Senin, 17 Desember 2012

The way with no return



BTM AMMAN Magelang
MENAPAKI JALAN BARU 2013-2033
The way with no return

Bismilah walhamdulilah walahaula walaquwata illa billah.
Tiba saatnya kita menapaki jalan baru yakni jalan BTM. Inilah jalan pilihan yang sudah kita rencanakan tiga tahun lalu; kemudian sudah pula kita ikuti tahapannya yang berproses konversi dari BMT menjadi BTM. Tahun 2010 kita mulai mengenal BTM lantas menimbang-nimbang, memperhatikan hingga mampu meyakini. Tahun 2011 kita bulat hati dalam memilih, menetapkan dan memutuskan untuk mengubah BMT menjadi BTM. Kemudian tahun 2012 kita mulai menapaki, melangkah dan merealisasikan diri sebagai BTM. Itu masa tiga tahun paling dramatis dalam perjalanan lembaga kita sejak berdiri 1999 karena kita sengaja untuk mengubah haluan menuju kondisi yang lebih menentramkan hati, lebih benar, lebih baik dan lebih indah. Begitulah rumusan singkat harapan kita, juga pegangan-gampang kita dalam berjalan dan memaknai diri.
Bismilah kini kita melangkah sebagai Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Benar saat ini di Magelang kita belum besar. Tetapi jelas BTM AMMAN merupakan satu dari 28 BTM se-Jateng yang sedang bergerak aktif memilih takdirnya yang paling baik. Semua BTM itu bersinergi di bawah komando Pusat BTM Jateng yang berkantor di Wiradesa Pekalongan. Tiga fungsi utama Pusat BTM adalah (1) pengendali likuiditas, (2) lembaga supervisi/pengawas, dan (3) penyelenggara pendidikan pelatihan (diklat) karyawan. Dengan demikian BTM AMMAN sebagai anggota aktif berikhtiar mampu meraih prestasi-prestasi dan selalu dimonitor langsung oleh Pusat BTM Jateng.
Menjadi anggota dari Pusat Koperasi BTM Jateng tidak secara otomatis kita tahu-beres segalanya. Benar bahwa kita jadi punya “atasan” yang membimbing perjalanan kita, tetapi secara mandiri sesuai kultur-budaya khas BTM AMMAN terus-menerus kita mematut-diri, memampukan-diri dan menyesuaikan-diri dengan perkembangan masyarakat dan pergerakan ekonomi persyarikatan. Visi kita BTM AMMAN Magelang adalah menjadi pusat keuangan Muhammadiyah Kabupaten-Kota Magelang. Untuk itu ikhtiar yang kita lakukan meliputi: (1) mewujudkan dakwah bilhal bidang ekonomi; (2) membangun perekonomian warga Muhammadiyah dan masyarakat Indonesia pada umumnya sesuai ajaran Islam, serta (3) menjadi amal usaha muhammadiyah yang mampu mendukung misi persyarikatan. Sekali layar kita terkibar, pantang kita ingkar maka melajulah kapal ke tengah samudera dan singgah di pelabuhan-pelabuhan tujuan. Mengapa hingga 2033? Itulah angka ‘mistis’ 33 sebanyak jumlah zikir kita, dan rentang rasional dua puluh tahun yang wajar dan terukur, setara dengan dua-kali masa-tunggu para calon jamaah haji semenjak mendapatkan kursi hingga jadwal berangkat hajinya saat-saat ini. Insya Allah, bismilah.

Minggu, 16 Desember 2012

Kiai Seniman, Tersesat di Jalan yang Benar

Kiai Seniman, Tersesat di Jalan yang Benar

Draf biografi tokoh aseli Magelang
(Pondok Pabelan didirikan sekitar tahun 1800-an oleh Kiai Raden Moehamad  Ali tapi terhenti saat santri dan penduduk Pabelan ikut di belakang Kiai Modjo dalam Perang Diponegoro (1825-1830). Usai perang itu pondok dilanjutkan putranya, Kiai Imam. Selanjutnya dikelola oleh dua anaknya, Kiai Mukmin dan Kiai Hamdani lantas surut-terhenti. Tahun 1940-an di awal masa pendudukan Jepang Pondok Pabelan dibangkitkan oleh Kiai Anwar (keturunan ketiga pendiri) bersama kedua anaknya Kiai Adam dan Kiai Cholil serta berikutnya oleh sang menantu, Kiai Asror. Tetapi tahun 1953 bersamaan wafatnya Kiai Asror Pondok Pabelan surut-terhenti lagi)

Ide Pokok : Membangkitkan Pondok Pabelan dengan visi dan pendekatan baru
Tema : Kiai Hamam Dja’far (1938-1993) terpanggil untuk membangkitkan lagi warisan leluhurnya berupa Pondok Pabelan tapi dengan visi danpendekatan baru setelahbeliaungangsu kawruh di Pondok Modern Darusalam Gontor (PMDG)dan sempat mencicipi aroma politik Indonesia (1960-an). Kebangkitan kembali Pondok Pabelan ini ternyatamembangunkan kesadaran hidup danmengubahpolahidup warga Desa Pabelansehingga lebih positif-rasional. Bahkan di kemudian hari Pabelan menjadi ajang pergulatan ide serta gerakan alternatif dari sebagiantokoh Indonesia bagi model pembangunan yang lebih manusiawi.
Sinopsis (dari Cerita Lengkap) :
1.    Ustad Hamam muda, sekretaris pribadi KH Ahmad Sahal dan KH Imam Zarkasyi (pimpinan PMDG) tertantang bisa mewujudkan isi ceramahSyekh Universitas Al-Azhar Kairo, untuk mendirikan 1000 Pondok Gontor di Indonesia. Mendadak perwakilan warga dari desa Pabelan datang di Gontor untuk menjemput dan meminta beliau pulang guna memimpin masyarakat. Sampai di tanah asal beliau juga dinikahkan. Kemudian beliau ditugasi oleh PMDG untuk mengurusi tanah-wakaf dan mengikuti sebagian kegiatan KH Idham Chalid sang Wakil Perdana Menteri (Waperdam RI)yang juga pimpinan PBNU ke seantero negeri hingga sekitar tiga tahun. Kesempatan ini digunakan untuk berpikir lebih mendalam sambil membaca peta-situasi Indonesiaterbaru. Hingga akhirnya bulat-tekadlahsudah niat Ustad Hamam untuk membangkitkanlagi warisan leluhurnya berupa Pondok Pabelan dengan visi dan pendekatan baruseiring dinamika zaman.Bismillah, setiap pembaharu gerakan Islam memang kembali ke kampung asalnya, bergerak mulai dari dalam, menjaga diri sendiri dan keluarganya, bukan bergerak dari luar. Usianya saat itu 25 tahunan.
2.    Di kampung asal Ustad Hamam secara tulus-seriusmendatangi wargapotensial dan tokoh, berdialog soal kehidupan mereka sambil mengidentifikasi masalahdesa serta mendiskusikan bagaimana solusinya.Warga Pabelan saat itu lebih dikenal sisi negatifnya yang miskin, terbelakang dan bodoh, bahkan pengemis-pemalas. Cara dan temuan itu mengagetkan warga yang jarang disapa, tak pernah diajak bicara-berpikirdan dihargaitapi berakibat bagusyakni terangkatnya harga-diri karenamerasa dimanusiakan. Warga tersadar, merasa perlu membenahi hidupnya dansiaga untuk mengikuti arahan-bimbingan Ustad Hamam. Pengajian Senin sore diadakan di masjid dengan materi Tasauf modern. Pengajian malam Sabtu khusus untuk pemuda dengan materi motivasi. Muncullah hal ini sebagai gerakan baru dengan gairah baru warga dalam ber-Amal-Salih lewat jimpitan, Siskamling, zakat-infaq, dll. Suatu saat pak Dja’far (Djapar), ayahanda Ustad Hamam menangis serius karena dizalimi orang tetangga dusun. Ustad Hamam ‘tidak-terima’. Ditabuhlah kentongan titirhingga para pemuda berkumpul. Ini gabungan soalbirrul walidain,muruah dan kebenaran yang harus ditegakkan. Puluhan pemuda siap membantu. Duduk-masalah dikemukakan, lantas sasaran pun ditentukan, target dirumuskan, strategi ditetapkan, orang-orang diatur, operasi dimulai dan segera tantangan-tuntutan dilakukan. Serombongan besar pemuda itunglurug. Teganglah penduduk Pabelan saat itu dan selama lebih lima jam sampai datangnya jawaban minta maaf dan pengakuan bersalah. Tak ada kekerasan. Ketegangan pun pada akhirnya reda namun warga Pabelan justru menjadi solid berada di bawah kepemimpinan Ustad Hamam. Secara pelan tapi pasti berubahlah sikap mental warga Pabelan dari yang dulu lebih dikenal sebagai pemalas-pengemis dan tukang kelahimenjadi pekerja keras yang pantang menyerah dan bersikap proporsional manusiawi.
3.    Bertepatan dengan weton Ustad Hamam, pada hari Sabtu Paing tanggal 28 Agustus 1965 berdirilah Pondok Pabelan secara resmi dengan nama Balai Pendidikan Pondok Pabelan.“Bismilah kita dirikan pesantren ini sebagai perwujudan dari totalitas saya mengamalkan inna salati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabil alamin melalui pesantren”. Santrinya ada 35 orang putra-putri semuanya aseli desa Pabelan. Kelasnya di pendopo rumah beliau dengan peralatan dan perlengkapan amat sederhana. Pondokan-asramanya rumah-tua di depan masjid yang kemudian dikenal sebagai the ancient room. Sistem pembelajarannya meniru di PMDG. Adiknya, Ahmad Mustofa dan familinya, Wasit Abu Ali yang masih kuliah di IAIN Yogya ikut membantunya mengurusi pondok dan mengajar. Tokoh masyarakat Pabelan yang berlatar pesantren dan juga punya keahlian tertentu dimintanya membantu mengajar sesuai pilihan-keahliannya. Selain pelajaran resmi PMDG banyak kegiatan tambahan seperti keterampilan tukang-kayu, bertani, ternak ayam. Sungguh proses ini menjadi gerakan pemberdayaan dan pendewasaan masyarakat, the real learning community.Pada tahun kedua, 1966santrinya datang sudah dari sekitar Kabupaten Magelang, tahun 1968dari seputaran Jawa Tengah serta pada  tahun 1970-an sudah berdatangansantri dari Sumatera, Sulawesi, Lombok, dll.Panggilan beliaupun diubah masyarakat menjadi Kiai Hamam Dja’far. Aneka cara baru dilakukan Pondok Pabelan untuk dikenal publik dan diperhatikan masyarakat. Kalau bingkai pengajaran seorang guru adalah papan-tulis, maka bingkai pendidikan Kiai Hamam berupa Pondok Pabelan: apa saja yang ada dan terjadi di pondok merupakan bahan dan proses pendidikan. Beliau meng-Islamkan batu kali Pabelan, beliau mengubah hukum pupuk bagi tanaman dari haram menjadi sunnah, membuat jendela rumah warga. Bahkan tahun 1967 beliau menjadi petani teladan Kabupaten dan tahun 1968 menjadi petani teladan nasional.“Petani menanam padi akan memanen padi, tapi kalau kiai menanam padi bisa menghasilkan diesel, pompa hidram dan lain-lain,” jelasnya.
4.    Silaturahmi kepada para kiai dan pesantren di sekitar Magelang serta Jawa Tengah rutin dilakukan Ustad Hamam. Selain mendapat restu dan saran soal Pondok Pabelan beliau juga mendapatkan kepercayaan untuk masuk organisasi Ittihad al-Maahid al-Islamiyyah (IMI) Kabupaten Magelang, hingga kemudian beliau menjadi Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah. Akses kepada pejabat pemerintah juga kuat baik yang ada di daerah, di tingkat provinsi maupun di pusat , termasuk silaturahmi kepada para karibnya yang dari Gontor, rekannya di PII maupun temannya di GP Anshor.Suatu ketika semua santri Pabelan baik putra maupun putri diminta berpakaian putih-putih. Yang putra dilengkapi peci-hitam dan yang putri rambutnya dikelabang-dua dikucir pita merah. Mereka satu-persatu berurutan di sebelah kiri jalan dimulai dari pondok berjalan kaki tanpa berbicara menuju Muntilan dan mengelilingi kota kecil itu hingga  berkumpul di terminal Muntilan. Kemudian secara berkelompok santri naik delman, kereta berkuda, kembali ke pondok. Jumlah santri 200-an orang. Semua delman yang ada tersewa bahkan kurang hingga ada delman yang sampai tiga kali pulang-pergi mengangkut santri. Usai itu barulah heboh. Setiap orang di Muntilan yang melihat langsung ‘pertunjukan mencolok’ itubertanya-tanya siapa mereka hingga menjadi buah-bibir masyarakat dan semua sais-kusir delman di Muntilan secara otomatis menjadi sumber informasi-jawabannya. Bahkan belakangan kiai dan pimpinan pesantren lain ikut mengomentarinya serta bertanya. Kok ada santri putrinya juga? Kalau santri putri sebaiknya pakai kerudung jangan rambutnya dikelabang pakai pita merah seperti itu!
5.    Tahun 1970 kekhasan-keunikan Pabelan itu mulai dilirik pemerhati baik dari dalam maupun luar negeri. Kemampuan komunikasi Kiai Hamam bagus, kepribadiannya menarik, rasa percaya dirinya amat kuat, gaya bicaranya mengesankaan serta minatnya amat luas itu menjadikan siapapun tamu yang hadir menjadi tertarik akan Pabelan. Aktivis LSM/NGO, kaum intelektual kampus, agamawan, seniman dan politisi berdatangan baik sekadar ingin tahu, melihat langsung, bertukar-pikiran maupun hingga mewujudkan ide kreatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan. Pabelan pada saat itu seperti ajang bursa ide dan pemikiran. Ketika tamu dari pemerintah Thailand akan datang, pagi-pagi dengan mengajak santri yang membawa baskom besar Kiai berniat memborong minuman khas Cendol Semen sebagai suguhan. Pak Cendol pagi itu baru mulai buka warung. Kiai Hamam mengutarakan maksudnya memborong cendol. “Tidak boleh. Bagaimana kecewanya mbok-mbok gendong yang biasa datangmembeli cendol?”Jawab Pak Cendol retoris. Kiai Hamam masih mendesak. “Benar bahwa saya memang jualan cendol dan saya dapatkan untung, tetapi bukan untung utamaya melainkan peran dan manfaat cendol saya bagi sesama. Pernahsaya alami ora bathi satak ananging bathi sanak,” lanjut Pak Cendol. Kontan Kiai Hamam tersadar, minta pamitsegera untuk beristighfar, menyesali-diri karena beliau ternyata ‘dikalahkan’ kepekaan manusiawi-nya oleh seorang Manusia Besar yang memilih ’profesi’sebagai tukang cendol.
6.    Pabelan milik siapa saja yang datang untuk belajar. Diterimanya santri bukan dari seleksi akademis melainkan dari niat dalam belajar. Santrinya nano-nano, ada yang biasa, ada yang pintar dan ada juga yang nyaris jongkok akademik tetapi berniat belajar. Inilah potret realitas kehidupan yang beraneka-ragam. Prinsip “milik siapa saja yang datang” ini pula yang menjadikan Pabelan selalu terbuka untuk semua golongan, ya laki-laki ya perempuan; ya Muhammadiyah ya NU; bahkan yang muslim maupun nonmuslim. Pada tahun 1965 dan dekade 1970-an kaidah terbuka seperti itu pastilah masih sangat aneh bahkan dinilai “tersesat” tetapi sesuai dinamika zaman yang menuju era keterbukaan dan hidup saling bergantung maka prinsip terbuka akhirnya wajar, dan menjadi “benar”. Ungkapan yang bernas mengenai hal ini adalah “Pabelan tersesat di jalan yang benar”. Sahabat dan teman Kiai Hamam berasal dari berbagai latar-belakang. Romo Mangunwidjaja nasrani yang dikenal sebagai sastrawan-teolog-teknolog itu jika di Pabelan lebih sering dikira Kiai karena biasa memakai pecis sementara Kiai Hamam justru gundulan. Arif Budiman yang dikenal sebagai ‘bapak-demonstran’ itu mengapresiasi santri-santri putri Pabelan yang aktif. Gus Dur kalau ke Pabelan bersama isteri hingga menginap berhari-hari. Chairul Umam dan WS Rendra bahkan membuat film Al-Kautsar di Pabelan. Itulah sebagian dari tamunya. Kepada para alumni yang hadir Syawalan dalam suatu kesempatan Kiai Hamam menceritakan mimpinya. Beliau didatangi ayahanda, Kiai Dja’far almarhum dan diberi uang lima ribu rupiah. “Kalau lima ribu diibaratkan lima tahun, sekarang tahun 1988, jangan-jangan tahun 1993 saya meninggal,” katanya. Semua hadirin hanya menganggap Kiai Hamam bergurau yang memang sering dilakukannya. Namun apa yang terjadi? Pada tanggal 17 Maret 1993 di RS Lestari Rahardja Magelang petang hari saat TVRI menyiarkan pengumuman Kabinet Baru, Kiai Hamam meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.Bilabenar beliau senimankok memilih pondok tentu itu ‘tersesat’ tetapi berada di ‘jalan yang benar’, karena mampu membuktikan bahwa Pondok Pabelan bangkit dengan seni-hidup yang bermanfaat bagi lingkungan, masyarakat, umat dan bangsa. 
Basis Cerita (Tulang-punggung cerita, latar-tokoh, problem, hambatan, penyelesaian):
Plot (Rangkaian peristiwa yang berhubungan logis sebab-akibat): Treatment
Skenario :