Selasa, 12 Agustus 2014

Ngaji Selapanan

Seda Seduluripun Sare (S3)
ª!$# ®ûuqtGtƒ }§àÿRF{$# tûüÏm $ygÏ?öqtB ÓÉL©9$#ur óOs9 ôMßJs? Îû $ygÏB$oYtB ( ہšôJçŠsù ÓÉL©9$# 4Ó|Ós% $pköŽn=tæ |NöqyJø9$# ã@Åöãƒur #t÷zW{$# #n<Î) 9@y_r& K|¡B 4 ¨bÎ) Îû šÏ9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍËÈ
Allah ngasta nyawane (pawongan) nalikane mati lan (ngasta) nyawane (pawongan) kang durung mati nalikane turu; mula Panjenengane nahan nyawa (pawongan) kang wus katetepake patine lan Panjenengane ngeculake nyawa liyane nganti tumeka mangsa kang wus den temtokake. Satemene ing ndalem kaya mengkono iku ana tandha-tandha kekuasaane Allah tumrap kaum kang gelem angen-angen, menggalih (QS az-Zumar/Rombongan [39]: 42).
Hanya Allah saja yang menggenggam secara sempurna nyawa makhluk ketika tiba masa kematiannya, sehingga nyawa tersebut berpisah dari badannya dan demikian juga hanya Dia yang menggenggam nyawa makhluk yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah dalam genggaman tangan-Nya dan di bawah kekuasaan-Nya nyawa makhluk yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan nyawa yang lain yakni yang tidur agar kembali ke badan yang bersangkutan sampai waktu yang ditentukan bagi kematiannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat ayat-ayat yakni bukti-bukti yang nyata atas kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir (QS az-Zumar [39]:42).
Di hadapan kita ini adalah jenazah manusia yang telah wafat. Nyawanya tidak lagi kembali ke badannya, sebab waktu yang ditentukan-Nya sudah dilalui, nyawa itu kini ditahan-Nya guna meneruskan proses menuju Tuhannya. Tak ada di antara kita yang sudah mengalaminya. Nihil. Namun sesungguhnya kita telah dilatih untuk menghadapi mati itu, bahkan merasakan mati-sementara, yakni lewat peristiwa tidur. Tidur sungguh merupakan saudara mati (QS az-Zumar 42).
Setiap akan tidur kita berdoa kepada Allah dengan membaca Bismika Allahumma ahya wa bismika amutu, ‘Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup dan dengan nama-Mu pula aku mati’. Ya hidup-mati, tarjaga-tertidur. Kita akan bisa tidur nyenyak jika selagi terjaga kita mampu beraktivitas optimal hingga lelah fisik-psikis. Sebab ikhtiar duniawi yang maksimal disertai dengan sikap ikhlas total akan berefek positif bagi hidup dan istirah yang hakiki. Tidur pulas kualitatif. Bahkan ketika tidur pun kita bisa berbahagia dengan mimpi-mimpi indahnya. Dalam istilah tasawuf ada ru’yah shadiqah seperti apa yang pernah dialami oleh Nabi Ibrahim AS juga Nabi Yusuf AS, mimpi kebenaran, mimpi yang tidak lagi sekadar ‘bunga-tidur’; bahkan menakwilkannya.
Setelah bangun dari tidur itu kita berdoa dan membaca alhamdulillahi alladzi ahyana ba’da ma amatana wa ilaihin nusyur, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkanku setelah mematikanku, serta hanya kepada-Nya kita akan kembali’. Bangun, sadar, terjaga. Pengalaman mati-sementara itu membekas sebagai komitmen bahwa kita menuju Tuhan di kemudian hari. Akankah kita lupa hal itu? Latihan mati itu kita lakukan setiap hari, bahkan kadang 2-3 kali sehari-semalam, hingga kini. Maka ketika betul-betul mati, sesungguhnya kita sudah tidak lagi ‘terkejut’. Sudah terlatih, sudah terbiasa, mustinya. Namun nyatanya, mudah benar kita terlupa dan terkejut.

Sebagai sesama manusia kita bisa ikut berdoa. Kiai Lukman Samawi, 81, ini adalah pejuang gigih, baik semasa beliau masih sehat maupun setelah sakit. Namun, tidak ada suami sukses tanpa isteri dan keluarga yang hebat. Kesuksesan suami pasti didukung oleh peran dan perjuangan isteri, anak, keluarganya. Perjuangan hidup bermubaligh. Semoga husnul khatimah. Konon beberapa hari tidak sadar. Beliau nyata mendidik 10 anak dengan 25 cucu, selain murid ngajinya yang tersebar di Grobogan, Sukorejo, selain di seantero Kabupaten Magelang ini. Inna lillah wa inna ilaihi rajiun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar