KEMAMPUAN MEMORI KHATIB TENTANG MATERI KHUTBAHNYA :
STUDI LAPANGAN DI KABUPATEN MAGELANG
Oleh : Muhammad Nasirudin
A. Pendahuluan
Khutbah
berbeda dengan ceramah-agama meskipun boleh jadi isi materinya sama. Khutbah
tercakup dan masuk dalam prosesi ritual agama. Misalnya dalam prosesi Salat
Jumat, khutbah merupakan syarat sahnya[1].
Karenanya, khutbah dan salat merupakan dwitunggal kendatipun khatib dengan imam
tidak harus diperankan oleh satu orang. Demikian pula kepaduan keduanya dalam
prosesi Salat Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Ada beberapa perbedaan,
yakni pada urutan dan hukum keagamaannya. Pada Salat Jumat yang didahulukan
khutbah tetapi pada Salat Hari Raya yang didahulukan salatnya. Kemudian secara
hukum agama, Salat Jumat wajib ‘ain[2]
bagi setiap muslim, sedangkan Salat Hari Raya berhukumkan sunnat mu’akkad.[3]
Kedudukan
khutbah yang masuk dalam prosesi ritual agama tersebut mengakibatkan
terdapatnya kualifikasi tertentu bagi khutbah dan juga khatibnya. Terdapat
syarat-rukun-sunnat khutbah yang kemudian mengarah pada kualifikasi sang
khatib. Nyatanya kemudian memang tidak setiap penceramah agama bisa dipercayai
untuk menjadi khatib tetapi hampir pasti khatib sering diminta untuk berceramah
agama atau mengisi pengajian di berbagai tempat. Dengan demikian mengangkat persoalan
seputar khatib dan khutbahnya menjadi jauh lebih penting dan berelasi secara
ritual agamis dibandingkan dengan persoalan penceramah dan pengajiannya.
Penelitian
ini berusaha untuk menggambarkan secara khusus kemampuan memori (daya ingat)
khatib akan materi khutbahnya. Secara teori Matlin (1998:64-181) telah mengeksplorasi masalah memori ini dalam
berbagai aspeknya. Model struktural memori dibedakannya menjadi memori
sensorik, memori jangka pendek dan memori jangka panjang. Kemudian pada level
pemrosesan memori bisa dibedakan menjadi pemrosesan secara dangkal dan secara
mendalam. Pada substansi memori terbagi menjadi memori episodik, memori
semantik dan memori prosedural. Dasar teori psikologi tentang memori ini akan
digunakan peneliti untuk membuat refleksi atas hasil studi lapangan. Terus
terang peneliti belum mampu untuk menggunakannya sebagai landasan paradigmatik
penelitian secara menyeluruh.
Dalam praktik penelitian lapangan, peneliti
membatasi daerah khusus untuk wilayah Kabupaten Magelang. Karena data yang
dikumpulkan nantinya lewat wawancara-mendalam maka tentu tidak mungkin
mewawancarai semua khatib di Magelang melainkan sekadar secara terpilih (purposive) lewat metode yang tepat dan
terpercaya[4].
Adapun hal yang akan disoroti selain aktivitas khatib adalah pola memori dan
upaya untuk menjaga/meningkatkan memorinya, Peneliti mengawali penelitiannya
dengan survey mengenai daerah Kabupaten Magelang, khususnya tentang pemeluk
Islam dan sarana-prasarana ibadahnya. Hasil survey digunakan untuk menentukan
subyek penelitian (informan) beberapa
orang, kemudian melakukan wawancara-mendalam (terfokus). Penelitian ini
dilakukan selama bulan Desember 2004.
B Metode dan Sumber
Pemeluk
Islam di Kabupaten Magelang tercatat sebanyak 1.058.046 jiwa atau sebesar 96,70
% dari jumlah penduduknya yang 1.094.075 Jiwa (2001)[5].
Tingkat ketaatan pemeluk terhadap agamanya tergolong tinggi, terbukti setiap
hari Jum’at sewaktu jam-jam salat Jum’at, suasana jalan–jalan amatlah lengang.
Mereka, kecuali amat sedikit yang wanita, mengikuti prosesi Salat Jum'at di
sebanyak 2.269 buah masjid yang tersebar di 21 kecamatan yang ada. Apalagi pada
setiap tanggal 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah mereka, pria-wanita, memadati
lapangan–lapangan dan masjid-masjid tempat prosesi Salat Hari Raya diadakan.
Setelah waktu–waktu prosesi tersebut selesai maka suasana jalanan kembali ramai
dan mereka sibuk kembali dengan urusan masing–masing.
Data di atas mengasumsikan bahwa di wilayah
yang diapit oleh Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sumbing dan Pegunungan
Menoreh ini terdapat minimal 2.269 orang khatib. Ada khatib-muda yang hanya
berkhutbah di satu masjid tertentu, dan ada pula khatib-tua yang berkhutbah di
beberapa masjid dengan waktu yang berlainan. Dengan begitu bisa dibedakan
adanya khatib tingkat komunitas/desa, khatib kecamatan/antardesa, khatib
antarkecamatan dan khatib kabupaten di daerah dengan tiga potensi unggulan:
pertanian, pariwisata dan industri kecil ini. Dilengkapi dengan kategorisasi
khatib berdasarkan umur, dan latar belakang pendidikan maka didapatkanlah
format representasi khatib untuk bisa dipilih sebagai informan (subyek
penelitian) .
Kategorisasi
khatib berdasarkan wilayah binaan dibedakan menjadi: (1) khatib tingkat
komunitas/desa, (2) khatib tingkat kecamatan/antardesa, (3) khatib tingkat
antarkecamatan dan (4) khatib tingkat kabupaten. Kategori khatib berdasarkan
umur dibagi menjadi : (1) < 30 tahun, (2) 30 – 44 tahun, (3) 45 – 59 tahun dan (4) > 59 tahun. Kategorisasi khatib berdasarkan pada
latar belakang pendidikan dibedakan menjadi : (1) Pesantren/Sekolah Agama, dan
(2) Sekolah Umum, serta (3) Pesantren plus
Sekolah Umum (A+U). Dari kategorisasi ini dibuatlah matriks yang berpeluang
sama untuk terpilihnya setiap khatib
sebagai subyek penelitian.
Wilayah
Binaan
|
Latar
Pendidikan
|
Umur
(Tahun)
|
|||
<30
|
30-44
|
45-59
|
>59
|
||
Komunitas/Desa
|
Agama
|
||||
Umum
|
|||||
A +
U
|
Dipilih |
||||
Kecamatan/Antardesa
|
Agama
|
||||
Umum
|
|||||
A +
U
|
Dipilih |
||||
Antarkecamatan
|
Agama
|
Dipilih |
|||
Umum
|
|||||
A +
U
|
|||||
Kabupaten
|
Agama
|
||||
Umum
|
Dipilih |
||||
A +
U
|
Tabel 1 Kerangka Kategorisasi Khatib
Sesungguhnya
masih ada satu lagi kategori khatib yakni berdasarkan domisili/tempat
tinggalnya yang dibedakan menjadi 21 yakni sejumlah kecamatan yang ada di
daerah yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian dari bidang pertanian
ini. Tetapi hal itu bisa dilakukan belakangan sesudah didapatkan pilihan
berdasarkan matriks dengan prinsip asalkan berbeda-beda daerah asal
domisilinya. Dari 48 kemungkinan berdasarkan matriks maka dipilihlah empat
orang khatib sebagai informan dengan kualifikasi kategori [6]:
1. Wilayah binaan tingkat
komunitas/desa, berlatar belakang pendidikan Agama plus Umum, serta berumur < 30 tahun.
2. Wilayah binaan tingkat
kecamatan/antardesa, berlatar belakang pendidikan Agama plus Umum, serta berumur 45-59 tahun.
3. Wilayah binaan tingkat
antarkecamatan, berlatar belakang pendidikan agama/pesantren saja, serta
berumur > 59 tahun.
4. Wilayah binaan tingkat
kabupaten, berlatar belakang pendidikan umum saja, berumur 30-44 tahun.
Penelitian
dilanjutkan dengan wawancara-mendalam kepada informan yang telah ditentukan
kualifikasinya tersebut. Wawancara-mendalam ini mencakup tiga komponen, yakni
(1) komponen khatib, (2) komponen materi khutbah, serta (3) komponen daya
ingat. Dengan tujuan bisa menemukan gambaran rinci mengenai kemampuan memori (capability of memory) khatib akan materi
khutbahnya, maka dibuatlah 6 buah indikator yang kemudian dilengkapi dengan 6
buah pertanyaan utama (Pedoman Wawancara, interview
guide, terlampirkan). Namun dalam wawancara-mendalam tersebut berbagai
pertanyaan sampingan juga muncul dengan tetap mengarah pada fokus penelitian.
C. Data Lapangan : Profil-Profil Khatib
1.
Khatib Tingkat
Komunitas/desa
Informan terpilih untuk khatib
tingkat komunitas/desa ini dipersyaratkan yang berlatar belakang pendidikan
Agama plus Umum, berumur kurang dari
30 tahun. Maka ditentukanlah domisili/tempat tinggal khatib informan ini dari
Kecamatan Mungkid. Hasil catatan lapangan mengenai informan tersebut bisa
dicermati dari uraian berikut ini :
Bernama lengkap Achmad Zabidi, S.H.I. (AZ) kelahiran Magelang, 3 Juli
1974 (30 tahun). Kini masih bujangan, hidup bersama orang tuanya di Pabelan
III, Kecamatan Mungkid. Usai SD masuk ke Pondok Pesantren Pabelan selama 6
tahun, kemudian melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Syariah IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, tamat tahun 2001. Kesibukannya saat ini sebagai guru
(ustadz) di Pesantren Pabelan selain tentunya aktif sebagai khatib di jamaahnya
yakni di Masjid Kertotaruno, Pabelan III. Dikenal oleh teman-temannya sebagai
pribadi yang penuh semangat hidup dan berterus terang.
Mulai menjadi
khatib setahun lalu, 2003 karena permintaan Takmir Masjid. Belum genap 10 kali
berkhutbah hingga saat ini tetapi setiap khutbahnya ada arsip naskah lengkap
yang ditulisnya. Selapan (35) hari sekali dia berkhutbah, yakni pada setiap
hari Jumat Wage.
Persiapan
untuk berkhutbah dilakukan dengan cara mengumpulkan buku-buku, memilih tema
tertentu, kemudian membuat rangkumannya serta menuliskan naskah khutbah secara
lengkap. Sesekali menggunakan rujukan Kitab kuning untuk menyempurnakan naskah
selain buku-buku tafsir seperti karangan M. Quraish Shihab.
Kategori materi yang disampaikan dominan masalah Fiqh dengan
kesesuaian waktu/momentum saat berkhutbah. Misalnya suasana Isra’ Mi’raj
dipilihnya materi tentang pesalatan, atau ketika Ramadhan dipilihnya materi
tentang puasa. Ini sejalan dengan disiplin ilmunya, yakni Ilmu Syariah (Hukum
Islam).
Merasakan
paling berhasil berkhutbah saat bulan puasa 1425 H, ketika mengkangkat tema
Husnul Khatimah (Mati/Penutup yang Baik). Saat itu tepat momentum, jamaah
sedang berusaha memperbaiki diri menuju kesempurnaan lewat pelbagai kegiatan
ibadah dan pelatihan kualitas diri. Usai khutbah itu ada yang berkomentar bahwa
isi materi khutbahnya bagus.
Hafalan akan
ayat al-Quran atau matan al-Hadis sudah didapatkan ketika dulu belajar di
Pesantren Pabelan. Saat itu ada kewajiban pelajaran untuk menghafalkannya. Cara
menghafalkannya saat itu dan juga sekarang ini dengan menuliskan dan membacanya
berulang-ulang.
Alhamdulillah
belum pernah terlupa bunyi ayat/hadis karena ketika berkhutbah semuanya itu
sudah dituliskan dan tinggal dibacakannya. Untuk menjadi imam salat juga
demikian karena masih sebatas membaca surat-surat pendek di Juz Amma (Juz 30).
Menambahi hafalan baru dengan ayat yang sering digunakan para mubaligh terutama
sebagai bahan untuk mengajar .
2.
Khatib Tingkat
Kecamatan/antardesa
Pilihan informan untuk khatib
tingkat kecamatan/antardesa dipersyaratkan yang berlatar belakang pendidikan
pesantren/sekolah agama plus sekolah
umum serta berumur 45-59 tahun. Domisili informan harus bukan dari Mungkid,
maka ditentukanlah khatib yang bertempat tinggal di Kecamatan Srumbung. Catatan
lapangan tentang khatib tersebut adalah :
Namanya Hanafi Abdullah Faqih (HAF), lahir
di Magelang, 10 November 1956 (48 tahun). Bapak berputri tiga ini bertempat
tinggal di Ngelo, Tegalrandu, Srumbung, Kabupaten Magelang. Usai SD masuk ke
Pondok Pesantren Pabelan, kemudian sempat selama 8 tahun bermukim di Arab Saudi
sebagai pengelola masjid Al-Fitaihi di Jalan Palestine, Jeddah. Kini dikenal
sebagai da’i pengisi tetap Kuliah Subuh di Radio Merapi Indah Muntilan
(Gelombang 99,5 FM) dan guru (ustadz) di Pesantren Pabelan, selain petani salak
pondoh di kampungnya. Tahun 2002 sempat menyelesaikan pendidikan di STAI
Salahuddin Al-Ayubi Jakarta mengambil Fakultas Tarbiyah sehingga bergelar
Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I). Di mata teman-temannya dikenal sebagai sosok
yang jujur, berterus terang serta konsekuen apa adanya.
Ada persiapan materi untuk berkhutbah yakni
dengan mencari tema dikaitkan dengan momentumnya, misalnya pas haji, lantas
dituliskan pokok-pikiran beserta ayat, kemudian dikembangkan sendiri secara
bebas. Membuka Kitab Kuning hanya dilakukan bila ada jamaah yang membutuhkan
misalnya menanyakan mengenai suatu persoalan yang dihadapinya.
Materi khutbah yang disampaikan beragam,
kadang Tafsir, kadang Fiqih, kadang Aqidah, tetapi utamanya pada materi Akhlaq.
Pernah merasakan materi khutbahnya mengena di hati jamaah. Saat itu HAF
mengangkat materi pendidikan anak. Usai khutbah ada seorang tua yang menanyakan
lebih lanjut menganai bagaimana tanggung jawab orang tua terhadap anaknya yang
tidak taat.
Hafalan ayat didapatkan ketika masih nyantri
di Pabelan. Ada usaha untuk selalu menambah hafalan dengan cara
mengulang-ulanginya hingga hafal. Kemudian hasilnya digunakan untuk salat
tahajud dan dipakai dalam pengajian/ceramah agama. Secara kolektif ada pula
program hafalan lewat dakwah Partai Keadilan Sejahtera (HAF salah seorang yang
dituakan dalam orpol ini di tingkat Kabupaten Magelang kendati secara
struktural tidak tercantum dalam kepengurusan).
Belum pernah terlupa ayat ketika berkhutbah
karena semua ayat dan hadis telah disiapkan dan dihafalkan sebelumnya. Ada
persiapan khusus untuk naik mimbar Jumat, melebihi ceramah agama biasa sehingga
sering merasa “kemrungsung” bila Jumat tiba. Saat ini berkhutbah di 3 masjid
yang berlainan desa di Kecamatan Srumbung, yakni pada setiap Jumat Pon, Jumat
Wage dan Jumat Pahing.
3.
Khatib Tingkat
Antarkecamatan
Syarat informan khatib untuk
tingkat antarkecamatan adalah yang berlatar belakang pendidikan semata
pesantren/sekolah agama, dan berumur >59 tahun. Domisili informan harus
bukan dari Mungkid atau Srumbung, maka ditentukanlah khatib yang bertempat
tinggal di Kecamatan Muntilan. Catatan lapangan informan tersebut :
Haji Abdul Malik (HAM) dilahirkan di Magelang, 1944 (berumur 60 tahun).
Sekolah Dasar diselesaikannya di Payaman Secang Magelang, kemudian melanjutkan
pendidikannya di Pesantren Al-Iman Magelang. Kurang suka pelajaran ilmu pasti
tetapi amat getol pelajaran Nahwu dan Sharaf. Pada usia 19 tahun sempat
melancong selama 3 tahun di daerah Lamongan, Jawa Timur. Sosok pribadi yang
penuh semangat dakwah dan berjiwa seniman ini kini bertempat tinggal di
Ngadiretno 17 Muntilan.
Pertama kali berkhutbah saat di Lamongan pada usia 20 tahunan. Adapun
saat ini menjadi khatib tetap pada 9 buah masjid di Kecamatan Muntilan,
Kecamatan Borobudur dan Kecamatan Srumbung. Rentangan waktunya dualapan (70)
hari sekali, dan selapan (35) hari yang di Borobudur sehingga praktis setiap
hari Jumat pasti HAM naik berkhutbah, tampil sebagai khatib.
Persiapan materi untuk khutbah dilakukan dengan rujukan Mushaf
Al-Quran, buku indeks Fatchurrahman serta banyak buku yang lain. Tidak pernah
membuat naskah khutbah, kecuali pokok-pokok pikiran saja ataupun bila untuk
Khutbah Hari Raya dibutuhkan oleh panitianya untuk digandakan. Materi yang
dikhutbahkan terutama masalah Aqidah-Akhlaq yang dikaitkan dengan situasi
hangat (sosial-politik). Dipilihnya hal tersebut karena menurutnya paling
dibutuhkan jamaah.
Dalam hitungannya sendiri pernah merasakan paling berhasil khutbah
ketika menyampaikan materi mengenai penjelasan tauhid secara aqliyah dan
naqliyah. Respons jamaah ketika itu pada awalnya terkejut, kaget, namun
kemudian bisa menerima dan memahaminya.
Hafalan ayat al-Quran dimulainya ketika masih berada dalam asuhan ibu,
berumur sekitar 5 tahun, saat itu menghafalkan surat Al-Mulk (Juz 29, surat
ke-67) yang melekat hingga sekarang. Tetapi kemudian selalu menambahi hafalan
dengan cara mengulang-ulangi bacaan dan memakainya sebagai bacaan dalam salat,
terutama untuk Salat Tahajud. Bila lupa akan ayat, maka dicobanya dengan
mengurutkan kembali ayat sebelumnya, tetapi bila juga masih terlupa maka
dipilih ayat lain yang masih semaksud dan senada dengan ayat yang terlupakan
tersebut.
4.
Khatib Tingkat
Kabupaten
Untuk khatib tingkat kabupaten
dipersyaratkan yang berlatar belakang pendidikan semata sekolah umum sejak
tingkat dasar hingga lanjut serta berumur 30-44 tahun. Syarat tambahannya tidak
berdomisili di tiga kecamatan terpilih, sehingga ditentukanlah kemudian
informan khatib yang bertempat tinggal di Kecamatan Mertoyudan. Hasil catatan
lapangan menyebutkan sebagai berikut :
Dilahirkan di Magelang, 27 Juli 1967 (37 tahun) dengan nama pendek,
Jumari. Tetapi ketika mulai sering menulis di buletin dan majalah, tahun
1990-an, ditambahkannya keterangan ‘Al-Ngluwary’ sesuai asalnya dari Kecamatan
Ngluwar, sehingga menjadi bernama ‘Jumari Al-Ngluwary’ (JA). “Agar tampak
bernama Islam,” katanya. Sekarang bapak beranak satu ini dikenal sebagai
aktivis. Di ormas aktif sebagai Ketua Bidang Dakwah Pimpinen Wilayah Pemuda
Muhammadiyah (PWPM) Jawa Tengah, di orpol menjabat Ketua Bidang Pemuda &
Olah Raga DPD PAN Kabupaten Magelang, selain tercatat sebagai Kepala SMK
Muhammadiyah 2 Muntilan. Kegiatannya beragam, mulai dari mengajar, menulis,
mengisi pengajian, berdiskusi, rapat dan tentu saja berkhutbah. Khatib Jumat di
banyak masjid dan juga khatib Idul Fitri atau Idul Adha di berbagai tempat
dalam wilayah Kabupaten Magelang.
Latar belakang pendidikannya bercorak umum. SD dan SMP
Muhammadiyah di Ngluwar, lalu di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta, kemudian
melanjutkan di Fakultas Filsafat UGM, lulus tahun 1991. Pengagum Plato, filosof
Yunani ini kini bertempat tinggal di Banjarnegoro, Mertoyudan sambil mengelola
Pusat Dakwah “Ruhul Islam” di dekat SMU Taruna Nusantara. Oleh teman-temannya
Jumari ini dikenal sebagai sosok yang hangat, terbuka, kritis dan sering diberi
cap “radikal”.
Pengalaman berkhutbah pertama saat masih mahasiswa, 1988-an,
di masjid SMP Muhammadiyah, Bligo Ngluwar. Awalnya rutin sebulan sekali.
Berikutnya pernah hampir setiap Jumat berkhutbah di banyak masjid. Tetapi saat
ini tidak punya jadwal rutin kendati dalam sebulan minimal sekali tentu
berkhutbah. Merasa lebih nyaman bila ada jadwal rutin, selain karena pasti
menyiapkan diri juga bisa mengatur “kurikulum” sehingga selalu ada hal baru
yang segar. Bila tanpa jadwal rutin berakibat kurang belajar, katanya.
Persiapan sebelum berkhutbah yakni dengan mencari ayat-ayat
atau matan hadis yang terkait dengan tema yang dipilih. Tidak membaca buku baru
khusus untuk persiapan khutbah; materi dari buku secara spontan yang keluar
dari dalam ingatan akan buku yang pernah dibacanya.
Kategori materi khutbahnya tergolong Aqidah-Akhlaq. Sebab
ada keleluasaan jangkauan materi serta realisasinya dalam kehidupan
bermasyarakat, yakni ada kebebasan dan kemerdekaan dalam mengembangkannya.
Materi lain Ushul Fiqh. Untuk materi fiqih meskipun diminati jamaah dan
diinginkannya tetapi menurutnya sudah kelewat jenuh, dan yang diperlukan adalah
Aqidah-Akhlaq-Ushul Fiqh.
Merasa paling matching materi khutbahnya dengan jamaah
ketika Idul Fitri di Lapangan Blondo, Mungkid, 2002. Hadirin yang heterogen,
suasana yang syahdu dan materi khutbah dengan tema sosial seperti matching
benar sehingga respons jamaah tampak benar. Untuk khutbah jumat tampak lebih
formal serius, tapi baginya tidak masalah bila muncul joke sehingga ada gaya lain
yang lebih akrab, rujukannya seperti pak AR (AR Fachrudin, mantan Ketua PP
Muhammadiyah).
Hafalan ayat-ayat istimewa didapatkannya ketika masih di SMA
yakni dalam pelajaran al-Qur’an yang setiap minggu diwajibkan menghafal 10
ayat. Tetapi upaya untuk menambahi/meningkatkan hafalan terus saja dilakukan
dengan cara menuliskan dan membacanya berulang-ulang. Hasil hafalan tersebut
digunakan sebagai bacaan dalam salat serta dipakai untuk mengisi materi dalam
pengajian/diskusi/rapat.
D. Pembahasan Hasil Data Lapangan
Empat khatib yang dijadikan informan
tampak semuanya masih aktif, menguasai materi ke-Islaman, selalu menyiapkan
materi untuk berkhutbah, memorinya cukup kuat serta ada upaya untuk
menjaga/meningkatkan kemampuan memorinya. Tetapi perlu juga ditelaah secara
lebih mendalam masing-masing keterangan tersebut dengan cara diperbandingkan
dan ditajamkan kekhususan masing-masing. Untuk keperluan itu maka pembahasan
hasil data lapangan ini dibedakan menjadi dua, yakni pembahasan tentang latar
belakang dan aktivitas khatib serta pembahasan tentang materi khutbah, memori
dan upaya peningkatannya.
1.
Latar Belakang Dan
Aktivitas Khatib
Perbandingan data keempat
informan mengenai latar belakang dan aktivitas masing-masing serta ringkasannya
adalah :
Wilayah
Binaan
|
Inisial
|
Umur
(Thn)
|
Latar
Pendidikan
|
Mulai
khutbah
|
Profesi
|
Aktivitas
Lain
|
Frekuensi
Khutbah
|
Desa
Antardesa
Antarkecmt
Kabupaten
|
AZ
HAF
HAM
JA
|
30
48
60
37
|
A+U
A+U
Agama
Umum
|
2003
(29)
1990
(34)
1964
(20)
1988
(21)
|
Guru
Guru
Da’i
Guru
|
_
Petani
Pedagang
Penulis
|
35
hari
11
hari
7
hari
30
hari
|
Tabel 2 Latar Belakang Dan Aktivitas Khatib
Tampak
dari Tabel 2 bahwa umur khatib informan
minimal 30 tahun, dan AZ mulai berkhutbah pada umur 29 tahun. Memang seseorang
bisa dipercaya sebagai khatib selain karena penguasaan ajaran Islam, perilaku
keseharian juga karena umur. Peneliti di lapangan cukup sulit menemukan khatib
yang umurnya kurang dari 30 tahun. Kendati begitu, HAM mulai berkhutbah pada
umur 20 tahun dan JA di umur 21 tahun, tetapi tentu tempatnya di masjid yang
masih “baru”. Artinya soal regenerasi khatib memang patut diperhatikan dalam
arti perlu dipikirkan keberlangsungannya
tanpa mengurangi kualifikasinya.
Dari
empat khatib ada tiga orang yang ber-”profesi” sebagai guru. Agaknya memang
terdapat kesejajaran antara mengajar dengan berkhutbah, apalagi bila mengajar
di sekolah agama/pesantren. Namun untuk mendukung kebutuhan hidup harian
nyatanya perlu aktivitas lain. Seperti bertani, berdagang atau menulis, bahkan
juga usaha lain yang tidak jauh atau bertentangan dengan citra khatib yang
fasih dan faqih dalam soal ke-Islaman.
Latar
belakang pendidikan umum tidak mengurangi kesempatan seseorang untuk menjadi
khatib. Tetapi kasus JA menegaskan bahwa pendidikan informal-nonformal lewat
keaktifannya di organisasi ke-Islaman sejak remaja itulah yang menguatkannya
untuk layak karena menguasai ajaran dan berani karena kesadaran dan panggilan
sebagai khatib. Sementara untuk AZ, HAF, dan HAM karena berlatar belakang pendidikan
pesantren tentu lebih berpersiapan untuk menjadi khatib, kendatipun
kenyataannya tidak setiap alumni dari pendidikan pesantren mampu/dipercaya
sebagai khatib.
Adapun
frekuensi kegiatan berkhutbah seorang khatib jelas berbeda-beda, ada yang
setiap minggu, ada yang selapanan, bahkan ada yang hingga dualapan (70 hari).
Frekuensi ini ditentukan oleh faktor kesediaan khatib serta
kebutuhan-kepercayaan jamaah. Tentu hal ini merupakan hasil bersama antara
tingkat keberagamaan jamaah di suatu daerah dengan kesadaran khatib untuk
bertandang di masyarakat tersebut.
2.
Materi Khutbah,
Memori Khatib dan Upaya Peningkatannya
Secara ringkas
perbandingan data khatib informan mengenai materi khutbah, memori khatib dan
upaya penjagaan-peningkatannya bisa dicermati dari tabel berikut ini :
Inisial
|
Persiapan Materi
|
Metode Khutbah
|
Tema
|
Kategori Materi
|
Mulai Menghafal
|
Upaya Penjagaan
|
|
AZ
HAF
HAM
JA
|
Baca, tema, rangkum
Materi, momentum, kembangkan
Situasi, ayat, kembangkan
Tema, ayat, kembangkan
|
Naskah
Baca
Pokok-pikiran
Pokok-pikiran
Spontan
|
Momentum
Momentum
Sosial
Sosial
|
Fiqih
Akhlaq
Aqidah
Aqidah
|
Santri (13-17 tahun)
Santri (13-17 tahun)
Asuhan ibu (5 tahun)
SMA (17 tahun)
|
Bahan mengajar
Bacaan salat
Bacaan salat
Bacaan salat
|
|
Tabel 3 Materi Khutbah, Memori Khatib dan Upaya
Peningkatannya
Terdapat
beragam cara menyiapkan materi khutbah dan semuanya didasari anggapan bahwa hal
itulah yang dibutuhkan oleh para jamaah. Faktor momentum, misalnya menjelang
Hari Raya Qurban atau Isra’ Mi’raj biasa digunakan sebagai dasar atau
penguat materi yang disampaikan. Arah
dan muatannya bisa ke persoalan Fiqih/Ritual, Akhlaq/Etika, bisa pula ke
persoalan Aqidah/Keyakinan. Ada pula yang mendasari dan mendahuluinya dengan
persoalan realitas sosial-politik di masyarakat. Kemudian metode penyampaian
khutbah juga tampak beragam, ada yang menuliskannya secara lengkap sebagai
naskah dan tinggal membacakannya saat berkhutbah. Ada lagi yang menuliskan
pokok-pikiran lantas dikembangkan sendiri, ada pula yang semuanya disampaikan
secara mengalir mengikuti keadaan berdasarkan tema utama yang dipilih.
Mutlak
memang seorang khatib harus fasih melafalkan Ayat Al-Qur’an atau matan
Al-hadist yang disampaikan, dan keempat informan semuanya sudah hafal. Hafalan
akan hal itu ternyata sudah “dimodali” sejak lama. AZ dan HAF memilikinya sejak
berada di Pesantren, JA sejak di SMA ketika diwajibkan guru menghafalkan
ayat-ayat “istimewa”, bahkan HAM sejak umur 5 tahun ketika diasuh oleh ibunya
menghafalkan surat “Al-Mulk” (Juz 29 surat ke-67). Tentu hingga sekarang masih
terus dijaga hafalan itu bahkan ditingkatkan terus. Caranya sama, yakni
menghafalkan lewat pembacaan yang berulang-ulang. Kemudian hafalan itu
digunakan, dimanfaatkan untuk sesuatu. Bila AZ menghafalkannya untuk bahan
mengajar di Pesantren maka tiga khatib
lainnya menggunakan hafalannya sebagai bacaan salat, terutama ketika salat
sendirian, misalnya salat tahajjud.
3.
Refleksi Teori
Psikologi
Ketika
peneliti menentukan calon informan kemudian berhasil menghubunginya maka secara
spontan (serta merta) ternyata mereka itu bersedia, bahkan saat itu juga
dilakukan wawancara-mendalam dengan mereka, tentu saja secara terpisah dan
waktunya berbeda-beda untuk keempat informan tersebut. Artinya, keempat
informan ini tidak ada yang mempersiapkan diri terlebih dahulu secara khusus.
Oleh karena itu semua jawaban yang diberikan para informan muncul secara
tiba–tiba tanpa ada yang membaca terlebih dahulu atau menghafalkan. Sementara
wawancara berlangsung banyak ayat alqur’an dan hadis yang dikemukakan, seolah
untuk menyakinkan peneliti akan hal yang disampaikannya tersebut. Tidak jarang
muncul kesan bahwa peneliti meragukan jawabannya. Termasuk cerita masa lalu
para informan.
Berdasarkan
hal tersebut maka secara struktural model memori yang dimiliki para informan
berjenis memori jangka panjang (Long Term Memory) bahkan ada yang
berjangka amat panjang hingga puluhan tahun yang lalu. Kemudian level
pemrosessan memori para informan secara jelas diproses secara mendalam. Ketika terungkapkan substansi memori para
informan tampak ada memori yang semantik,
ada yang prosedural dan ada yang episodik. Cerita masa lalu yang dialami
para informan berhamburan keluar baik berupa peristiwa, nama, nilai norma
bahkan hingga suasana saat peristiwa dulu itu. Oleh karena itu wawancara yang
dilakukan peneliti seolah sebagai stimulus yang kemudian mengaktifkan berbagai
simpul informasi (distribusi pemrosesan
paralel). Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa para informan khatib ini
punya keahlian khutbah dengan akurasi memori yang cukup tinggi.
4. Refleksi Metodologi
Studi lapangan ini sedikit menggunakan survei
dan leih banyak mengandalkan pada data hasil wawancara. Wawancara-mendalam
kepada informan yang terpilih masih sebatas 4 orang khatib meski secara
metodologis bisa mewakili kategori masing-masing. Untungnya transkrip data
lapangan keempat informan cukup lengkap dan tajam meski hanya berdasarkan pada
6 buah pertanyaan utama. Tampak bahwa jawaban di luar pertanyaan, terutama
mengenai jatidiri khatib, sempat didapatkan sehingga melengkapi data yang
dibutuhkan.
Manakala dengan perpanjangan waktu
untuk penelitian sehingga bisa dilakukan pengamatan (observasi)
dan juga wawancara kepada lebih banyak informan, niscaya data yang
didapatkan bisa lebih banyak dan lebih detail. Penajaman dengan perbandingan
data di antara para informan lengkap dengan kekhususan masing-masing mungkin
bisa jauh lebih “berwarna-warni”. Apalagi survei yang dilakukan juga mencakup
pada pemetaan mengenai kondisi jamaah/ummat, tentu kelengkapan faktornya menjadi
bisa lebih mewakili (representatif).
Kendati demikian dengan segala keterbatasan,
baik waktu, kesempatan maupun sumber maka penelitian ini telah memulai untuk
mengkaji secara terbuka mengenai memori khatib tentang materi khutbahnya.
Diharapkan kelak ada penelitian lain yang jauh lebih representatif ataupun bisa
menindaklanjuti temuan pada penelitian ini.
E. Penutup
Penelitian lapangan ini
dengan segala keterbatasannya telah berhasil menemukan beberapa pokok-jawaban (kesimpulan) yang bisa dirumuskan
sebagai
1.
Kemampuan memori khatib tentang materi
khutbahnya tergolong cukup kuat. Faktor pengalaman, kemampuan dan kesungguhan
khatib dalam menyiapkan setiap materinya menegaskan bahwa Khutbah Jumat bagi
mereka selain untuk memenuhi syarat sah ritual Salat Jumat juga diberi
makna-bobot kegunaan sehingga bisa membimbing jamaah dalam meningkatkan
ketaqwaannya. Dari keempat orang informan, kesemuanya memiliki arah, sasaran,
bahkan target materi dalam setiap khutbahnya sehingga keempatnya pernah
merasakan terpenuhinya maksud tersebut kendati satu kali. Hal ini menandakan
bahwa memori khatib tentang materi khutbahnya tergolong kuat; seperti ketika
diminta untuk menceritakannya kembali maka keempatnya secara lancar dalam mengingat
dan menjelaskannya.
2.
Kemampuan memori khatib tentang ayat-ayat
Al-Qur’an tergolong kuat, lebih kuat daripada memorinya tentang materi
khutbahnya. Ada khatib yang mulai memasukkan memori al-Quran saat masih
kanak-kanak dan ada pula saat remaja. Keempat informan khatib menyebutkan bahwa
hal itu merupakan “modal” mereka dalam berkhutbah. Kemudian upaya untuk menjaga
dan meningkatkan hafalan al-Quran selalu dilakukan oleh para khatib secara
terus-menerus untuk kemudian menggunakan hafalan tersebut sebagai bacaan dalam
salat tahajud atau sebagai bahan untuk mengajar, mengaji dan mengisi ceramah.
3.
Terdapat berbagai spesialisasi (kekhususan)
materi yang disampaikan khatib dalam khutbahnya. Adapun keragaman metode
penyampaiannya, sesuai dengan arah, minat, kemampuan dan penilaian khatib akan
kondisi keberagaman jamaahnya. Tetapi sayangnya
belum ada penataan/pengaturan materi misalnya antarkhatib dalam satu
masjid, (kecuali mungkin masjid tertentu di kota besar) sehingga bisa terjadi upaya sinergis
khatib/khutbah untuk meningkatkan ketaqwaan umat. Tema yang dikehendaki takmir-masjid
bisa dikemukakan kepada khatib sehingga lewat materinya dan pendekatan masing-masing
khatib menyampaikan tema tersebut kepada jamaah.
4.
Kategorisasi memori para khatib berdasarakan
penuturan keempat informan menunjukkan bahwa secara struktural tergolong memori
jangka panjang (long term memory).
Kemudian level memorinya tergolong diproses secara mendalam terbukti dengan
kesungguhan persiapan materi khutbah dan hafalan al-Qur’annya. Adapun substansi
memori terbagi secara merata menjadi memori episodik,
memori semantik, dan memori prosedural. Karena kehadiran peneliti
yang spontan langsung diterima dan dilakukan wawancara maka ibarat stimulus
telah mengaktifkan berbagai simpul informasi yang dimiliki para khatib informan
(distribusi pemrosessan paralel ).
Sesungguhnya persoalan khatib dan khutbah di
lapangan manakala didalami akan banyak dimensi yang bisa ditajamkan.
Berdasarkan penelitian sederhana lagi singkat ini maka hal yang perlu direkomendasikan adalah :
1.
Perlunya forum komnikasi antarkhatib, baik dalam
batas satu masjid atau dalam lingkup desa/kecamatan. Dengan forum komunikasi
antarkhatib tersebut diharapkan terjadinya saling–mengenal (ta’aruf), saling–memahami (tafahum),
serta saling–kerjasama (ta’awun) sesama
khatib dalam membina ketaqwaan jamaah/umat. Ibarat lidi-lidi bila kemudian
disatukan dan dipertalikan maka akan bisa jauh lebih berjalinan, bermanfaat dan
kuat dalam membimbing umat.
2.
Perlunya semacam buku panduan materi Ajaran
Islam secara terperinci sampai pada kisi–kisi yang terstandar yang sesuai
dengan al-Qur’an dan al-Hadis serta Ilmu Pengetahuan. Dengan buku tersebut maka
bobot materi yang disampaikan khatib dalam khutbahnya bisa
dipertanggungjawabkan secara materi. Adapun kepekaan dan seni (sense and art) para khatib akan muncul
pada kualitas dan kedalaman karakternya yang tampak pada ketepatan metode
penyampaian dan pendekatannya terhadap jamaah/umat.
Muntilan, 26 Desember 2004
Daftar Pustaka
BPS. Kabupaten Magelang Dalam Angka Tahun 2001.
Kota Mungkid: BPS Kabupaten Magelang, 2002
Matlin, M. W. Cognition. Orlando, Florida: Harcout
Brace & Company, 1998
Miles, Matthew B dan A. Mitchael Huberman. Analisis
Data Kualitatif. Jakarta: UI Press, 1992
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Remaja Karya, 1989
Parkin, A. J. Essential Cognitive Psychology.
Hove, East Sussex: Psychology Press, 2000
Rasyid, Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2000
.
[1] Lihat
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000) hlm. 125
[2] Wajib ‘Ain adalah amalan tertentu yang
merupakan keharusan untuk dilakukannya bagi setiap manusia tanpa bisa
digantikan
[3] Sunnat Muakkad adalah kegiatan (amalan)
anjuran tetapi amat dipentingkan dan dikuatkan untuk dikerjakannya
[4] Lihat
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian
Kualitatif (Bandung: Remaja Karya, 1989) hlm. 105
[5] Semua
data mengenai Kabupaten Magelang dalam makalah ini diambilkan dari Kabupaten Magelang Dalam Angka 2001.
(Kota Mungkid: BPS Kabupaten Magelang, 2002)
[6] Lihat
Matthew B. Miles dan A. Mitchael Huberman, Analisis Data Kualitatif (Jakarta :
UI Press, 1992) Hlm. 176.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar