Selasa, 03 Desember 2013

Shalat sesuai Tuntunan Nabi


Telaah Pustaka :
Tatacara Shalat yang Terpilih

Judul               : Shalat Sesuai Tuntunan Nabi SAW, Mengupas Kontroversi Hadis Sekitar Shalat
Penulis             : Syakir Jamaluddin, MA
Cetakan           : I, Oktober 2008
Penerbit           : LPPI UMY
Kota                : Yogyakarta
Tebal               : 216 halaman
Peresensi         : Muhammad Nasiruddin*)

Tatacara shalat menjadi penting karena tergolong sebagai ibadah khusus. Kaidah dasar yang berlaku bagi ibadah khusus adalah semua laku ibadah dihukumi sebagai haram hingga ada dalil yang memerintahkannya. Dengan kaidah ini maka setiap gerakan dan bacaan dalam shalat harus ada dasar perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Dari banyak buku tentang shalat sungguh bisa kita jumpai amat banyaknya hadis sebagai dasar shalat itu yang semuanya tentu dihubungkan-dinisbahkan pada tatacara shalat Nabi. Sebagai akibatnya maka muncul banyak ‘versi’ tentang shalat. Penulis buku ini berupaya setelah membanding-bandingkan dan mengkajinya secara ilmiah berbagai hadis, terutama yang kontroversial dari banyak kitab-rujukan maka terpilihlah gerakan-bacaan shalat seperti yang kemudian terkumpul dalam buku ini. Maka, inilah tatacara shalat yang sudah terpilih, tentu saja menurut penulis-penyusunnya.
Pendekatan yang dipilih penulis adalah kritik hadis yakni kritik sanad serta matan hadis dengan meneliti sumber pengutipan hadis dalam kitab-kitab hadis induk. Hadis dalam kategori daif jidan (lemah sekali) tidak dipakai sebagai dalil; sementara hadis daif biasa selama ada dalil pendukungnya minimal sederajat sehingga menjadi hadis hasan li ghairihi (hasan karena yang lainnya) masih dipakai sebagai dalil. Lantas bila ada pertentangan antar dalil yang sama-sama maqbul, maka langkah yang ditempuh adalah pertama mengkompromikan; jika tidak bisa dikompromikan maka langkah kedua dengan at-Tarjih, mencari dalil yang lebih kuat; namun jika masih juga belum tuntas maka langkah ketiga dengan nasikh-mansukh yakni dalil yang belakangan menghapus hukum dalil yang datang terlebih dahulu. Pendekatan begini telah ditempuh oleh mayoritas ulama. Untuk buku ini, persoalan fiqh seputar shalat yang sudah disepakati dan tidak ada masalah krusial di masyarakat cukup dibahas secara singkat, namun persoalan kontroversial yang banyak diperselisihkan dibahas secara detail dengan pendekatan kritik hadis tersebut.
Namun sebelum melangkah lebih jauh perlu disadari bahwa persoalan shalat tidak sekadar pada tatacara fiqhiyah seperti yang ada dalam buku ini. Terdapat dimensi lain yang juga terkandung dalam shalat seperti kekhusyukan, filosofi, fadhilah, hikmah ataupun dimensi kualitatif lain yang mencakup kedalaman ruhaniah dan sisi moral-spiritual.. Itulah dimensi yang terus akan berkembang dan bisa bersifat subjektif. Oleh karena itu agar tidak terjadi reduksi atas shalat, aktivitas ritual penyembahan resmi manusia kepada Sang Khalik ini, perlu untuk dicakup segenap dimensinya yang ada. Memang membincangkan shalat tanpa tatacaranya yang benar ibaratnya membahas siluman, yakni hanya unsur jiwa tanpa unsur raga; sebaliknya membincangkan tatacara shalat tetapi meninggalkan ‘jiwa shalat’ ibaratnya juga hanya membahas patung-arca yakni unsur raga yang tanpa jiwanya. Kedua sisi tersebut memang bersifat komplementer, saling melengkapi.

Buku-buku tentang Shalat
Buku pegangan ummat Islam Indonesia yang sudah dicetak mulai tahun 1950 dan hingga kini masih terus dicetak-ulang dengan revisi adalah susunan Teungku Muhammad Hashbi ash-Shiddieqy yang berjudul Pedoman Shalat (Pustaka Rizki Putra, Semarang, Cetakan Ketiga, Edisi Kedua, 1999; 590 halaman). Buku tebal tanpa gambar-ilustrasi ini memang dikenal sebagai buku berbahasa Indonesia tentang shalat yang paling tua, standar, dan lengkap meskipun sistematika dan gaya penulisannya saat ini tampak sudah out of date. Anak-muda zaman sekarang sudah enggan dan tidak mau membacanya kecuali dengan ‘terpaksa’. Lantas buku lain yang cukup fenomenal namun sesungguhnya yang lebih signifikan berupa pelatihannya adalah yang disusun oleh Abu Sangkan, Pelatihan Shalat Khusyu’, shalat sebagai meditasi tertinggi dalam Islam (Baitul Ihsan, Jakarta, Cetakan Kelima, 2005; 136 halaman). Buku ini tampak secara jelas lebih menawarkan metode shalat sebagai sarana untuk menemukan relaksasi dan meningkatkan kebahagiaan hidup pelakunya. Oleh karena itu pendekatan dan kecenderungannya memang bersifat filosofis dan mementingkan motivasi ‘jiwa’.
Buku edisi luks yang diterbitkan resmi oleh Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) adalah susunan H. Subagdja Prawata yang berjudul Panduan Shalat Menurut Sunnah Rasululah SAW Praying Guidance According to Prophet Muhammad SAW (Perum PNRI, Jakarta, Cetakan I, 2003, 553 halaman). Buku cukup tebal yang indah berwarna-warni dengan ilustrasi foto model ini sungguh layak dipajang di hotel-hotel, tempat wisata, atau dibawa kaum jetset karena juga ada terjemahannya dalam bahasa Inggris. Sayangnya meskipun dirujukkan kepada rasul namun tuntunan-praktisnya dipilihkan oleh penyusunnya hanya pada satu versi, tanpa keterangan apalagi pembanding versi yang lain. Sementara untuk kalangan terbatas hadir buku-saku penuntun-praktis yang disusun oleh Agung Danarto, Cara Shalat Menurut Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, telaah terhadap sumber dan kualitas hadist (Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, Cetakan Kedua, 2004; 145 halaman). Buku ini memang hadir untuk menepis munculnya keraguan-kegelisahan warga Muhammadiyah akan tatacara yang ada di dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT). Inilah pilihan resmi cara shalat versi Muhammadiyah, yang diterbitkan terutama sebagai upaya konsolidasi ideologi internal warganya.
Sesungguhnya masih banyak buku tentang shalat yang lain, seperti yang beredar khususnya di lingkungan Departemen Agama Provinsi Jawa Tengah sejak tahun 1976, yakni susunan Drs. Moh. Rifa’i, Risalah Tuntunan Shalat Lengkap (CV Toha Putra, Semarang, Cetakan I, 1976, 127 halaman). Namun yang jelas tampak dari banyak-beragamnya buku tentang shalat juga dari waktu ke waktu terbitnya maka bisa ditandai bahwa pada setiap generasi ataupun setiap lima tahun diperlukan terbitan terbaru buku tentang shalat yang sesuai konteksnya. Sebab selain secara nyata memang ada perbedaan kepekaan dan kebutuhan perseorangan juga pada rentang waktu tersebut ada pola yang sama dan berulang di masyarakat yakni sisi-dimensi yang menjadi prioritas kehidupan sehingga menghajatkan pula tuntunan ataupun rujukan cara mendekatkan diri kepada-Nya yang sesuai dengan perkembangan dan ‘budaya’ masyarakat saat itu. Apalagi jika dikaitkan dengan kekhususan sasaran seperti buku untuk kaum professional, buku untuk awam, orang-orang sakit, para tahanan, artis-jetset, dll. yang masing-masing memang berkebutuhan ‘khusus’ serta membutuhkan tuntunan shalat yang seharusnya persuasif.

Cara-cara ‘Terbaru’
Daya tarik buku ini secara langsung tampak dari materi yang disajikan yakni dikupasnya hadis-hadis kontroversial sekitar shalat. Mungkin hal yang cukup menggelisahkan sebagian ummat Islam saat ini adalah merebaknya perbedaan tatacara shalat ‘terbaru’ seperti posisi tangan saat i’tidal, keras-lemahnya bacaan basmalah, jari telunjuk saat tasyahud, serta cara merapatkan shaf dalam berjamaah. Semua itu dikupas secara tuntas, ada yang panjang namun ada pula yang hanya pendek, bahkan hingga perihal jamak dan qasar shalat, formasi shalat lail, tarawih, hingga lafal takbir ‘ied.. Tetapi hal yang patut disayangkan karena tidak ikut dikupas adalah cara baru dalam mengambil jarak jauh saat bersujud sehingga seakan mau tengkurap, konon hal itu mempercepat munculnya tanda hitam di kening sebagai min atsar as-sujud (tanda-bekas sujud). Sementara perbedaan cara shalat yang ‘lama’ seputar niat, pilihan bacaan iftitah, qunut, doa dalam tasyahud serta bacaan salam tidak dikupas secara panjang, alias hanya sekilas. Boleh jadi sudah dianggap oleh penulis buku ini sebagai pilihan sadar masing-masing penganutnya.
Mengenai posisi tangan setelah i’tidal, penulis berkesimpulan tangan tetap lurus, biasa dan tidak bersedekap di dada karena tidak ada hadis maqbul yang menjelaskan untuk bersedekap setelah i’tidal; kaidah dasar ibadah-khusus adalah semua laku-ibadah haram hingga ada dalil yang memerintahkannya (hlm. 80). Kemudian mengenai keras-lirihnya bacaan basmalah imam saat ber-Fatihah penulis yakin bahwa hadis yang melirihkannya lebih kuat daripada yang mengeraskannya; keduanya memang pernah dilakukan Rasulullah SAW namun beliau lebih banyak melirihkannya (hlm. 74). Adapun mengenai kapan jari telunjuk menunjuk saat tasyahud dan apakah menggerak-gerakkannya, penulis berkesimpulan bahwa setelah duduk tenang, Nabi Muhammad SAW menggerakkan telunjuknya guna menunjuk yakni satu kali di awal duduk saat mulai membaca attahiyyatu lillah. Sebab tidak ada hadis yang tegas menjelaskan kapan waktu menunjuk dan menggerakkan telunjuk kecuali disebut saat berdoa. Isyarat hadis sahih yang ada menegaskan saat Nabi duduk tasyahud menggenggam jari-jarinya kemudian mengangkat telunjuknya (HR Muslim), menunjukkan beliau mengangkat jari telunjuk mulai dari awal tasyahud sampai akhir. Mengenai menggerak-gerakkan telunjuknya termasuk hadis syadz (menyimpang sendiri) juga menyalahi prinsip tumu’ninah (tenang dalam shalat). (hlm. 97). Itulah tiga kesimpulan penulis buku yang semoga mampu menuntun sebagian keraguan-kegelisahan ummat Islam seputar gerakan shalat yang belakangan ini merebak.
Dalam hal merapatkan shaf saat shalat berjamaah, Nabi menganjurkan untuk saling berdekatan dengan merapatkan bahu dan bukan pada kaki (hlm. 124). Persentuhan fisik secara lembut dengan hati yang rela dan saling mengerti akan mendekatkan hubungan antaranggota jamaah; namun sungguh tidak perlu dengan cara memaksakan shaf harus rapat betul apalagi hingga sampai “mengejar-ngejar” kaki jamaah yang lain. Sebab hal seperti itu hanya akan mengganggu konsentrasi dan kekhusyukan shalat jamaah lainnya; mengejar kaki jelas tidak baik tetapi jauh lebih tidak baik lagi jika menginjak kaki jamaah yang mengejar kaki tersebut.
Namun ada pula satu tuntunan praktis dari penulis yang mampu mengundang diskusi publik yakni pada bacaan salam yang hanya dengan Assalamu’alaikum warahmatullah baik ketika menoleh ke kanan maupun ke kiri; tanpa diikuti kelanjutannya wa barakatuh (hlm. 102). Selain hal ini berbeda dari praktik di masyarakat luas juga berbeda dari hal yang tertera dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah. Secara nyata penulisnya adalah ustadz, mubaligh yang juga aktivis PP Muhammadiyah sehingga secara sederhana sering diasumsikan sebagai ‘pemeluk’ HPT tersebut. Kendatipun ‘kreativitas’ seperti itu menurut Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA (Ketua Majelis Tabligh dan Tarjih PP Muhammadiyah) dibolehkan oleh HPT (Pengantar, halaman viii) namun kesan yang muncul di mata awam adalah musykilah, mana di antaranya yang lebih rajih?

Format, Isi dan Segmentasi Buku
Buku ukuran setengah kuarto ini terdiri dari tiga bab, secara berurutan adalah Pengantar Ibadah, Thaharah, dan Shalat. Tentu yang paling panjang dan banyak porsinya pada bab Shalat (162 halaman), menyusul bab Thaharah (25 halaman), serta paling pendek adalah bab Pengantar Ibadah (14 halaman). Hal ini menegaskan bahwa fokusnya memang pada shalat yang utamanya pada dimensi fiqhiyah. Buku ini ditulis dengan semangat mencari kebenaran ilmiah sehingga mentolerir perbedaan pemahaman asalkan ada dalil atau landasan yang kuat. Diharapkan oleh penulisnya buku ini mampu menjadi pegangan mubaligh, dosen dan mahasiswa, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) dalam Mata Kuliah Fiqh (Ibadah).
Secara umum buku ini cukup bagus dan kita ucapkan selamat kepada penulis yang berhasil menandai ulang tahunnya ke-40 dengan menerbitkan buku keduanya ini setelah buku yang pertama Etika Bercinta ala Nabi (2005). Bahasanya lumayan lancar, sistematika sederhana, materinya penting-kontroversial dan pembahasannya cukup mendalam-tuntas. Kesalahan kecil yang seharusnya bisa dikejar karena cukup fatal adalah kesalahan cetak penulisan arti syahadat (hlm. 28). Jauh akan lebih representatif jika segmentasi konsumennya dipertajam; misalnya dilengkapi dengan gambar-ilustrasi-foto gerakan shalat apalagi dicetak secara luks, berwarna sehingga layak-pajang di hotel ataupun tempat wisata dengan terjemahan dalam bahasa Inggris misalnya. Kalau memang sasarannya adalah dunia akademis tentu perlu diperluas-dipertajam analisis pada masing-masing butir gerakan-ucapan shalat; semuanya dengan pembahasan yang tuntas-ilmiah sehingga bisa menjadi buku rujukan tentang fiqh-shalat. Singkatnya agar tidak kepalang tanggung antara ilmiah atau persuasif-awamiah. Terima kasih.
*) Muhammad Nasiruddin adalah Sekretaris Majelis Dikdasmen PDM Kabupaten Magelang