Tiga Gelombang
Gerakan Muhammadiyah Magelang
1917-2007
Prakata Penyunting
Sambutan PDM Kabupaten Magelang
Sambutan PDM Kota Magelang
Pengantar : Drs.H. Ahmad Adaby
Darban, SU
Daftar Istilah dan Singkatan
Bab
I Pendahuluan
·
Pokok Masalah
·
Pendekatan
·
Ringkasan Masalah
·
Catatan Mengenai Sumber
Bab
II Magelang Sepanjang Abad XX
·
Geografis-Ekologis
·
Pemerintahan
·
Sosio-budaya
Bab
III Gerakan Muhammadiyah Magelang 1917-2007
·
Klasifikasi dan Karakter Gerakan Muhammadiyah
·
Gerakan Gelombang Kultural
·
Gerakan Gelombang Struktural
·
Gerakan Gelombang Reformasi
·
Antiklimaks: Kabar Lain atas PRM dan AUM
Bab
IV Narasi Atas Muhammadiyah Daerah
·
Karesidenan dan Kabupaten-Kota
·
Kabupaten Magelang
·
Kota Magelang
Bab
V Narasi Bawah Muhammadiyah Cabang
·
Bandongan:
·
Borobudur:
·
Candimulyo
·
Dukun
Dst.
Bab
VI Penutup
·
Kesimpulan
·
Rekomendasi
Lampiran:
Daftar Narasumber Wawancara
Daftar Seminar Sejarah Muhammadiyah Magelang
Bab I
Pendahuluan
Pokok Masalah
Karya ini
merupakan hasil kajian mengenai sejarah Muhammadiyah di daerah Magelang. Lingkupnya
memang lokal, meliputi kabupaten dan kota
Magelang; bersifat rinci lagi detail per satuan kajian. Satuan kajiannya diformat
berbasis cabang atau komunitas organisasi Muhammadiyah di tingkat kecamatan. Meskipun
demikian alur ide Muhammadiyah sedaerah Magelang dan konstruksi sejarahnya
dalam kesatuan besar-luas juga dipaparkan berdasarkan pola interaksi dan
komunikasi antarcabang yang ada. Oleh karena itu hasil kajian ini bagaimanapun
tergolong unik, khas, selain faktual-historis.
Cakupan waktu 1917-2007
sesungguhnya tidak menunjuk periodisasi tertentu secara tegas; sebab dalam
perkembangan sosial dan sejarah tidak ada permulaan dan akhir. Batasan dipilih
terutama guna memfokuskan sumber bahan yang diperlukan. Angka 1917 menunjuk
pada tahun masuknya ide Muhammadiyah ke Borobudur
dan juga ke Magelang meskipun Groep Moechammadijah
berdiri resmi di daerah ini tercatat beberapa tahun berikutnya. Sedangkan tahun
2007 menunjuk pada data sejarah terkini yang signifikan berupa berdirinya
Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Tegalrejo. Oleh karena itu rentangan tahun
1917-2007 merupakan kurun maksimal yang mungkin dicakup saat ini jika memilih
kajian sejarah untuk studi mengenai gerakan Muhammadiyah di daerah Magelang
ini.
Gerakan Muhammadiyah
tidak kenal berhenti, selalu saja berlangsung di daerah ini semenjak ide tersebut
hadir; kadang pelan dan tidak jelas namun sering pula cepat lagi tegas.
Terbukti perkembangan organisasi dari tahun ke tahun tampak meningkat dan
menguat. Bila pada dekade 1920-an berdiri empat grup yakni Borobudur, Magelang,
Muntilan dan Salam maka tahun 2007 ini sudah merata di 23 PCM dari 24 kecamatan
yang ada; tinggal Kecamatan Pakis yang belum berdiri organisasi Muhammadiyahnya
di daerah penelitian ini.
Pokok masalah dalam
penelitian ini adalah sejarah Muhammadiyah Magelang. Dengan kalimat pertanyaan yang
rinci dan detail di antaranya adalah sebagai berikut. Bagaimana alur-rangkaian
ide Muhammadiyah masuk di daerah Magelang? Bagaimana proses pertumbuhan dan perkembangannya
dari waktu ke waktu hingga saat terakhir ini? Faktor apa saja yang berpengaruh
terhadapnya, baik secara positif maupun negatif? Bagaimana pula informasi dan
data sejarah tersebut didapatkan, diklasifikasi, dikonfirmasi dan dikonstruksi?
Bagaimana pola-penyebaran, pola-rekrutmen, juga pola-kegiatan gerakan Muhammadiyah
yang terjadi? Karya ini berusaha untuk menjawab dan mendiskusikan
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Pendekatan
Konstruksi
sejarah Muhammadiyah Magelang ini dibangun ‘dari bawah ke atas’, yakni dimulai dari
satuan kajian per cabang atau kasus-peristiwa yang bersifat lokal terus menuju ke
pola yang bersifat umum. Pendekatan yang dipilih untuk proses penelitian dengan demikian bersifat induktif. Akan
tampak pula dari pendekatan ini bahwa hasil kajian bersifat egalitarian karena
menampung banyak tokoh kecil dari berbagai tempat dan waktu. Konkretnya, data
sejarah dicari dan didapatkan dari masing-masing unit kajian komunitas
organisasi Muhammadiyah tingkat cabang (PCM); untuk kemudian dicari hubungannya
dengan komunitas lain ataupun dikonstruksi ke eselon di atasnya yakni tingkat
daerah (PDM) sehingga terbentuklah sebuah bangunan sejarah Muhammadiyah daerah Magelang
yang komprehensif, meliputi segenap cabang yang ada.
Namun
pelaporan hasil kajian dalam bentuk buku ini disusun dengan pola deduktif, mengikuti
konvensi umum penulisan ilmiah yakni dari hal yang bersifat umum menuju hal khusus.
Oleh karena itu karya sejarah ini menyatukan dua hal yang berlawanan namun
dalam konteks dan kurun yang berbeda: pendekatan dalam proses penelitiannya bersifat
induktif, dan pemaparan laporan hasil kajiannya disusun dengan pola deduktif.
Sumber utama kajian
sejarah ini adalah sejarah lisan. Sumber dari pustaka, arsip dan dokumen, serta
prasasti tetap digunakan namun lebih sebagai sumber pelengkap. Sejarah lisan
yang dimaksud di sini tidak bisa didapatkan kecuali harus dicari dengan
sengaja. Penggalian sumber sejarah dilakukan dengan teknik wawancara. Wawancara
dilakukan kepada para pelaku dan saksi-mata dengan cara menanyai silang mereka.
Namun wawancara kepada para tokoh yang bukan tergolong pelaku dan bukan tergolong
saksi-mata sejarah tetap dilakukan, termasuk kepada para pejabat formal
Muhammadiyah, yakni sebagai sumber pendukung atau data sekunder. Penting
dicatat bahwa sejarah lisan yang dipilih sebagai metode-utama ini memiliki
kelebihan di antaranya mampu mengungkap informasi, data, fakta juga opini
terutama yang bersifat kualitatif seperti pengalaman masa lalu. Asumsinya
adalah sejarah lisan akan mampu mengatasi keterbatasan sumber sejarah yang ada
ataupun mampu menerangi kegelapan informasi masa lalu Muhammadiyah yang hingga
sementara ini masih dirasakan.
Ringkasan Masalah
Sejarah
Muhammadiyah Magelang ini disusun secara deduktif, dimulai dari hal-hal yang
bersifat umum menuju pada hal-hal khusus. Untuk itu, semua data hasil
penelitian diklasifikasi sesuai dengan pola tersebut. Terdapat empat bab sebagai
isi utama, yakni Bab II, Bab III, Bab IV dan Bab V namun diawali dengan pelengkap
depan berupa Bab I Pendahuluan serta diakhiri dengan Bab VI Penutup. Dua bab
yang disebut belakangan berisikan hal-hal yang berada di luar data sejarah,
yakni akan berupa kerangka kajian untuk Bab I Pendahuluan serta berupa refleksi
akhir kajian untuk Bab VI Penutup.
Bab I berisikan
paparan mengenai Magelang secara menyeluruh meskipun ringkas. Asumsinya untuk
menelaah wacana gerakan Muhammadiyah di Magelang diperlukan pijakan dasar
sekaligus sebagai peta mengenai daerah yang diteliti. Pemetaan ini bersifat
menyeluruh dan multidimensi, tidak hanya secara geografis namun juga secara
ekologis, peristiwa atau kejadian signifikan, bidang tata-kelola dan pemerintahan
serta sosio-kultural masyarakatnya. Demikian juga cakupan waktu yang dimuat
tentu minimal setara dengan rentang objek penelitiannya yakni sepanjang abad
ke-20 bahkan kemudian melebihi hingga tahun 2007.
Bab II
mendiskusikan hasil-utama berupa rekonstruksi sejarah dari analisis kajian,
yakni gerakan Muhammadiyah di Magelang 1917-2007. Seluruh data sejarah yang
didapatkan sesudah dicermati kemudian ditemukan polanya secara tepat. Setelah
ditinjau dari berbagai segi maka muncul adanya pola gelombang besar atau pola
arus-utama gerakan yang merupakan resultante antara karakteristik gerakan
dengan tantangan hidup dari zaman yang berbeda-beda. Kemudian ditajamkannya
pola yang ditemukan tersebut dengan distingsi yang jelas sehingga didapatkanlah
tiga gelombang gerakan yakni kultural, struktural dan reformatif. Tiga jenis
gelombang inilah yang sesungguhnya menjadi struktur utama hasil kajian sejarah
kita.
Bab III
memaparkan narasi besar-atas Muhammadiyah di tingkat daerah. Bab ini merupakan
hasil-pelengkap sejarah atas analisis kajian kita. Secara faktual sesungguhnya
di daerah penelitian ini hanya terdapat dua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM)
namun secara historis juga signifikan untuk dipaparkan narasi besar sebelum
‘pecah’, sebelum menjadi kabupaten dan kota Magelang. Itulah institusi sementara
PDM Kabupaten-Kotamadya (Kabko) Magelang, bahkan pernah bernama PDM Karesidenan
Kedu sehingga pada bab ini terdapat tiga narasi besar. Penting dicatat bahwa
kasus ‘pecah’ ini disemangati oleh keinginan untuk “menantang-diri” agar Muhammadiyah
semakin bermanfaat bagi lingkungan dan baik, visinya menghidupsuburkan
persyarikatan di daerah ini, selain tentu ittiba’
pada kebijakan Pemerintah Daerah Magelang.
Bab V berisikan paparan rinci narasi bawah mengenai Muhammadiyah
Cabang. Isinya narasi lengkap sejarah Muhammadiyah Cabang se-Kabupaten dan
se-Kota Magelang, yakni terdiri dari 23 PCM. Sesungguhnya inilah data-utama
sejarah lisan kita, paparan per satuan kajian cabang. Urutannya sengaja dipilih
berdasarkan alfabet nama resmi PCM. Sempat dipikirkan untuk diurutkan
berdasarkan data kronologi berdirinya Muhammadiyah di PCM yang bersangkutan;
namun tidak secara otomatis mudah serta guna menyembunyikan ‘senioritas’ PCM. Oleh
karena itu dengan urutan alfabetis ini selain akan mudah dibuka-dibedakan
berdasarkan namanya juga memberi kesempatan yang sama bagi semua PCM guna
mengukir prestasi besar di masa yang akan datang.
Catatan Mengenai
Sumber
Sejarah
Muhammadiyah Magelang ini disusun dari berbagai sumber: kajian pustaka, kajian
arsip/dokumen, prasasti dan kajian sejarah lisan. Sumber pustaka didapatkan
dari buku-buku standar ke-Muhammadiyahan, beberapa skripsi dan karya pribadi mengenai
pokok masalah, juga buku-manuskrip langka yang terdapat di Pusat Studi
Muhammadiyah (PSM) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Bahkan di PSM UMY
tersedia pula banyak arsip dan dokumen milik hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah dari tahun-tahun sebelum
kemerdekaan. Sedangkan arsip/dokumen yang tersedia di cabang (PCM) atau tokoh
lokal sangatlah sedikit, paling-paling
berwujud KTA, daftar pengurus, foto tokoh dan kegiatan masa lalu. Sementara
prasasti peresmian lembaga/AUM yang ditandatangani oleh pejabat meskipun
sedikit juga didapatkan di lapangan penelitian. Secara kebetulan didapatkan
pula Naskah Sumber Arsip mengenai Magelang yang diterbitkan oleh Badan
Pengelolaan Perpustakaan, Kearsipan dan Data Elektronik (BP2KDE) Kabupaten
Magelang, Desember 2008, yang hingga tulisan ini dibuat buku tersebut belum di-launching. Inilah sumber utama untuk Bab
I.
Namun sumber
utama kajian ini adalah sejarah lisan. Hasil telaah sumber yang lain, yaitu pustaka
dan arsip digunakan sebagai pelengkap-penyempurna. Sejarah lisan ini tidak bisa
didapatkan kecuali dicari dengan sengaja lewat teknik-wawancara terhadap
saksi-saksi mata dan pelaku dengan menanyai silang mereka. Bahkan di banyak
komunitas sasaran dilakukan pula Focus
Group Discussion (FGD) yang dihadiri oleh para tokoh gerakan dan pimpinan
formal organisasi Muhammadiyah, utamanya dari PCM sehingga cukup
efektif-efisien untuk penggalian maupun konfirmasi data. Sejak awal proses diusahakan
adanya sumber data primer, yakni dari pelaku sejarah dan saksi-mata; sementara
data yang selebihnya, sekunder maupun tersier digunakan sebagai penguat. Daftar
nama saksi-mata dan informan disertakan pada Lampiran.
Kritik terhadap
sumber dan informasi sejarah untuk kajian ini dilakukan beberapa kali; secara
internal dilakukan oleh Tim Sejarah yang berjumlah 14 orang, dan secara terbuka
dilakukan dengan seminar. Seminar dilakukan tahun 2005 sebanyak empat kali yang
berpindah-pindah tempatnya serta tahun 2010 dilakukan sebanyak dua kali. Selain
menghadirkan para stakeholder
organisasi Muhammadiyah tingkat lokal Magelang juga sejarawan dari Yogyakarta dan peneliti independen guna didapatkan
penilaian dan masukan agar lebih baiknya hasil kajian sejarah ini. Revisi
dilakukan setelah diterbitkan buku edisi uji-coba tahun 2005 lalu sehingga hasil
penelitian sudah beredar, dibaca dan dikaji masyarakat luas, sekaligus sebagai
tindaklanjut hasil seminar. Seminar yang bersifat umum beserta keterangannya
disertakan pada Lampiran. Hasil optimal sungguh diharapkan guna lebih objektif
dan lengkapnya data sejarah yang dimaksudkan.
Bab II
Magelang Sepanjang Abad XX
Magelang dalam
kajian ini meliputi daerah kabupaten dan daerah kota. Keduanya menyatu pada mulanya dan
berpisah sehingga masing-masing berdiri sebagai Daerah Tingkat II pada tahun
1982. Sungguh penting untuk dicermati segala sesuatu yang terdapat di dalamnya sebagai
latar belakang topik utama gerakan Muhammadiyah di daerah ini. Rentangan waktu
kajiannya dimulai dari saat sebelum organisasi Muhammadiyah lahir atau semenjak
ide tersebut masuk di daerah ini hingga dewasa ini atau saat persiapan
kelahiran gerakan yang baru; alias sepanjang
abad ke-20. Meskipun tidak memungkinkan pencermatan pada seluruh aspek kehidupan
di Magelang masa lalu namun faktor-faktor dominan atau peristiwa-peristiwa
signifikan sepanjang abad lalu perlu terpaparkan secara rinci sebagai pemetaan yang
menyeluruh. Untuk itu tiga aspek diprioritaskan dalam bab ini, yakni keadaan
geografi dan ekologi; tata kelola dan pemerintahan; serta kondisi masyarakat
dan kebudayaannya.
A.
Kondisi
Geografi dan Ekologi
Secara geografis
daerah Magelang terletak antara 110 01’51” dan 110 26’58” Bujur Timur (BT)
serta antara 7 42’16” dan 7 42’16” Lintang Selatan (LS) dengan luas wilayah
1.085,73 km (108.573 ha). Dilihat dari peta Jawa Tengah, wilayah kabupaten dan kota Magelang ini memiliki
posisi strategis karena keberadaannya terletak di tengah-tengah sehingga mudah
dicapai dari berbagai penjuru dan arah.
Secara topografis
daerah Magelang ini merupakan dataran tinggi berbentuk cawan yang dikelilingi
oleh 5 (lima) gunung yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo dan Sumbing
serta satu Pegunungan Menoreh. Temperatur udara berkisar antara 20-27 Celcius.
Daerah ini memiliki curah hujan yang tinggi sebagai daerah tangkapan hujan
sehingga merupakan daerah yang subur meskipun di lereng-lereng gunung merupakan
daerah yang rawan terhadap bencana tanah longsor.
Secara
administratif daerah ini berbatasan dengan Kabupaten Temanggung dan Kabupaten
Semarang di sebelah utara; Kabupaten Semarang dan Boyolali di sebelah timur;
Provinsi DIY dan Kabupaten Purworejo di sebelah selatan; serta Kabupaten
Wonosobo dan Temanggung di sebelah barat. Di tengah-tengah daerah Kabupaten
Magelang terdapat Kota
Magelang. Selanjutnya secara administratif terdapat 21 kecamatan dalam wilayah
Kabupaten Magelang serta 3 kecamatan di wilayah Kota Magelang.
(peta Magelang, kabupaten dan kota)
Gunung Merapi
yang berketinggian 2968 m merupakan fenomena khas bagi daerah ini karena
dikenal sebagai gunung paling aktif di dunia. Sepanjang abad ke-20 ini Gunung
Merapi telah meletus 36 kali alias rata-rata sekali meletus dalam tiga tahun dengan
jumlah korban tercatat lebih dari 1500 orang. Letusan terbesar sebelum itu
terjadi pada tahun 1006 yang tak tercatat jumlah korbannya; tahun 1672 jumlah
korban 3000 orang, tahun 1822-1823 sebanyak 100 orang dan tahun 1872 sebanyak
200 orang. Setiap kali akan meletus muncul awan panas dari perutnya. Awan panas
khas Gunung Merapi ini tampak indah seperti segerombolan domba yang keluar dari
kandangnya sehingga biasa disebut “wedus
gembel”. Awan panas dan bahan panas lain berupa butiran pasir, serbuk
kelabu yang disertai lahar besar material dari ledakannya bertemperatur 1350
Celcius seperti biasanya menyembur dari kawah lantas mengalir melalui sejumlah
sungai yang ada dengan merusak dan menghanguskan ataupun membakar segala apa
yang ditemuinya.
Letusan Gunung
Merapi yang tercatat korbannya sepanjang abad ini adalah :
No.
|
Tahun
|
Jumlah korban
|
Jenis Letusan
|
1.
|
1904
|
16
|
Letusan Normal, Leleran Lava
|
2.
|
1920-1921
|
35
|
Letusan Normal, Awan Panas,
Kubah Lava
|
3.
|
1930-1931
|
1369
|
Letusan Normal, Awan Panas,
Leleran Lava, Kubah Lava
|
4.
|
1953-1954
|
64
|
Letusan Normal, Awan Panas,
Letusan Freatik, Leleran Lava
|
5.
|
1961
|
5
|
Letusan Normal, Awan Panas,
Leleran Lava
|
6.
|
1969
|
6
|
Letusan Normal, Awan Panas,
Kubah Lava
|
7.
|
1976
|
29
|
Pembentukan Kubah Lava
|
8.
|
1994
|
60
|
Letusan Normal, Awan Panas,
Leleran Lava
|
9.
|
2006
|
2
|
Letusan Normal, Awan Panas,
Kubah Lava
|
Sumber: Arsip
BP2KDE Kabupaten Magelang
B.
Tata Kelola Pemerintahan
dan Kepala Daerah
Daerah Magelang
ini bersama dengan Kabupaten Temanggung masuk dalam wilayah karesidenan Kedu
yang dahulunya merupakan bagian dari Pemerintahan Kerajaan Mataram Islam.
Tanggal 13 Februari 1755 sesuai dengan Perjanjian Giyanti, Kerajaan Mataram
pecah menjadi dua, Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, lantas Kedu
masuk ke Yogyakarta. Tetapi pada tahun 1807 Daendless yang berasal dari tentara
Belanda merampas wilayah Kedu ini dari Kasultanan Yogyakarta. Kemudian tahun
1812 Gubernur Jenderal Thomas Stamford Rafless dari pemerintahan Inggris yang
meneruskannya telah mengangkat salah seorang karyawannya yang bernama Alwi guna
menjadi Bupati Magelang dengan gelar Mas Ngabehi Danoekromo. Saat itu daerah
Magelang terbagi ke dalam enam distrik yakni Probolinggo, Ngasinan, Balak,
Menoreh, Bandongan, Remame dan Magelang. Adapun perkembangan dan pertumbuhan tata-kelola
ataupun pemerintahan di Magelang berikutnya bisa dicermati dari uraian berikut
ini.
1. Pemerintahan Hindia Belanda
Setelah
kekuasaan kembali ke Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1816 dari tangan
Pemerintahan Inggris, maka Mas Ngabehi Danoekromo ditetapkan kembali sebagai regent namun dengan gelar baru Raden
Tumenggung Danuningrat. Peristiwa Perang Diponegoro (1825-1830) merenggut nyawa
regent ini. Kemudian tahun 1826
putranya yang bernama Hamdani menggantikan sebagai regent dengan gelar Raden Tumenggung Ario Danuningrat II, yang
melepaskan jabatannya 1862. Diturunkan kepada putranya yang bernama Said dengan
gelar Raden Tumenggung Danuningrat III hingga tahun 1878. Diturunkan kepada
putranya yang bernama Sayid Achmad bin Said Chaiban dengan gelar Raden
Tumenggung Danukusumo memerintah hingga tahun 1908. Regent atau bupati ini
lantas mengangkat saudaranya yang bernama Muhammad bin Said Chaiban untuk
menggantikan kedudukannya dengan gelar Raden Tumenggung Danusugondo sampai
tahun 1935. Setelah itu penggantinya dari luar keluarga yakni RAA Sosrodiprojo
yang menduduki jabatan bupati Magelang hingga berakhir saat peristiwa besar proklamasi
Negara RI,
tahun 1945.
Pada era
pemerintahan Hindia Belanda ini tercatat adanya pembangunan sarana prasarana penting
lagi besar, di antaranya adalah: pembangunan jalan Magelang-Semarang lewat
Pringsurat tahun 1833, pembangunan jalan Magelang-Salaman-Purworejo tahun 1851,
pembangunan jalur Kereta Api Yogyakarta-Ambarawa-Secang-Parakan tahun 1898,
pembangunan kota Muntilan tahun 1900-an serta tahun 1941 pengadaan sarana Rumah
Sakit dan Pasar-pasar di Magelang.
Daerah Magelang
ini dikenal sebagai daerah perjuangan, di antaranya karena Perang Diponegoro.
Sungguh banyak situs peninggalan yang tersebar di pelosok wilayahnya. Daerah Magelang
ini pada tahun 1749-1755 juga digunakan oleh Pangeran Mangkubumi sebagai basis
pemberontakan dalam melawan Mataram dan Belanda yang mengambil lokasi sekitar
Gunung Tidar sebagai basis militernya.
2. Zaman Awal Kemerdekaan
Sesungguhnya
berita proklamasi kemerdekaan RI terlambat sampai di Magelang karena tanggal 21
Agustus baru diketahui secara pasti. Bahkan yang terjadi kemudian adalah Residen
Kedu RP Soeroso baru mengumumkan secara resmi bahwa pemerintahan se-Karesidenan
Kedu menjadi milik Negara RI pada tanggal 3 September 1945 jam 21.00
WIB. Dengan demikian terdapat kekosongan pemerintahan secara hukum namun baru
diketahui kemudian. Bupati Magelang yang menjabat pertama setelah itu bersifat
sementara adalah Said Prawirosastro yang memerintah tahun 1945 hingga 1946.
Barulah bupati
Magelang berikutnya pada zaman clash, awal kemerdekaan RI dipaksa keadaan menjadi
‘jajah’ karena berpindah-pindah kantor maupun rumah-dinasnya guna menyelamatkan
diri dari pengejaran dan pertempuran dengan tentara Sekutu. Bupati R.
Judodibroto yang menjabat selama delapan tahun (1946-1954) ini sempat berkantor
di Soronalan Sawangan, Bondowoso Mertoyudan, Bojong Mungkid, serta Tamanagung
Muntilan. Kemudian penerus berikutnya adalah MG Arwoko (1954-1957), Sugeng
Sumodilogo (1957-1960), Drs. Adnan Widodo (1960-1967), serta Drs. H. Achmad
(1967-1979). Pada tahun 1957-1960 sempat terdapat kekhasan tata pemerintahan,
yakni dibedakannya antara Bupati dengan Kepala Daerah; saat itu Bupati Muhammad
(1957-1958) serta Bupati Soetedjo (1958-1960) dengan Kepala Daerahnya sama
yakni Soegeng Soemodilogo (1957-1960).
3. Perpindahan Ibu Kota ke Mungkid
Gagasan
pemindahan ibukota Kabupaten Magelang dari Kotamadya Magelang datang dari
Gubernur Jawa Tengah lewat suratnya bernomor OP/40/79 tanggal 7 Februari 1979.
Setelah dilakukan survey bersama tim PRP Undip Semarang maka tiga alternatif
beserta skornya adalah: Mungkid (110), Muntilan (88), Mertoyudan (85) dan
Secang (79). Kemudian setelah dimusyawarahkan bersama pihak terkait dan
berdasarkan PP No. 21 tahun 1982 maka dipindahlah tempat kedudukan ibukota
Kabupaten Magelang ke Kota Mungkid (kesatuan dari Desa Mendut, Sawitan dan
Deyangan). Namun karena Bupati Drh. Soepardi jatuh sakit hingga meninggal,
1983, maka proses pemindahan dipimpin oleh Pj Bupati Al. Soelistyo pada tanggal
22 Maret 1984 dengan peresmian oleh Gubernur Jawa Tengah HM Ismail atas nama
Menteri Dalam Negeri.
Proses
perpindahan ibukota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid dari uraian di atas
dimulai dari era Bupati Drh. Soepardi (1979-1983), yang selesai atau berakhir
pada era Pj. Bupati Drs. Al. Soelistyo (1983-1984), yakni selama lima tahun. Adapun yang
pertama menempati kantor baru di Kota Mungkid adalah Bupati H. Mohammad Solihin
(1984-1994). Dilanjutkan kemudian oleh Bupati H. Kardi (1994-1999), Bupati Drs.
H. Hasyim Affandi (1999-2004), serta yang terakhir adalah pasangan bupati dan
wakil bupati Ir.H. Singgih Sanyoto dan Drs. H. Hartono (2004-2008).
4. Penguatan Kota Magelang
C.
Keadaan
Masyarakat dan Budayanya
Guna bisa
memahami keadaan masyarakat Magelang dan budayanya sepanjang abad ke-20 maka tiga
faktor penting perlu didiskusikan. Ketiga faktor ini secara sendiri-sendiri dan
secara bersama-sama mampu menggambarkan keadaan masyarakat Magelang dan
budayanya secara lebih detail sepanjang abad ke-20. Tiga faktor penting itu
adalah masyarakat Magelang di awal abad ke-20, penetrasi Kristen oleh
pemerintahan Hindia Belanda dan budaya umum masyarakat setelah zaman merdeka.
Tiga faktor inilah yang diasumsikan sebagai factor-faktor perubahan sosial
sepanjang abad ke-20, saat berikutnya.
1. Masyarakat Magelang Awal Abad XX
Kita ketahui
bahwa masyarakat Magelang pada awal abad XX tergolong sebagai masyarakat yang
tradisional, terbelakang, bahkan bodoh dan miskin menurut ukuran kolonial.
Bangsa pribumi kita adalah bangsa terjajah. Hanya sebagian amat kecil yang
berkesempatan mengikuti modernisme, yakni para priyayi atau kaki-tangan
pemerintah karena akibat “politik etis”. Namun dii luar itu sungguh masyarakat
Magelang adalah rimba primitif. Agama penduduk memang nyaris 100% Islam karena
semua taat pada agama resmi kerajaan, Mataram Islam. Tahun 1930 sebagai
gambaran tambahan, kepadatan penduduk rata-rata 402 per km2, tahun 1961 menjadi
567 per km2, bandingkan misalnya dengan tahun 2001 yang kepadatan penduduknya
telah berlipat tiga menjadi 1.093 orang per km2.
Masyarakat
Magelang tergolong sebagai tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam
di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya. Sistem dasar kemasyarakatannya
berupa komunitas petani dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak kompleks.
Masyarakat kota
yang menjadi arah orientasinya itu mewujudkan suatu peradaban bekas kerajaan
pertanian bercampur dengan peradaban kepegawaian yang dibawa oleh sistem
pemerintah kolonial beserta Zending dan Missie. Semua gelombang pengaruh
kebudayaan asing dialami, yakni kebudayaan Hindu dan Agama Islam.
Agama Islam
sebagai agama masyarakat Magelang, bahkan Jawa saat itu tentu merupakan penentu
terpenting bagi pengambilan kebijakan akan masyarakat Magelang sepanjang masa.
Semenjak berada di bawah budaya Mataram maka Magelang mengikuti dan dipengaruhi
oleh budaya Mataram Islam Jawa. Inilah yang kemudian oleh Snouck Hurgronje pada
abad ke-19 disikapi dengan tiga cara. Pertama,
dalam masalah ritual keagamaan atau aspek ibadah, masyarakat diberi kebebasan
penuh untuk menjalankannya. Kedua,
soal lembaga social Islam seperti perkawinan, waris, wakaf dan hubungan sosial,
pemerintah Belanda menghormatinya dan bila mungkin menggantinya dengan lembaga
sosial Barat. Ketiga, dalam soal
politik, pemerintah Belanda tidak menoleransi kegiatan apapun oleh kaum
muslimin di Indonesia.
Sikap Snouck
Horgronje inilah yang dilaksanakan oleh Pemerintah Belanda sehingga kehidupan
masyarakat menyangkut pelaksanaan ajaran Agama Islam terpasung. Masyarakat
muslim saat itu hanya mungkin melaksanakan ajaran secara sebagian,
kecil-sedikit ataupun kompromis setengah-setengah. Apalagi seperti kita ketahui
bahwa masyarakat Jawa sejak berdirinya Mataram terpolarisasi menjadi kaum
abangan, kaum santri dan kaum priyayi, bahkan hingga saat dewasa ini pun masih
tidak berubah. Oleh karena itu membaca masyarakat Magelang pada awal abad ke-20
adalah membaca masyarakat petani tradisional yang terpolarisasi dan terjajah
oleh Belanda. Belanda sendiri berkeinginan kuat untuk melestarikan penjajahannya
itu, termasuk adanya Politik Etis.
2. Penetrasi Kristen oleh Pemerintah Hindia
Belanda
Faktor ini
meskipun relative tertutup tetapi jelas, penting dan menentukan karena
dimainkan oleh penguasa saat itu, Pemerintah Hindia Belanda. Agama resmi
Pemerintah Belanda adalah Kristen Protestan yang bersifat ekspansif
berkeinginan mampu menggembalakan segenap umat, termasuk yang terjajah, untuk
mengikuti agamanya lewat Zending dan Missi. Itulah sebabnya pada satu sisi
bersikap mengabaikan namun sisi lainnya mengajak masuk agama resminya.
Bagaimana mungkin pemerintah Belanda mampu bersikap netral dalam soal agama?
Misionaris
dari Eropa cukup banyak yang datang atau terpanggil di wilayah Hindia Belanda
ini, dan dua dari tiga orang misionaris agung bertugas di daerah sekitar
Magelang ini. Pertama Fr. Van Lith dari Belanda yang datang di Muntilan tahun
1897 berfokus dalam bidang pendidikan. Kedua,. JB Prennthaler dari Jerman yang
datang di Perbukitan Menoreh tahun 1927 dengan fokus pelayanan kepada rakyat
miskin. Demikian juga dua rumah-sakit berasal dari missi di Magelang dan di
Muntilan. Semua itu sungguh tidak mungkin terjadi tanpa seizin bahkan
difasilitasi oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Baik secara
terang-terangan maupun secara tersembunyi penetrasi Kristen oleh Pemerintah
Hindia Belanda tidak bisa dinihilkan. Tentu saja berbagai upaya dilakukan guna
keberhasilan program tersebut. Selain secara ideologis dan politis juga
dilakukan upaya kristenisasi dengan pendekatan ekonomi berupa pemberian materi
(sarimi, pakaian, pangan, uang), pemberian kerja (pelayan toko, karyawan
perusahaan), beasiswa pendidikan (gratis sekolah, bantuan SPP, biaya hidup
total), juga perjodohan (dicarikan calon isteri/suami) dan pemaksaan-pemaksaan
lainnya. Oleh karena itu kepekaan terhadap social sering distigmakan sebagai
upaya merayu agama.
“Ternyata
pemerintah Hindia Belanda memang tidak mau bersikap netral di bidang agama.
Agama Kristen diberikan banyak dukungan di daerah dan bidang tertentu dengan
alasan politis: untuk mengusir orang Islam dari daerah tersebut”, demikian
kesimpulan dari penelitian H. Aqib Suminto.
3. Budaya Umum Masyarakat Setelah Merdeka
Proklamasi
kemerdekaan RI sungguh bermakna mendalam secara politis. Pemerintahahan
penjajah baik Belanda maupun Jepang telah berganti menjadi pemerintahan bangsa
sendiri, bangsa Indonesia.
Namun hal itu tidak serta-merta mengubah kehidupan masyarakat ataupun
kebudayaan pada umumnya, termasuk pula perihal ekonomi dan social. Oleh karena
itu selain ada beberapa perbedaan namun jauh lebih banyak kesamaan antara
masyarakat sebelum kemerdekaan dengan setelahnya. Hal yang berubah relative
hanya manusianya, oknumnya. Bila dahulu orang asing atau kaki-tangannya yang
berkuasa menjalankan roda pemerintahan, maka kini bangsa sendiri dan kroninya.
Oleh karena itu kesungguhan warga Negara dalam memajukan diri, lingkungan dan
bangsa merupakan kata-kunci. Merdeka tidak lagi sekadar kata verbal yang
kosong.
Bab III
Gerakan Muhammadiyah
di Daerah Magelang Tahun 1917-2007
Terhitung sejak
ide tentang Muhammadiyah masuk di wilayah Borobudur, 1917, maka usia
persyarikatan yang berslogan “Islam berkemajuan” di daerah Magelang ini sudah
hampir satu abad. Usia yang relatif panjang dengan wilayah yang kini sudah
demikian merata, sekabupaten dan sekota Magelang; pastilah hal itu didukung
oleh banyak Sumber Daya Manusia (SDM) yang ikhlas berbakti di dalamnya. Mereka
inilah kaki-kaki kecil yang tidak kenal lelah terus melangkahkan perjalanan
sejarah Muhammadiyah melintasi zaman: Zaman Penjajahan Belanda, Zaman Jepang,
Zaman Awal Kemerdekaan RI, Zaman Orde Lama, Zaman Orde Baru, Zaman
Monoloyalitas, hingga Zaman Reformasi terakhir ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa
keberadaan Muhammadiyah saat ini ditentukan oleh pilihan jalan dan cara gerakan
dari generasi-generasi terdahulu. Ke depan pun demikian halnya, pilihan jalan
dan cara gerakan saat ini akan menentukan warna dan keberadaan persyarikatan
ini di masa-masa mendatang. Bagaimana pilihan gerakan Muhammadiyah Magelang
dari masa ke masa? Bab ini berupaya mengurainya dengan data dan informasi yang
berhasil didapatkan.
A. Periodisasi dan Karakter Gerakan
Muhammadiyah Magelang
Terdapat
beraneka ragam warna gerakan Muhammadiyah di daerah Magelang pada rentangan
panjang 1917-2007. Tidak saja hal itu diunsuri faktor luar namun juga faktor
dalam. Agar mudah dicermati dan ditandai maka perlu dibedakan dan diklasifikasi
data berdasarkan tiga pertimbangan yang melingkungi. Pertama, bagaimana
situasi-kondisi dominan penentu gerakan, luar-dalam. Kedua, kapan waktu dan
bagaimana frekuensi-volume gerakan. Ketiga, bagaimana ciri dan karakter-model
gerakan. Atas dasar itu gerakan Muhammadiyah Magelang bisa digolongkan menjadi
tiga klasifikasi besar, yakni Gelombang Kultural (1917-1960), Gelombang
Struktural (1961-1980) dan Gelombang Reformasi (1981-2007).
Gelombang Kultural menunjuk pada
gerakan Muhammadiyah awal-mula yang kendatipun bersifat baru namun jelas
mempertimbangkan kebudayaan secara menyeluruh sehingga pilihan gerakannya
bersifat strategis, prospektif juga kultural-edukatif. Gerakan Muhammadiyah
tampak harmonis meski berada selangkah di depan perkembangan masyarakatnya.
Kemantapan para pengikut pada pilihan gerakan itu menyebabkan seolah bersifat
tertutup dari pengaruh luar dengan agenda persyarikatan yang jelas, terukur dan
terbuka. Tercakup dalam ciri gerakan gelombang ini agen pendidikan yang khas
yakni Muallimin-Muallimat sebagai penyemai nilai-nilai ideal yang dibawa oleh
gerakan modernis Islam ini. Iklim luar pergerakan yakni zaman penjajahan
Belanda-Jepang dan zaman kemerdekaan awal menjadi tantangan tersendiri
bagaimana Muhammadiyah memilih gerakan yang bisa diterima masyarakat namun
tetap mengarah pada perwujudan visi persyarikatan.
Berbeda lagi Gelombang Struktural yang gerakannya
cepat atau tampak serba terburu-buru hingga berebutan dengan kelompok lain
selaras dengan iklim politik represif yang gerakannya serba terbatas. Keluarnya
Dekrit Presiden 1959 dilanjutkan dengan Keppres No. 200 Tahun 1960 berisi
ultimatum terhadap Masyumi menjadi partai terlarang bila tidak membubarkan diri
hingga 17 Agustus 1960 sungguh mengubah paradigma gerakan Muhammadiyah. Sebab
secara spontan warga Muhammadiyah yang aktif di Masyumi membariskan diri dalam
wadah persyarikatan sehingga sedikit banyak gerakannya diwarnai politik yang
bersifat struktural, masif bahkan belakangan ideologis. Konkretnya yang terjadi
adalah trend pemasangan simbol-simbol
Muhammadiyah pada banyak gerakannya, muncul banyak PCM dan PRM juga
didirikannya beraneka Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) di bidang pendidikan,
bidang kesehatan, juga lembaga sosial seperti MWB, RB/BKIA, PAY. Gelombang
gerakan struktural ini berakhir dengan sendirinya saat energinya habis yang
waktunya berbeda-beda.
Gelombang
berikutnya bertiup pelan pada awal, hanya dirasakan siapa yang peka membaca
perubahan zaman. Munculnya disebabkan oleh faktor ketidakselarasan hal yang ada
dengan konteks zaman yang telah berubah. Inilah Gelombang Reformasi, gelombang yang menghendaki keharmonisan
kehidupan baru karena berubahnya selera zaman yang sarat akan
efektivitas-efisiensi dan menomorsatukan manajemen-pengelolaan kuantitatif.
Pertimbangan nilai dan spiritual menjadi berkurang kadarnya, apalagi
tergantikan oleh kecepatan penemuan bidang ilmu pengetahuan berikutnya. Oleh
karena itu gelombang ketiga ini secara pelan tetapi pasti melindas segala hal
yang ada dengan banjir-bandang informasi. Ibarat kereta-api ekspres yang melaju
cepat meninggalkan para calon penumpang yang terlambat menyiapkan diri tanpa
pandang bulu apa alasannya. Apalagi dengan cepatnya temuan di bidang Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) maka persyarikatan Muhammadiyah yang telah
berumur menghajatkan benar adanya pembaruan, reformasi di dalamnya.
Tiga gelombang
tersebut hadir sesuai dengan zaman masing-masing, kondisi yang ada dan nyata
telah melahirkannya. Meskipun bisa disebutkan waktunya namun sesungguhnya
ketiga gelombang tersebut saat ini semuanya masih hidup bergerak di tubuh
persyarikatan Muhammadiyah. Sekali hal itu pernah ada-diterima maka selamanya
akan menjadi sebagian dari karakter persyarikatan meskipun kadang tertutupi,
tersembunyi oleh warna gelombang lainnya. Jelasnya, saat ini di Muhammadiyah
Magelang tetap ada gerakan dari gelombang kultural, ada gerakan dari gelombang
struktural selain ada gerakan gelombang reformasi. Pengajian al-Qur’an mendalam
yang kultural tetap dilaksanakan, pengajian umum yang struktural juga
diselenggarakan, namun diskusi tematis tuntas yang reformatif biasa pula
diadakan. Mualimin-Mualimat masih terus diminati siswa, Sekolah Umum
Muhammadiyah masih terus diselenggarakan, tentu kini muncul pula Sekolah
Unggulan Muhammadiyah yang peminatnya makin lama makin bertambah. Ketiga warna
gelombang tersebut tampak terus berdenyut dan dipilih, disesuaikan juga dengan
situasi dan kondisi yang naik-turun. Bukan lagi ketiganya bersifat substitutif
melainkan semuanya bersifat alternatif saat ini, semuanya ada dan bergerak.
Perbedaan faktor atas tiga gelombang tersebut bisa dicermati berikut ini.
Table
3.a.
Kontras perbedaan
tiga gelombang gerakan Muhammadiyah Magelang
Kultural
|
Struktural
|
Reformasi
|
|
Era Kemunculan
|
Dekade 1910-an
|
Dekade 1960-an
|
Dekade 1980-an
|
Penyebab dan pemicu internal-eksternal
|
Metode baru dalam memahami dan menjalankan Islam KH Ahmad
Dahlan
|
Bubarnya parpol Masyumi dan ancaman komunisme
|
Berubahnya konteks dan selera zaman, niatan hidup lebih
bermakna
|
Kegiatan utama
|
Pengajian mendalam tiap malam Selasa
|
Pengajian umum, TC, Kursus-kursus
|
Pengajian, Diskusi tematis tuntas
|
Sasaran dakwah
|
Intelektual, rakyat kecil, fakir miskin, hartawan
|
Idem dengan tambahan Tokoh dan massa pemuda
|
Idem dengan tambahan Spesialis, professional, ahli
|
Pendekatan gerakan
|
Kultural-edukatif-prospektif
|
Struktural-masif-ideologis
|
Kontekstual- revisi- reformatif
|
Karakter gerakan
|
Aseli persyarikatan
|
Bergaya parpol
|
Panggilan terpilih
|
Agen pendidikan
|
Muallimin, Muallimat, Wal Fajri
|
Sekolah Umum Muhammadiyah
|
Sekolah Unggulan Muhammadiyah
|
Sasaran komunitas dan perkembangan secara
formal-kelembagaan yang signifikan
|
Borobudur,
1917
Magelang, 1917
Muntilan, 1918
Salam, 1926
|
Salaman (1962), Salam
(1963), Mungkid (1963), Sawangan (1963), Borobudur (1964), Secang (1964),
Dukun (1965), Kaliangkrik (1965), Windusari (1965), Srumbung (1965),
Bandongan (1966), Grabag (1966),
Magelang (1966)
Kajoran (1967),
Ngluwar (1967),
PDM Kab-ko(1969)
Mertoyudan (1979), Tempuran (1979),
|
Candimulyo (1981),
Magelang Utara (1985);
Magelang Tengah (1985);
Magelang Selatan (1985);
Ngablak (2006), Tegalrejo (2007), (Pakis)
|
Borobudur (1928)
Muntilan (1935,1943)
Magelang (1930,1945)
Salam (1938)
|
|||
Mungkid, Mertoyudan,
Srumbung, Sawangan, Kaliangkrik
|
|||
Kajoran, Windusari,
Salaman, Dukun, Ngluwar
|
|||
Grabag, Secang,
Tempuran, Bandongan
|
|||
Rentangan waktu
|
1917-1960
|
1961-1980
|
1981-2007
|
B. Gelombang Kultural
Gerakan awal-mula
Muhammadiyah di daerah Magelang tampak semuanya bersifat kultural, yakni
menghargai tinggi budaya setempat yang ada. Di Borobudur pada tahun 1917 ide
Muhammadiyah masuk lewat jalur pernikahan sehingga tercipta ikatan
keluarga-kerabat antara Sabrangrowo-Yogyakarta; masih ditambah lagi tokoh dan
pengasuh-utama KR Hadjid adalah teman KH Siradj saat masih nyantri di Tremas, Jawa Timur. Latar budaya keluarga Borobudur yang
tergolong ningrat-priyayi begini tetap menetap tak diubah. Akan lebih jelas
lagi sifat kultural ini pada masuknya ide Muhammadiyah di Magelang. KH Ahmad
Dahlan mengajar langsung para siswa Sekolah Pamong Praja, MOSVIA di selatan
alun-alun. Secara berkala beliau pergi ke Magelang dengan bersepeda-onthel dari Yogyakarta tentu tanpa hasil
yang seketika. Namun pada periode berikutnya ide tentang Muhammadiyah jelas
mampu menyebar kemana-mana sesuai lokasi penempatan para purna-siswa MOSVIA
tersebut. Kasman Singodimedjo, tokoh nasionalis Islami termasuk salah satu
produk itu. Budaya setempat di Magelang tak dicemarinya, bahkan belum
disentuhnya.
Sementara di
Muntilan peran KH Ahmad Dahlan lebih mengadvokasi daripada memasukkan ide
Muhammadiyah. Warga Kauman Muntilan sendiri yang lantas meminta beliau mengisi
pengajian setelah selesai ontran-ontran
ekspansi tanah untuk misi Katholik oleh Fr. Van Lith SJ. Beliau mengisi
pengajian mendalam di mesjid Kauman, yang pada waktu berikutnya didirikan
Pesantren Wustha Muhammadiyah. Kiai Dahlan bersikap seolah membatasi diri
sekadar apa yang diminta umat. Berbeda lagi dengan di Salam; Sentot yang aseli
Kauman Yogyakarta dan kemudian dikenal dengan nama Kiai Siradj berpindah rumah
ke Jagalan, Salam. Di lingkungan Jagalan inilah beliau mengajak tokoh setempat,
Kiai Abdullah Mursyid dan juga Julaini untuk membentuk dan mendirikan
Muhammadiyah.
Tampak apa yang
dilakukan KR Hadjid di Borobudur atau Kiai Dahlan di Magelang dan di Muntilan
bahkan Kiai Siradj di Salam sungguh semuanya merupakan dakwah dengan pendekatan
kultural, yakni dakwah multidimensi yang menghargai tinggi budaya setempat
sepanjang tidak menyalahi keyakinan guna perubahan kebaikan yang signifikan di
masa depan dan bersifat mendidik. Itu semua dilakukan sebagai cara-jalan masuk.
Sifatnya sungguh edukatif-prospektif dan ternyata berhasil dalam menanamkan
dasar persyarikatan hingga menjadi groep/kring
sebelum Negara RI lahir. Perbedaan keempatnya adalah:
Table
3.b.
Kontras Perbedaan Empat Groep-awal
Muhammadiyah di Daerah Magelang
Borobudur
|
Magelang
|
Muntilan
|
Salam
|
|
Ide masuk
|
1917
|
1917
|
1918-1919
|
1926
|
Jalur dan sebab awal
|
Jalur dakwah keluarga dan karib
|
Jalur dakwah khusus ke siswa MOSVIA
|
Jalur dakwah membendung kristenisasi
|
Jalur dakwah di lingkungan sosial
|
Tokoh pembawa ide
|
KRH Hadjid
|
KH Ahmad Dahlan
|
KH Ahmad Dahlan
|
Kiai Siradj alias Sentot Kauman
|
Alamat awal
|
Sabrangrowo
|
Kwarasan
|
Kauman
|
Jagalan
|
Tokoh lokal paling
awal
|
KH Siradj bin AQ dan Ny. Siti Aminah
|
RM Soempeno
|
KH Ma’shoem dan Mangoenredjo
|
Kiai Abdullah Mursjid dan Julaini
|
Groep/kring
|
1 Juli 1928
|
1930-an
|
13 Juli 1935
|
1938-an
|
Tahun resmi menjadi
eselon persyarikatan
|
Cabang: tgl. 17
Agustus 1964 (No. 1859/A)
|
Daerah: Kedu;
Kabupaten-Kota 1969
|
Cabang:
Tanggal. 17 Januari 1943
|
Cabang: Tgl 15
Agusts 1963 (No. 1731/A)
|
Sesungguhnya Muhammadiyah sebelum tahun 1945 sudah
mampu menembus minimal lima kecamatan lainnya di Magelang ini namun semuanya
tidak sampai pada taraf berjamaah, masih bersifat individual, perseorangan. Di
Mungkid misalnya ide Muhammadiyah masuk lewat Kepala Pegadaian Blabak, Koesoemo
yang berhasil memengaruhi Soemo Wirjono dari Butuh, Senden hingga bersedia ikut
pengajian Malam Selasa di Kauman Yogyakarta. Jalur lainnya pada seorang Pengulu
Landraad KH Ibrahim bin H. Abdul
Ghani dari Kalangan, Pabelan hingga sempat ikut kegiatan Tanwir Muhammadiyah di
Wiradesa Pekalongan tahun 1938 selain menjadi mubaligh-hijrah di daerah Gunung Kidul semasih penjajahan Belanda.
Namun sekali lagi, tidak sampai pada taraf berjamaah di Mungkid, belum menjadi kring atau groep Muhammadiyah.
Di Srumbung ide
Muhammadiyah dimasukkan oleh suami-isteri Soemartilah-Soemarlan yang keduanya
pegawai RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, sekitar tahun 1941. Namun, apa yang
bisa dilakukan sendirian oleh mereka? Dibuatlah pengajian anak-anak,
dimasukkanlah ide-ide dasar organisasi dan keyakinan yang benar, dicarilah
calon-calon kader. Bertemulah salah satunya dengan Hj. Mutmainnah-remaja yang
lantas diarahkannya untuk mau melanjutkan sekolah di Muallimat Yogyakarta, dan
benarlah yang terjadi. Muhammadiyah menemukan ranahnya mulai dari Polengan
Srumbung. Sedangkan yang terjadi di Mertoyudan sekitar tahun 1941 bermula dari
silaturahim antar-keluarga yakni KH Muhammad Fanan, konsul Muhammadiyah dari
Jatim dengan Haji Dahlan dari Honggosari Mertoyudan yang melahirkan pengajian
berkala. Hampir pasti isi pengajiannya adalah ajaran mengenai Islam
berkemajuan. Namun sebatas itu, kegiatan dari perseorangan, belum sampai pada
taraf berjamaah, berorganisasi.
Termasuk yang
terjadi di Sawangan, aliran ide Muhammadiyah masuk lewat para tokoh
Muhammadiyah Muntilan semenjak sebelum Indonesia merdeka, sekitar 1942. Para
tokoh muda Sawangan ada Sardjum, Kardanum dan Abdul Jamal juga Karto Suwandar
yang awalnya mengikuti kegiatan pengajian di Kauman Muntilan lantas membuat
pengajian bergiliran di Sawangan sendiri. Sementara di Kaliangkrik ide
Muhammadiyah masuk lewat tokoh NU Toyibal Ardani yang secara tak sengaja
bermalam di Kauman Yogyakarta melihat Muhammadiyah secara langsung dan tertarik
pada tahun 1944; sedangkan Cholil Giyanto mengetahui Muhammadiyah saat nyantri
di Gontor; dan Muchdhori mengetahuinya justru dari tahanan di Magelang saat
bersama-sama tokoh Batalyon 426. Namun semuanya masih terbatas perseorangan dan
belum berjamaah. Itulah lima titik awal-mula lain tempat Muhammadiyah bersemi
di kecamatan-kecamatan daerah Magelang ini pada zaman penjajahan.
Setelah Negara
RI merdeka, di atas tahun 1945 Muhammadiyah terus tetap bergerak sebagaimana
biasa. Muntilan yang relatif lebih awal berdiri telah menyebarkan idenya ke
sekelilingnya hingga sampai ke Sambak-Kajoran 1953 yang berkembang di Salaman
dan sekitarnya; serta menyebar ke Dukun 1954 lewat berbagai macam jalan-cara di
antaranya memanfaatkan jalur komunitas Sekolah Menengah Islam (SMI) Kauman
Muntilan. Sedangkan Salam juga memengaruhi Ngluwar, 1955. Tokoh Windusari
mengetahui ide Muhammadiyah justru dari penjara saat ditahan di Magelang lewat
tokoh Batalion 426, mirip dengan tokoh yang
dari Kaliangkrik, sekitar tahun 1951-1952. Inilah gambaran pergerakan
Muhammadiyah di awal kemerdekaan RI.
Sedangkan empat
kecamatan lain memahami dan menerima ide Muhammadiyah menjelang datangnya
gelombang struktural, tahun 1960-an. Para tokoh awal di Grabag melakukan kajian
tentang Muhammadiyah setelah jelas Masyumi diancam Presiden sebagai organisasi
terlarang. Demikian juga dengan Secang yang secara serta merta para aktivis
Masyumi membariskan diri di Persyarikatan sehingga meskipun ‘main-tunjuk’ mampu
mendirikan Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) di setiap desa yang ada.
Tempuran pada tahun 1960 terlebih dahulu kedatangan Prawoto Mangkusasmito,
tokoh Masyumi, sehingga menjadi niscaya untuk mengikuti arah tokohnya, meski
periodenya belakangan. Sedangkan Bandongan bermula dari para aktivis organisasi
underbow Masyumi, yakni Gerakan
Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang pilihannya serupa. Mereka memulainya dengan
Pasukan Genderang Terompet (PGT) Bandongan tahun 1963.
C. Gelombang Struktural
Inilah periode
ketika gerakan Muhammadiyah tampak gegap-gempita, penuh kegiatan peresmian,
baik peresmian PCM dan PRM bahkan Organisasi Otonom (Ortom), maupun peresmian
Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Tentu di balik peresmian tersebut terdapat
serangkaian kegiatan-gerakan yang mengusungnya.
Keppres Nomor
200 tahun 1960 yang berisi ultimatum Masyumi menjadi partai terlarang bila
tidak membubarkan diri hingga 17 Agustus 1960 sungguh menjadi pemicu bertiupnya
Gelombang Struktural dalam gerakan Muhammadiyah daerah Magelang ini. Para
aktivis dan simpatisan menanggapi Keputusan Presiden itu dengan tindakan nyata
yakni mencari wadah lain yang tidak terlarang, salah satunya, dan sebagian
besar ke Muhammadiyah sehingga Persyarikatan secara tiba-tiba membesar-menguat
di semua eselon. Gerakannya pun terpengaruh dengan gaya parpol yang bersifat
struktural-masif, bahkan kelak juga bersifat ideologis. Sebagai akibatnya perubahan
besar telah terjadi di Muhammadiyah.
Sebagai gambaran
konkret adalah proses berdirinya Muhammadiyah di kecamatan Secang dari yang
pada gelombang kultural sebelumnya tidak tampak gerakannya sama-sekali.
Tiba-tiba pada tanggal 26 September 1964 semuanya sudah siap untuk diresmikan
secara serentak 20 Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) yang berarti dari semua
desa yang lengkap dengan daftar pengurusnya, termasuk PCM Secang. Hari itu
acara utamanya adalah peresmian Muhammadiyah yang dilaksanakan di Balai Desa
Payaman dengan menghadirkan Pasukan Genderang Terompet (PGT) dari Yogyakarta.
Tentu masyarakat berdatangan karena ada pesona dan keramaian yang memanggilnya.
Namun di balik itu, sudah hampir pasti
pemilihan pengurusnya dengan ‘sistem-tunjuk’ atau berdasarkan pertemanan
dan klik yang ada sebelumnya, dan hal itu paling mungkin adalah dari jaringan
Masyumi warisan tahun 1955.
Hal yang serupa
juga terjadi di Grabag, Bandongan, Windusari, bahkan Salaman, Salam, Mungkid,
Dukun, Sawangan, Borobudur, Kaliangkrik, Srumbung serta Kajoran. Tentu
intensitas, skala dan magnitude-nya
bervariasi namun terdapat kesamaan gaya, guna meresmikan berdirinya PCM dan PRM
dengan memilih gerakan gebyar dan show of
force. Tampaknya model kegiatan yang
demikian menjadi trend, pilihan yang
selaras kondisi, apalagi mengingat saat itu sedang terjadi rivalitas
Muhammadiyah dengan PKI.
Berikut ini
daftar PCM yang berdiri resmi pada era struktural tersebut, lengkap dengan
nomor SK dan tanggal resmi berdirinya. Namun guna melengkapi daftar tersebut
disertakan PCM Muntilan yang telah berdiri resmi sebelumnya serta PCM
Candimulyo, Ngablak, serta Tegalrejo yang berdiri kemudian dalam satu urutan
waktu.
Table
3.c.1
Daftar
PCM dan peresmiannya diurutkan berdasarkan waktunya
PCM
|
Resmi Berdiri
|
Lembaga dan Nomor SK
|
Kategori
|
Muntilan
|
17 Januari 1943
|
HB Moehammadijah
No. 938
|
Kultural
|
Salaman
|
24 Mei 1962
|
PP Muhammadijah No.
1581/A
|
Struktural
|
Salam
|
15 Agustus 1963
|
PP Muhammadijah No.
1731/A
|
Struktural
|
Sawangan
|
15 Agustus 1963
|
PP Muhammadijah No.
1732/A
|
Struktural
|
Mungkid
|
28 September 1963
|
PP Muhammadijah No.
1743/A
|
Struktural
|
Borobudur
|
17 Agustus 1964
|
PP Muhammadijah No.
1859/A
|
Struktural
|
Secang
|
19 November 1964
|
PP Muhammadijah No.
1908/A
|
Struktural
|
Dukun
|
10 April 1965
|
PP Muhammadijah No.
1966/A
|
Struktural
|
Kaliangkrik
|
5 Agustus 1965
|
PP Muhammadijah No.
2064/A
|
Struktural
|
Windusari
|
13 Oktober 1965
|
PP Muhammadijah
No. 2103/A
|
Struktural
|
Srumbung
|
18 Desember 1965
|
PP Muhammadijah No.
2105/A
|
Struktural
|
Bandongan
|
22 Februari 1966
|
PP Muhammadijah No.
2205/A
|
Struktural
|
Grabag
|
5 Maret 1966
|
PP Muhammadijah No.
2209/A
|
Struktural
|
Kajoran
|
25 Oktober 1967
|
PP Muhammadijah No.
2575/A
|
Struktural
|
Ngluwar
|
1967
|
PP Muhammadijah
|
Struktural
|
Mertoyudan
|
1979
|
PP Muhammadiyah
|
Struktural
|
Tempuran
|
1979
|
PP Muhammadiyah
|
Struktural
|
Candimulyo
|
1981
|
PP Muhammadiyah
|
Reformasi
|
Ngablak
|
2006
|
PP Muhammadiyah
|
Reformasi
|
Tegalrejo
|
2007
|
PP Muhammadiyah
|
Reformasi
|
Dalam perjalanan
persyarikatan, eksistensi Cabang dan Ranting akan tampak lebih jelas pada AUM
yang ditanganinya. Pada periode ini karena demam
rivalitas seolah terjadi saling mengungguli antar-Cabang dan antar-Ranting
seperti berlomba-lomba dalam kebaikan. Sebuah ranting mendirikan Madrasah Wajib
Belajar (MWB), maka ranting lain pun demikian halnya sehingga menjadi trend. Yang termasuk trend adalah Pendidikan Guru Agama
(PGA), Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Sekolah Teknik (ST), juga
Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Banyak cabang yang lantas memiliki AUM secara
lengkap. Bahkan demikian bersemangatnya sampai-sampai mengganti nama dan
pemilikan lembaga Islam dari Sekolah Menengah Islam (SMI) di bawah yayasan
Al-Islam menjadi Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah (SMPM) yakni yang ada di
Muntilan, Mungkid dan Borobudur. Papan-papan nama pun kemudian bermunculan di
mana-mana berlogo dan bertuliskan Muhammadiyah dalam periode struktural ini.
Pada akhirnya, ‘kekayaan’ PCM akan tampak dari berapa jumlah PRM yang
dibawahinya serta berapa AUM yang dimilikinya.
Berikut daftar
PCM disertai dengan jumlah PRM dan jumlah AUM yang berdiri ataupun dirintis
pada era struktural, tahun 1961-1980.
Table
3.c.2
Rincian Jumlah
PRM dan AUM pada gelombang struktural tahun 1961-1980
PCM
|
PRM
|
MWB
|
SLTP
|
SLTA
|
PAY
|
BKIA
|
TKA
|
Jml AUM
|
Muntilan
|
13
|
7
|
4
|
3
|
1
|
1
|
22
|
38
|
Salaman
|
9
|
0
|
1
|
1
|
0
|
0
|
4
|
6
|
Salam
|
6
|
1
|
2
|
2
|
0
|
0
|
8
|
13
|
Mungkid
|
15
|
16
|
6
|
2
|
0
|
1
|
20
|
45
|
Sawangan
|
11
|
4
|
2
|
0
|
0
|
0
|
9
|
15
|
Borobudur
|
7
|
2
|
1
|
2
|
0
|
1
|
7
|
13
|
Secang
|
20
|
3
|
3
|
2
|
0
|
0
|
9
|
17
|
Dukun
|
10
|
3
|
3
|
1
|
0
|
0
|
10
|
17
|
Kaliangkrik
|
8
|
2
|
1
|
0
|
1
|
0
|
5
|
9
|
Windusari
|
2
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1
|
1
|
Srumbung
|
12
|
1
|
2
|
0
|
0
|
0
|
11
|
14
|
Bandongan
|
4
|
4
|
1
|
0
|
0
|
0
|
8
|
13
|
Grabag
|
4
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1
|
2
|
Magelang
|
3
|
3
|
1
|
2
|
1
|
1
|
6
|
14
|
Kajoran
|
9
|
3
|
2
|
0
|
1
|
0
|
9
|
15
|
Ngluwar
|
4
|
2
|
2
|
2
|
0
|
0
|
6
|
12
|
Mertoyudan
|
6
|
2
|
2
|
2
|
1
|
1
|
7
|
15
|
Tempuran
|
3
|
0
|
1
|
0
|
0
|
0
|
2
|
3
|
Jumlah
|
146
|
54
|
34
|
19
|
5
|
5
|
145
|
262
|
Pada saat itu
Muhammadiyah sebagai organisasi induk sesungguhnya merupakan puncak saja dengan
tiang-tiang penyangga yang terdiri dari Ortom yakni Aisyiyah, Pemuda
Muhammadiyah serta Nasyiatul Aisyiyah. Di beberapa kecamatan justru ortom
inilah yang merintis, misalnya Pemuda Muhammadiyah di kecamatan Srumbung,
Bandongan dan Tempuran. Saat itu mereka lebih dikenal dengan gerakan KOKAM.
Pada tahun 1962 telah diadakan Training
Centre (TC) Pemuda Muhammadiyah di Polengan Srumbung, sementara berdirinya
PCM Srumbung baru pada tahun 1965. Demikian pula Bandongan yang telah
mengirimkan Pasukan Genderang Terompet (PGT) ke Bandung tahun 1963 sementara
berdirinya PCM Bandongan baru pada tahun 1966. Jauh lebih jelas lagi di
Tempuran yang Pemuda Muhammadiyah sudah bergerak sejak tahun 1965 sementara PCM
Tempuran baru resmi berdiri 14 tahun kemudian, yakni tahun 1979.
D. Gelombang Reformasi
Betapapun kuat-hebatnya sebuah gerakan namun bila monoton-sewarna
selama lebih dari satu periode, apalagi hingga 20-an tahun tentu menjadi
bersifat menjemukan sehingga memerlukan perubahan-perbaikan. Gelombang
reformasi muncul guna memerbaiki keadaan yang terjadi pada organisasi
persyarikatan maupun pada organisasi-unit AUM. Wujud reformasi itu tampak jelas
dari bertambahnya jumlah dan jenis AUM dengan yang diharapkan lebih mampu
menjawab persoalan sosial di lingkungan yang telah berubah-bergeser itu. Atau
bisa pula berupa manajemen baru terhadap organisasi lama atau AUM lama. Itu
semuanya dipahami sebagai upaya perbaikan-perubahan guna lebih memberikan makna
pada keberadaan Muhammadiyah sesuai tuntutan zaman. Syukur-syukur mampu unggul
bahkan menjadi terunggul dalam persaingan dan perbandingan dengan amal-usaha
yang sejenis lainnya.
Table 3.d.1 berikut berisikan tambahan AUM dan manajemen baru AUM yang
dilakukan PCM pada era Reformasi tahun 1981-2007.
Table 3.d.1
AUM dan Manajemen
Baru di PCM tahun 1981-2007
PCM
|
Tambahan AUM
|
Manajemen Baru
|
Muntilan
|
Kantor PCM DA (1981), SMK2 (1997), Pesantren (2001), SMP
Plus (2007)
|
SD GP (1993), SD1 (1999), SD TA (2002); RSIA (2002)
|
Salaman
|
SPG-SMK (1988)
|
|
Salam
|
BKIA (1985), BTM (1994)
|
|
Mungkid
|
PAY (1981), SMA (1989)
|
SD Sirajudin (2003)
|
Sawangan
|
Kantor PCM/Balai Muslimin (1985)
|
|
Borobudur
|
BKIA (1987), SMK2 (1997)
|
|
Secang
|
PAY (2003)
|
SD Payaman (2003)
|
Dukun
|
Ruko BMT (2000)
|
TK Darusalam (2004)
|
Kaliangkrik
|
||
Windusari
|
TK (2002), PAY (2007)
|
|
Srumbung
|
MTs (1981), PAY (2007)
|
|
Bandongan
|
PAY (1998) SMK (2007)
|
SDIT (2002)
|
Grabag
|
SMA (1981)
|
|
Kajoran
|
||
Ngluwar
|
MTs-MA (1986), Kantor PCM (1989)
|
SD Bligo (2004)
|
Mertoyudan
|
SPP (1981), Ponpes (1984); SMK (1985); UMM II (1998)
|
|
Tempuran
|
SMA (1984), SMEA (1998)
|
Pesantren SMP (1984)
|
Magelang Kota
|
SMA2 (1987) SD Mutual (1991)
|
Namun anehnya,
pada periode ini ternyata masih juga terdapat prestasi penambahan pendirian
PCM. Hal tersebut sungguh merupakan credit
point bagi eselon di atasnya, yakni PDM yang telah membidani, membimbing
dan merawatnya. Tiga PCM muncul meskipun pada tahun yang berbeda-beda, yakni
PCM Candimulyo, PCM Ngablak, dan PCM Tegalrejo. Dengan demikian di Kabupaten
Magelang ini tinggal satu kecamatan yang belum ada Muhammadiyahnya, yakni PCM
Pakis. Pertanyaan berikutnya adalah, adakah pendirian-penambahan PRM pada
periode ini? Ternyata belum ada data valid yang bisa digunakan untuk
menjawabnya. Meskipun demikian, pada subbab berikut akan disinggung jumlah PRM
yang dimiliki masing-masing PCM. Table berikut memaparkan data mengenai ketiga
PCM baru dilengkapi dengan data AUM yang tercatat.
Table
3.d.2
PCM
baru dan AUM pada gelombang ketiga tahun 1981-2007
PCM (tahun)
|
Ranting
|
Amal Usaha
Muhammadiyah (tahun)
|
Candimulyo (1982)
|
3
|
SMP1 (1980-2000), SMP2 (1990), PAY (2007)
|
Ngablak (2006)
|
1
|
Pengajian mendalam
|
Tegalrejo (2007)
|
1
|
Pengajian mendalam
|
(Pakis)
|
0
|
|
Jumlah
|
5
|
- Antiklimaks: Kabar Lain dari PRM dan AUM
Satuan
terkecil-terbawah dalam tata-struktur Muhammadiyah adalah PRM. Lantas gugus
kegiatan otonomnya adalah AUM. Bila PRM dan AUM mampu berjalan fungsional lagi
kuat maka akan kuatlah bangunan besar Muhammadiyah. Namun bisa juga yang
sebaliknya, bila PRM hanya ada secara formalitas dan AUM tidak dikelola
professional maka Muhammadiyah di tempat itu tentu jauh dari ideal. Sungguh PRM
dan AUM merupakan dua ujung-tombak persyarikatan yang penting untuk diseriusi
keberadaan dan fungsinya, ibaratnya adalah ujung akar dan pucuk daun bagi
pohon/tanaman yakni sebagai alat-utama bagi hidup-matinya.
Bagaimana dengan
keberadaan PRM dan AUM di daerah Magelang?
Data yang masuk
belum mampu untuk memetakan secara rinci keadaan PRM: jumlah anggotanya,
frekuensi kegiatannya, intensitas dan kualitas pengurusnya, dll. Data yang
didapatkan barulah sebatas jumlah PRM yang ada karena memang pernah dirintis,
didirikan, dibina namun penanganan berikutnya berupa pemantauan, penguatan dan
pemanfaatannya belum ada data yang valid. Oleh karena itu pembanding bagi
jumlah PRM adalah jumlah desa yang ada. Apakah di setiap desa sudah berdiri
PRM? Demikian juga dengan AUM pada kasus ini yang dipilih jenis AUM paling
banyak yakni TK ABA serta jenis AUM paling akhir dan prospektif yakni SMK
Muhammadiyah. Keduanya dibandingkan dengan jumlah amal-usaha yang sejenis
secara keseluruhan sehingga tampak jelas jumlah dan persentase kepemilikan
Muhammadiyah dibandingkan yang dimiliki umum di lingkungan sosialnya. Table 3.e.1
memaparkan data tersebut.
Table
3.e.1
Perbandingan
Jumlah Desa dengan PRM, Jumlah TK dengan TK ABA, serta Jumlah SMK dan SMK
Muhammadiyah Tahun 2007
PCM
|
Desa
|
PRM
|
Minus
|
TK
|
ABA
|
Selisih
|
SMK
|
SMK Muh
|
Muntilan
|
14
|
13
|
1
|
31
|
22
|
9
|
5
|
2
|
Salaman
|
20
|
9
|
11
|
14
|
4
|
10
|
2
|
1
|
Salam
|
12
|
6
|
6
|
17
|
8
|
9
|
5
|
2
|
Mungkid
|
16
|
15
|
1
|
25
|
20
|
5
|
2
|
1
|
Sawangan
|
15
|
11
|
4
|
10
|
9
|
1
|
0
|
0
|
Borobudur
|
20
|
7
|
13
|
11
|
7
|
4
|
2
|
2
|
Secang
|
20
|
20
|
0
|
14
|
10
|
4
|
1
|
1
|
Dukun
|
15
|
10
|
5
|
29
|
10
|
19
|
0
|
0
|
Kaliangkrik
|
19
|
8
|
11
|
7
|
5
|
2
|
0
|
0
|
Windusari
|
19
|
4
|
17
|
7
|
1
|
6
|
1
|
0
|
Srumbung
|
17
|
12
|
5
|
20
|
11
|
9
|
0
|
0
|
Bandongan
|
14
|
4
|
10
|
12
|
8
|
4
|
1
|
1
|
Grabag
|
28
|
4
|
24
|
12
|
1
|
11
|
0
|
0
|
Kajoran
|
28
|
9
|
19
|
13
|
9
|
4
|
0
|
0
|
Ngluwar
|
8
|
4
|
4
|
34
|
10
|
24
|
0
|
0
|
Mertoyudan
|
13
|
6
|
7
|
38
|
7
|
31
|
2
|
2
|
Tempuran
|
15
|
3
|
12
|
8
|
2
|
6
|
0
|
0
|
Candimulyo
|
19
|
3
|
16
|
11
|
0
|
11
|
0
|
0
|
Ngablak
|
16
|
1
|
15
|
4
|
0
|
4
|
1
|
0
|
Tegalrejo
|
21
|
1
|
20
|
20
|
0
|
20
|
1
|
0
|
(Pakis)
|
20
|
0
|
20
|
6
|
0
|
6
|
0
|
0
|
Jumlah
|
369
|
148
|
223
|
326
|
144
|
182
|
23
|
12
|
Persentase
|
100
|
40,1
|
59,9
|
100
|
44,1
|
55,9
|
100
|
52,17
|
Disadari bersama
pula bahwa AUM merupakan pilihan kegiatan/usaha nyata warga Muhammadiyah
setempat agar hidupnya lebih bermanfaat bagi sesama sekaligus sebagai tawaran
solusi bagi persoalan umum yang muncul di lingkungan tersebut. Biasanya
persyarikatan berdiri diikuti dengan berdirinya AUM. Pilihan jenis AUM bisa
saja tepat lantas cepat berkembang hingga besar, bisa pula tidak tepat,
adakalanya lantas memilih beralih-fungsi karena adanya perubahan peraturan
pemerintah (MWB ditutup; SMEP-ST ditutup; SPG ditutup; STM dan SMEA diubah ke
SMK, dst.) bisa pula karena memang terjadi salah kelola (mismanagement), bahkan bisa benar-benar salah pilih jenis AUM. Oleh
karena itu sungguh nyata adanya AUM yang tidak lagi bisa bertahan hidup, tidak
lagi operasional, alias mati. Bagaimanapun kita berprihatin terhadapnya namun
sungguh hal itu merupakan kenyataan dan sejarah.
Table 3.e.2
berikut ini memaparkan data yang bersifat kurang nyaman sepanjang sejarah
Muhammadiyah mengenai berbagai jenis AUM yang pernah berdiri-ada di daerah
Magelang kemudian mengalami proses sesuai sunnatullah,
ada yang beralih-fungsi dan bahkan ada pula yang tidak lagi mampu operasional.
Table
3.e.2
Data AUM yang Alih-Fungsi dan Tidak
Operasional
PCM
|
AUM alih Fungsi
|
AUM Tidak Operasional
|
Muntilan
|
SPGàSMA2, PGAàMTs2,
MWBàSD
TA
|
SMP Muallimin Pucungrejo (1971-91); MI Tamanagung
|
Salaman
|
PGAàSMA, SPGàSMK
|
-
|
Salam
|
SMAàSMK2, STàMTs
|
MI Krakitan, MI Somakerto, TK Somakerta, TK Tersan Gede
(1988-)
|
Mungkid
|
MWBàMIàSD
|
-
|
Sawangan
|
MWBàMI
|
-
|
Borobudur
|
SPGàSMK1
|
-
|
Secang
|
SMPàPAY, PGAàSMP
|
SMP Secang (1971-94)
|
Dukun
|
MWBàMI
|
ST
|
Kaliangkrik
|
MWBàMI
|
Madin
|
Windusari
|
-
|
-
|
Srumbung
|
SMEPàSMP
|
-
|
Bandongan
|
-
|
SMA (1996)
|
Grabag
|
-
|
SMA Kalikuto (1981-93)
|
Magelang
|
-
|
-
|
Kajoran
|
MWBàMI
|
TK ABA
|
Ngluwar
|
MIàSD, PGAàMA
|
PGA, MA Bligo (1986-93), MTs1-2, ST
|
Mertoyudan
|
-
|
SMP Jogonegoro (1977-93)
|
Tempuran
|
SMAàSMEAàTK
ABA
|
SMA (1984-96), SMEA (1998-2001)
|
Candimulyo
|
SMP1àPAY
|
SMP1 (1981-2000)
|
Demikianlah warna
lain dari perkembangan dan pertumbuhan Muhammadiyah di Magelang 1917-2007 yakni
berupa keadaan PRM yang belum/tidak optimal serta kabar AUM yang mengalami sunnatullah berupa alih-fungsi bahkan
tidak lagi operasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar