
serta dalam YES program ini bukan hanya sekedar ingin jalan-jalan atau coba-coba
lagi. Namun aku benar-benar ingin mengukir suatu prestasi yang sebelumnya tidak
pernah aku bayangkan sama sekali. Menjadi salah satu pelajar yang berkesempatan
untuk menimba ilmu di negeri Paman Sam.
Pada seleksi tahap nasional ini, aku
tidak hanya bersaing dengan pelajar-pelajar yang berasal dari Yogyakarta saja,
namun juga pelajar-pelajar dari seluruh Indonesia. Aku bersama kelima temanku
yang juga lolos pada seleksi tahap nasional ini berangkat ke Jakarta dengan
persiapan kami masing-masing. Doaku pada saat itu adalah, “Jika memang Allah mengizinkanku untuk kesempatan ini, berikan aku
kemudahan-kemudahan ya Allah, namun jika memang Engkau belum mengizinkanku
untuk kesempatan ini, jadikanlah proses ini sebagai pengalaman yang berharga
bagiku”. Dan akupun mengikuti semua proses seleksi tahap nasional hingga
akhir, tiga hari kami menjalani proses penyeleksian di tingkat nasional yang
bukan sekedar ingin lolos saja, namun ternyata ada hal yang juga sangat berharga,
yaitu pengalaman dan teman-teman baru.
10 Januari 2010, hari istimewa aku
tidak bisa melupakannya. Hari aku dan kelima temanku akan mendapatkan hasil
seleksi di tingkat nasional. Pada hari itu juga, akan diadakan salah satu
agenda besar pesantren, yaitu penyerahan kepengurusan OPP periode 2009-2010
kepada OPP periode 2010-2011. Di hari
itu aku dan kelima temanku diminta untuk datang ke kantor skretariat AFS chapter
Yogyakarta untuk menerima hasil dari seleksi nasional. Dan ternyata Allah
memberikan aku kesempatan itu! Aku bersama seorang temanku, Hibatul Wafi
merupakan 2 dari 9 pelajar dari chapter Yogyakarta, bersama 94 pelajar lain
dari seluruh Indonesia lolos pada seleksi tahap nasional. Itu artinya aku
berkesempatan besar untuk belajar di negeri Paman Sam selama 11 bulan! Pada
saat itu memang dikatakan bahwa kami merupakan calon exchange student yang
akan mendapatkan kesempatan itu, namun satu kalimat yang membuat kami untuk
tidak segera berpuas diri dan tetap berusaha untuk benar-benar mendapatkan
kesempatan itu, “kalian belum tentu akan
berangkat ke USA sampai kalian benar-benar duduk di atas pesawat yang akan
membawa kalian ke sana” . Itulah kalimat yang sering ditujukan kepada kami
semua, calon peserta exchange student
sehingga kami tidak segera merasa berpuas diri serta siap untuk menerima segala
kemungkinan, termasuk pembatalan keberangkatan yang mungkin saja terjadi.
Selain itu aku harus kembali ke Jakarta untuk memenuhi beberapa persyaratan
yang harus aku penuhi sebelum aku berangkat ke USA. Pada saat itu juga aku akan
bertemu dengan seluruh peserta dari seluruh wilayah Indonesia yang lolos dan
bersama-sama akan mewujudkan impian kami.
Kurang lebih selama tujuh bulan aku
mempersiapkan keberangkatanku menuju USA. Dan ketika waktu keberangkatanku
sudah dekat, semua berkas yang diperlukan untuk keberangkatanku pun sudah
terlengkapi, aku masih belum percaya dengan apa yang sudah aku dapatkan. Aku
ingat ketika Bapak Pimpinan Pondok Pesantren Pabelan,KH. Ahmad Najib Amin, memberikan
kesempatan kepadaku dan Wafi untuk berpamitan dengan menyelenggarakan sebuah
acara singkat di serambi masjid Pabelan. Dalam acara itu juga kami mendapatkan
beberapa pertanyaan dari adik-adik kelas kami yang jawaban dari pertanyaan
tersebut akan kami cari ketika kami berada di USA. Dan di saat itulah, aku baru
benar-benar tersadar, aku akan berangkat. Memulai kehidupan baruku di negara
orang dalam beberapa hari lagi.
Semua masalah administrasi dan
kebutuhan pribadiku telah aku siapkan, hanya menunggu waktu keberangkatanku
saja, beberapa hari menjelang keberangkatan aku manfaatkan sebaik-baiknya
bersama keluargaku. Hingga waktu itupun tiba, aku harus mengikuti orientasi
selama sepuluh hari di Jakarta.
Orientasi ini terasa sangat berat bagiku, bagaimana tidak? Rangkaian
acara dalam sepuluh hari selalu dimulai pada pukul 08.00 WIB dan selesai pada
pukul 22.00 WIB. Lantas dari pukul 22.00 sampai pukul 03.00 kami masih harus
latihan untuk membuat satu acara drama musikal yang kelak akan kami pertontonkan
kepada orang tua kami masing-masing ketika mereka datang di acara farewell party sebelum keberangkatan kami.
Beberapa hari kami sangat merasa
tertekan, bahkan beberapa dari kami ada yang dengan sengaja mengoleskan balsem
di sekitar daerah mata mereka agar tidak mengantuk selama orientasi
berlangsung. Namun ketika kami semua mulai terbiasa dan menikmatinya, waktu pun
terasa begitu cepat, hingga tak terasa kami sudah menginjak hari ke-7 masa
orientasi kami. Hari yang spesial bagi kami, karena di hari ini akan diadakan
acara farewell party yang itu artinya kami akan dipertemukan dengan orang tua kami.
Mereka akan melihat putra-putri mereka dalam sebuah drama musikal yang telah
kami persiapkan selama satu minggu. Acara ini diselenggarakan di Usmar Ismail
Hall. Rasa bangga, namun tidak membuat kami lupa diri, rasa haru, ketika nama
kami disebut dan disematkan di dada kami
satu lambang kebanggaan negeri ini, burung garuda kecil, dan orang tua
kamilah yang menyematkan burung garuda kecil tersebut. Entah mengapa pada saat
itu air mataku keluar dengan sendirinya, entah terbawa suasana pada saat itu yang
masing-masing kami sedang melepas rindu kepada orang tua kami, atau karena
melihat seseorang yang sangat aku sayangi, kini berada di depanku dan
menyematkan burung garuda kecil tersebut. Entahlah, yang jelas pada saat itu
aku hanya ingin memeluk Ibuku erat-erat.
Hari itupun tiba. Belum pernah aku
rasakan perasaan seperti ini, yakni dalam satu waktu aku merasakan berbagai
macam perasaaan. Senang, sedih, bangga, namun juga takut. Yang lebih membuatku
takut adalah pada saat keberangkatan pun aku belum mendapatkan calon orang tua
angkat selama aku di USA, atau biasa kami menyebutnya dengan host family. Padahal sebagian dari
teman-temanku sudah mendapatkannya, bahkan beberapa dari mereka sudah mulai
berkomunikasi dengan calon orang tua angkat mereka masing-masing. Aku tidak
dapat mengungkapkan dengan kata-kata tentang perasaanku saat itu, banyak hal
yang menggangguku. Selama perjalanan menuju bandara, aku hanya dapat memandangi
teman-temanku, kupandangi semua yang ada di depanku, namun aku tak tahu ke arah
manakah pikiranku saat itu. Tak terasa bus yang aku tumpangi sudah tiba di
Bandara Internasional Soekarno Hatta.
Yang ingin aku lakukan pada saat itu
adalah memanfaatkan waktu sebaik mungkin bersama keluargaku. Tetapi, pikiranku
kembali disibukkan dengan calon host family, yang hanya tinggal beberapa jam
saja belum jelas siapa. Namun tidak lama setelah itu seorang volunteer dari YES program memberiku
amplop putih. Tanpa berkata-kata lagi aku buka amplop itu, dan Alhamdulillah. Di dalam amplop itu
terdapat nama dari sebuah keluarga yang kelak akan menerimaku sebagai anak
angkatnya. Namun ketika aku membacanya, aku sedikit terkejut. Di situ jelas tertulis
bahwa keluarga itu hanya sebagai temporary
host family atau keluarga angkat sementara, dan aku hanya akan tinggal
selama tiga bulan di sana. Dalam waktu tiga bulan itu, pencarian untuk permanent host family akan
dilakukan dari YES program. Namun bukan itu yang membuat aku terkejut,
melainkan nama-nama calon Ayah dan Ibu angkatku serta calon adik-adikku di
sana. Di situ tertulis Sholahuddin Kafrawi dan Etin Anwar yang merupakan calon
orangtua angkatku, Rizky Kafrawi, Fadli Kafrawi, dan Jenna Kafrawi yang pada
saat itu masing-masing dari mereka berumur 15, 12, dan 9 tahun. Nama yang
sangat tidak asing kudengar. Karena sebelum membuka amplop tersebut aku sudah
membayangkan nama-nama asing yang akan terdengar di telingaku, seperti John,
atau George, Natalie, James, dan sebagainya. Dan setelah aku membaca sedikit
tentang mereka baru aku ketahui bahwa mereka berasal dari Indonesia namun sudah
menetap selama kurang lebih 16 tahun di Geneva, Upstate New York, USA. Setelah
mendapatkan amplop itu aku segera memberitahukan kabar gembira ini kepada
orangtuaku. Dan akhirnya waktu keberangkatan pun tiba.
Setelah kami semua berpamitan kepada
orangtua dan keluarga kami masing-masing, kami menuju pintu check in, sepanjang perjalanan menuju
ruang tunggu keberangkatan, banyak kakak volunteer dari AFS yang selama ini
membantu mempersiapkan segala hal turut mengantar kami. Tidak hanya itu mereka
juga menyanyikan lagu “Leaving On The Jet
Plane” untuk kami semua. Memang pada saat itu suasana haru lebih terasa
daripada kegembiraan, namun cukup waktu itu saja aku ingin menikmati dan
merasakannya, karena masih ada jalan panjang di depan mata yang harus aku lalui
selama aku di USA. Pesawat yang akan membawa kami ke Singapura telah datang.
Rute yang akan kami lewati untuk sampai di USA adalah Singapura dan Jerman,
setelah itu aku akan sampai di negara tujuan, USA. Dan inilah untuk pertama
kalinya aku berada di dalam pesawat. Belum pernah sebelumnya aku berada di
dalam pesawat, untuk pertama kalinya dan dengan tujuan yang sangat jauh.
Pengalaman pertama aku dapatkan.
Kurang lebih selama 23 jam kami
menempuh perjalanan udara. Akhirnya aku sampai di negara Paman Sam. Kami semua
akan tinggal di Washington DC selama tiga hari untuk mengikuti orientasi
sebelum kami ditempatkan di rumah host
family kami masing-masing. Di sini
aku bertemu dengan exchange student lain yang datang dari berbagai
negara seperti Italia, India, Saudi Arabia, Malaysia, Thailand, Fillipina,
Ghana, dan beberapa negara lainnya. Hari terakhir kami di Washington merupakan
hari yang spesial, selain akan bertemu dengan keluarga baru di esok hari, pada
hari itu pula kami akan memasuki bulan suci Ramadhan. Setelah sahur, kami
mempersiapkan diri kami masing-masing untuk menuju rumah baru kami. Pada saat
itu, jam keberangkatanku tergolong pada jam keberangkatan pertama. Karena
pesawat yang akan membawaku berangkat pada pukul 05.00 pagi waktu setempat.
Jadi setelah sahur aku dengan beberapa exchange
student lain yang berasal dari Ghana
dan Fillipina, berangkat menuju Dulles Airport yang kemudian kami akan
diterbangkan menuju Rochester.
Setibanya aku di Rochester Airport,
aku bersama dengan salah seorang volunteer YES program, Mr. Smith, menunggu
kedatangan keluarga Kafrawi. Tidak lama setelah itu, aku mendengar suara di
belakangku dan mengatakan “Selamat datang
Anggi di Amerika”, seketika itu aku melihat seorang Ibu bersama seorang
gadis kecil menggandeng tangannya. Ya, kini aku sudah bertemu dengan keluarga
baruku yang akan membantuku untuk beradaptasi di Amerika, sedikit sulit
kupercaya memang, karena aku masih bisa bertemu dengan orang Indonesia di
negara ini. Setelah aku berpamitan dengan Mr.Smith, Ibu Etin (Ibu, begitu aku
memanggilnya) membawaku menuju ke sebuah mobil yang ada di jalan keluar dari
bandara tersebut. Ketika itu di depanku ada seorang anak kecil laki-laki yang
membukakan pintu mobil untukku, di sampingnya duduk seorang anak laki-laki juga
yang tampaknya lebih dewasa darinya. Ya mereka adalah, Fadli dan Rizky Kafrawi,
dan gadis kecil tadi adalah Jenna. Kemudian aku juga menyalami seseorang yang
duduk di bangku kemudi, Bapak Sholahuddin Kafrawi. Banyak hal yang kami bicarakan selama
perjalanan kami menuju rumah mereka yang ada di Geneva, Upstate New York.
Bahkan ketika kami berkomunikasi masih menggunakan bahasa Indonesia, kecuali
ketika aku berbicara dengan ketiga anak kecil yang ada di depanku, mereka tidak
bisa berbahasa Indonesia, karena sejak lahir mereka memang tidak berada di
Indonesia. Kurang lebih selama dua jam perjalanan akhirnya aku sampai di sebuah
rumah besar berwarna putih, rumah khas di luar negeri yang dahulunya hanya bisa
aku lihat ketika aku menonton sebuah acara televisi. Setelah beristirahat
sejenak di ruang tamu, Ibu segera menunjukkan kamar yang akan aku tempati.
Rumah yang cukup besar, pikirku saat
itu, dengan halaman depan yang cukup luas dan terdapat sungai kecil di belakang
rumah. Kini Jenna, gadis kecil itu harus berbagi kamar denganku. Dia gadis
kecil yang sangat antusias terhadapku dibandingkan dengan dua kakaknya. Aku
banyak berbicara dengannya walaupun
dengan bahasa Inggrisku yang masih terbata-bata, namun sedikit banyak tampaknya
dia mengerti dengan pembicaraanku. Bahkan dia memintaku untuk mengajarinya bahasa
Indonesia, cukup menyenangkan kesan pertamaku pada gadis kecil itu. Tanpa
terasa waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 waktu setempat, waktu berbuka puasa
telah tiba, dan untuk pertama kalinya aku bersama dengan keluarga baruku
berbuka puasa bersama. Banyak hal yang kita bicarakan selama berbuka, hangat
sekali sambutan mereka terhadapku, pada saat itu, aku masih bisa berbuka puasa
dengan nasi putih dan beberapa jenis sayuran yang dimasak oleh Ibu. Dan Bapak,
begitu aku memanggil Bapak Sholahuddin Kafrawi, juga memberitahuku bahwa mereka
akan membantu dalam menyelesaikan beberapa hal
agar aku dapat memulai sekolahku ketika libur musim panas usai. Aku akan
bersekolah di salah satu sekolah menengah atas, yaitu Geneva High School. Tidak
hanya itu, Ibu juga memberitahuku bahwa dalam beberapa hari lagi akan ada
seseorang yang datang mengunjungiku, Merry Hess. Seorang volunteer YES program (Local
Coordinator) yang telah menemukan
keluarga Kafrawi dan akan mencari permanent
host family untukku. Dia juga akan mengunjungiku sekali dalam satu bulan
guna memantau dan melihat perkembanganku. Jadi, bisa dikatakan bahwa dialah
orang yang akan bertanggung jawab terhadapku selama aku di sini.
Setelah selesai berbuka, kami segera
melakukan sholat magrib dan isya’ berjamaah yang kemudian dilanjutkan dengan
sholat tarawih. Terbesit rasa rinduku saat itu dengan suasana ramadhan di
Pabelan. Bahkan aku sempat menitikkan air mata, suasana yang sangat berbeda
kini aku rasakan. Namun aku bersyukur, di keluarga Kafrawi ini aku tidak
sendirian menjalankan ibadah puasa. Dan rasa letih kini menyerangku, bahkan aku
tidak bisa menahan kantuk ketika Jenna sedang asyik berbicara denganku, jadi
harus meminta maaf pada gadis kecil itu. Namun tampaknya dia sedikit kecewa,
hingga kemudian Ibu masuk ke kamar kami dan berkata, “Jenna, you’ve to let her sleep, she’s still jetlag. You can talk to her
tomorrow,right?” Dan dengan sedikit rasa kecewa, dia berkata, “Ok mom, and Anggi, good night”. Aku
hanya tersenyum dan sejenak memandanginya, dan berkata pada diriku sendiri, “Aku tidak pernah merasakan punya adik
sebelumnya, karena aku merupakan anak bungsu di keluargaku, dan kini aku
menjadi seorang kakak untuk ketiga adikku di sini”. Tanpa terasa aku lelap
dalam tidurku hingga Ibu membangunkanku untuk sahur. Alhamdulillah Ya Allah, Engkau memberiku kemudahan untuk tetap menjalankan
ibadah di bulan suci-Mu. Dengan mengirimkan keluarga Kafrawi sebagai keluarga
baru yang banyak membantuku untuk beradaptasi di negeri ini.
Banyak pengalaman yang sudah aku
dapatkan hanya dalam beberapa hari saja. Ini merupakan hari aku akan bertemu
dengan Merry Hess. Kudengar seseorang mengetuk pintu di depan, dan Ibu sudah membukakannya,
kudengar sebuah percakapan dengan bahasa Inggris antara Ibu dan orang tersebut.
Benar saja, itulah Merry Hess. Tidak lama setelah itu, Ibu memanggilku, akupun
keluar dengan sedikit rasa takut, bukan takut karena akan bertemu dnegan orang
asing, melainkan takut jika pada saat kami berbicara, dia tidak bisa memahami
bahasaku. Namun ketakutanku seketika hilang setelah aku bertemu dengannya.
Perempuan 50 tahun itu sangat mengerti keadaanku, dia dengan sabar menungguku
untuk menceritakan semua yang ingin aku katakan. Hingga aku merasa sangat
nyaman dan tidak merasa sungkan untuk berbicara, dia juga memberitahuku bahwa
dia sedang bekerja keras untuk menemukan permanent
host family untukku, dia juga sudah mengatur waktu pertemuanku dengan
Mr. Mc Sweeney, salah satu school counselor di Geneva High School yang
akan membantuku untuk mempersiapkan segala hal yang aku perlukan sebelum aku
memulai sekolahku. Setelah banyak hal yang kami bicarakan, Merry pun berpamitan
dan memberikan alamat email serta
nomor handphone miliknya jika ada
sesuatu yang ingin aku bicarakan. Aku sangat terkesan dengannya dan aku sangat
beruntung memiliki Local Coordinator seperti dirinya.
Tidak terasa satu bulan sudah aku di
sini, dan itu artinya sebulan sudah aku menjalankan ibadah puasa. Hari saat
semua umat islam bersukacita menyambutnya, Hari Raya Idul Fitri. Aku merayakan
Idul Fitri pertamaku di negeri Paman Sam ini dengan keluarga Kafrawi, seorang
teman dan juga tetangga kami Husein yang
berasal dari Syiria hanya sudah menetap di Geneva selama tujuh tahun, dan juga
Mr dan Mrs. John mereka adalah muallaf
dan baru akan merayakan lebaran pertama mereka bersama kami. Untuk dapat
mengikuti sholat Idul Fitri kami harus menuju Islamic Center di
Rochester, membutuhkan waktu kurang lebih selama dua jam dari Geneva. Setelah
kami menyelesaikan sholat Idul Fitri, kami menikmati acara-acara yang sudah
disiapkan oleh pihak Islamic Center dalam memperingati hari raya ini. Di antaranya
seperti pameran makanan dan minuman halal, pameran berbagai kumpulan buku
tentang Islam, dan fasilitas permainan anak-anak yang dapat dinikmati oleh
anak-anak kecil yang ada. Setelah kami menikmatinya, kami segera menyiapkan
diri kami untuk kembali ke rumah kami masing-masing, mengingat jarak yang kami
tempuh untuk kembali ke rumah kami cukup jauh.
Liburan musim panaspun akan segera
berakhir, dan itu artinya aku akan segera mamulai sekolah pertamaku di Geneva
High School. Jujur saja, pada saat itu aku takut untuk memulai sekolahku, bukan
hanya karena Bahasa Inggrisku yang terkadang masih terdengar aneh oleh
orang-orang di sekitarku, namun juga karena pakaian yang aku kenakan ke
sekolah. Karena pada saat itu, akulah satu-satunya orang di sekolah ini yang
mengenakan hijab, jadi bisa dibayangkan bagaimana anehnya aku di mata mereka
pada saat itu. Seperti yang kubayangakan, ketika aku memasuki koridor sekolah
dan berjalan menuju lokerku, semua orang menatapku. Aku tahu arti pandangan
mereka terhadapku, pasti mereka bertanya-tanya
mengenai hijab yang kupakai. Namun mereka tidak bertanya, hanya
menatapku. Akupun berusaha untuk
mengendalikan diriku, walaupun memang pada saat itu aku benar-benar tidak tahu
apa yang harus kulakukan, jadi aku hanya berjalan dan terus berjalan.
Pertanyaan-pertanyaan yang sama aku dapatkan di setiap kelas berbeda yang aku
ikuti pada hari itu. Dan pertanyaan itu tidak terlepas mengenai hijab yang
kupakai, letak negara Indonesia, dan dengan siapa aku tinggal selama aku di
sini. Pada saat itu aku memberikan jawaban yang terkesan singkat dan apa
adanya, karena pada saat itu aku belum terlalu lancar berbahasa Inggris.
Seiring berjalannya waktu aku mulai terbiasa dengan keadaan ini dan merekapun
mulai terbiasa melihat aku berpakaian seperti ini, bahkan aku mulai mengikuti
beberapa ekstrakulikuler di sekolah seperti soccer
dan karate. Dari situlah aku mulai mendapatkan rasa percaya
diriku, mulai mendapatkan teman, dan yang terpenting adalah aku mulai menikmati
waktuku di negeri Paman Sam.
Tanpa terasa tiga bulan sudah aku
bersama keluarga Kafrawi. Merry memberitahuku bahwa dia sudah menemukan permanent host
family untukku, sebelum aku pindah,
Merry mempertemukanku dengan mereka, keluarga Arthur. Pada saat itu aku sangat
takut, takut jika mereka tidak menyukaiku. Pertemuan pertama kami gunakan untuk saling mengenal. Christoper
Arthur dan Sharon Arthur, adalah nama orang tua angkatku. Mom, begitu aku
memanggil Sharon, adalah wanita yang sangat ramah, pekerja keras, dan penyayang. Sedangkan Dad,
begitu aku memanggil Chris, adalah seseorang yang lucu, suka bernyanyi, dan
sangat suka ice cream. Di rumah itu juga tinggal seorang nenek, Ibu dari Chris,
Joyce Arthur yang biasa aku panggil
Grandma . Chris and Sharon mempunyai tiga orang anak, tetapi ketiganya sudah
duduk di perguruan tinggi dan sudah tidak tinggal di rumah itu lagi. Ternyata ada penghuni lain juga di rumah tersebut, Jessie, seekor anjing besar
berwarna putih yang sangat ramah. Setelah kami membicarakan banyak hal,
termasuk tentang kepindahanku di rumah itu, aku dan Merry berpamitan. Dan
sepanjang perjalanan menuju rumah Ibu Etin, tak henti-hentinya aku berterima kasih
kepada Merry, karena dia telah menemukan host family yang baik untukku.
Akhirnya waktu kepindahanku ke
keluarga Arthurpun tiba. Jenna tampaknya sedikit kecewa mendengar hal tersebut.
Ya aku sudah sangat dekat dengannya, bahkan beberapa kali dia menanyakan kepada
Ibu kenapa aku harus pergi dari rumah itu. Merry yang pada saat itu juga
bersamaku, ikut menjelaskan kepadanya, dan akhirnya dia mengerti. Setelah aku
berpamitan kepada Bapak,Ibu, dan ketiga adikku, Merry mengantarku menuju rumah
keluarga Arthur yang lokasinya hanya berjarak sekitar 15 menit dari rumah Ibu
Etin. Sambutan yang sangat hangat oleh Ibu dan Nenekku pada saat itu. Setelah
kami berbincang-bincang sebentar, Merrypun berpamitan dan kini aku sudah
tinggal bersama keluarga Arthur untuk delapan bulan ke depan. Banyak sekali
pengalaman yang aku dapatkan selama aku tinggal bersama mereka. Kebetulan
ketika aku berada keluarga Arthur, musim gugur akan segera berganti menuju
musim dingin. Dan itulah pertama kaliku melihat salju. Tidak lama setelah musim
dingin datang, Ayah dan Ibu mengajakku
menaklukkan puncak Mt. Adirondack. Tidak seberapa tinggi memang, namun bisa
dibayangkan kami melakukan pendaakian itu di musim dingin, ketika puncak gunung
tersebut berubah, dari bebatuan menjadi es.
Mereka juga sangat menyukai masakanku,
pada saat itu aku mencoba membuat sate dan lumpia, mereka sangat menyukainya,
bahkan aku pernah diminta untuk membuat lumpia untuk orang-orang di gereja
tempat Mom beribadah. Ibu sering mengajakku ke gereja dan dia sangat ingin memperkenalkanku
kepada semua teman-temannya yang ada di gereja. Tidak seperti yang kubayangkan,
ternyat mereka semua menerimaku dengan baik, sangat menghargaiku dan
keyakinanku. Bahkan aku pernah diminta untuk melakukan presentasi tentang
Indonesia dan Islam di gereja mereka, respons mereka pun sangat baik, banyak
dari mereka yang menanyakan tentang Islam dan Indonesia. Terutama ketika aku
menampilkan salah satu slide yang
berisi fotoku sedang bersama teman-temanku di Pabelan. Mereka sangat antusias dengan seragam sekolah
dan hijab yang kami kenakan. Mereka sudah menganggapku sebagai saudara mereka
sendiri walaupun memiliki keyakinan yang berbeda dan hal tersebut tidak membuat mereka memandang aneh kepadaku.
Sesekali aku tidak datang bersama Ayah dan Ibuku ke gereja, mereka akan
bertanya kepada ibuku mengapa aku tidak datang bersama mereka.
Hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh
keluargaku dan seluruh umat kristiani di seluruh negeri. Hari Natal tiba. Dan
itulah pertama kalinya aku merayakan natal bersama orang tuaku dan seluruh
keluarga besar Arthur. Pada hari itu juga aku bertemu dengan ketiga saudaraku,
anak-anak dari Chris dan Sharon. Mereka semua lebih dewasa dariku dan seperti
orangtuanya, mereka juga sangat baik terhadapku. Kukatakan dalam hatiku pada saat
itu, saat aku merayakan natal bersama mereka. Ya Allah, aku hanya ingin
menghargai mereka. Begitu banyak hal
yang kulakukan di hari natal pertamaku. Ikut membantu ayahku memotong dan
menghias pohon natal, membuat kue natal,
dan juga membantu Ibuku membungkus banyak kado untuk anak-anak gereja. Akupun
mendapat banyak hadiah natal dari keluarga dan saudara-saudaraku di sana.
Mereka bahkan tidak membedakanku, mereka juga menghargaiku. Mereka membuatku
nyaman dan merasa bahwa aku adalah bagian dari keluarga mereka, banyak kebaikan
yang telah mereka lakukan untukku.
Tanpa terasa musim demi musim telah
aku lalui bersama keluarga Arthur. Dan kini musim dingin pun akan berganti
menjadi musim semi. Semua warga di sekitar rumahku berlomba-lomba untuk
menghias taman masing-masing. Tidak hanya itu, mereka juga secara bersama-sama
membenahi taman kota yang ada di Geneva, tempat semua tanaman di taman kota
tersebut mati ketika tertimpa salju di musim dingin. Akupun ikut membantu
bersama Ayah dan Ibu. Pada saat itu aku bertemu dengan orang-orang baru dan
tetangga kami. Merekapun sangat antusias terhadapku, dan dengan senang, Ibu memperkenalkanku
kepada mereka. Sungguh pengalaman yang sangat berharga untukku. Setidaknya
keberadaanku bisa memberikan sedikit manfaat bagi orang-orang di sekitarku.
Liburan musim semipun tiba, walaupun tidak sepanjang libur pada musim panas,
namun liburan ini juga sangat penting bagi orang-orang Amerika. Waktu yang akan
digunakan oleh orang-orang Amerika untuk menghabiskan waktu bersama keluarga
dan teman-teman, begitu juga dengan Ayah dan Ibuku.
Mereka mengajakku untuk berlibur. Yang
membuatku senang pada saat itu bukan hanya karena mereka mengajakku untuk berlibur, tetapi mereka melakukan ini karena
mereka ingin mempunyai waktu khusus bersamaku sebelum aku kembali ke Indonesia.
Ya aku akan kembali ke Indonesia dua bulan lagi. Waktu yang sangat singkat bagi
kami, tanpa terasa aku sudah menghabiskan waktu bersama mereka selama enam
bulan. Ibuku tahu bahwa aku sangat ingin pergi ke San Fransisco, karena aku
sangat tertarik dengan keindahan di setiap sudut kota tersebut, dan yang paling
menarik adalah keberadaan Golden Gate Bridge. Ibu memberitahuku bahwa kita akan
ke San Fransisco, California. Aku benar-benar tidak bisa membayangkannya!
Sebentar lagi aku akan mengunjungi tempat yang dari dulu sangat ingin aku
kunjungi. Namun Ibu juga memberitahu sebelum menuju destinasi utama kami, yaitu
San Fransisco di California, kami akan berkunjung ke salah satu saudara dari Ibuku
yang ada di Arizona. Selama di Arizona Ibu sudah membuat daftar tempat yang
akan kami kunjungi ketika kami di sana. Kami akan mengujungi Sedona dan Grand
Canyon yang sangat terkenal dengan keindahan alamnya, kemudian kami akan
mengunjungi salah satu bendungan termegah yang pernah dibuat oleh manusia,
Hoover Dam yang terletak di perbatasan antara Arizona dan Nevada, sehingga jika
di tempat ini kita akan mendapati dua zona waktu yang berbeda.
Setelah itu, karena kami sudah berada
di perbatasan Arizona dan Nevada, maka Ayah dan Ibu mengajakku untuk
mengunjungi salah satu tempat yang sudah sangat terkenal di Nevada, Las Vegas.
Namun kami tidak menghabiskan banyak waktu, karena Ibu khawatir kepadaku, dia
sudah sangat mengenalku dan keyakinanku, jadi Ibuku khawatir jika aku tidak
nyaman dengan banyak pemandangan aneh yang ada di Las Vegas. Ya, dia
memberitahuku itu, dan aku hanya bisa tertawa pada saat itu. Setelah
menghabiskan sedikit waktu kemudian kami menuju destinasi utama kami,
California. Aku sangat takjub dengan keindahan alam yang ada di sana. Sebelum
kami menuju San Fransisco, Ibu mengajakku untuk mengunjungi Giant Forest, tempat aku dapat melihat pohon
tertua dan tertinggi di dunia. Kami juga mengunjungi air terjun yang terkenal
di California, Firefall, atau air terjun api yang ada di Taman Nasioanl
Yosemite California. Air terjun yang yang jatuh dari puncak tebing El-Capitan
itu akan berubah warnanya seperti lava pijar ketika perubahan musim salju ke
musim semi, tepatnya di bulan Febuari. Namun sayang pada saat itu kami
berkesempatan untuk mengunjungi tempat tersebut pada bulan April, jadi kami
tidak bisa melihat fenomena alam tersebut. Dan akhirnya kami menuju destinasi
utama kami, San Fransisco.
Sepanjang perjalananku menuju San
Fransisco, aku tidak bisa memalingkan pandanganku ke jendela luar mobil. Aku
sangat terkesan pada setiap sudut kota ini, kemudian Ibu mengajakku menuju Bay
Aquarium. Setelah itu kami baru menuju Golden Gate Bridge. Tidak hanya
melihatnya saja namun kami juga berjalan menyeberangi jembatan yang
menghubungkan kota San Fransisco dengan wilayah Marin dengan jarak kurang lebih
tiga kilometer. Sungguh pengalaman yang tidak akan pernah kulupakan, banyak
sekali pengalaman yang aku dapatkan selama liburan ini, dan kami menghabiskan
waktu selama sepuluh hari untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut. Terima kasih
Ya Allah, Engkau telah mempertemukanku dengan keluarga yang sangat luar biasa,
keluarga yang memperlakukanku dengan sangat hangat, tidak pernah membedakan
apapun walaupun kami mempunyai banyak perbedaan. Aku bahkan tidak tahu apakah
aku dapat membalas semua kebaikan mereka suatu saat nanti.
Tak terasa sebelas bulan telah
berlalu, setelah aku menyelesaikan sekolahku di Geneva High School dan
mengikuti upacara kelulusan, Ayah dan Ibuku mengadakan pesta kecil untuk
merayakan kelulusanku; pesta itu merupakan salah satu budaya di Amerika ketika
anak-anak mereka sudah menyelesaikan kewajiban mereka untuk bersekolah. Selain
itu, pesta tersebut juga merupakan farewell
party untukku. Pesta itu dihadiri
oleh orang-orang terdekat dari Ayah dan Ibuku, keluarga Kafrawi, guru dan
teman-temanku di sekolah, dan tentunya Merry. Di pesta itu aku membuat beberapa
makanan khas Indonesia, seperti sate dan lumpia. Dan semua orang menyukainya,
bahkan Ibu Etin dan Bapak pun juga memuji makananku. Sebelum aku pergi, Ibu
memintaku untuk mengajak pergi menuju Islamic Center yang ada di Rochester
tempat aku beribadah bersama keluarga Kafrawi dulu. Ibuku ingin mengetahui
seperti apa tempatku beribadah. Dan akhirnya aku dan Ibuku pergi menuju Islamic
Center bersama Ayah dan nenekku. Dan yang sangat membuatku berkesan adalah
mereka, Ibu dan nenekku mau mengenakan pakaian panjang dan sangat tertutup
ketika akan mengunjungi masjid yang ada di Rochester tersebut. Termasuk
mengenakan hijab, walaupun hanya sekedar untuk menutup kepala mereka saja,
namun aku sangat terkesan. Mereka sangat menghargaiku.
Saat malam terakhirku, aku benar-benar
tidak bisa tidur. Padahal besok aku harus bangun lebih awal karena pesawat yang
akan membawaku menuju Washington DC berangkat pada pukul 08.00 waktu setempat.
Dan aku membutuhkan waktu selama dua jam untuk sampai di Rochester Airport.
Perasaan yang aku rasakan satu tahun yang lalu kini aku rasakan lagi, merasakan
berbagai macam perasaan dalam satu waktu.
Senang karena aku akan pulang ke Indonesia dan bertemu dangan keluarga
dan teman-temanku, namun aku juga sedih karena harus meninggalkan keluarga ini.
Mereka sudah seperti orang tuaku sendiri, begitu juga mereka, telah
menganggapku seperti puteri mereka sendiri, bahkan mereka tidak sungkan-sungkan
untuk mengungkapkan rasa sayang mereka kepadaku. Hal tersebut merupakan salah
satu budaya baru untukku, mengungkapkan rasa sayang kepada orang-orang terdekat
seperti orangtua, saudara, dan teman-teman terdekat dengan saying I love you dan I miss you, yang di Indonesia kalimat-kalimat
tersebut sangat jarang aku temukan dalam interaksi sehari-hari.
Hari itupun tiba, hari aku akan
bertemu dengan semua temanku yang mengikuti program ini. Kami semua akan
bertemu di Washington DC untuk kembali mengikuti reorientasi selam tiga hari
sebelum kembali ke negara masing-masing. Sepanjang perjalanan menuju Rochester
Airport, nenekku tidak pernah melepaskan genggaman tanganku. Mereka juga
merasakan apa yang aku rasakan. Begitu juga Ayah dan Ibuku, tak henti-hentinya
mereka berkata kepadaku bahwa mereka akan selalu merindukanku, dan berjanji
suatu saat akan mengunjungiku di Indonesia. Betapa beruntungnya aku bisa
mendapatkan host family seperti mereka.
Terima kasih Ya Allah telah
mempertemukanku dengan mereka, keluarga Arthur. Terimakasih untuk YES program
yang telah memberikan aku kesempatan untuk merasakan peengalaman yang sangat
berharga ini, dan terima kasih Pabelan yang telah menjembataniku untuk
mendapatkan kesempatan ini.
Allah
Menuntunku ke Pabelan
Syahril
Huda Andriyan
Saya berniat untuk masuk ke pondok
pesantren sejak saya akan lulus dari sekolah dasar di daerah Sumatera tepatnya
di Bengkulu. Orang tua saya berpesan, “Siapa
yang akan mendoakan bapak ibu kalau nanti sudah meninggal?”. Atas bimbingan
dan tuntunan orang tua, tekad saya bulat dan kuat. Mereka memberikan saya tiga
pilihan pondok pesantren di tanah Jawa di antaranya Pabelan. Seteleh kelulusan
dan pengambilan ijazah saya berangkat didampingi ibu saya menuju kota Jogja
untuk mendaftar di salah satu pondok pesantren di kota tersebut karena
pertimbangan tempat yang dekat dengan kakak saya yang sedang kuliah di sana.
Hari pertama mendaftar ternyata pendaftaran sudah ditutup karena kuota telah
terpenuhi dan saya beralih ke pondok pesantren yang kedua masih di daerah yang
sama, namun saya tidak merasa cocok dengan suasana lingkungannya yang berada di
tengah kota. Dan keesokan harinya kami pun berangkat ke daerah Magelang sekitar
satu jam perjalanan dari kota Jogja.
Udara yang sejuk dan lingkungan
pedesan yang asri itulah kesan pertama saya saat menginjakan kaki pertama di Pondok
Pesantren Pabelan. Suasana masih terasa sepi karena para santri sedang liburan
semester dua. Setelah diajak berkeliling kompleks pondok dan merasa cocok
dengan suasana, lingkungan, dan beberapa penjelasan mengenai sekolah,
keseharian, ekstrakurikuler, dan pertukaran pelajar ke luar negri. Saya pun
menjadi semakin mantap untuk mendaftar dan tekad saya waktu itu adalah pergi ke
Luar Negeri. Hal yang tak pernah terlintas di pikiranku mengagetkan bahwa saya hadir
di pondok pesantren yang dulu menutup pendaftaran untuk saya karena diundang
untuk menerangkan salah satu kegiatan yang sudah berlangsung lama di Pabelan
yaitu kegiatan IAYP (International Award for Young People).
Waktu itu saya bersama M Yuniar Fahmi, dan kakak angkatan saya Wahyu Dono
sebagai peserta program tersebut dan ditemani oleh Ibu Nyai Nurul Faizah sebagai koordinator kegiatan tersebut.
Bagaimana Allah membuka mata hati saya bahwa di setiap rencana Allah terdapat
rahasia yang begitu besar yang tidak dimengerti makhluknya. Begitu pula saat
saya dapat mencapai cita-cita saya waktu pertama kali saya mendaftar dulu,
berkesempatan untuk menginjakkan kaki di negeri matahari terbit melalui program
pertukaran pelajar JENESYS (Japan-East Network of Exchange for Students
and Youths) yang diselenggrakan oleh Jepang dan dilaksanakan MENPORA dan atas kepercayaan pondok
pada tahun kelima saya menyantri. Alhamdulillah tidak sepeser uang pun
yang saya keluarkan dalam kegiatan tersebut. Mungkin hal tersebut akan berbeda
cerita apabila saya tidak di Pabelan.
Pondokku bagai Ibu yang Membimbingku
Memutuskan untuk menyantri di pondok Pabelan,
itu berarti sudah siap untuk keluar dari zona nyaman yang kita miliki. Orang
tua yang selalu ada dan mengurusi semua keperluan kegiatan kita harus ditinggalkan
untuk semnentara waktu. “Masuk ke Pabelan haruslah sepenuh hati jangan setengah-setengah
seperti halnya kita masuk ke dalam agama Islam seperti kalimat dalam Al-Qur’an Udhulu
fissilmi kaffah ‘masuklah ke dalam Islam secara sempurna jangan
setengah-setengah’. Begitulah kiai sering mengingatkan kami. Tdak jauh dari itu
saya ingat ketika K.H Ahmad Najib Amin mengumpulkan kami dan menanyakan perihal
ke-Islaman kami. “Apakah kalian masuk Islam
dengan sengaja atau karena orang tua kalian beragama Islam?” Kami hanya
terdiam karena memang begitu adanya. Dan beliau melanjutkan “Mari kita perbarui syahadat kita dan benar-benar
memasuki agam Allah ini dengan utuh karena walau pun kita mengucapkan syahadat
dalam azan dan shalat hanya secara otomatis bukan karena kesadaran diri sendiri”.
Dengan dibimbing oleh bapak kiai kami pun memperbarui syahadat kami.
Mengenai otomatis, beliau selalu
mengingatkan kami untuk tidak menjadi manusai yang otomatis. Manusia yang
melakukan sesuatu dengan tidak sengaja dan keluar pun tidak mendapatkan apa-apa
dari perbuatan tersebut. Dia tidak dapat mengahayati dan mengambil pelajaran
dari apa yang telah ia perbuat. Begitu pula seperti yang dikatakan oleh pak
kiai dalam shalat pun kadang kita tidak sengaja atau secara otomatis melakukan
gerakan dan membaca bacaan dalam shalat, sehingga kita tidak mendapatkan hikmah
dan pelajaran dari ibaadah tersebut. Sehingga tujuan shalat yang tanha
anil fahsyahi wal munkar ‘mencegah perbuatan keji dan munkar’, tidak
tercapai.
Kegiatan awal untuk santri baru adalah
Khutbatul
Iftitah ‘khutbah pembukaan’ yang
merupakan nama lain dari masa orientasi di sekolah pada umumnya. Dari khutbatul
iftitah tersebut diterangkan bagaimana pondok Pabelan. Diterangkan oleh para pimpinan
pondok K.H Ahmad Mustofa, K.H Muh Balya, dan K.H Ahmad Najib Amin. Lewat khutbah
tersebut pimpinan pondok mengingatkan bahwa “Jangan menilai pondok Pabelan seperti kera yang menilai memakan buah
manggis”. Ungkapan tersebut dapat dihayati bahwa pimpinan memberikan
perumpamaan yang sangat mudah dipahami anak yang baru lulus sekolah dasar.
Dengan mengumpamakan seekor kera memakan manggis dengan cara menggigit langsung
kulitnya tanpa dibuka terlebih dahulu. Namun kera tersebut membuangnya karena
rasa kulit manggis yang pahit tanpa mengerti bahwa di balik kulit pahit
tersebut terdapat buah yang sangat lezat rasanya. Pimpinan pondok membimbing
para santri untuk tidak melihat suatu hal hanya dari kulit atau luarnya saja; termasuk
menilai orang, lembaga, permasalahan, dan apapun itu dalam memandang sesuatu.
“Pabelan
itu hanya memberi fasilitas bukan mesin pencetak orang hebat” kata tersebut
juga disampaikan pula dalam khutbah tersebut. Dapat diambil makna bahwa Pabelan
tidak menuntut santri untuk menjadi seorang ulama atau pun kiai yang besar
namun Pabelan memberi fasilitas apapun yang menjadi minat santri tersebut sehingga
banyak santri lantas alumninya menjadi pengusaha, guru, tentara, dan lain
sebagainya. Dalam pendidikannya selalu
menyeimbangkan antara ilmu agama dan ilmu umum karena pabelan menggunakan
kurikulum KMI yang diadopsi dari Pondok Gontor disatukan dengan pendidikan
sekolah pada umumnya. Dari konteks tersebut dapat disimpulkan bahwa hidup harus
seimbang antara dunia dan akhirat, “Bekerjalah
kamu seperti kamu akan hidup selamanya di dunia dan beribadahlah seperti kamu
akan meninggal besuk”. Seperti pada ayat Qur’an surah al-Jum’ah menerangkan
bahwa saat shalat jum’at semua kegiatan ditinggalkan menuju masjid untuk
menunaikan shalat jum’at, namun selesai ditunaikan maka berhamburanlah di muka
bumi Allah untuk mencari rezeki. Bahwa muslim harus mempunyai etos dalam
berkerja dan beribadah. Karena semua hal tersebut sangat berhubungan erat
antara dunia dan akhirat.
Di pesantren santri diperkenalkan dengan
organisasi sejak pertama nyantri
sampai menyelesaikan pendidikan. Mulai dari organisasi terkecil yaitu
organisasi kamar, organisasi kelas, dan organisasi lebih besar lagi seperti OPP
(Organisasi Pelajar Pondok), pramuka, panitia ujian apabila telah menjadi
santri praktik, dan organisasi lainnya. Tujuan dari organisasi tidak lain untuk
memberikan pendidikan terhadap santri tanggung jawab, memecahkan masalah, dan
kerjasama yang akan dipakai terus sampai santri kembali ke masyarakat. Tidak bisa
terlepas dari pengawasan pimpinan pondok yang di sini mempunyai peran sebagai
orang tua yang siap mengingatkan anaknya apabila dalam melaksanakan organisasi
tersebut tidak sesuai dengan jalurnya.
Kullukum ra’in wakullukum mas’ulun an
rainyatihi, ‘Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan
diminta pertanggungjawabannya’. Kata itu selalu melekat dalam ingatan saya sampai
sekarang dan akan terus melekat sampai kapan pun. Bagaimana pemimpin akan
diminta pertanggungjawabannya karena hakikatnya manusia adalah pemimpin khalifah
fil ard. Dari yang organisasi terkecil yaitu diri kita sendiri
bagaimana kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri dan bagiaman cara kita
memimpin diri kita untuk selalu berbuat baik, beribadah, dan memanfaatkan apa
yang telah Allah titipkan kepada kita mulai dari ujung kaki sampai ujung
kepala. Semua itu akan diminta pertanggungjawaban. Begitu pula seorang presiden
yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat dan negara yang dipimpinnya
baik di dunia maupun akhirat. Begitu beratnya tanggug jawab seorang pemimpin
tidak hanya dirinya sendiri tetapi juga bertanggung jawab atas apa yang ia
pimpin. Hal tersebut mengingatkan saya di Pabelan kebanyakan santri merasa
berat apabila ditunjuk atau dipercaya sebagai seorang pemimpin. Pemilihan ketua
OPP tidak ada kampanye yang berlebihan hanya orasi yang menyampaikan visi dan
misi walau pun cara pemilihannya sama dengan pemimipin pada umumnya yaitu
dipilih langsung oleh rakyat pesantren. Panorama ini berbanding terbalik dengan
kejadian di luar sana yang berlomba-lomba mendapatkan jabatan yang setingginya hingga
rela menghabiskan harta untuk mencapai keinginan tersebut. Sesuai tujuan masing-masing maka tak heran
apabila keinginan tidak tercapai dan harta benda sudah habis tidak sedikit
menjadi gila.
Belajar Di mana pun Kita
Berada
Menjadi orang selalu berusaha
sebagaimana mahfudzot yang pertama kali diberikan bagi santri baru man
jadda wa jada ‘barang siapa bersungguh-sungguh dia dapatkan’. Prinsip
siap tidak siap harus siap menjadikan santri terampil dan terlatih dalam
mengarungi hari-hari selama di Pabelan. Begitu pula saat saya mendapat
kepercayaan dari pimpinan untuk mendampingi native speaker dari
Amerika yang merupakan guru diperbantukan untuk mengajar bahasa Inggris di
Pabelan melalui program AMINEF (The American Indonesian Exchange Foundation);
itu berarti semua kebutuhan yang diperlukan guru tersebut menjadi tanggung
jawab saya.
Bermodal bahasa Inggris yang pas-pasan
dan tekad serta amanat pimpinan saya sanggupi kepercayaan tersebut. Saya
mendapat kesulitan dalam mengurus perizinan di kantor Imigrasi Wonosobo karena
ilmu dan pengalaman yang nol. Dengan penuh tekad saya berusaha untuk
melaksanakannya. Pertama saya bertanya kepada Hibatul Wafi tentang syarat dan
kelengkapan yang harus dibawa karena ia pernah mengurus perijinan guru Amerika
sebelumnya. Setelah menyiapkan syarat dan kelengkapan yang dibawa saya pun
berangkat bersama guru tersebut. Namun semua tidak sesuai rencana karena masih
ada surat yang belum lengkap dan format perizinan yang masih salah. Saya
mencoba untuk mengontak salah seorang staff AMINEF dan menanyakan perihal tersebut namun antara Aminef dan
pihak Imigrasi berbeda pendapat sehingga menghambat proses perizinan. Saya
dipersalahkan pihak imigrasi karena tidak mengerti perihal persyaratan perizinan.
Dengan bekal amanat amanat dari bapak
pimpinan dan semangat man sobaro dzofiro ‘barang siapa
bersabar akan beruntung’, saya buang keluh kesal dan berusaha belajar untuk
mengurus perijinan tersebut dengan bertanya mengenai kelengakapan apalagi yang
harus. Saya pun pulang dengan perizinan yang belum diterima imigrasi. Mereka
mengingatkan saya bahwa perizinan harus diurus paling lama seminggu setelah
kedatangan orang asing tersebut ke Indonesia. Waktu sempit saya mencoba mengontak
staf AMINEF mengenai surat yang
belum ada. Alhamdulillah sebelum
waktu yang ditetapkan saya sudah mendapatkan suratnya dan kembali ke kantor
imigrasi. Perizinan tidak selesai karena masih ada tahap berikutnya, mulai dari
pengisian formulir, foto, administrasi, dan terakhir pemrosesan surat ijin.
Saya harus lima kali bolak-balik untuk mengurus perizinan tersebut. Saya
belajar untuk menghadapi masalah dengan tenang dan tidak lupa berdoa karena manusia
berusaha dan Allahlah yang menentukan.
Nasihat Diemban dan Amalkan
Hari silih berganti begitu pula tahun.
Tak terasa waktu belajarku di Pabelan sudah mencapai ujung. Alhmaduliilah saya masuk tahun ketujuh
di pondok atau tingkat santri praktik. Kehidupan pesantren yang pertama sulit
kujalani, saya pernah kabur hingga Sumatra tapi sekarang berubah sulit
kutinggalkan. Semua sudah seperti keluarga bagiku, pimpinan dan guru sebagai
orang tua, kakak kelas yang saya hormati seperti kakak sendiri, adik kelas yang
disayangi seperti adik sendiri, begitu pula penduduk Pabelan yang semuanya
bersatu membentuk satu keluarga besar yang erat tidak terpisahkan. Pengalaman
yang tidak saya lupakan ketika saya tetap berada di pondok pada saat liburan
Idul Fitri. Banyak pelajaran saya dapatkan betapa berharganya silaturahmi dan
keluarga baru selain keluarga di rumah. Hari pertama semua makanan tersedia di dapur,
namun setelah beberapa hari dapur pun tak masak karena mbok dapur pun mudik. Alhamdulillah
bapak pimpinan memanggil saya makan di rumahnya, namun rasa tidak enak muncul
karena terlalu sering makan di sana. Saya memutuskan untuk membeli di warung,
namun tidak satu pun warung yang buka. Saya berfikir bagaimana saya makan hari
ini karena waktu itu sudah memasuki waktu shalat Zuhur. Setelah shalat saya
keluar masjid ternyata seseorang yang sudah lanjut usia memanngil saya. Singkat
cerita simbah tersebut mengajak saya untuk makan di rumahnya. Ternyata simbah
tersebut adalah simbah yang sering saya sapa setelah saya selesai shalat
berjamaah di masjid. Hari-hari selanjutnya alhamdulillah
ada teman santri melaju yang mengajak makan di rumahnya.
Seyogyanya seorang anak yang
meninggalkan tempat asal untuk berpamitan dan meminta wejangan kepada orang-orang
di daerahnya. Hari itu saya berpamitan terlebih dahulu pada warga sekitar yang
sudah saya anggap keluarga sendiri, lantas adik kelas, dan guru-guru, serta
yang utama adalah para pimpinan pondok. Memasuki rumah pimpinan tidak seperti
biasa. Ada hal berbeda yang tidak bisa diungkapkan. Pertama saya pergi ke rumah
KH Ahmad Mustofa beliau berpesan, di mana pun dirimu harus menjaga diri,
teruslah belajar karena Pabelan hanya memberikan kunci. Kedua saya ke rumah KH
Muh Balya. Beliau berpesan, bersungguh-sungguhlah dalam setiap hal, jadilah
orang yang lebih, mahasiswa yang bukan sekedar mahasiswa, pekerja yang bukan
sekedar pekerja. Apabila kamu bekerja jangan lihat uangnya tapi berharaplah
ridho Allah, Lillahita’ala. Terakhir ke rumah KH Ahmad Najib Amin beliau
berpesan jadilah bintang di mana pun kamu berada, mungkin di Pabelan cahayamu
tidak tampak karena berada di antara bintang, tetapi di luar sana pancarkanlah
sinarmu seterang mungkin. Tidak lupa mereka berpesan bahwa Pabelan adalah
keluargamu jangan segan-segan kembali walau pun kamu sudah tidak nyantri lagi. Semua nasihat tersebut
menjadi amanat yang saya emban dan saya amalkan dalam kehidupan saya
selanjutnya.
Mengamalkan Ilmu yang Didapat
Sekarang saya kuliah di Universitas
Islam Bandung jurusan pertambangan. Banyak orang bilang saya menyimpang. Mereka berfikir bahwa lulusan pondok
pesantren identik dengan jurusan agama apabila melanjutkan kuliah. Namun saya
mengambil jurusan pertambangan seperti yang dikatakan pimpinan saat khutbatul
iftitah bahwa anak Pabelan bisa menjadi apa saja sesuai dengan mereka inginkan.
Kembali ke masyarakat berarti kita
harus siap apalagi kita dianggap lebih dari anak seusia kita yang bukan lulusan
pesantren dalam masalah agama. Banyak tantangan dalam mengemban titel lulusan
pesantren. Saat kita berbuat baik orang menganggapnya hal yang biasa karena
kita kita adalah lulusan pondok pesantren, sedangkan apabila kita melakukan
sebuah kejelekan maka orang membicarakannya terus. Kunci-kunci telah saya bawa
dari Pabelan merupakan modal yang digunakan di masyarakat. Mulai dari memimpin,
menyampaikan pendapat, bekerjasama, juga mengajar. Semua hal yang memberatkan
akan menjadi ringan apabila kita kerjakan dengan ikhlas dan diniati sebagai ajang
ibadah kepada Allah lillahi ta’ala.
Dari
Pabelan ke Jepang
Zaima
Bunga Wijayanti
Pagi
itu, tanggal 24 Februari 2014 pertama kali kuinjakkan kakiku di Negeri Sakura.
Pesawat dari Jakarta mendarat di bandara
Narita, Tokyo setelah mengudara selama tujuh jam. Hawa dingin menusuk tulang
karena saat itu Jepang sedang akhir musim dingin. Ini benar-benar seperti mimpi
yang menjadi nyata. Jepang adalah negara tujuan ketigaku setelah tentunya
Mekkah dan Paris jika aku ditanya negara mana yang paling ingin aku kunjungi. Akhirnya
aku benar-benar sampai di Jepang berkat program Jenesys.
Aku tahu program Jenesys ini berkat Pondokku tercinta,
Pesantren Pabelan. Melalui beberapa tahap test akhirnya aku terpilih menjadi
salah satu dari 96 mahasiswa Indonesia yang berangkat. Mahasiswa? Ya, tahun ini
sedikit berbeda, Jenesys yang di tahun-tahun sebelumnya diperuntukkan bagi anak
usia SMA kemudian dinaikkan stratanya menjadi sudah lulus SMA. Kali itu, aku
ikut karena pemberitahuan dari Pesantren Pabelan, yang memang setiap tahun
selalu berpartisipasi dalam program tersebut.
Sesampai di Tokyo, kami disambut panitia Jenesys yang
sangat ramah. Mereka kemudian membagi kami peserta menjadi beberapa kelompok,
dan mengarahkan kami menuju bus yang akan membawa kami ke hotel untuk sejenak
melepas lelah karena selanjutnya akan banyak agenda yang kami ikuti. Perjalanan
di pesawat selama tujuh jam sedikit membuat disorientasi,
mungkin ini yang disebut “jetlag”. Namun segera bisa menyesuaikan diri dengan
Negeri Matahari Terbit tersebut.
Hari pertama sampai hari ketiga kami masih tinggal
bersama-sama di Tokyo. Kami diajak bersama-sama menjelajahi objek-objek wisata
bersejarah di Tokyo. Pertama kami mengunjungi museum Edo, kemudian Kuil tua
Tokyo, kami juga diberi waktu berbelanja di Harajuku dan menikmati suguhan
makanan vegetarian di daerah tersebut. Yang membuat saya kagum pada Jepang
adalah penduduk yang sangat bangga dan menjaga budaya mereka. Terlihat dari
tempat bersejarah seperti museum yang dibuat sangat nyaman untuk dikunjungi.
Ornamen-ornamen, barang-barang yang dipamerkan dibuat apik. Masalah makanan
yang disajikan pun dihias sedemikian rupa agar bukan hanya sedap rasanya tetapi
juga nyaman dipandang mata.
Pada hari keempat sampai terakhir kami berpisah menurut
grup menuju prefektur masing-masing. Ada yang menuju Prefektur Chiba, Prefektur
Okayama, dan dua prefektur lain. Saya sendiri masuk di grup Chiba. Karena Tokyo
juga masih termasuk prefektur Chiba kami hanya pindah tempat menggunakan bus,
sedangkan dua prefektur lain sempat merasakan naik kereta Shinkanzen. Tapi hal itu
tidak mengecilkan hati karena kami juga mengunjungi tempat tempat seru di
Chiba, tepatnya di kota Kamogawa.
Kamogawa termasuk kota kecil di Jepang, tetapi
benar-benar kaya akan budaya dan hasil laut. Tempat pertama yang kami kunjungi
di Kamogawa adalah Kantor Walikota untuk menghadiri upacara penyambutan. Kemudian
kami diajari cara pencelupan maiwai. Sorenya
kami diantarkan menuju penginapan tradisional Jepang. Saat tiba di penginapan
tersebut, ingatanku dibawa kembali ke film Doraemon, Shin-chan dan film-film Jepang
lain yang kasurnya menggunakan “tatami”.
Asyiknya lagi penginapan kami langsung bersebelahan dengan pantai. Pagi-pagi
sudah banyak anak yang jogging
ataupun sekedar menikmati angin pantai. Kemudian pada hari selanjutnya kami
diantar mengunjungi Kamogawa Seaworld dan melihat tradisi Hinamatsuri.
Hinamatsuri adalah tradisi menghias boneka yang merepresentasikan keluarga
kerajaan. Setiap keluarga yang mempunyai anak perempuan belum menikah harus
mengikuti ritual atau tradisi tersebut.
Hari-hari terakhir di Jepang kami habiskan dengan tinggal
bersama dengan native. Saya tinggal
dengan keluarga Sudo, yang mempunyai dua anak kecil sangat lucu lagi pintar. Tiga
hari bersama mereka membuatku lebih mengenal Jepang. Banyak kegiatan seru yang
lakukan bersama, house family.
Setelah di ujung kebersamaan, kami melakukan seperti sebuah perpisahan kecil
yang sangat mengharukan dan memorable.
Kita duduk berhadapan dengan anak mereka, Megumi dan Tamaki lantas bersama menyanyikan
lagu perpisahan untuk semua. Kami merasa benar-benar sudah dianggap keluarga
oleh keluarga Sudo, meskipun baru hidup bersama beberapa hari.
Satu hal yang saya ingat tentang keluarga Sudo adalah
mereka sangat menghargai tamu. Saat pertama kali datang di rumah mereka, kita
ditanya tentang jam-jam ibadah (shalat),
ternyata besok paginya okasan (ibu)
sudah menyiapkan handuk berjejer-jejer sepanjang kamar mandi sampai kamar tempat
kami menjalankan shalat. Selain itu, di malam terakhir ketika makan malam
bersama, kami diminta untuk memasak makanan tradisional Indonesia dan
menyajikan makan malam untuk mereka. Alhamdulillah
mereka menghabiskan sampai bersih semur, yang tidak tampak seperti semur karena
kurang kecap manis, yang kita masak.
Hal istimewa yang bisa dirasakan grup Chiba-A dan Chiba-B
adalah kami berkesempatan menikmati dua momentum
istimewa di Jepang sekaligus. Momentum itu adalah hadir saat musim dingin, dan
di akhir perjalanan bisa melihat sakura. Kelompok lain tidak seberuntung kami.
Tentunya kesempatan ini istimewa, tidak kami lewatkan. Segera kami mengambil
foto sebanyak-banyaknya dengan bunga sakura yang memang sangat indah dan
mekarnya hanya seminggu.
Selain hal di atas, seperti kebanyakan pengalaman pertama
ke luar negeri pasti ada saja pengalaman lucu dan norak yang kami alami. Waktu
itu, hari pertama di hotel aku sempat sedikit bingung karena teman sekamarku
lama tidak keluar dari kamar mandi. Setelah keluar, dia bercerita bahwa dia
bingung bagaimana caranya menyiram toilet karena dia tidak menemukan “flush”nya. Akhirnya saya mengecek ke
dalam dan juga tidak bisa menemukan tombol flushnya karena toilet ini
benar-benar modern, kelihatan noraknya
ya. Kami mencoba bertanya-tanya ke
kamar-teman, ternyata mereka juga tidak tahu, hingga akhirnya ada salah satu
teman yang memberi tahu bahwa tombol untuk menyiramnya berada di sebelah bawah
wastafel. Kami pun tertawa mengingat kebodohan kami itu.
Dari program Jenesys saya belajar banyak hal, bagaimana
Jepang yang sangat-sangat maju pada teknologinya namun tidak pernah
meninggalkan ketradisionalannya. Mereka bangga tinggal di rumah khas mereka
dengan pintu kayu-geser, tidur dengan tatami,
masih juga menjaga tradisi minum teh, serta sangat bangga menggunakan kimono
dalam acara-acara mereka.
Itu cerita yang bisa saya bagi mengenai perjalanan ke
Jepang tahun 2014 lalu. Jepang benar-benar negara maju tetapi tidak lupa untuk
menjaga aset tradisional mereka. Orang Jepang sangat bangga menggunakan
produk-produk mereka sendiri. Jepang itu bersih, modern, namun tetap
tradisional. Saya salut pada pemerintah Jepang yang rela mengeluarkan uang
untuk “mempromosikan” negaranya. Bayangkan saja, sekali kami serombongan
berangkat 100 orang, kalau setiap orang menghabiskan biaya sekitar 9,7 juta
rupiah maka sudah 970 juta rupiah. Padahal setiap tahun Indonesia mendapatkan
jatah sekitar 6-8 kelompok/rombongan. Lantas ada pula jatah negara lain seperti
Malaysia, Filipina, Thailand, dll.
Ketika saya ditanya penyelenggara program Jenesys ini, kelak
setelah pulang apa yang akan dilakukan, saya jawab bahwa akan bercerita tentang
Jepang, bagaimana orang-orangnya, juga dengan membuat tulisan tentang
perjalananku ini. Intinya, kami mengucapkan terima kasih kepada Jenesys, juga
terima kasih Pondok Pesantren Pabelan. Tanpa dua lembaga ini, saya tidak
mendapatkan kesempatan istimewa ini.
Berbicara mengenai
Pesantren Pabelan, ini salah satu tempat istimewa dalam hidupku. Tempat untukku
mencari ilmu baik ilmu yang diajarkan di sekolah maupun ilmu tentang kehidupan.
Pabelan juga yang mengajarkan aku tentang bagaimana berkomunikasi yang baik,
bagaimana menjadi dewasa. Jika menulis tentang Pabelan pasti tidak akan ada
habisnya, karena Pabelan yang menjadi saksi bisu perjalananku dari masa ingusan
sampai beranjak dewasa. Di samping Pabelan memang rumahku sendiri, tapi tetap
saja aku mengenyam pendidikan MTs-MA (SMP-SMA) di situ. Ayah ibu memang
mengkondisikan posisiku benar-benar seperti santri yang lain, yang harus
berasrama. Meskipun rumah hanya beberapa langkah dari asrama, tetap saja aku
menjalani kondisi seperti santri yang lain yang tidak bisa seenaknya pulang ke rumah.
Jadi aku tahu benar bagaimana rasanya menjadi santri.
Salah satu hal yang benar-benar membuatku tertarik untuk
sekolah di Pabelan adalah pesantren ini memberikan penawaran tentang seleksi ke
luar negeri. Beberapa program pertukaran pelajar bisa diikuti antara lain AFS, YES,
Jenesys, IAYP. Khusus AFS dan YES adalah program pertukaran pelajar selama satu
tahun ke Amerika, sedangkan Jenesys adalah program yang aku ikuti, yaitu
pertukaran pelajar selama dua minggu atau satu tahun ke Jepang. IAYP adalah
program penghargaan terhadap anak muda yang aktif dalam kegiatan ekstra di luar
sekolah yang diakui oleh kerajaan Inggris.
Seperti setiap orang kebanyakan, pasti kita punya
keinginan untuk berkesempatan ke luar negeri, entah untuk sebuah tugas ataupun
jalan-jalan. Saat kelas II MA di Pabelan, ada tawaran untuk ikut program YES.
Dengan semangat aku mendaftar dan alhamdulillah
lolos tahap pertama. Tapi mungkin memang belum rezeki, saat itu saya tidak
lolos seleksi tahap ketiga. Beberapa tahun berlalu dan niatku untuk bisa pergi
ke luar negeri masih tinggi, namun kesempatan untuk mengikuti seleksi dari
Pesantren sudah habis. Beberapa waktu kemudian, saat itu aku ingat masih kuliah
di awal semester kedua, tiba-tiba dikabari bahwa ada program Jenesys untuk
lulusan dari pesantren yang dulu mengirimkan santrinya. Pada tahun 2014 itu
program Jenesys yang tadinya diperuntukkan pelajar SMA dan sederajat diubah
menjadi program untuk mahasiswa yang sedang menjalani studi S1.
Dengan
berbekal harapan dan tekad yang kuat, bismillah
aku mengurus semua persyaratan awal untuk mendaftar menjadi peserta. Di awal
sebenarnya kalau boleh dibilang minder,
ada rasa sedikit ragu karena mengetahui yang mendaftar sudah sekitar 2000-an
orang padahal yang diambil untuk berangkat hanya 100 orang dengan 4 pendamping.
Seleksi tahap pertama waktu itu jelas melengkapi berkas formulir dan menulis essay tentang apa yang membuatku ingin
mengikuti program tersebut. Alhamdulillah
dari seleksi awal tersebut aku dikabari bahwa lolos dan lanjut ke seleksi
wawancara, lagi-lagi alhamdulillah
aku lolos seleksi dan berkesempatan untuk mengikuti program dua minggu di
Jepang. Sungguh rasanya tidak bisa digambarkan, karena akhirnya salah satu
mimpiku bisa menjadi nyata.
Pabelan benar-benar menjadi guru yang terbaik. Dari
Pabelan aku seperti sudah mendapatkan “miniatur”
kehidupan di luar sana. Jika banyak anak lulusan SMA kaget dengan organisasi di
kuliah yang berbeda dengan organisasi di sekolah mereka, aku yakin alumni Pabelan
sangat mengerti bagaimana organisasi di perkuliahan karena organisasi pelajar
(OPP) di Pabelan sudah menggambarkan bagaimana rasa berorganisasi di
universitas. Jika kebanyakan anak SMA hanya bertemu dengan teman satu daerah
dan masih kaget saat harus bercampur dengan teman dari daerah lain saat kuliah,
anak-anak alumni Pabelan sudah sangat paham cara menghadapi anak atau teman
dari berbagai daerah karena santri Pabelan berasal dari Sabang hingga Merauke.
Terima kasih Pondok Pesantren Pabelan, karenamu aku bisa mendapatkan pelajaran
yang mungkin tidak bisa aku dapatkan, tanpa aku rasakan sendiri. Karena
Pabelan, mimpiku ke Jepang juga bisa menjadi kenyataan. Terima kasih Pondokku,
Ibuku...
Paradigma
Keluarga Harmonis
Muhammad Syafii
Pabelan, kata yang pertama kali
tertangkap oleh kedua mata saya ketika mulai masuk sebuah pertigaan di jalan
raya Jogja-Magelang. Pondok Pesantren Pabelan, yang memberikan banyak tabungan
pertanyaan yang saya simpan sendiri dalam hati dan belum pernah saya tanyakan
kepada siapapun hingga saat ini. Yang menjadi rumah ketiga bagi saya, sebuah
“Balai Pendidikan”.
Mula yang sesak dalam hati, ketika
saya tidak mendapatkan izin untuk melanjutkan jenjang sekolah menengah atas di
kampung halaman saya Toboali, Bangka Selatan. Terjadinya tepat beberapa hari
setelah saya menuntaskan jenjang sekolah menengah pertama di perantuan,
Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Saya bulan Juni 2006, mulai meninggalkan
kampung halaman, menyisakan banyak hal yang tak bisa saya ungkapkan dengan
hitam-putih pada lembaran ini. Bagi kedua orang tua saya, inilah yang terbaik
saat itu demi kelancaran pendidikan saya, hingga saya menginjakkan kaki di
tanah Jawa. Satu tahun sampai bulan Juni 2007, saya mencoba melapangkan dada
untuk tetap kuat dalam jarak yang memisahkan rindu keluarga saya. Dan al-hasil
setelah satu tahun terlewatkan, ternyata perantauan saya berkelanjutan hingga
lima tahun berikutnya. Setelah kelulusan dari jenjang sekolah menengah pertama,
saya menghubungi Ibu saya lewat telpon genggam, keinginan hati untuk
menyampaikan bahwa saya berniat menghabiskan masa sekolah menengah atas di
kampung halaman. Semua berubah seketika saat Ibu saya menjawab bahwa besok hari
akan datang ke Jogja dan mengantarkan saya ke sekolah untuk jenjang selanjutnya.
Di sinilah bermula semua pertanyaan yang saya jawab sendiri di kemudian hari.
Saat menulis ini, saya dalam proses menyelesaikan
Diploma III (D3) bidang Broadcasting Radio-TV di Akademi Komunikasi Indonesia
(AKINDO) Yogyakarta. Menjalani tahun ketiga perkuliahan, tanpa terasa banyak
yang terlewati. Setahun yang lalu, sekitar Mei 2014, untuk yang kedua kalinya
oleh WaDir Bidang Kemahasiswaan saya mendapatkan kesempatan sebagai delegasi
kampus dalam perlombaan debat bahasa Inggris antar perguruan tinggi swasta
se-Yogyakarta, National University
Debating Championship (NUDC) 2014 yang diselenggarakan Kopertis Wilayah V
DIY, walau masih belum meraih juara. Maret 2014, saya dilantik menjadi Kepala
Divisi Personalia di AKINDO TV untuk satu tahun masa jabatan hingga Maret 2015,
televisi komunitas yang disediakan oleh lembaga tempat saya menempuh masa
perkuliahan dan dikelola oleh mahasiswa secara penuh serta ditemani dosen
pembimbing yang berperan sebagai supervisor. Awal tahun ajaran 2013/2014 yang
lalu, saya dipercaya mengemban tanggung jawab sebagai Ketua Panitia Orientasi
Mahasiswa Baru, selama satu minggu masa jabatan.
Oktober 2011, saya bersama empat teman
saya diamanahi oleh pimpinan pondok mendampingi 20 peserta dari Pabelan
mengikuti Lomba Perkemahan Penggalang dan Penegak (LP3) se-Indonesia di Pondok
Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Tepat dua tahun berturut-turut sebelumnya,
sekitar Oktober 2009 dan 2010, saya menjadi peserta lomba tersebut, mewakili
Pabelan untuk berlaga di Lomba Perkemahan Penggalang dan Penegak (LP3) Jambore
Pramuka nasional se-Indonesia di Ponorogo. 2008 dan 2009, dua tahun
berturut-turut saya mendapatkan kesempatan mengikuti lomba pidato bahasa Inggris
se-Kabupaten Magelang mewakili MA PonPes Pabelan bersama beberapa santri,
walaupun saya tidak lolos tahap Provinsi Jawa Tengah.
Akhir tahun ajaran 2007/2008, saya
berkesempatan naik ke atas panggung pentas seni akhir tahun yang
diselenggarakan oleh pengurus Organisasi Pelajar Pondok Pabelan (OPPP) pada
setiap akhir tahun ajaran dan turun membawa koleksi baru dalam kategori pidato
untuk mengisi map-file berwarna biru
yang saya dapatkan ketika masa orientasi Khutbatul
Iftitah. Dalam jangka lima tahun, 2007 hingga 2012, saya bisa mengoleksi
tiga pin berbentuk burung yang terbuat dari bahan Perunggu, Perak dan Emas.
Saya dapatkan dari program ekstrakurikuler International
Award for Young People (IAYP), setelah menjalani keseluruhan proses yang
telah ditetapkan tentunya. Beberapa lembar piagam dan sertifikat juga membantu
saya mengatur semangat dalam melanjutkan perjalanan untuk menentukan apa yang
hendak saya raih.
Tahun demi tahun, saya mencoba mulai
membuka satu persatu tabungan pertanyaan yang tak pernah usang dalam hati saya.
Sekitar bulan Juni 2007 hingga Juni 2008 merupakan tahun pertama saya memulai
semuanya. Menjalani aktivitas dengan ratusan siswa lain dari seluruh pelosok
nusantara, dengan berbagai macam latar belakang dan pengalaman. Di sini masih
membekas, punggung kaki kiri dan kanan saya tepat dekat mata kaki membekas
kulit daging yang menghitam dan sedikit membengkak. Saya peroleh ketika
melewati masa perkenalan, Khutbatul
Iftitah. Kami dimanja dalam satu minggu pertama, oleh para pengurus
organisasi pelajar yang mengatur berlangsungnya masa orientasi. Duduk sila
berjam-jam mendengarkan khutbah, berkomunikasi, belajar bernyanyi bersama,
tanya-jawab, mengenali satu sama lain, bermain berbagai macam perlombaan,
mempelajari lingkungan sekitar, mempelajari tata tertib serta
peraturan-peraturan yang ada, hingga kami diresmikan menjadi bagian dari Balai
Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan.
Banyak hal yang berbeda dan belum
pernah saya alami. Saya tidur dalam satu ruangan berukuran sekitar 6x7 meter persegi
bersama belasan orang, dengan belasan ke-anehan,
belasan privasi, belasan latar belakang, yang kami sebut kamar. Marah, karena
harus terjaga dari tidur yang nyenyak dengan tergesa-gesa lalu mengganti
pakaian tidur dan bergegas menuju masjid. Belum lagi sepulang dari sholat Subuh
berjama’ah di masjid dan hendak melanjutkan mimpi, kami dipaksa mengikuti
jadwal harian yang telah disusun oleh kakak-kakak pengurus. Kaget, kami harus
membawa piring sendok dan gelas kosong menuju dapur umum, berbaris panjang
mengantre untuk mengisi tenaga agar tetap dapat beraktivitas. Tidak hanya itu,
yang mengesalkan lagi adalah ketika kaos yang menyelimuti tubuh basah oleh
keringat gerah sehabis olahraga sore hari, hendak membersihkan tubuh pun harus
mengantre. Kebiasaan mandi saya yang menghabiskan banyak waktu, menjadi sangat
berbeda semenjak berada di sini. Kadang, hendak berangkat sekolah saya sering
belum mandi pagi. Pilihan yang lebih baik saat itu, dari pada saya harus
menerima hukuman dari ustadz BK berlari mengelilingi lapangan sepak bola
beberapa kali. Semua bertumpuk dalam
hati, sempat menyendiri menangis di kamar mandi. Entah kepada siapa harus mengadu,
berada jauh dari orang tua dan akhirnya sudahlah biarkan saja saya simpan
sendiri di dalam hati. Memaksa untuk berpikir menggunakan hati, hal yang tidak
pernah mudah, harus mengadu pada diri sendiri, menjadi pelajaran berharga
pertama saya tentang Pabelan.
Rutinitas harian yang saya keluhkan tadi
membentuk karakter awal tersendiri bagi masing-masing santri, secara langsung
maupun tidak. Rumah ini, akan menjadi jendela dunia yang sangat luar biasa bagi
santri yang mampu membiasakan diri melewati masa ini. Jendela dunia bagi saya,
karena di sini metode yang diterapkan akan mempersiapkan dan mengantarkan para
santri untuk memampukan diri. Saya ambil kembali dari apa yang saya keluhkan,
ketika saya harus tidur bersama belasan orang dalam satu kamar, sudut pandang
yang saya temukan selain keluhan saya adalah melihat dunia secara nyata.
Teman-teman ini mempunyai banyak hal yang membantu saya untuk mempelajari dunia.
Keterampilan yang beragam, menjadi sumber pengetahuan dan potensi awal untuk menyempitkan
dunia. Contoh kecil, saya menguasai sedikit banyak seluk beluk tempat asal
mereka hanya dengan berkomunikasi tanpa saya harus mengunjungi langsung daerah
tersebut.
Pabelan membuka paradigma saya tentang
keterbatasan. Metode pembelajaran yang secara tidak langsungmenyadarkan saya
tentang tersedianya banyak jalan untuk dapat meraih apa yang kita inginkan,
dengan sangat sederhana. Di sinilah terjadinya, saya mendapat penghargaan dari
pengurus organisasi pelajar sebagai Aktivis
Bahasa. Semangat tersendiri tumbuh bersama prestasi kecil tersebut, karena
saya ingat betul akan proses yang terlewati. Saya menyukai keterampilan
berbahasa asing. Dari kesukaan tersebut, tampak sisi keterbatasan bahwa saya
harus mempunyai kamus bahasa asing sebagai modal pertama agar bisa mempelajari
lebih. Akan tetapi saya tidak mempunyai dana, membeli kamus bahasa Arab maupun
Inggris. Lalu muncul di benak, saya tidak bisa mewujudkan kesukaan berbahasa
asing, menyedihkan. Pabelan membantu saya mempositifkan segala keterbatasan
tadi, ketika saya tidak memiliki dana membeli kamus, saya membuat kamus
sendiri. Sekali lagi sangat sederhana, dari keterbatasan tadi saya bisa
menemukan jalan keluar lain yang disediakan di sini secara tidak langsung. Ada
banyak papan bertuliskan kosakata dalam bahasa Arab maupun Inggris di dinding
setiap gedung asrama santri. Disediakan oleh para pengurus organisasi, tinggal
saya salin saja semuanya dalam buku catatan pribadi, lalu saya bisa membawanya
kemanapun dan mempelajarinya kapanpun. Tersenyum lega ketika menyadari bahwa
saya bisa mempunyai kamus sendiri yang sangat berbeda dari santri lain. Dua
buku tulis kecil bersampul hijau, berisikan penuh dengan kosakata, yang masih
saya simpan hingga saat ini.
Setiap sudut dan jenjang yang
berlangsung di Pabelan memberikan hal baru bagi mereka yang mau berproses.
Tahun kedua di Pabelan, saya terpilih menjadi bagian pengurus organisasi
pelajar pondok. Saya ditempatkan pada bidang Penggerak Bahasa. Dari sini, saya
mendapatkan pengalaman baru dalam proses maju. Ketika dulu saya mendapatkan
bimbingan dari para kakak-kakak pengurus, sekarang kewajiban berharga bagi saya
adalah membimbing diri sendiri serta adik-adik santri lainnya dalam
meningkatkan kemampuan masing-masing di bidang bahasa. Menjalankan program kerja
yang dulu saya ikuti menjadi kesempatan saya dapat mengasah kemampuan saya
dalam manajemen. Satu tahun periode masa kepengurusan OPPP 2009, saya menikmati
masa pembelajaran yang meningkatkan potensi diri sendiri, serta membantu
adik-adik dengan program rutin bidang bahasa. Belajar dan mengajar, yang akan
menjadi bekal berharga ketika turun dalam masyarakat.
Periode kepengurusan OPPP selanjutnya
pada tahun 2010, saya berproses sebagai Bagian Penggerak Bahasa, hingga
pertengahan tahun sekitar Juni 2010. Lalu saya menduduki posisi sebagai
Sekretaris OPPP, menjadi tangan kanan ketua dalam organisasi ini untuk dapat
sampai pada tujuan. Ikut menyukseskan program yang tersusun rapi sejak awal
tahun lewat musyawarah kerja yang menghabiskan waktu satu minggu kurang lebih. Setengah
tahun selanjutnya menjadi setengah tahun yang singkat, sekitar Juli 2010 hingga
awal Januari 2011. Salah satu yang menjadi tugas penting dan wajib bagi
sekretaris organisasi adalah menyusun arsip tahunan organisasi selama satu
tahun periode masa kepengurusan, untuk dipertanggungjawabkan di depan para
pimpinan, dewan guru beserta jajarannya dan seluruh santri. Proses ini
menambahkan semangat baru untuk saya pribadi, menunjukkan apa yang telah saya
capai, prestasi yang tidak akan bisa dirasakan jika tidak mengikuti proses
secara teratur dan terarah. Saya baru tersadar, setelah arsip dan laporan
pertanggungjawaban ini saya selesaikan dan terjilid rapi menjadi dua buku
tebal. Yang satu merupakan arsip utama berisikan aktivitas Organisasi Pelajar
Pondok Pabelan (OPPP), buku satunya lagi arsip kepanitiaan selama satu tahun di
bawah naungan OPPP 2010. Saya coba mereview
dari awal hingga akhir isi aktivitas kepanitiaan di periode ini, posisi
sekretaris kepanitiaan dari seluruh kegiatan yang diselenggarakan oleh OPPP
periode 2010 ternyata saya tempati. Hingga masa terakhir jabatan terbentuk
panitia di bawah koordinasi OPPP yakni panitia pemilihan pengurus baru OPPP
2011. Saya tidak lagi berada di posisi sekretaris panitia, saya dipercaya oleh
teman-teman untuk menjadi ketua dalam kepanitiaan terakhir yang tercatat dalam
arsip kepanitiaan masa kepengurusan Organisasi Pelajar Pondok Pabelan (OPPP)
periode 2010.
Proses, tahapan yang dilewati secara
teratur dan terarah, inilah metode pendidikan yang ditanamkan dalam diri para
santri. Pabelan lantas mengembalikan segala sesuatunya secara penuh kepada saya
sebagai santri di balai pendidikan ini. Saya dihadapkan pada banyak pilihan, dan
saya mempunyai hak untuk memilih, menentukan apa yang saya inginkan, menyiapkan
diri saya untuk melangkah lebih jauh secara teratur dan terarah. Menjadi
sekretaris organisasi, membuahkan peluang bagi saya untuk menjadi seorang designer. Mempelajari mulai dari job-desk seorang sekretaris, hal kecil
yang dulu belum terpikirkan efeknya. Dalam kepanitiaan acara yang
diselenggarakan oleh OPPP, sekretaris mempunyai tugas untuk mempersiapkan
segala administrasi berkenaan dengan acara tersebut. Salah satunya menyediakan
piagam penghargaan bagi santri berprestasi yang telah melewati proses secara
baik, menuntut saya mempelajari cara membuat desain piagam/sertifikat. Beberapa
hal lainnya, membuat Id Card kepanitiaan,
spanduk acara dan lainnya.
Setiap sudut dan jenjang yang ada di
Pabelan merupakan peluang santri untuk peka dalam memahami potensi yang
tersedia di lembaga ini. Berawal dari sekretaris kepanitiaan di bawah OPPP,
saya dipercaya teman angkatan saya menjadi Ketua Pustakawan periode 2010/2011.
Kami pengurus pustakawan periode 2011 berhasil menyumbang satu majalah tahunan
karya murni dari para santri yang dikenal dengan “DIALOG”. Dalam proses
penerbitan saya ditemani banyak bintang. Sangat berkesan, menjadikan inspirasi
baru untuk terus menikmati proses, kami yang masih berstatus santri ketika itu
telah berhasil menerbitkan majalah. Pabelan, sangat menyenangkan.
Pertengahan tahun 2011, sekitar
bulan Mei, tanpa terasa empat tahun telah berlalu. Saya menyelesaikan jenjang
Madrasah Aliyah di PonPes Pabelan, bersama 56 orang terdiri dari putra dan
putri. Berbagai proses, berbagai wacana baru, akan mereka kembangkan
masing-masing sesuai dengan apa yang mereka impikan nanti di masyarakat. Saya
melanjutkan satu tahun masa pengabdian setelah menuntaskan jenjang sekolah
menengah atas, menjadi guru praktik. Oleh pimpinan dan dewan guru, saya
dipercaya membantu beberapa pos, yakni Sekretariat, WEB Pabelan Online dan
Humas. Saya tegaskan lagi, semua sudut dan jenjang prosesnya memiliki peluang
dan pelajaran bagi mereka yang menekuni prosesnya. Secara nyaman saya sampaikan
“tanpa modal”, saya menjadi seorang
fotografer, tanpa modal saya menjadi seorang penulis berita, tanpa modal saya
menjadi seorang pengusaha warung internet, tanpa modal saya bertemu dengan
banyak orang besar ketika bertugas mewakili kesekretariatan untuk mengurusi
adminstrasi lembaga. Untuk memotivasi diri saya secara positif saat itu, agar
saya bisa memanfaatkan kesempatan ini dengan baik.
Cepat berlalu, sangat disayangkan
mereka yang tidak memanfaatkan kesempatan secara maksimal. Juli 2015, menjadi
catatan perjalanan PEKA.art genap dua tahun berkontribusi. Bersama empat orang
teman se-angkatan kami membuka sebuah rumah produksi di bidang Event Organizer, Creative Design dan Entertainment Production. Memanfaatkan
waktu luang di sela-sela kuliah, terus meningkatkan pembelajaran yang akan
menjadi bekal nantii. Alhamdulillah,
dalam dua tahun berjalan beberapa agenda besar tahunan pondok dapat kami
abadikan dalam bentuk foto dan video. Alhamdulillah
kami berlima sempat berpartisipasi mengisi workshop Design & AudioVisual dalam rangka pengalihan ujian nasional MTs
dan MA PonPes Pabelan pada tahun ajaran 2013/2014, membagi ilmu pada adik-adik
kami tercinta. Alhamdulillah,
beberapa projek kerjasama pernah kami jalin dengan beberapa pihak dan lembaga
di Yogyakarta.
Saya sadar pencapaian ini masih harus
terus saya kembangkan. Saya sadari pula, proses menuju pencapaian di antaranya
ketika pertama kali membuat desain terjadi karena saya melaksanakan tugas
sebagai sekretaris. Selanjutnya, ketika saya menjabat sebagai pengurus website pesantrenpabelan.com, saya mempunyai
kewajiban untuk meng-update kegiatan
yang berlangsung dan berkaitan dengan kepentingan lembaga, menuliskan berita,
mendokumentasikan dalam bentuk foto berkaitan dengan acara tersebut, menjadi
bekal tersendiri tanpa disadari secara langsung.
Proses pendidikan yang sama dirasakan
semua santri. Setiap santri melewati jenjang masing-masing, yang akan
menentukan level serta tingkatan pencapaiannya. Peraturan yang ditetapkan dan
dijalankan penuh secara konsisten oleh para pengurus OPPP, dengan bimbingan dan
pengawasan dari kalangan guru, serta nasihat dari para pimpinan PonPes Pabelan,
memberikan banyak sudut pandang tersendiri bagi santri. Yang mau berproses,
akan serta merta bermunculan dan naik ke atas, yang masih enggan berproses,
akan menjadi bayangan dan bersembunyi di bawah. Sekali lagi semuanya merupakan
kebebasan sendiri bagi kami untuk memilih. Pabelan memberikan saya banyak
pelajaran baru yang tanpa disadari mengalir dalam cara saya beraktivitas hingga
saat ini. Hal yang tidak pernah mudah, mengalahkan diri sendiri, memanfaatkan
keterbatasan.
Pabelan merupakan PARADIGMA, sudut pandang kehidupan untuk dapat berbagi motivasi
serta inspirasi kepada dunia. KELUARGA
baru, sampai kapan pun ketika berkunjung ke Pabelan, kita selalu merasa seperti
berada layaknya di rumah sendiri. Pimpinan dan dewan guru beserta jajarannya
yang berperan sebagai orang tua santri, ustadz/ustadzah praktik dan pengurus
organisasi pelajar pondok yang berperan menjadi kakak-kakak bagi santri, serta
para santri sendiri yang akan melengkapi isi dari rumah ini menjadi HARMONI. Sungguh santri junior sebagai
adik yang akan dibimbing dan dipertemukan dengan berbagai tingkatan proses
serta tahapan untuk dapat mengenali jati diri masing-masing. Dengan menyebut nama
ALLAH, yang maha pengasih lagi maha penyayang, disertai segala puji bagi ALLAH,
Tuhan semesta alam.
Hidup
Berwarna di Pabelan
Ima Ganis Mutiasari
Pabelanku, Ibuku
Pabelan, rumah kedua yang akan
selalu dirindukan. Sebuah lembaga pendidikan yang mengajarkan banyak hal,
mengenalkan saya pada apa itu percaya diri, bagaimana hidup mandiri, dan bisa
membedakan mana beban dan mana tanggung jawab. Saya adalah salah satu alumni,
yang bisa dibilang paling muda di antara kakak-kakak penulis yang lain. Ya,
saya berasal dari kota Wonosobo. Saya adalah alumni angkatan 2014 dan kini saya
menempuh pendidikan S1 di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Alhamdulillah, saya bersyukur bisa
melanjutkan belajar dan mencari ilmu di lembaga universitas berbasis Islam. Saya
selalu ingin mencari lagi ilmu yang dulu pernah saya dapatkan di pesantren.
Selain itu, saya juga bersyukur karena di universitas ini, cukup banyak alumni Pabelan.
Its just feels like home. Alhamdulillah.
Pabelan bukanlah lembaga pendidikan
yang hanya memiliki warna hitam putih saja. Pabelan, tidak pernah memaksakan
kehendak santrinya. Itu yang saya rasakan. Dulu, waktu awal saya nyantri rasanya berat menjalani hari
demi hari. Ya, seperti remaja umur 12 tahun pada umumnya, saya masih bergantung
pada rumah dan orang tua. Menangis saat merasa tak betah dengan lingkungan,
tidak mau makan lauk dapur yang menunya terbilang sangat sederhana. Hal yang
paling saya ingat adalah saya tidak pernah suka lauk hari Senin. Pada saat itu,
jadwal lauk untuk hari Senin pagi adalah ‘’tahu
berenang’’, begitu pendamping kamar saya bilang saat saya bertanya ‘’Ini tahunya dimasak apa ukhti?’’. Entah
bagaimana saat itu saya memaksakan diri untuk mencoba doyan dengan lauk itu
karena setiap pagi, saya hampir tidak sempat antri di kantin pukul 0.007 pagi
sudah berangkat ke kelas. Waktu makan saya harus berkurang karena antre mandi
dulu setelah kegiatan pagi. Tapi hebatnya saya adalah, ini kata ayah saya, saya
terbilang tidak manja. Saya rasa iya, karena saya tipe orang yang cenderung
mudah beradaptasi walaupun dalam konteks terpaksa. Orang tua saya yang menyuruh
untuk masuk pondok. Saat itu pertanyaan saya pertama kali disuruh mondok adalah
“Di Pabelan bolehkah nonton tv, Yah ?’’
Hal yang membuat saya senang masuk Pabelan saat itu adalah ketika ukhti yang japen (jaga pendaftaran)
bilang “Ada Dik, nanti ada kok waktu buat
nonton tv-nya”. Pikiran saya yang tadi berpikir bahwa anak pondok itu kudet ‘kurang update’ hilang seketika. Jujur
saja dari dulu memang hobi saya adalah tidak bisa lepas dari televisi.
Mengerti? Atau Memahami
?
Pabelan tidak menganut Islam Muhammadiyah
atau NU. Pesantren ini terbilang netral dan bisa memandang suatu objek dari
segala sisi. Pabelan juga tidak memilah-milih calon santri yang ingin belajar.
Apakah dia pintar atau bodoh Pabelan akan selalu menerima. Karena pak kiai
bilang, jangan lihat seberapa pintar tapi lihat bagaimana niatnya untuk
belajar. Tidak ada batasan bagi seseorang untuk menimba ilmu. Pabelan tidak
mencetak santrinya untuk menjadi sebuah robot. Disiplin kami bukanlah disiplin
yang membuat seseorang menjadi harus melakukan apa yang dikatakan atau disuruh
oleh orang lain. Maksudnya di sini adalah bukan untuk memberontak atau tidak
taat pada aturan. Tapi, disiplin kami adalah disiplin yang membuat santri
menjadi sadar diri, mawas diri dan tidak terpaksa dalam menjalani peraturan.
Dulu, saat saya menjadi pengurus, saya
sering mendapat masalah gara-gara hobi saya yang suka nonton tv hingga larut
malam. Itu memang hobi saya dari awal masuk pesantren, sampai pak kiai mungkin
jengkel pada saya, di samping saya punya masalah lain. Pak kiai bilang saya itu
salah rasa. “Kamu itu jangan salah rasa,”
begitu beliau katakan kepada saya dengan nada tinggi sehingga waktu itu membuat
saya sedikit takut dan merinding. Tapi, terakhir kali saya membuat onar dan
dibilang lagi salah rasa, saya agak bingung. Salah rasa yang bagaimana yang
dimaksud Bapak ini. Selama itu memang saya tidak memahami apa yang dikatakan
Bapak. Uniknya Bapak Najib ketika beliau marah, kata-kata beliau ini selalu
terngiang-ngiang di kepala saya karena kadang saya agak tidak paham. Mungkin
itulah yang membuat saya takut lagi untuk mengulang kesalahan yang sama, tapi ternyata
membuat kesalahan baru. Tapi, di sinilah saya belajar bahwa standar hidup
seseorang adalah dia sendiri yang menentukan. Dia mau berada di standar atas,
menengah atau di bawah. Ketika seseorang merasa bahwa dirinya tidak begitu
bersalah, orang lain mungkin tidak berpikiran yang sama dengan orang tersebut.
Bisa saja orang lain menganggap bahwa itu adalah kesalahan yang fatal. Maka
dari itu, jangan sampai kita salah rasa. Di sinilah saya merasa bahwa Pabelan
tidak hanya memberitahu saya bahwa ini salah dan itu benar. Tapi Pabelan juga
membuat saya paham bahwa kita harus bisa membaca situasi. Pak kiai selalu mengatakan
bahwa bukan hanya pelajaran yang butuh dibaca dan dipahami. Selain Al-Quran
sebagai kitab suci umat Islam yang wajib kita baca dan kita pahami maknanya,
buku sebagai jendela dunia agar wawasan kita bebas terbuka, membaca dan
memahami situasi juga perlu kita lakukan untuk bisa memahami orang lain.
Hal lain yang di Pabelan masih sulit
dipahami para santri, utamanya saya, adalah kenapa bapak atau ibu sering marah
dan menghukum santri yang melakukan kesalahan dan tidak taat pada aturan.
Santri sering menggerundel di
belakang. Jujur saja, itu yang saya lakukan dulu. Teman-teman saya pun juga
begitu adanya. Dulu kita hanya berpikir kita salah dan bapak selalu benar. Tapi
jika kita mau memahami bapak dan ibu yang tidak hanya mengurus satu santri, di situlah
kita baru sadar ternyata sesulit apapun kita manjalani hukuman, mereka lebih
pusing memikirkan kita semua. Seandainya dari dulu saya mendapat pemahaman ini,
mungkin saya tidak mau membuat bapak dan ibu susah waktu itu. But, here I am. Inilah yang harus lebih
ditanamkan dalam diri, bukan hanya saling mengerti, tapi juga saling memahami. Hal
ini yang kemudian saya terapkan pada saat bergaul dengan masyarakat kampus yang
merupakan dunia yang baru bagi saya. Teman-teman baru yang semuanya berasal
dari kalangan yang berbeda-beda dan kebanyakan dari SMA biasa dan memiliki
latar belakang yang luar biasa jauh berbeda dengan saya. Di sinilah alumni Pabelan
memiliki cara yang antimainstream
dalam bergaul dengan masyarakat barunya. Biasanya masing-masing punya keunikan
sendiri agar dikenal oleh banyak orang.
‘CHANCE’, Take it or Regret
it!
Saya adalah salah satu santri exchange yang memiliki kesempatan pergi
ke jepang. Cerita awalnya sangat
sederhana. Impian saya ketika pertama kali saya masuk pesantren adalah I have to go abroad. Entah bagaimana
caranya saya harus bisa. Sebelumnya saya mengikuti program pertukaran pelajar
Bina Antar Budaya yang setiap tahun diadakan pada saat memasuki semester dua
kelas IV (kelas X tingkat MA) saya memilih mendaftar untuk menjadi pustakawati.
Niat awal saya mendaftar menjadi pustakawati karena hanya ikut-ikutan
teman-teman saya. Tapi, perlu diketahui bahwa niat baik yang hanya ikut-ikutan
kadang membawa hoki yang baik juga. Saat itu, kebetulan kami kedatangan tamu
dari Jepang, yaitu Ms.Yuriko Nakamura yang sedang melakukan research di beberapa perpustakaan yang
ada di pesantren di Indonesia. Beliau adalah dosen salah satu perguruan tinggi
di Tokyo yaitu Tokyo Gakugei University.
Pertemuan para pustakawan dan
pustakawati dengan Ms.Yuriko Nakamura cukup mengasyikkan dan kami banyak
membicarakan tentang buku dan bagaimana perpustakaan di Jepang. Saat itu
Ms.Yuriko meminta beberapa dari kami untuk menceritakan buku apa yang pernah
dibaca dan bagaimana isi buku tersebut. Pada saat itulah saya spontan
mengangkat tangan dan menceritakan tentang novel yang kebetulan waktu itu
sedang saya baca, begitu pula dengan tiga orang kawan saya yang menjabarkan
buku yang berbeda. Semenjak saat itu, saya dan Nadine Alifah, salah satu sahabat
akrab saya menjadi orang penting di perpustakaan. Kami bahkan ikut rapat ketika
pimpinan pondok bersama kepala perpustakaan membicarakan untuk memperbaiki
perpustakaan kami yang kondisinya saat itu tidak baik, bahkan nyaris
terbengkalai. Saya senang dan menikmati hal ini. Sampai suatu hari, kami berdua
diberitahu bahwa kami diberi kesempatan untuk melakukan perjalanan ke Jepang
bersama Ms.Yuriko untuk menjadi subject
research.Tapi, hanya salah satu dari kami. Jadi saat itu, Bapak Nasir
selaku kepala perpustakaan itu dan Mrs. Afi yang juga saat itu mengurus
perpustakaan melakukan beberapa tes untuk menentukan siapa yang layak
berangkat, saya ataukah Nadine.
Saat
itu, saya berpikir, kenapa hanya kami berdua? Kenapa tidak semua pustakawati
(pustakawan tidak termasuk karena Ms.Yuriko hanya meminta seorang santriwati
saja) yang diuji ? Saya pikir, jawabannya adalah hal sederhana yang efeknya
luar biasa yang saya dan Nadine lakukan saat pertemuan dengan Ms.Yuriko di
perpustakaan. Ya, kami hanya mengangkat tangan dan menjabarkan buku yang telah
kami baca. Di sinilah saya belajar bahwa kesempatan sekecil apapun, just take it. Make it yours and don’t let
anyone take it. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi
nantinya. Jujur saat itu saya hanya spontan mengangkat tangan dan banyak juga
teman saya yang spontan menunjuk saya untuk berbicara. Jika saya pikir ulang,
mungkin bukan alasan ini yang membuat saya menjadi the lucky one untuk melakukan perjalanan ke Jepang, secara gratis
tentunya. Tapi, entahlah bagaimana kronologi sebenarnya, itu yang saya rasakan
selama ini. Di sini saya juga menyadari bahwa sepertinya saya berhutang budi
pada teman-teman saya yang membuat saya mendaftar menjadi pustakawati. Jika
saja mereka tidak berhasil mempengaruhi saya pada kebaikan mungkin saya tidak
akan menjadi baik dan berada di posisi saya yang memiliki pengalaman go abroad. Pak kiai pernah memberi tahu
saya sebuah pepatah yang mengatakan ukuran dirimu bisa dilihat dari siapa
temanmu. Teman adalah orang yang paling berpengaruh di kehidupan saya
sehari-hari ketika nyantri selain
guru, ustadzah dan pendamping kamar. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa teman
sebayalah yang akan selalu mendukung apapun yang akan saya lakukan. Mereka
tidak berpikir ketika itu berakibat buruk bagi saya atau tidak, mereka hanya
berpikir apakah itu menyenangkan atau tidak. Begitulah teman sebaya. Dan yang
menyenangkan itu, terkadang tidak selalu baik. Tapi tetap saja, teman sebaya,
teman satu organisasi adalah yang paling dirindukan.
Program exchange saya ini berbeda dengan kakak-kakak sebelumnya. Saya
berangkat dengan program perpustakaan dan menjadi objek penelitian Ms. Yuriko
yang sedang melakukan penelitian perpustakaan pesantren di Indonesia dan
beberapa negara lain. Jika kakak-kakak ada yang berkesempatan belajar dan
bersekolah di luar negri selama satu tahun, saya hanya mengunjungi
sekolah-sekolah di sana saja. Pengalaman yang menyenangkan dan luar biasa
karena saat masuk Pabelan pertama kali, yang selalu saya impikan adalah belajar
ke luar negri. Saya tidak memiliki target lolos program bina antar budaya tapi
saya yakin saya punya jalur lain. Mimpi itu yang selalu saya tanamkan, and I got it. Satu minggu di sana
merupakan waktu yang cukup singkat untuk menikmati bagaimana udara dan apa yang
ingin saya cari. Satu minggu hidup tanpa jam karet sangatlah menyenangkan.
Tepat waktu tetapi tidak terburu-buru, semua orang tahu bahwa Jepang adalah negara
yang tidak mengenal istilah jam karet. Selama saya di sana, saya diajak
mengelilingi perpustakaan-perpustakaan yang ada di sekolah-sekolah. Dari yang elementary school sampai yang university.
Hal
yang membuat saya sedih adalah saat saya berangkat, tidak ada yang mengantar
saya ke bandara. Orang tua saya tidak mengantar karena mereka sibuk di rumah,
dan dari pihak pesantren pun banyak yang sibuk karena pada saat itu bertepatan
saat ujian lisan. Saya sempat agak tertekan karena saya banyak ketinggalan
ujian pada saat itu, tapi sudahlah. Setiap langkah yang kauambil pasti memiliki
resiko tersendiri. Di situlah kita belajar bagaimana cara mengatasi risiko yang
kita ambil agar tidak menjadi lebih buruk lagi. Berangkat sendiri tidak menjadi
masalah bagi saya karena saya juga akan bertemu mBak Hasna Safira disana. Mbak
Hasna adalah ustadzah dari Pondok Gontor yang juga mendapat kesempatan sama
seperti saya. Bersama mBak Hasna inilah saya menghabiskan satu minggu di Jepang
untuk research kami. Yang tidak
membuat saya sedih lagi adalah ada saja yang menyusul saya ke bandara untuk
sekedar mengatakan “See you soon” dan
“Have a safe flight”. Mereka yang
menemui saya di bandara orang-orang terdekat saya yang kebetulan sedang ada di
Jogja. That’s a great farewell, dan
saya tidak merasa sedih lagi.
Saat itu pertama kali saya pergi ke
luar negri dan pertama kali juga bagi saya naik pesawat. Mungkin jika saya
tidak memilih sekolah di Pabelan, saya tidak akan mendapat pengalaman itu
sendiri. Jika saja saya tidak dididik di Pabelan, mungkin saya tidak akan
semandiri dan seberani itu untuk mengiyakan pergi ke luar negeri tanpa orang
tua. Hingga saat ini, Pabelan selalu mengingatkan saya agar menjadi seseorang
yang tahan banting. Salah satu quotes
yang selalu saya ingat “Jangan berdoa
agar hidup ini menjadi mudah, tapi berdoalah agar kamu menjadi seseorang yang
tahan banting”.
Kami menginap di hotel yang terletak
dekat dengan pusat kota Shibuya. Sekitar satu kilometer dari stasiun kereta.
Pengalaman yang tak terlupakan bagi saya adalah ketika kami pulang dari
kunjungan ke Arakawa Elementary School,
saya terpisah dari mBak Hasna dan ms. Yoriko. Saat itu hari sudah petang dan
saat sampai stasiun, banyak orang yang turun dan agak berdesak-desakan. Itulah
yang membuat saya terpisah dari mereka. Saya agak panik, tapi saya mencoba
tenang. Alhamdulillah, saya tidak
lupa jalan pulang. Malam itu saya tidak langsung pulang ke hotel, saya malah
jalan-jalan dan masuk ke pusat perbelanjaan yang ada di Shibuya. Saya bahkan
sempat berfoto dengan patung Hachiko, seekor anjing yang terkenal karena
kesetiaannya terhadap pemliliknya. Malam itu benar-benar salah satu malam yang
sangat menakjubkan. Saya bahkan berdoa agar suatu saat dapat mengajak keluarga
dan teman-teman saya menkmati malam seperti pada saat itu.
Kunjungan yang kami lakukan sangat
mengasyikkan. Kami bahkan dipersilakan mengikuti beberapa kelas. Kami juga
sempat mengobrol dengan beberapa mahsiswa di Tokyo Gakugei University. Yang
menjadi kendala bagi saya saat itu adalah bahasa. Tidak semua orang Jepang bisa
menggunakan bahasa Inggris, dan saya sendiri agak sulit memahami bahasa Inggris
yang mereka ucapkan karena logatnya yang agak berbeda. Saat itu pun, bahasa Inggris
saya masih sangat minim. Tapi berkat bantuan mBak Hasna yang lebih fasih, Alhamdulillah saya terbantu. The best part of this journey adalah
tentu saja, Disney Land. Kami diberi
satu hari penuh untuk mengunjungi Disney land. Sangat mengasyikkan dan rasanya
semua wahana ingin saya nikmati. But, kami tidak punya banyak waktu, Jadi kami
nikmati saja apa yang ada.
Ms. Yuriko orang yang sangat baik. Beliau
bahkan memberi saya sebuah memo ketika kami hendak kembali ke Indonesia. Memo
itu berisi reminder bagi saya untuk
mengerjakan kembali laporan yang saya buat karena waktu itu ada kesalahan
teknis pada CD-ROM yang saya beri. Saya jadi merasa bersalah karena waktu itu
saya cenderung easy going pada
laporan yang harus dibuat. Tapi sepertinya Ms, Yuriko memaklumi saya yang saat
itu terbilang masih remaja kecil, 15 tahun yang masih butuh banyak bimbingan.
Sepulang dari Jepang, saya langsung
mengikuti ujian tulis kenaikan kelas. Dengan masih terbayang-bayang indahnya
kota Tokyo di malam hari, saya harus kembali belajar dan menemui
pelajaran-pelajaran hafalan seperti mutolaah
dan lain-lain. Dan, pada akhirnya, karena kurang maksimal belajar dengan
pemikiran saya yang pas-pasan, keluarlah hasil ujian saya yang merupakan ranking terakhir di kelas dengan
rata-rata nilai yang pas-pasan untuk naik kelas V (XI MA). Tapi, setidaknya
saya mendapat ilmu lebih juga dari pengalaman yang mengasyikkan ini.
Berhenti mengeluh, Kau
akan naik kelas!
Kenaikan kelas di Pabelan memang
sangat berbeda dari sekolah lain menurut saya. Entah kenapa, rasanya sangat
sulit untuk naik kelas. Rasa takut yang amat sangat begitu terasa ketika akan
dipasang papan pengumuman kenaikan kelas. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
itu terjadi, menurut saya yang pertama adalah karena Pabelan tidak hanya
melihat kemampuan santrinya di bidang akademik dan nilai-nilai ujian saja. Tapi,
menilai santrinya dari tingkah lakunya juga. Jadi, secerdas apapun seseorang,
ketika dia tidak bisa bersikap baik, dia patut dipertimbangkan mampukah ia
mengemban tanggung jawab yang lebih besar atau ia harus belajar lagi di tingkat
tanggung jawab yang sama.
Naik kelas bukan hanya sekedar naik
tingkat dan menjadi kakak kelas. Naik kelas di Pabelan yang saya rasakan adalah
bertambahnya tanggung jawab dan juga sebuah apresiasi bahwa tandanya kamu
berhasil menjadi pribadi yang lebih baik. Ketika kamu merasa bahwa kamu
berhasil menjadi lebih baik, di situlah seharusnya tumbuh rasa tanggung jawab
yang lebih besar untuk menjadi contoh yang lebih baik bagi adik-adik kelas. Itu
yang saya rasa penting ketika kita naik kelas dan menjadi seorang kakak kelas
yang lebih dewasa.
Faktor lain yang membuat pengumuman
kenaikan menjadi hal yang menakutkan adalah ketika kita memikirkan teman yang
lain. Ketika kita berhasil, dan melihat teman seperjuangan kita gagal, di situlah
saya merasa bahwa saya juga gagal. Teman adalah seseorang yang sangat
berpengaruh bagi kami. Bagaimana tidak? Setiap detik yang terlewati kami
habiskan bersama. Sebangku, seatap, sehati pada
kenyataannya kita tidak bisa hidup sebagai seorang individualis. Kami akan
selalu saling membutuhkan satu sama lain. Bahkan ketika kami sudah memilih
jalan masing-masing dan hidup terpisah seperti sekarang ini, kami tetap
menjalin silaturahmi dan sering berkumpul bersama. Kami belum memiliki sebuah
program agar menjadi bermanfaat bagi masyarakat, karena kami terbilang masih alumni baru. Halusnya,
kami masih ingin menikmati waktu untuk kami sendiri. Setiap momentum akan
sangat berharga dan akan selalu memiliki makna penting dalam hidup, terutama
momentum yang dilewati bersama teman seperjuangan. “Kita, tidak akan menjadi kita tanpa aku, kamu, dia dan mereka,”
begitulah quotes yang pernah kami
buat. Mereka memang selalu patut dirindukan.
Amal ma’ruf,
Nahi munkar
Membawa seseorang
pada hal yang baik tidaklah sesulit menjauhkan mereka dari hal-hal yang tidak
baik. Begitulah bagaimana seorang sahabat dan orang-orang terdekat selalu
berusaha melakukan yang terbaik untuk orang-orang yang dikasihinya. Pabelan
selalu mengajarkan hal itu. Hal yang paling sulit dikendalikan oleh diri saya
sendiri kepada teman-teman saya. Banyak kasus yang membuat kami down dan menyesal, tapi juga berontak
karena ketidaksesuaian beberapa hal. Hal yang wajar ketika kami dahulu adalah
seorang remaja yang masih labil dan masih senang melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang tentu saja membuat bapak dan ibu jengkel. Karena
itu tadi, perlu usaha yang ekstra untuk menjaga teman satu sama lain tidak
melakukan hal-hal yang tidak seharusnya. Tentu saja berbeda rasa bagi cerita
kami sekarang. Lucu, jika kami saat ini bersilaturahim ke pesantren dan
bernostalgia masa lalu bersama bapak dan ibu. Baru terasa betapa konyolnya saat
santri putri menerima hukuman cabut rumput di kompleks putra, atau santri putra
yang dihukum lari sambil mengangkat kasur di kompleks putri. Cerita-cerita
memalukan itu saat ini menjadi cerita menggelitik yang naif diceritakan
kembali.
Amal ma’ruf dan
nahi munkar inilah yang selalu saya terapkan dalam bergaul dengan teman baru
saya yang saat ini mengisi hidup saya. Mereka berbeda, sangat berbeda dengan
dengan teman di pesantren. Terutama dalam hal ibadah, sebagian masih banyak
yang lupa akan waktu mendekatkan diri kepada-Nya. Saya mungkin pernah
terpengaruh sejenak karena masih beradaptasi, tapi alhamdulillah Allah selalu melindungi dan mengingatkan saya. Usaha
yang lebih ekstra dalam bermasyarakat di lingkungan kampus sangat diperlukan.
Tapi saya yakin, alumni Pabelan bukanlah pribadi yang mudah terpengaruh lagi.
Alumni Pabelan adalah orang yang memiliki pendirian dan mampu untuk menjadi
diri sendiri.
Last but not
Least
Salah satu quotes menarik yang selalu menjadi
inspirasi, pedoman hidup, yang saya dapatkan di Pabelan membuat saya merasa
lebih bersyukur dan selalu menoba mendekatkan diri pada-Nya dan selalu
mengingatkan tempat naung kita.
‘’The
lementation of Salahuddin Al-Ayyubi : Why I grateful to what I have now.
I asked for strength and Allah gave me
difficulties to make me strong. I asked for wisdom and Allah gave me problem to
solve. I asked for prosperity and Allah gave me faculty and energy to work. I
asked for courage and Allah gave danger to overcome. I asked for love and Allah
gave me troubled people to help. I asked for favors and Allah gave me
apportunities. I asked wanted nothing for my self, but I received everything I
needed.”
Be who you
wanna be, be grateful to Him, do what you love and love what you need to do.
Biografi Ringkas Penyumbang
Naskah
Angkatan 1993-2000
Muhammad
Testriono: Pabelan dan Mimpi Amerika
Miftahussa’adah:
Gabungan Pesantren dan Madrasah. Lahir di Magelang, 19
Oktober 1982, Alamat Pabelan IV, Mungkid,
Magelang, JawaTengah. Pendidikan TK Pertiwi Pabelan 1987-1988, SDN Pabelan I 1988-1994, MTs PP Pabelan
1994-1997, MA PP Pabelan 1997-2000, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2000-2004,
Flinders University South Australia 2006-2008. Kantor Pusat Pengembangan Bahasa,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Suami Rozib Sulistiyo, S.Pd.I., M.Pd.I. Anak: Adlan
Alunaji Fairozan (8 th), dan Ardan Rasyad Ahmadannaja (5 th)
Eko Prasetio: Insan Berdaya Jual Tinggi. Lahir di Jakarta, 6
Mei 1981, Nama Istri Mu’arifani ( alumni Periode 1997-2001), Nama Anak Jihan
Naura Qonita (Naura) dan Hilmi Fahlevi Ibrahim (Hilmi), Alamat : Perum. Pondok Hijau No.6, Kel. Wates, Kec.
Ngaliyan – Semarang Barat, Profesi manager Marketing & Konsultan Travel
Agent Umroh dan Haji Plus, Job Desk Melayani calon tamu Allah yang ingin ke
Baitullah melaksanakan Umroh dan Haji
Plus. Yang mempunyai visi ingin memberangkatkan lebih banyak orang ke
Baitullah yang terkendala biaya dan insyallah bisa berangkat dengan Gratis. HP
0813 2762 2583 / 0815 4251 8893 Pin BB
51C926A1, Email eprasetio17@gmail.com . Buku yang sudah
berhasil di tulis berbentuk Ebook / Buku Digital yang berjudul : Rahasia Strategi Lunasi
Hutang dalam waktu singkat , Rahasia Menjadi Pengusaha Tanpa Modal, Panduan
Hasilkan Banyak Uang dengan hanya menulis 8-10 halaman dengan menjual Ide,
Keahlian, dan Pengalaman lewat Blog Gratisan di Internet
Meldo Andi Jaya:
Menggapai Cita. Lahir di Palembang, 7 Februari 1983. Profesi Arsitek. Pendidikan 1994 SD di
Palembang, 1994
- 2000 Pondok Pabelan, 2000 Pengabdian di Pondok Pabelan, 2001 S1 Jurusan Arsitektur di Universitas Sriwijaya
Palembang, 2012
S2 Rancang Kota/Urban Design di
Institut Teknologi Bandung, Organisasi 1999 Bagian Penggerak Bahasa OPP pondok Pabelan, 1999 Buletin Dialog Pondok Pabelan
2000 ketua TPA
Pondok Pabelan, 2002
Ketua Ikatan Arsitektur
Universitas Sriwijaya Palembang, 2004 Reporter Lembaga Pers Mahasiswa Universitas
Sriwijaya, 2010-sekarang:
Ikatan Arsitek Sumatera Selatan
Tiara Rubiati: Siapa Bertahan Dia
Pemenang. Tiara Rubiati Asal
: JakartaMasa Pondok 1993-2000
Angkatan
2001-2005
Fatoni Afrianto: Kenangan Menjadi
Santri. Lahir
di Grobogan, 20 April 1984, alamat asal Ngembel Lor, Tanggung Harjo, Kabupaten
Grobogan RT 2 RW 5 Grobogan Purwodadi Jawa tengah. Pekerjaan : TNI AD (dinas di
Ambon)
Sulistyawati:
Mengelola Dana Pondok
Edi Susilo:
Belajar Hidup Ikhlas. Edi Susilo (edus) Domisili/asal Pekalongan.
Masuk Pabelan 2000, Lulus Pabelan 2006
(ngabdi setahun setelah lulus ), Pekerjaan Guru SMA Negeri 1 Pekalongan, Hobi
Fotografi
Lisa Noviana: Terhindar dari Salah Pergaulan. Saat ini tengah dan
masih akan terus berkarya di sebuah institusi negara, di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
sebagai Penganalisa Masalah Hukum. Prinsip dan nilai-nilai Ponpes Pabelan pun
masih diterapkan dalam keseharian, baik ketika berkarya di institusi atau saat
berkumpul di tengah keluarga. Alhamdulillah telah menikah dan memiliki dua
putera yang lucu dan menggemaskan. Kebetulan indah bahwa suami adalah seorang
alumni santri Ponpes Pabelan, seangkatan
dan dulu pernah menjadi Ketua OPP Putra, saat itu kebetulan Ketua OPP
Putri. Menikah pada tahun 2009 yaitu
enam tahun setelah kami lulus dari Ponpes Pabelan. Saat ini suami masih terus
berkarya sebagai seorang peneliti di sebuah lembaga riset bernama Purusha Cooperatives di Jakarta
sekaligus dosen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional di beberapa Universitas
di seputaran Jakarta Selatan, salah satunya adalah Universitas Paramadina.
Muhammad Citradi: Pabelan
Membanggakan.
Lahir di Magelang 16 Juli 1987 anak ketiga dari pasangan KH. Ahmad Mustofa dan
Nunun Nuki Aminten. Masa kecil dihabiskan di desa tercintanya. Mengenyam
pendidikan dasar di SD Negeri 1 Pabelan lalu melanjutkan ke SLTP Negeri 1
Muntilan. Setelah lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama untuk memenuhi
keinginan orang tuanya yang menginginkan dirinya belajar ilmu agama. Meneruskan
pendidikan di Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan. Setelah satu semester
di Pondok Pabelan mencoba mengikuti testing untuk masuk ke Pondok Modern
Darussalam Gontor namun tidak lama di Gontor karena satu dan lain hal lalu
kembali ke Pondok Pabelan. Setelah masuk Pondok Pabelan kembali, tak disangka
mondok yang tadinya hanya keinginan orang tuanya justru membuatnya sangat
tertarik dengan dunia pesantren. Di Pondok Pabelan ketika menjadi OPPP diberi
amanah untuk memegang bagian keamanan. Selulus dari Balai Pendidikan Pondok
Pesantren Pabelan, sempat mengenyam pendidikan di Universitas Al Azhar, Mesir,
selama 5 tahun di jurusan syariah islamiyah. Sepulang dari Mesir tahun 2011
melanjutkan mondok dan studinya di Balai Pendidikan Pondok Pesantren Darussalam
Ciamis pimpinan KH Fadhil Munawwar Manshur. Setelah itu ditugaskan oleh KH
Fadhil untuk membantu mengajar di Pondok Pesantren Darul Hikmah Sleman. Hingga
saat ini (2015) masih tercatat sebagai salah satu Pembimbing di Pondok
Pesantren Darul Hikmah.
Malikhatun Nisa’: Prepare The Future. lahir di Magelang, 29
November 1986, alamat Pabelan iv, RT ii RW x, Mungkid, Magelang. Pendidikan: SDN
pabelan 2 ( th 2000), MTs Pondok Pabelan (2003), MA Pondok Pabelan (2005), KMI
Pondok Pabelan (2006), Pendidikan Bahasa Inggris (S1); Universitas Negeri Yogyakarta
(2011), menjadi Staf Sekretariat Dekanat (Sekretaris Dekan) Fakultas Hukum ,
Universitas Islam Indonesia ( 2013 – sekarang); wish word forget the past,
control the present and prepare for the furure.
Arlian
Buana: Inspirasiku
Pabelan.
Qurota Ayuni: Warna Pendidikan di
Pabelan. Alumni Pondok Pabelan tahun 2006 lahir
di Bantul, 9 Agustus 1987. Dia menyelesaikan sarjana S1 nya di FKIP Bahasa
Inggris UAD Yogyakarta pada Desember 2010. Kemudia mengajar di LBPP LIA Palembang
dari tahun 2011sampai sekarang dan sedang melanjutkan program S2 Pendidikan
Bahasa Inggris di Universitas Sriwijaya.
Riansyah Tuahunse: Berdisiplin dari
Dalam. Nama Riansyah Tuahunse, angkatan 2006 Asal Palu,
Sulawesi Tengah
Angkatan 2006-2010
Setyawan Saputra: Pesantren dan
Impianku. Lahir di Demak, 20 Juni 1989, Alamat Desa
Karangawen, Rt 01 Rw 08 Kecamatan Karangawen,
Demak,
Jawa Tengah. Email setiawansaputro@gmail.com. Karya Tulis Ilmiah Skripsi Studi
Komparasi Sistem Pemerintahan Menurut Al Mawardi Dengan Sistem Pemerintahan
Menurut UUD NRI Tahun 1945 (2013), Penghapusan Ijin Presiden Dalam Proses
pemeriksaan Hukum Pelaku Tindak Pidana Korupsi Bagi Kepala Daerah (2010),
Pemberian Dispensasi Bagi Terpidana Mati Bagi Terpidana Yang Lanjut Usia (2011), Sejarah Lahirnya Lembaga
Peradilan Islam Di Indonesia (2012),
Biografi KH.Marwan (2011), Skripsi Pemikiran Dan Gerakan Al Maududi Dalam
Membangun Peradaban Islam Di Negara Pakistan (2014)
Fikri Fahrul Faiz:
Darah Daging Pabelan. Lahir di Cilacap, 01 Februari 1992.
Pendidikan: S1 Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
Ahmad
Nabil Athoillah: Menyantri di Kenya
Yasser Azka Ulil
Albab:
Segala Hal Dibelajarkan.
Tempat , tanggal lahir Semarang, 22 Maret 1990. Pendidikan S1 Teknik Industri Universitas
Islam Indonesia. Pekerjaan Sept 2014 – Februari 2015 = Supervisor Warehouse PT.
Astra Daihatsu Motor. Februari 2015- up
to present = Project Control PT. Tracon Industry
Isnatul
Arifah: Bekal Hidup dari Pabelan
Mega
Saputra: Laboratorium Kehidupan
Lutfi Hani Kusumawati: Membiasakan Berjiwa
Terbuka. Lahir di Semarang, 20 Desember 1990,
Alamat Tegal Sari Rt 007/003, kec.Pringapus, ungaran, Kab. Semarang , Email: lutfihani13@gmail.com, Pekerjaan Wirausaha
Angkatan 2011-2015
Agusviani Nurhayati: Jatidiri Terbentuk
di Asrama. Lahir
di Bogor, 11 Agustus 1991. Alamat : Jl. Halmahera II/19 Rembiga Mataram NTB. Masuk
Pabelan : 2006 kelas Takhasus. Lulus Pabelan : 2012. Pekerjaan : Ibu rumah
tangga, Mahasiswi Universitas Terbuka
Fak. Sastra Inggris Bidang Minat Penerjemah, Wiraswasta
Hibatul
Wafi:
Keliling Dunia dari Pabelan. Lahir di Wonosobo, 21 Januari 1993. Masuk Pabelan pada tahun
2005 dan lulus pada tahun 2013 setelah mengabdi selama satu tahun. Pernah
mengikuti program pertukaran pelajar dan tinggal di negara bagian Pennsylvania,
Amerika Serikat selama sekitar 11 bulan. Saat ini sedang menuntut ilmu di
jurusan Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Jakarta, memalui program
beasiswa penuh bernama Paramadina Fellowship. Juga aktif dalam organisasi
Internasional Award for YoungPeople (IAYP) Indonesia sebagai Duta IAYP.
Rizqi Anggita Lailatul Hikmah: Atsar dari Rumah
Kedua. Lahir di Semarang, 7 Januari 1993.
Menghabiskan masa kecil di Ungaran sampai menyelesaikan sekolah tingkat dasar
di SD Islam Istiqomah. Kemudian melanjutkan pendidikan Madrasah Tsanawiyah dan
Madrasah Aliyah di Pondok Pesantren Pabelan, Magelang dengan satu tahun masa
pengabdian. Selama belajar menimba ilmu di Pesantren Pabelan mendapatkan
kesempatan untuk belajar di USA selama satu tahun sebagai siswa pertukaran
pelajar program YES (Youth Exchange Student). Dan sekarang sedang melanjutkan
pendidikan di Sekolah Tinggi Pariwisata AMPTA Yogyakarta.
Syahril
Huda Andriyan : Allah Menuntunku
Zaima
Bunga Wijayanti: Pabelan ke Jepang
Muhammad
Syafii: Paradigma Keluarga Harmonis.
Muhammad Syafi’i (MUHSYA),
Bangka, 08 Oktober 1993. Alamat Sambi, Pakembinangun, Pakem, Sleman,
Yogyakarta. HP/Telepon 0877 4540 8486, E-mail muhsya.libira.lovestar@gmail.com .
Pendidikan Tahun 2004 Lulus dari SD Negeri 287, Toboali, Bangka Selatan.Tahun
2007 Lulus dari SLTP N 1 Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Tahun 2011Lulus dari
Madrasah Aliyah PonPes Pabelan, Magelang. Tahun 2012 s/d 2015 Mahasiswa AKINDO
(Akademi Komunikasi Indonesia). Yogyakarta, Indonesia. Jurusan Broadcasting
Radio TV | NIM : 2012/BC/3558. Pengalaman Organisasi, Tahun 2009 Bagian Bahasa Organisasi
Pelajar Pondok Pabelan, Magelang, Jawa Tengah. Tahun 2010 Sekretaris Organisasi
Pelajar Pondok Pabelan, Magelang. Tahun 2010 Dewan Ambalan Gugus Depan, PonPes Pabelan,
Magelang, Jawa Tengah, Tahun 2011 Panitia Pelatihan Internet “Santri Indigo” se
– Magelang, Tahun 2011 s/d 2012 Ketua Organisasi Santri Praktek PonPes Pabelan,
Magelang, Jawa Tengah. Tahun 2012 s/d 2014 Teater “AK51” Akademi Komunikasi
Indonesia. (AKINDO) Yogyakarta, Tahun 2013 Ketua Panitia Orientasi Mahasiswa Baru
Akademi Komunikasi Indonesia (AKINDO) Yogyakarta. Tahun 2014 Kepala Divisi Personalia
AKINDO TV, Yogyakarta, Pengalaman Pekerjaan Tahun 2011 s/d 2012 Sekretariat PonPes
Pabelan, Magelang. Tahun 2011 s/d 2012 WEB Admin PonPes Pabelan, Magelang, (@pesantrenpabelan.com),
Tahun 2011 s/d 2012 Guru PKn kelas 1 MTs, PonPes Pabelan, Magelang, Tahun 2013
s/d 2015 Creative Team di PEKA.art Organizer | Graphic | Picture .
Ima
Ganis Mutiasari: Warna Hidup dari Pabelan
Epilog :
Menempuh
Jalan Mendaki, Berbagi Inspirasi
Ù…َÙ†ْ
ÙƒَØ«ُرَ Ø¥ِعْتِبَارُÙ‡ُ Ù‚َÙ„َّ عِØ«َارُÙ‡ُ
“Barang
siapa banyak mengambil pelajaran, akan sedikit mendapat kegagalan”
Dalam sebuah pertemuan tak terduga
dengan seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi Islam Negri, diam-diam muncul
rasa bangga sebagai salah satu ustadz di Pondok Pabelan. Betapa tidak, dia yang
lulusan sebuah madrasah negri, mengakui keunggulan teman sefakultasnya yang
lulusan Pondok Pabelan. Khususnya dalam hal bahasa Arab. Padahal ketika menjadi
santri, mahasiswa yang diceritakan tersebut, termasuk kelompok biasa-biasa
saja. Di hadapan orang yang sudah terpesona, tentu saya secara mengalir mudah
sekali menceritakan seluk beluk Pondok Pebelan, bahkan lebih dari yang
seharusnya selama lebih dari ‘satu jam pelajaran’.
Itu adalah salah satu gambaran hasil
‘sementara’ didikan Pondok Pabelan. Boleh jadi ketika menjadi santri biasa-biasa
saja, tidak nampak prestasinya atau bahkan menyebalkan, tetapi ternyata
menyimpan potensi yang sering munculnya di kemudian hari. Di sinilah letak
pentingnya kesadaran, kesabaran dan ketabahan para pendidik, bahwa pendidikan
itu proses panjang yang hasilnya tidak mungkin diperoleh secara instan. Oleh
karena itu, menghadapi banyak anak dari beragam latar belakang dibutuhkan sikap
lapang dada yang tak terhingga. Untuk dapat berdada lapang memang tidak
sederhana, karena pendidik juga manusia. Namun, itulah yang dibutuhkan.
Sunnatullah-nya
memang demikian, bagi yang menghendaki kesuksesan, Allah membentangkan
jalan-jalan pendakian. Hanya mereka yang punya kemauan kuat, mau bekerja keras
(jihad), berjiwa kreatif (ijtihad) dan memiliki kesabaran yang tak terhingga
saja yang sanggup menempuhnya. Amat sedikit yang berani mengambil ‘jalan
mendaki’, hanyalah mereka yang memiliki visi tinggi. Selebihnya adalah mereka
yang hidupnya tanpa visi, a la kadarnya (sak-sak-nya), yang
motonya ‘yang penting hidup’. Itulah kebanyakan pemalas yang maunya hidup enak
tanpa kerja keras dan mati masuk syurga. Padahal pemalas yang demikian hanya
ada dua kemungkinan jalan yang ditempuhnya, jika lemah dia mengemis dan jika
kuat dia mencuri.
Pondok Pabelan mendidik santri untuk
menjadi mu’alim yang merdeka, yang berani memilih (jalan hidup) dan
bertanggung jawab (konsekuen) dengan pilihannya. Berani memilih ‘jalan
mendaki’, meskipun asalnya tidak disukai. Tetapi kepada mereka senantiasa
diyakinkan bahwa, pada sesuatu yang tidak kita sukai sering tersembunyi apa
yang kita cari (Kuntowijoyo). Sejarah mencatat bahwa tidak sedikit orang yang
sukses pada profesinya sekarang karena ‘kecelakaan sejarah’ (by
accident), bahkan
jarang yang by design. Ada orang yang ketika remaja benci menjadi guru,
karena merasa ‘menderita’ berorangtua guru, setelah dewasa justru sukses
menjadi guru, ustadz atau dosen. Sebaliknya, ada yang cita-citanya jadi dosen,
malah ‘tersesat’ menjadi pengusaha, wartawan, penulis dan lain-lain. Seorang
kawan mengatakan bahwa takdir hidup itu bersifat ‘teologis’, yang kadang jalan
dan ujungnya tidak logis. Perjalanan hidup manusia memang tidak selalu linier.
Selain agar menjadi ‘mu’alim’,
Pondok Pabelan tidak pernah mengarahkan santrinya untuk menjadi apa. Yang
penting berpikiran maju, siap berubah dan menghadapi perubahan secara merdeka.
Siap berhijrah dalam arti bergerak menggapai peluang yang lebih memungkinkan
untuk berkembang. Berhijrah adalah salah satu prasyarat bagi orang beriman
untuk meraih visi hidupnya, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah
ayat 218 yang artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka
itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. Iman (yakin, percaya diri), hijrah (dinamis, kreatif, inovatif)
dan jihad (kerja keras, pantang menyerah) adalah tiga kata kunci bagi santri
Pabelan untuk cita-cita mulia kehidupannya, yakni rahmat Allah.
Kalau berpikiran beku, jumud dan malas
pasti tergilas oleh roda sejarah. Imam Syafi’i (wafat 204 H) pernah menasihati
: “Tiada kata santai bagi orang yang berakal dan beradab, maka tinggalkanlah
kampung halaman dan merantaulah. Bepergianlah maka kau akan mendapat ganti
orang yang kau tinggalkan. Berusahalah, karena nikmatnya hidup ada dalam usaha.
Sungguh, aku melihat mata air yang tidak mengalir pasti kotor. Air akan jernih
jika mengalir, dan akan kotor jika menggenang. Kalau tidak keluar dari
sangkarnya, singa tak akan mendapatkan mangsa. Kalau tidak melesat dari busurnya,
anak panah tak akan mengenai sasaran”. Bahkan Syekh Muhammad Abduh lebih
tegas lagi pernyataannya : “Al Islamu mahjubun bil muslimin, Islam itu
kemajuannya tertutup oleh kebekuan umat Islam sendiri”
Namun, sukses secara pribadi belumlah
mencukupi. Artinya bagi santri Pondok Pabelan kesuksesan individual hanyalah necessary
condition (sesuatu yang perlu) dan bukan sufficient condition (sesuatu
yang mencukupi). Oleh karena itu Pondok
Pabelan mendidik santrinya menjadi mu’alim yang mencerahkan, artinya
yang kehidupannya bermakna tidak hanya untuk dirinya. Sekaligus merupakan
pengajawantahan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Peran ‘kerahmatan’
santri Pabelan di antaranya menjadi penyayang kepada sesama, penyejahtera bagi
lingkungannya, pembahagia bagi sesama dan pemecah masalah untuk siapa saja.
Semboyan dari Pondok Pabelan untuk Indonesia, adalah dalam rangka
mewujudkan fungsi kerahmatan tersebut. Para mu’alim dari Pondok Pabelan,
apapun pilihan profesi dan peran sosialnya mereka akan suka berbagi dan
menginspirasi. Mereka tidak termasuk orang ‘bangga bisa masuk surga sendirian’
atau pelit berbagi kebaikan, peluang dan kesempatan. Mereka selalu sadar bahwa
berbagi itu tidak rugi. sebagaimana kata Kuntowijoyo, kebahagiaan kalu dibagi
akan bertambah, kesedihan kalau dibagi akan berkurang.
Peran kerahmatan Pondok Pabelan telah
terbukti dan ‘terakreditasi’ (diakui) di antaranya melalui kiprah para alumni
kelompok assabiqunal awwalun. Kebermaknaan hidup mereka untuk bangsa
dengan beragam peran dakwah, pendidikan, sosial, ekonomi, politik dan
intelektual, benar-benar telah menginspirasi, khususnya para santri. Ada dua
puluh delapan alumni yang dapat dikatakan mewakili kelompok tabi’in,
yang berkesempatan menuliskan testimoni tentang andil Pondok Pabelan dalam
mengantarkan mereka menjadi ‘orang’. Usia mereka relatif muda, berkisar antara
19 – 33 tahun ada yang jadi dosen, pengusaha, guru, militer dan lain-lain.
Pendidikan mereka ada yang S1, S2 dan bahkan ada yang sudah memproses S3. Mereka
sebagian besar telah menikah dengan sesama alumni. Pernikahan sesama alumni,
agaknya menjadi salah satu tradisi yang menginspirasi dan sangat bermakna.
Pepatah mengatakan, rasa memiliki
menjadi demikian kuat ketika telah tidak memiliki. Itulah yang mereka rasakan
sekarang. Merasakan bermaknanya kegiatan-kegiatan di Pondok Pabelan yang pada
masanya dipandang sepele. Kanis, muhadharah, pindah kamar, di-‘iqab, pramuka,
micro teaching, menjadi penerima tamu dan lain-lain, ternyata ada gunanya.
Terasa pentingnya justru setelah tidak lagi menjadi santri di Pondok Pabelan.
Semuanya ‘menyesal’ mengapa dulu abai, tidak sungguh-sungguh, kurang serius,
agak menyepelekan dan lain-lain. Andaikan dulu lebih tekun menyeriusi semua
kegiatan di Pondok Pabelan tentu perolehan maknanya dapat lebih hebat dari
sekarang. Sayang, penyesalan datangnya selalu belakangan. Semua sudah terjadi,
tak dapat diulangi dan tak patut disesali. Ibaratnya bubur sudah menjadi nasi,
sudah terlanjur mau apa lagi.
Betapapun, ibarat anak panah mereka
telah melesat, lepas dari busurnya. Ada yang sudah kena sasaran, ada yang
nyaris dan ada yang dalam proses untuk menjadi. Erich Fromm (1900-1980) dalam
bukunya “To have or to be”, menjelaskan bahwa orientasi manusia dalam
memaknai hidupnya menjadi dua, yakni berorientasi memiliki dan berorientasi
menjadi. Orang yang berorientasi memiliki cenderung ingin menguasai, tergantung
pada simbol-simbol yang dimiliki, tidak mandiri dan enggan berbagi. Simbol itu
dapat berupa jabatan, kekuasaan, rumah, uang, mobil, gelar dan lain-lain. Jika
simbol hilang, dia merasa hilang eksistensinya sebagai manusia.
Sedangkan orang yang berorientasi
menjadi, kepuasan dan kebahagiaan hidupnya terasa ketika dapat memberi
kesenangan, pengabdian dan sumbangsih kepada pihak lain. Perbandingannya, jika
ada sekuntum bunga mawar di tepi jalan, yang berorientasi memiliki akan
mengambil dan merawatnya di rumah untuk dinikmati sendiri. Sedang yang
berorientasi menjadi akan merawatnya dan membiarkannya tetap berada di tepi
jalan agar semua orang dapat menikmatinya. Dalam khazanah Jawa yang
berorientasi memiliki termasuk orang rumangsa bisa, dan yang
berorientasi menjadi termasuk orang yang bisa rumangsa. Dua puluh
delapan alumni muda tersebut dan juga yang ‘ghaib’ insya
Allah termasuk manusia-manusia yang berorientasi menjadi, yang bisa
rumangsa. Mereka adalah pribadi-pribadi berjiwa peduli dan berbahagia saat
dapat berbagi. Sekurangnya mereka telah berani mencukupkan diri dengan urusan
dirinya.
Karakter sejati seseorang dapat diukur
dari perlakuannya terhadap orang yang berada di bawahnya (baik kedudukannya,
kekayaannya dan sebagainya). Bersikap sopan terhadap atasan atau orang yang
lebih kaya itu lumrah, sedang bersikap sopan terhadap bawahan atau orang miskin
itu kemuliaan. Pembantu khalifah Umar bin Abdul ‘Azis pernah ketiduran karena
kelelahan mengipasi sang khalifah. Kemudian dengan sangat pelan dan hati-hati
Umar mengambil kipas dari tangan sang pembantu. Sang khalifah mengipasi
pembantunya, sehingga tidurnya semakin nyaman. Secara birokratis sebenarnya
sang khalifah berhak untuk marah. Tetapi Umar bin Abdul ‘Azis bukan khalifah
yang berkepribadian ‘memiliki’, sehingga tidak mengambil ‘hak marah’-nya. Tidak
marah kepada orang lemah dan bersalah ternyata tidak mengurangi kemuliaan sang
khalifah, bahkan sebaliknya. Itulah contoh nyata orang yang berkepribadian
‘menjadi’ yang bisa rumangsa.
Santri Pondok Pabelan di samping
mengemban peran kerahmatan juga tugas kerisalahan, yakni meneruskan tugas Rasul
mendakwahkan risalah Islam dengan jangkauan yang tak terhingga. Meskipun mereka
sudah sampai ke luar negri, tetap saja terus memperdalam wawasan ke-Islaman.
Sebab untuk mengemban tugas kerisalahan ini berlaku prinsip, yang tidak
memiliki tidak dapat memberi dan yang tidak keluar dari hati tidak akan sampai
ke hati. Keluasan wawasan akan memunculkan keluwesan tindakan atau
sikap, yang sangat diperlukan dalam dakwah sebagaimana perintah Allah dalam
Surat An Nahl 125 : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk”. Berdakwah dengan ramah tanpa amarah, memberi teladan bukan pamer
keshalihan dan membesarkan hati sebelum memberi ancaman.
Mereka adalah anak-anak muda yang
memegang teguh pesan utama Pondok Pabelan: agar berani menjadi dirinya sendiri.
Hanya yang telah benar-benar ‘merdeka’ yang percaya diri menjadi dirinya.
Hidayah dan kebenaran hanya dapat meresap dan diterima oleh orang yang telah
‘merdeka’. Jika kita belajar dari sejarah banyak ditemukan orang yang secara
nalar memahami kebenaran tetapi menolaknya, karena masih ‘terpenjara’. Raja
Namruj, misalnya, secara nalar sadar betul bahwa berhala itu tak dapat
mempengaruhi apapun kehidupan manusia, tetapi ia tetap menyembahnya. Sebab
Namruj masih terpenjara oleh kedudukannya. Jika tidak menyembah berhala dia
akan takut kehilangan kedudukan, pendapatan dan lain-lain. Betapa banyak orang
yang enggan menerima kebenaran gara-gara takut kehilangan kekuasaan,
penghasilan, kehormatan dan semacamnya. Bahkanpun sampai takut berbeda pendapat
demi menjaga pendapatan, sehingga mengorbankan martabat demi secuil ‘martabak’.
Mereka adalah anak-anak muda yang
telah terinspirasi, berani menempuh jalan mendaki, menemukan jati diri kemudian
peduli dan berbagi. Yang terinspirasi hanyalah mereka yang cerdas secara nalar
dan nurani. Yang berani menempuh jalan mendaki hanya mereka yang punya visi.
Hanya yang percaya diri yang sampai menemukan jati diri. Dan yang peduli juga
berbagi hanya mereka yang telah selesai dengan urusan dirinya, sekurangnya
berani mencukupkan diri dengan urusan dirinya.
Jumari al-Ngluwary
[1]
Diterjemahkan secara bebas dari syair Sayyid Ahmad Hasyimi
[3]
Mukhrizal Dkk, Pendidikan Postmodernisme : telaah Pemikiran Tokoh Pendidikan,
Arruz Media 2014
[4] Pradjarta Dirjosanyoto, Memelihara Ummat:
Kyai Pesantre, Kyai Langgar di Jawa, . (Yogyakarta: LKIS, 1999) Hal. 141.
[5]
Ismail SM., dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Pelajar 2001,
Hal. 17
[6]
“Donna, tempat apa yang paling menarik di kota ini?”
[7]
“Hm... Mungkin, perpustakaan..!”
[8]“Kepemimpinanbagaikan
sekantung teh celup. Kita tidak dapat mengetahui seberapa enaknya sampai kita
memasukkannya ke dalam air panas.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar