Senin, 02 Januari 2012

Berhenti Merokok


Hikmah:

Berhenti Merokok
Oleh : Muhammad Nasiruddin

Walaupun seperti slogan dan beraroma klise namun senyatanya benar bahwa merokok bisa merugikan kesehatan, merokok itu jorok, kotor dan polutif, bahkan merokok merugikan orang lain. Namun semuanya ini tentu tidak bermakna benar bagi perokok sehingga muatan pesannya tidak akan didengarkan, tidak dicermati apalagi guna diindahkan. Sebab semua muatan negatif tersebut sudah dipandang enteng, konon karena tidak akan sebanding dengan kenikmatan dan pesona yang timbul dari kegiatan merokok.
Ancaman beragamnya penyakit yang timbul akibat kebiasaan merokok bisa tidak lagi efektif karena di masyarakat kita memang banyak perokok yang tetap hidup dan masih tampak segar bugar. Demikian juga alasan bahwa hidup tanpa rokok berarti mampu menabung sekian ribu rupiah per hari juga terbantahkan oleh kenyataan bahwa tingkat ekonomi bukan-perokok tidak selalu lebih tinggi-baik daripada tingkat ekonomi perokok-berat. Oleh karena itu kegiatan merokok lebih dipahami sebagai opsi dan pilihan beraktivitas seseorang lengkap dengan risikonya: pilih merokok atau tidak merokok.
Hampir pasti untuk memilih hidup tidak merokok di zaman yang serba tersedia ini lebih didasarkan pada alasan yang bersifat historis-subjektif daripada logis-objektif. Artinya, seseorang tidak merokok ataupun berhenti merokok bukan karena kemarin tidak tahu risikonya, melainkan lebih karena sudah memilih untuk tidak membiasakan diri merokok; ataupun alasan subjektif lain seperti lingkungan yang bebas rokok. Terdapat hukum kesejajaran bahwa semakin orang “berpengalaman” dalam merokok akan semakin sulit untuk berhenti merokok. Maka logikanya untuk bisa terlepas dari kebiasaan merokok tentu seseorang membutuhkan alasan khusus yang sejajar dengan ‘pengalamannya’ selain alasan klise-normatif yang disertai tekad membaja sehingga niatan untuk berhenti merokok tadi terwujud. Alasan khusus dan tekad membaja inilah yang lantas menjadi faktor penentu sekaligus ‘pembunuh’ rasa ketagihan untuk merokok setiap kali datang ‘menagih’-nya. Inilah di antara cara untuk melawan hal yang sudah terbiasa dan bersifat adiktif .
Pengalaman kita ketika menjalankan puasa, meskipun rentangan waktunya hanya terbatas sehari menegaskan bahwa sesungguhnya kita bisa hidup tanpa rokok bahkan nyaman menjalaninya. Boleh jadi ada yang justru merasa leluasa dalam beraktivitas karena tidak terganggu ‘prosedur’ merokok. Pada waktu puasa itu tubuh kita tidak di-‘doping’ oleh rokok namun secara kejiwaan kita masih bergantung kepada rokok. Kemudian rasa ingin dan ketagihan untuk merokok yang muncul kita jadikan sebagai ‘musuh’ yang benar-benar kita lawan dan ternyata mampu kita kalahkan; terutama karena faktor keyakinan akan kebenaran ajaran agama Islam. Inilah pengalaman empiris kegiatan merokok ketika didukung oleh kesadaran juga dengan keyakinan keberagamaan saat berpuasa.
Oleh karena itu merokok pada awalnya bukanlah suatu kebutuhan hidup melainkan hanya kebiasaan. Untuk keluar dari kebiasaan itu atau agar tidak merokok diperlukan bukan hanya pengetahuan tentang akibatnya namun yang lebih menentukan adalah tekad membaja dan sikap konsisten pelakunya yang disertai kesadaran penuh guna bertarak menghindarinya. Sebutlah hal ini sebagai keunggulan kepribadian pelaku yang berwujud kualifikasi karakter prima karena terlanjur dulu pernah membiasakan diri pada kegiatan negatif, yakni merokok.
Hukum merokok yang makruh ataupun haram merupakan wilayah fatwa MUI, tetapi wilayah pribadi kitalah untuk setuju ataupun menolaknya yang diwujudkan dengan cara menambah porsi rokok ataupun menguranginya hingga menghentikan kebiasan merokok. Sungguh yang terakhir ini sepenuhnya kewenangan kita, wilayah pilihan ikhtiari dalam mengisi hidup kita. Tentu saja jika mampu tidak merokok akan jauh lebih baik. Bismilah kita mulai dan wujudkan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar