PETA MISTISISME DALAM ISLAM
DAN RESPON UMAT ISLAM INDONESIA
A. Pendahuluan
“Deskripsi mengerikan” dalam al-Quran tentang Pengadilan Terakhir
telah direspon orang-orang Salih dengan selalu bertaubat dan bertempur melawan nafsu yakni inti jiwa
rendah yang mendorong kepada keburukan (QS 12: 53)[1].
Inilah salah satu dasar normatif gerakan mistisisme dalam Islam. Secara
historis gerakan yang kemudian sering juga disebut Tasawuf atau Sufisme[2]
ini dimulai pada abad pertama hijriah lewat perilaku zuhud (pengasingan diri, pertapaan) dan mirip dengan gerakan
asketisme Kristen semasa awal Romawi yang dicirikan dengan pakaian wol serta
jubah berwarna gelap[3].
Kendatipun pada awalnya mistikus muslim akrab dengan syariat Islam tetapi
perjalanan berikutnya sempat dicurigai bersimpangan dengannya. Kisah tentang tawakkul (pasrah kepada Allah)
berlebihan hingga hal-hal yang ajaib muncul dari praktik mistik sempat
membersamai perkembangan gerakan ini.
Hingga
saat ini telah 14 abad perjalanan mistisisme lengkap dengan lika-liku sejarah
serta peranannya dalam perjalanan pemikiran dan peradaban Islam. Tercatat
misalnya peranannya yang besar dalam dakwah Islam, termasuk pula yang sampai di
Nusantara (sebelum bernama Indonesia) pada abad XIII-XV[4]. Tetapi
terhadap gerakan mistisisme ini banyak stempel dilekatkan. Misalnya kelompok
fundamentalis-Islam memberikan stigma sebagai gerakan bid’ah dan kelompok modernis mencapnya sebagai gerakan takhayul[5]. Oleh karena itu kajian mengenai mistisisme dalam
Islam ini menjadi penting dilakukan baik secara historis maupun normatif.
Makalah
pendek ini berusaha untuk memetakan kembali gerakan mistisisme Islam hingga
saat ini. Selain itu juga berusaha untuk mencermati respon umat Islam Indonesia
terhadap mistisisme, terutama pada awal abad XX dengan bermunculannya
oraganisasi ke-Islaman modern. Kemudian dilakukan pula telaah ulang ajaran
mistisisme dikaitkan dengan persoalan umat Islam saat ini. Namun penulis harus
minta maaf karena bahan dan data dalam makalah ini boleh jadi kurang
representatif, belum bisa mengakses dari sumber primer yang terstandar, selain
karena keterbatasan kemampuan penulis juga karena kemendesakan waktu dalam
menuliskannya.
B. Gerakan Mistisisme Dalam Islam
Tokoh dari Sahabat Nabi
yang sering disebut sebagai peletak dasar mistisisme Islam adalah Abu Dzar al-Ghiffary (W. 652 M) yakni
pada fase akhir hidupnya ketika menjalani pengasingan di zaman pemerintahan
Khalifah III Utsman ibn Affan[6].
Sikap kritisis Abu Dzar al-Ghiffary kepada pejabat negara saat itu telah
mengantarkannya sampai pada kasus pengasingan tersebut. Karena dieliminasikan
dari pergaulan sosial tetapi kebutuhan hidupnya (pangan, pakaian, papan) telah
dijamin pemerintah, maka muraqabah,
mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla merupakan satu-satunya pilihan amal
maksimal yang bisa dijalankannya. Secara leluasa mistikus muslim awal-mula ini
memperbanyak ibadah individual hingga akhir hayatnya. Tokoh inilah cikal-bakal
cara hidup zuhud selain kemudian muncul pula tokoh-tokoh lain seperti Hasan al-Bashri (W. 756 M), Ibrahim ibn Adhan (W. 777 M) serta Rabi’ah al-Adawiyah (W. 801 M)[7].
Pada
abad ketiga hijriah perjalanan mistisisme sampai pada beberapa konsep baku
seperti ma’rifat, fana’, hulul, ittihad,
sehingga menjadi kaya dan lengkap bahkan kemudian terciptalah Ilmu Tasawuf atau
Sufisme dalam Islam. Kemudian berkaitan dengan perbedaan karakter dan orientasi
dalam ritual mistisismenya terdapat dua aliran besar yaitu Aliran Khurasan dan Aliran Baghdad[8]. Doktrin
tawakkul dan sifat mistisisme yang spekulatif serta kecenderungan mengabaikan
syariah marak pada Aliran Khurasan. Tokoh aliran ini misalnya Abu Yazid al-Busthami (W. 875 M) dengan
konsep fana serta Manshur al-Hallaj
(W. 922 M) dengan konsep hulul. Sementara Aliran Baghdad yang lebih peduli
syariah dan menolak asketisme memunculkan tokoh Harits al-Muhasibi (W. 856M) dan al-Junaid (W. 910 M). Perbedaan kedua aliran tersebut sempat pula
ditengahi untuk diakurkan bahkan kemudian terjadi semacam rekonsiliasi lewat
tokoh kharismatis Abu Hamid al-Ghazali (W.
1111 M) tentu dengan karya monumental sistematisasi mistisisme Islam yaitu buku
Ihya
al-Ulum ad-Dien[9].
Watak
mistisisme memang esoteris (batiniah)
dengan dasar sikap awal cinta-kasih (hubb,
‘isyq). Para mistikus melakukan amalan ritual khas sehingga mereka
mengalami perjalanan kejiwaan keagamaan yang bersifat batiniah. Dipimpin oleh
seorang mursyid (guru) yang
otoritasnya kuat-mutlak di hadapan pengikutnya mereka terbawa pada keadaan
akrab alami, pengalaman kejiwaan menyemesta akan diri, orang lain, alam dan
Tuhan[10]. Lengkap
dengan tingkatan usaha dan perolehan pengalamannya inilah yang disebut sebagai
jalan Tarekat (at-Thariqah, Tarikat, jalur-jalan mistik). Perkembangan
mistisisme kemudian memang berwujud gerakan-gerakan Tarekat, yakni organisasi
pengikut ritual pada seorang guru yang mereka ikuti. Nama tarekat sering
dinisbatkan pada tokoh penemu ritualnya atau pendirinya sehingga masing-masing
tarekat khas dengan pola, ritus, karakter, orientasi yang tidak sama. Namun
sungguh cepat perkembangan gerakan tarekat-mistisisme ini sejak Maroko hingga
Indonesia sebelum kemajuan peradaban modern. Nama Tarekat Qadariyah misalnya
amat dikenal di Afrika Barat dan Indonesia yang berpokok pada mursyid Abdul Qadir Jailani (W. 1166 M), juga
Tarekat Naqsyabandiyah yang bertumpu pada tokohnya, Bahauddin Naqsyabandi (W. 1415 M). Sementara di Afrika Utara lebih
dikenal Tarekat Sanusiyah yang dinisbatkan pada Sayyid Muhammad bin Ali al-Sanusi (W. 1837 M).[11]
Gerakan
mistisisme lewat tarekat memang mudah meluas dan diterima oleh masyarakat.
Selain karena wataknya yang esoteris (bukan eksoteris, lahiriah) juga karena
sifatnya yang sinkretis dengan budaya tempatan sehingga tidak pernah menuai
gejolak sosial-budaya dalam penyebarannya. Namun hal itu bukan berarti
mistisisme jauh dari kepentingan politik. Terutama setelah abad XVII dengan
kecenderungan baru yang dikenal sebagai Neo-Sufisme tampak muncul gerakan yang
penuh dengan aktivisme dan tidak lagi asketis[12]. Misalnya
di Nusantara pada abad XVIII-XIX muncul pemberontakan yang dimotori para
mursyid untuk menentang kolonialisme Belanda saat itu. Pemberontakan petani di
Banten 1888 M[13] dimotori
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, kemudian pada tahun 1908 Tarekat
Syattariyah mendalangi pemberontakan di Sumatera Barat. Demikianlah gerakan
mistisisme yang dahulunya pasif, asketis kemudian berubah menjadi aktif dan
peduli pada keduniaan .
C. Respon Umat Islam Indonesia
Pada awal abad XX
terjadilah gelombang pembaharuan Islam di Nusantara yang berjalan seiring
dengan gelombang nasionalisme serta kesadaran kedaerahan[14].
Muncullah kemudian kelompok-kelompok kecil yang memberikan respon baik secara
intelektual maupun gerakan sehingga timbul organisasi-organisasi modern yang
visioner. Ada yang membawa semangat keislaman, ada yang mengusung semangat
nasionalisme dan ada pula yang gabungan keduanya. Terhadap gerakan mistisisme
pada awalnya ada yang langsung menentangnya, meski kemudian ada pula yang
mengapresiasinya.
Terhadap
mistisisme sebagai warisan masa lalu tersebut muncullah berbagai respon umat
Islam Indonesia moderen. Minimal bisa dibedakan menjadi tiga klasifikasi
respon. Pertama, gerakan yang menentang mistisisme dan tampak pada
gerakan eksoterisme ajaran Islam. Kedua, gerakan yang menerima dan
meneruskan mistisisme di kalangan umat Islam. Ketiga, gerakan yang
mengkaji ulang mistisisme lewat telaah historis dan ideologis-normatif dalam
bentuk revisi dan reformasi. Ketiga klasifikasi respon tersebut masing-masing
punya wadah organisasi modern yang formal lengkap dengan agenda dan program
yang akan diperjuangkannya.
Selama
paruh pertama abad XX tersebut gerakan penentang mistisisme tampak hadir secara
gagah seolah hanya perlu dengan membalikkan tangan maka hal sebaliknya bisa
terwujud, yakni lewat gerakan eksoterisme ajaran Islam. Ungkapannya lewat usaha
menentang bid’ah, khurafat, takhayul dengan upaya pementingan sisi lahiriah
ajaran (syariah dan fiqh) Islam, gerakan ini berjalan menentang mistisisme.
Organisasi modern[15] yang
sejalan dengan ciri tersebut adalah Persatuan Islam (Persis) yang
berdiri di Bandung tahun 1923 dan di Aceh pada tahun 1939 berdiri Persatuan
Ulama Seluruh Atjeh (PUSA). Dalam AD-ART organisasinya tampak misi yang
menentang keras bid’ah, khurafat dan tahayul dengan sasaran sebenarnya
mistisisme.
Kemudian
berkebalikan dengannya, terdapat pula organisasi modern yang hadir untuk
menerima-meneruskan misistisme Islam sebagai warisan masa lalu. Dalam AD-ART
oragnisasinya tampak secara jelas ungkapan “meneruskan
tradisi ahlus Sunnah Wal Jamaah” dan yang dimaksudkan sebagiannya adalah
mistisisme Islam. Agaknya gerakan ini memang sengaja berdiri untuk menjaga
tradisi, tentu dengan berhadapan kepada penentangnya. Organisasi modern yang
sesuai ciri tersebut tampak pada Nahdhatoel Oelama (Nahdhatul
Ulama/NU) yang berdiri di Jombang tahun 1926, kemudian Persatuan Tarbiyah Islam
(Perti) di tahun 1926, serta Jam’iyyah al-Washliyah tahun 1930.
Secara faktual anggota atau umat pada ketiga organisasi ini terdapat ratusan
kelompok tarekat yang diikuti serta pernah pula terjadi standarisasi sehingga
didapatkan sekitar 40 buah di antaranya yang tergolong at-Tariqah al-Mu’tabarah (Tarekat Direkomendasi)[16].
Adapun
ketiga, gerakan yang mengkaji-ulang mistisisme dengan berusaha untuk
menempatkan posisi mistisisme secara proporsional. Gerakan ini melihat sisi
positif dan sisi negatif mistisisme, mengadakan reposisi dan revisi sehingga
berharap agar secara historis gerakan Islam bersifat maju dan secara normatif
tidak menyalahi ajaran Islam. Organisasi modern yang tampak sesuai dengan ciri
tersebut adalah Moehammadijah ( Muhammadiyah) yang berdiri di Yogyakarta tahun
1912. Awalnya organisasi ini seolah menentang mistisisme tetapi ternyata cukup
kritis, mengkritisinya. Selain tampak dari salah seorang tokohnya Hamka yang
menulis buku Tasauf Modern[17], juga
muncul pada introspeksi internal gerakannya dengan wacana Dakwah Kultural[18]. Artinya,
hingga saat ini Muhammadiyah tetap kritis terhadap mistisisme tanpa pernah
mengharamkannya.
Perkembangan
gerakan pada paruh kedua abad XX tampaknya tidak jauh berbeda dengan paruh
pertamanya. Kendati demikian tampak pula adanya format baru, misalnya
mistisisme yang mengalami variasi-variasi disesuaikan dengan perubahan zaman
yang ada. Bahkan fenomena terbaru muncul model dzikir bersama yang ditayangkan
langsung lewat televisi dan radio diikuti puluhan ribu jamaahnya. Tidak sedikit
pula kaum profesional baru yang
mengikuti kursus-kursus tasauf, berminat pada Tasauf Modern, sehingga di
sembarang tempat dan waktu terlihat melakukan dzikir dengan menggunakan tasbih[19]. Hal ini
juga berarti telah terjadinya pergeseran keikutsertaan umat pada model-model
tarikat lama karena tuntutan hidup modern yang serba cepat dan instan sehingga
memunculkan pola hidup keberagamaan secara baru.
D. Telaah Ulang Mistisisme Islam
Kendati masih khilaf termasuk ke dalam bagian ajaran
Islam atau tidak[20],
namun secara historis mistisisme merupakan kenyataan sejarah dan peranannya
dalam dakwah amatlah besar. Artinya, perjalanan pemikiran dan peradaban Islam
masa lalu telah melewati jalur mistisisme sehingga untuk menentukan arah
berikutnya perlu pula menjadikannya sebagai dasar kenyataan, termasuk ketika
hendak meninggalkannya agar gerakannya historis (bukan ahistoris). Beberapa
sisi negatif mistisisme mutlak perlu untuk ditinggalkan seperti
antirasionalisme, antiilmu, antidunia dan antiperubahan. Sebaliknya sisi
positif mistisisme perlu dilestarikan seperti kesiagaan wafat kapan saja,
kesadaran selalu dalam kekuasaan-Nya, semangat selalu bertaubat dan
meningkatkan diri, ketenangan menghadapi masalah apapun yang ada, dll.
Prinsip
tawazun,
seimbang dan adil, dalam beragama Islam tidak bisa ditinggalkan[21]. Sisi
esoteris mistisisme sudah seharusnya diimbangi dengan sisi eksoteris ajaran
dalam wujud ketegakan syariah, kesejahteraan ekonomi, keharmonisan sosial,
keadilan politik, keragaman budaya, dll. Kedua sisi ajaran, esoteris dan
eksoteris, perlu untuk diproses secara seimbang, berkeadilan, kalau perlu
bersamaan. Ibarat dua sisi satu mata uang yang keduanya ada cetakannya untuk
bisa digunakan dan laku secara sah. Sisi eksoteris ajaran akan memberikan bentuk
dan sisi estoteris memberikan ruh kepada kita makhluk berjenis manusia, yang
bukan hewan tetapi juga bukan malaikat. Teladan paling tepat pasti Nabi
Muhammad SAW yang mementingkan kedua sisi ajaran tersebut[22].
Dalam kenyataan hidup
manusia memang tidak jarang seseorang baru bisa atau sempat memproses salah
satu sisi ajaran Islam sehingga diperlukan “peringatan” untuk melakukan proses
pada sisi lainnya. Termasuk pula dalam strategi dakwah. Ketika seseorang sudah
kaya akan materi maka hendaknya juga kaya akan jiwa hingga diperlukanlah
pendekatan esoteris. Sebaliknya pada manusia lain yang telah kaya akan jiwa
maka sudah seharusnya juga kaya akan materi dan sisi eksoteris ajarannya. Ideal
bila kedua sisi mencapai puncak yang optimal, tetapi ketika harus memilih salah
satu di antara keduanya tentu saja kaya akan jiwa jauh lebih utama dan lebih
hakiki daripada kaya materi eksoterisnya karena sesuai dengan hakikat manusia
sebagai makhluk rohani. Pada akhirnya keberagamaan seseorang hendaknya bisa
sampai pada kedalaman dan pengalaman rohani dan itulah ekspresi serta
penafsiran pribadinya atas ajaran Islam yang dipeluknya. Pengalaman rohani seperti
ini bisa mengatasi (berada di atas) arasy
pengetahuan dan arasy amaliahnya[23].
E. Penutup
Uraian di
atas menegaskan beberapa hal penting di antaranya adalah :
1.
Mistisisme merupakan sistem penafsiran seorang
mistikus atas ajaran agama Islam yang dipahaminya dengan penekanan pada sisi
esoteris (batiniah, kejiwaan) lewat pengalaman keagamaan yang khas dan bersifat
pribadi. Pengaruh positif mistisisme seperti kesiapan wafat kapan saja,
kesadaran berada dalam kekuasaan-Nya, kegairahan selalu meningkatkan diri,
perlu untuk dimiliki. Sebaliknya pengaruh negatifnya seperti antiilmu,
antirasionalisme hendaknya ditinggalkan oleh umat Islam.
2.
Gerakan mistisisme dalam Islam nyata-nyata telah
mewarnai perjalanan pemikiran dan peradaban Islam masa lalu serta pernah
berperanan besar dalam dakwah karena kelebihannya yang sinkretis dengan budaya
tempatan, termasuk di Nusantara kita. Tetapi proses dakwah berikutnya perlu dilengkapi-diimbangi
dengan sisi eksoteris ajaran Islam berupa syariah-fiqh,
politik-sosial-ekonomi-pendidikan, sehingga secara individu, sosial dan
keummatan bisa terwujud kehidupan nyata Islami yang lengkap meliputi segenap
sisi dan bagiannya.
3.
Respon umat Islam Indonesia terhadap mistisisme bisa
dibedakan menjadi tiga kelompok. Pertama,
golongan atau kelompok dan organisasi yang menentang berlanjutnya mistisisme di
kalangan ummat. Kedua, golongan atau
organisasi yang menerima dan meneruskan warisan mistisisme Islam meskipun
diikuti dengan adaptasi zaman. Ketiga,
kelompok atau golongan yang mengkaji ulang mistisisme lewat reposisi dan revisi
dikaitkan dengan permasalahan ummat dan zaman sehingga ditemukan sikap arif
serta proporsional.
Wallahu a’lamu bi as-Shawab.
Catatan Kaki
[1]
Dalam al-Quran surat Yusuf (12) ayat ke-53 : “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan; kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuhanku….” (QS 12:53)
[2]
Dalam makalah ini antara mistisisme, tasawuf, sufisme dan asketisme tidak
dibedakan karena semuanya menunjuk pada sisi esoteris (batiniah) ajaran agama.
Likah perbedaannya pada Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 53 dst.
[3]
Annemarie Schimmel, Islam Interpretatif, Upaya Menyelami Islam dari Inti Ajaran,
Aliran-aliran Sampai Realitas Moderennya. Jakarta: Inisiasi Press,
2003, hlm. 125
[4]
Banyak sumber menyebutkan kasus ini di antaranya juga Alwi Shihab, Membendung
Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Missi Kristen di
Indonesia. Bandung: Mizan, 1998, terutama hlm. 25-36
[5]
Bid’ah bermakna sesuatu yang tidak terdapat contohnya pada zaman Nabi. Takhayul
bermakna sesuatu yang hanya ada dalam khayal belaka. Tentang stigma ini lihat
pada Rifyal Ka’bah, Islam dan Fundamentalisme. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984,
hlm. 103
[6]
Tentang Abu Dzar al-Ghiffary sebagai muslim zahid pertama lihat pada Endang
Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Pokok-pokok Pikiriran Tentang Islam dan Ummatnya.
Bandung: Pustaka Salman, 1983, hlm. 342
[7]
Sungguh banyak sumber yang menyebutnya di antaranya Schimmel, Islam, op. Cit. Hlm. 137
[8]
Lihat misalnya pada Mastuki HS, “Neo-Sufisme di Nusantara Kesinambungan dan
Perubahan” dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an No.
6/VIII/1997
[9]
Secara amt memikat diungkap oleh AJ Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf.
Bandung: Mizan, 1985 hlm. 94 dst.
[10]
Harun Nasution, “Tasawuf Dalam Islam” dalam Disiplin Ilmu Keislaman
Tradisional : Tasawuf. Serie KKA 23/Tahun II/1988
[11]
Nasrullah Alief, “Gerakan Neo-Sufisme Sanusiyah di Afrika Utara” dalam Jurnal Ilmu
dan Kebudayaan Ulumul Qur’an No. 2/VII/1996
[12]
Amat menarik telaah tentang Neo-Sufisme oleh Fazlur Rahman, Islam. Bandung: Pustaka
Salman, 1984 hlm. 303 dst.
[13]
Tentang pemberontakan tersebut ditulis rinci oleh Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan
Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984
[14]
Lihat pada AK Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia.
Jakarta: Dian Rakyat, 1980 hlm 18 dst.
[15]
Informasi singkat mengenai organisasi keislaman modern pada paruh pertama abad
XX diambilkan dari Anshari, Wawasan Islam, op.
Cit. Hlm. 212 dst.
[16]
Forum Bahtsul Masail yang dilakukan
pimpinan organisasi NU membicarakan berbagai masalah terbaru dan di antaranya
pada tahun 1988 terdapat rekomendasi nama tarikat yang layak diikuti jamaah.
[17]
Buku ini sesungguhnya berasal dari isian pada rubrik Bahagia majalah Pedoman
Masjarakat yang terbit di Medan tahun 1937-1938, kemudian diterbitkan
kembali oleh Buya Hamka, Tasauf Modern. Jakarta:Yayasan Nurul
Islam, 1980
[18]
Dalam Sidang Tanfidz Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Denpasar 1999 diwacanakan
berlakunya strategi Dakwah Kultural atas usulan Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam
[19]
Berbagai media massa di Indonesia telah mengangkat topik Sufi Modern di Kota
Besar antara tahun 1990-2000 di antaranya oleh MBM Tempo, Gatra,
SKH Kompas,
Republika. Kemudian fenomena terbaru penayangan langsung oleh TransTV
model dzikir yang dipimpin oleh M. Arifin Ilham, lantas SCTV menayangkan
pengajian Manajeman Qalbu KH Abdullah Gymnastiar
[20]
Secara tegas menentang dimasukkannya mistisisme/tasawuf/sufisme ke dalam ajaran
Islam seperti Anshari, Wawasan op. Cit.
Hlm. 232
[21]
Lihat misalnya pada Nurcholish Madjid, “Letak dan Peran Mistisisme dalam
Penghayatan Keagamaan Islam” dalam Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional: Tasawuf,
Serie KKA 23/Tahun II/1988
[22]
Keteladanan Nabi Muhammad SAW termaktub secara tegas dalam al-Quran surat
al-Ahzab (33) ayat ke-21: “Sungguh dalam
diri Rasulullah terdapat contoh keteladanan yang baik bagimu (yakni) bagi
orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat serta
banyak berdzikir”
[23]
Pemikir Islam dari Pakistan Dr. Mohammad Iqbal menempatkan pengalaman keagamaan
ini sebagai tataran tertinggi setelah tataran keyakinan dan pengetahuan
keagamaan, lihat misalnya pada HH Bilgrami. Iqbal Sekilas Tentang Hidup dan
Pikiran-pikirannya. Jakarta: Bulan Bintang, 1982, hlm. 44-59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar