Kamis, 05 Januari 2012

Tertipu Kesenangan Hidup


Hikmah:

Tertipu Kesenangan Hidup
Oleh: Muhammad Nasiruddin


Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan dan perhiasan dan bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak … (QS 57[al-Hadid]:20)



Aneka ragam wujud kesenangan duniawi seperti pada ayat ke-20 surat al-Hadid (Besi) di atas sesuai benar dengan urutan kesenangan hidup manusia berdasarkan perkembangan usia kronologisnya: bayi, anak, remaja, pemuda serta tua. Begitu pendapat Muhammad Rasyid Ridha, penulis Tafsir al-Manar (M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, 1994:108). Diterangkan lebih lanjut bahwa ketika masih bayi, manusia barulah mampu merasakan lezatnya permainan yang dilakukan tanpa tujuan selain hanya keasyikan bermain itu sendiri (la’ibun). Setelah tumbuh akal pikirannya maka anak-anak suka akan sesuatu permainan yang bersifat melalaikan (lahwun). Lantas meningkat lagi pada masa remaja yang gemar sekali dengan perhiasan dan aksesori (zayinun). Kemudian menjadi pemuda yang suka akan kemegahan serta gagah-gagahan (tafakhur). Akhirnya setelah dewasa dan menjadi orang tua berubah menjadi suka akan membangga-banggakan banyaknya harta dan anak (takatsur).
Namun aneka bentuk kesenangan hidup seperti itu, masih lanjutan ayat tersebut, masing-masing hanya memiliki rentangan waktu pendek yang sekejap mata. Secara menarik digunakanlah perumpamaan ini: “… seperti saat hujan tetanaman akan mengagumkan petani, namun saat berikutnya tetanaman menjadi kering dan warnanya menguning untuk kemudian mati…”. Dramatis!. Ketika hujan datang tetumbuhan tentu menjadi hijau subur, petani mana yang tidak menyenangi bahkan membanggakannya? Harapan akan panen besar dan gairah untuk mengembangkan usahanya lebih lanjut tentu muncul dengan sendirinya. Tetapi jika sesaat berikutnya hujan tak lagi turun-datang, tanah mengering, tetanaman menjadi kerontang, warnanya pun menguning, layu, semakin layu sehingga akhirnya gagal panen, puso, mati; maka gambaran mengenai usahanya pun hancur berantakan.
Perumpamaan itu sudah seharusnya mampu menyadarkan kita manusia untuk tidak hidup terkonsentrasi hanya pada kesenangan duniawi. Jauh lebih menarik lagi isi pesan ayat yang terletak pada akhir kalimatnya: “…sebab kehidupan dunia ini tiada lain hanyalah kesenangan yang menipu”. Adakah kesenangan yang menipu? Bagaimana tidak menipu jika ternyata itu bukan hal yang utama dalam hidup, apalagi soal rentangan hidup di dunia ini yang amatlah pendek jika dibandingkan dengan proses yang dilalui setiap manusia dalam perjalanan panjangnya sejak di alam arwah, alam rahim, alam dunia, alam barzah hingga kelak kehidupan kekalnya di alam akhirat?
Tampak bahwa hidup di dunia ini jelas hanya sepenggal proses. Tetapi proses yang signifikan sebab proses berikutnya amat bergantung pada bagaimana perolehan saat manusia hidup di dunia ini. Semata perolehan duniawi yang menipu tadi hasilnya ataukah juga ada perolehan hakiki sesuai format-awal bahwa manusia di alam dunia ini berperan sebagai Abdullah ‘hamba Allah’ dan juga khalifatullah ‘pengganti Allah’ di muka bumi? Dengan kata lain, hidup manusia di bumi ini merupakan pengantar dan penentu akan ‘kelas mana’ yang kelak dipilih untuk menjalani hidup di alam berikutnya. Oleh karena itu bilamana terjadi kesalahan dalam memahami, kesalahan dalam menentukan arah serta salah-pilih jenis muatan ketika hidupnya di dunia ini tentu hanya akan berakibat pada penyesalan yang kelak berkepanjangan. Mendapatkan kesenangan sesaat yang harus dibayar dengan penderitaan lama; itulah sesungguhnya tipuan kesenangan hidup.
Bila tidak karena tipuan yang memesona seperti itu pastilah hidup seluruh manusia di dunia ini akan lurus-lurus dan benar semua. Namun nyatanya betapa sedikit manusia yang sadar akan tipuan yang memesona itu apalagi manusia yang berusaha sekuat tenaga guna mewujudkan kesadaran ini dalam perbuatan nyata dan tingkah laku sehari-hari. Namun meskipun hanya sedikit jumlahnya, itulah manusia yang tidak tertipu sesungguh-sungguhnya dalam hidup di sepenggal proses ini. Wallahu a’lam bish shawab



Tidak ada komentar:

Posting Komentar