RELASI
DALIL FILSAFAT DAN DALIL AGAMA
MENGENAI
TEOLOGI METAFISIKA
Oleh:
Muhammad Nasirudin
Tanda seorang kafir adalah ia hilang di dalam
cakrawala; tanda seorang mukmin adalah cakrawala hilang di dalam dirinya (Mohammad Iqbal)[1]
Pendahuluan
Sebelumnya mohon dipahami, kendati tulisan
ini sudah diusahakan bisa seobjektif mungkin tetapi keserbaterbatasan pemahaman
penulis dalam mengangkat topik ini tentu menyiratkan subjektivitasnya. Artinya,
apa yang dipaparkan nanti mungkin belum sampai pada ‘Relasi Dalil Filsafat dan
Dalil Agama’ yang sebenarnya, melainkan baru mencapai pernyataan-pernyataan
yang penuh keterbatasan pengertian penulis mengenai soal tersebut. Oleh karena
itu ‘kebenaran’ ataupun ‘kesalahan’ yang dikandung tulisan ini hendaknya
dipandang sekadar sebagai kebenaran dan kesalahan penulis dalam mengeksplorasi
topik ini.
Rumusan masalahnya adalah relasi dalil
filsafat dengan dalil agama dalam soal Teologi Metafisika. Seperti kita pahami
bersama bahwa dalam tradisi filsafat terdapat bidang Teologi Metafisika yang
membicarakan keberadaan Tuhan dengan dalil-dalil filosofis. Ada empat
pendekatan yang semuanya sampai pada keberadaan Tuhan, yakni logika ontologis
(The Perfect Being), kosmologis (Causa Prima), teleologis
(The Greatest Intelligent Designer), serta etika moral (Law
Giver). Bagaimana kejelasan keempat dalil tersebut serta bagaimana pula
dalil agama, dalam hal ini al-Qur’an, “dipaksa” menanggapinya ?
Hukum Kausalitas : Kosmologi dan Ontologi
Bahwa manusia hidup di alam ini telah
disertai dengan akal yang bisa berfikir mengenai apa saja, termasuk juga
mengenai keberadaan “Sesuatu Yang Ideal”. Bermula dari mengamati lantas
merenungkan untuk kemudian sampai pada menyimpulkannya. Ibnu Khaldun, filosof
muslim, menuliskan hasil perenungannya itu dan dikenal sebagai dalil hudust[2] :
Semua yang baru dalam alam
ini baik berupa barang/benda atau perbuatan mesti ada sebab-sebab yang
mendahuluinya. Tiap-tiap sebab dari rangkaian sebab-sebab itu baharu pula, dan
oleh karena itu memerlukan kepada sebab-sebab yang lain. Sebab-sebab tersebut
bertingkat-tingkat sehingga sampai kepada sebab dari sebab, yang menjadikan
sebab-sebab, dan menciptakan sebab-sebab, yaitu Tuhan yang tiada Tuhan lain
selain Dia.
Inilah dalil kosmologis
bahwa Dia-lah yang menjadi Sebab Utama,Causa Prima atas segala hal yang
tergelar di alam raya ini.
Sedangkan untuk dalil ontologis,
Pascal, filosof-ilmuwan, merumuskan[3] :
Pengetahuan kita tentang
Tuhan termasuk salah satu pengetahuan pertama yang tidak memerlukan kepada
dalil-dalil pikiran karena aku bisa tidak ada kalau ibuku meninggal dunia
terlebih dahulu sebelum dilahirkan hidup. Jadi aku bukanlah zat yang wajib
al-wujud, dan aku bukan selamanya ada (tidak berkesudahan). Karena itu harus
ada zat yang wajib al-wujud yang ada selamanya dan yang tidak berkesudahan
dimana wujudku bersandar kepadanya.
Zat yang wajib al-wujud tersebut adalah Tuhan sebagai The
Perfect Being. Inilah pendekatan ontologis yang bersama pendekatan
kosmologis sebelumnya berpijak pada hukum sebab-akibat (kausalitas).
Pendekatan Teleologis dan Moral
Dalil yang lain dengan pendekatan teleologis.
Dasarnya adalah perenungan akan keteraturan, kerapian, kkemudian perencanaan
dan kesengajaan serta hikmah dan kebijaksanaan yang tergelar di alam semesta
ini. Ternyata segala hal tersusun rapi, terencana matang, berjalan teratur;
kalaupun kemudian tampak ada bencana atau keburukan ternyata terdapat hikmah
rahasia yang tersembunyi; sehingga dengan demikian pastilah ada zat yang Maha
Perencana, Maha Pengatur, Maha Berkreasi dan itulah Tuhan sebagai The
Greatest Intelligent Designer[4].
Muncul kemudian dalil yang tidak puas
dengan ketiga dalil sebelumnya. Bermula bukan dari akal sulit, melainkan melainkan
dari akal-praktis (la raison practique) yang dikembangkan Imanuel Kant[5].
Bahwa dalam diri kita ada perasaan kuat yang memerintah kebaikan dan mencegah
keburukan serta menyiksa kita ketika kita kerjakan dosa dan kesalahan. Perasaan
kuat tersebut bukan datang dari akal teori ataupun dari
penginderaan/pengalaman. Inilah akal-praktis yang merupakan undang-undang moral
dan menjadi dasar kejadian diri kita. Akibatnya dengan pendekatan moral-etis
ini perlu adanya keabadian jiwa pada kehidupan yang lain dan membuktikan pula
perlu adanya hari pembalasan. Kelak zat yang Maha Pembalas, Maha Berkuasa dan
Maha Adil itulah Tuhan sebagai Law Giver.
Dalil Al-Qur’an Mengenai Teologi Metafisika
Al-Qur’an tidak ‘membuktikan’ adanya
Tuhan tetapi ‘menunjukkan’ cara untuk mengenal Tuhan melalui alam semesta yang
ada, demikian Fazlur Rahman dalam puncak renungannya[6].
Dengan pengamatan serius akan al-Qur’an dia melanjutkan renungannya bahwa
setiap sesuatu di alam semesta ini adalah “petanda” Tuhan. Dua renungan Rahman
ini sungguh bisa menjadi paradigma yang kemudian jika direlasikan dengan
persoalan Teologi Metafisika niscaya sejajar, relasinya amat kuat, bahkan
nyaris tidak berselisih.
Mari kita cermati empat ayat al-Qur’an
berikut ini :
Ataukah mereka dijadikan
dari tidak ada ataukah mereka menjadikan dirinya sendiri ? (QS 52:35)
Akan Kami tunjukkan
kepada mereka tanda-tanda Kami di sekitar jagat dan dalam diri mereka sendiri
sehingga nyata bagi mereka bahwasanya Ia (Tuhan) itu benar (QS 41: 53)
Maka apakah kamu sangka
bahwa Kami jadikan kamu itu sia-sia dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan
kepada Kami ? (QS 23:115)
Dan sebagian dari manusia
ada yang membantah tentang (wujud) Allah tanpa ilmu dan ia mengikuti syetan
yang inkar (QS 22:3)
Keempat dalil al-Qur’an tersebut sejajar
betul dengan dalil ontologis, kosmologis, teleologis serta moral-etis. Bahkan
secara retoris bertebaran ayat al-Qur’an yang diakhiri dengan pertanyaan
menggugah : Apakah kamu tidak berpikir? Apakah kalian tidak mengetahui? Apakah
kamu tidak menyadari?
Kesejajaran dan hubungan kuat antara
dalil filsafat (benar) dengan dalil al-Qur’an bisa pula kita perluas menjadi
kesejajaran antara Ilmu Pengetahuan dengan Agama. Idealnya ada saling dukung
dan saling isi di antara keduanya. Bahkan Syekh Nadim Al-Jisr[7]
menegaskan bahwa agama yang benar tidak berkeberatan menerima
kebenaran-kebenaran ilmu pengetahuan, tidak pula berlawanan, juga tidak membeku
terhadapnya.[8]
Penutup
Sesungguhnya relasi antara dalil Teologis
Metafisika dengan dalil al-Qur’an seperti di atas, kendatipun bisa dan ternyata
positif, masih berkesan “dipaksakan”. Sebab masing-masing telah punya metode,
sistem dan pendekatan yang khas sehingga relasi yang ada sebenarnyalah
‘diada-adakan’ saja sebagai eksplorasi atas curiosity manusia yang memang
kreatif. Al-Qur’an dan Agama Islam sungguh sudah lengkap dengan sistemnya
sendiri, demikian juga dengan Teologi Metafisika.
Kemudian sebagai pelengkap topik ini ada
pemikiran Toshihiko Izutsu mengenai relasi Tuhan dan manusia menurut al-Qur’an[9].
Lewat pendekatan semantiknya dengan paradigma ontologis bahwa ‘dunia’ al-Qur’an
sangan teosentris, Izutsu mendapati relasi yang kompleks antara Tuhan dengan
manusia. Relasi kompleks itu secara konseptual bisa dianalisis berdasarkan
empat bentuk yakni Relasi Ontologis, Relasi Komunikatif,
Relasi Tuan-Hamba serta Relasi Etis. Empat relasi ini sungguh menarik
dicermati karena menurut Izutsu bahwa itulah ungkapan aseli al-Qur’an tanpa
pretensi penyesuaian apapun dengan konsep di luar al-Qur’an.
Wallahu a’lam bis sawab.
Muntilan, 23 Januari 2004
[1][1] Lihat
Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an (Bandung: Pustaka, 1983) Cet. I hlm.
33
[2] Dalam
Syekh Nadim Al-Jisr, Kisah Mencari Tuhan, Uraian Teologis-Filosofis tentang
Wujud Tuhan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994) Cet. III hlm. 61
[3] Ibid,
hlm. 129
[4] Ibid,
hlm. 166
[5] Ibid,
hlm. 167
[6] Fazlur
Rahman, op. cit. hlm. 15
[7] Syekh
Nadim, op. cit. hlm. 211
[9]
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik terhadap
Al-Qur’an (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997) Cet. I hlm. 75-80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar