Rabu, 27 November 2013

Tiga Gelombang Gerakan Muhammadiyah Magelang 1917-2007


Tiga Gelombang
Gerakan Muhammadiyah Magelang
1917-2007


Prakata Penyunting
Sambutan PDM Kabupaten Magelang
Sambutan PDM Kota Magelang
Pengantar : Drs.H. Ahmad Adaby Darban, SU
Daftar Istilah dan Singkatan


  Bab I  Pendahuluan
·         Pokok Masalah
·         Pendekatan
·         Ringkasan Masalah
·         Catatan Mengenai Sumber

  Bab II  Magelang Sepanjang Abad XX
·         Geografis-Ekologis
·         Pemerintahan
·         Sosio-budaya

  Bab III Gerakan Muhammadiyah Magelang 1917-2007
·         Klasifikasi dan Karakter Gerakan Muhammadiyah
·         Gerakan Gelombang Kultural
·         Gerakan Gelombang Struktural
·         Gerakan Gelombang Reformasi
·         Antiklimaks: Kabar Lain atas PRM dan AUM

  Bab IV Narasi Atas Muhammadiyah Daerah
·         Karesidenan dan Kabupaten-Kota
·         Kabupaten Magelang
·         Kota Magelang

  Bab V  Narasi Bawah Muhammadiyah Cabang
·         Bandongan:
·         Borobudur:
·         Candimulyo
·         Dukun
Dst.

  Bab VI Penutup
·         Kesimpulan
·         Rekomendasi
 
  Lampiran:
  Daftar Narasumber Wawancara
  Daftar Seminar Sejarah Muhammadiyah Magelang





Bab I
Pendahuluan

Pokok Masalah

Karya ini merupakan hasil kajian mengenai sejarah Muhammadiyah di daerah Magelang. Lingkupnya memang lokal, meliputi kabupaten dan kota Magelang; bersifat rinci lagi detail per satuan kajian. Satuan kajiannya diformat berbasis cabang atau komunitas organisasi Muhammadiyah di tingkat kecamatan. Meskipun demikian alur ide Muhammadiyah sedaerah Magelang dan konstruksi sejarahnya dalam kesatuan besar-luas juga dipaparkan berdasarkan pola interaksi dan komunikasi antarcabang yang ada. Oleh karena itu hasil kajian ini bagaimanapun tergolong unik, khas, selain faktual-historis.
Cakupan waktu 1917-2007 sesungguhnya tidak menunjuk periodisasi tertentu secara tegas; sebab dalam perkembangan sosial dan sejarah tidak ada permulaan dan akhir. Batasan dipilih terutama guna memfokuskan sumber bahan yang diperlukan. Angka 1917 menunjuk pada tahun masuknya ide Muhammadiyah ke Borobudur dan juga ke Magelang meskipun Groep Moechammadijah berdiri resmi di daerah ini tercatat beberapa tahun berikutnya. Sedangkan tahun 2007 menunjuk pada data sejarah terkini yang signifikan berupa berdirinya Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Tegalrejo. Oleh karena itu rentangan tahun 1917-2007 merupakan kurun maksimal yang mungkin dicakup saat ini jika memilih kajian sejarah untuk studi mengenai gerakan Muhammadiyah di daerah Magelang ini.
Gerakan Muhammadiyah tidak kenal berhenti, selalu saja berlangsung di daerah ini semenjak ide tersebut hadir; kadang pelan dan tidak jelas namun sering pula cepat lagi tegas. Terbukti perkembangan organisasi dari tahun ke tahun tampak meningkat dan menguat. Bila pada dekade 1920-an berdiri empat grup yakni Borobudur, Magelang, Muntilan dan Salam maka tahun 2007 ini sudah merata di 23 PCM dari 24 kecamatan yang ada; tinggal Kecamatan Pakis yang belum berdiri organisasi Muhammadiyahnya di daerah penelitian ini.
Pokok masalah dalam penelitian ini adalah sejarah Muhammadiyah Magelang. Dengan kalimat pertanyaan yang rinci dan detail di antaranya adalah sebagai berikut. Bagaimana alur-rangkaian ide Muhammadiyah masuk di daerah Magelang? Bagaimana proses pertumbuhan dan perkembangannya dari waktu ke waktu hingga saat terakhir ini? Faktor apa saja yang berpengaruh terhadapnya, baik secara positif maupun negatif? Bagaimana pula informasi dan data sejarah tersebut didapatkan, diklasifikasi, dikonfirmasi dan dikonstruksi? Bagaimana pola-penyebaran, pola-rekrutmen, juga pola-kegiatan gerakan Muhammadiyah yang terjadi? Karya ini berusaha untuk menjawab dan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Pendekatan

Konstruksi sejarah Muhammadiyah Magelang ini dibangun ‘dari bawah ke atas’, yakni dimulai dari satuan kajian per cabang atau kasus-peristiwa yang bersifat lokal terus menuju ke pola yang bersifat umum. Pendekatan yang dipilih untuk proses penelitian  dengan demikian bersifat induktif. Akan tampak pula dari pendekatan ini bahwa hasil kajian bersifat egalitarian karena menampung banyak tokoh kecil dari berbagai tempat dan waktu. Konkretnya, data sejarah dicari dan didapatkan dari masing-masing unit kajian komunitas organisasi Muhammadiyah tingkat cabang (PCM); untuk kemudian dicari hubungannya dengan komunitas lain ataupun dikonstruksi ke eselon di atasnya yakni tingkat daerah (PDM) sehingga terbentuklah sebuah bangunan sejarah Muhammadiyah daerah Magelang yang komprehensif, meliputi segenap cabang yang ada.
Namun pelaporan hasil kajian dalam bentuk buku ini disusun dengan pola deduktif, mengikuti konvensi umum penulisan ilmiah yakni dari hal yang bersifat umum menuju hal khusus. Oleh karena itu karya sejarah ini menyatukan dua hal yang berlawanan namun dalam konteks dan kurun yang berbeda: pendekatan dalam proses penelitiannya bersifat induktif, dan pemaparan laporan hasil kajiannya disusun dengan pola deduktif.
Sumber utama kajian sejarah ini adalah sejarah lisan. Sumber dari pustaka, arsip dan dokumen, serta prasasti tetap digunakan namun lebih sebagai sumber pelengkap. Sejarah lisan yang dimaksud di sini tidak bisa didapatkan kecuali harus dicari dengan sengaja. Penggalian sumber sejarah dilakukan dengan teknik wawancara. Wawancara dilakukan kepada para pelaku dan saksi-mata dengan cara menanyai silang mereka. Namun wawancara kepada para tokoh yang bukan tergolong pelaku dan bukan tergolong saksi-mata sejarah tetap dilakukan, termasuk kepada para pejabat formal Muhammadiyah, yakni sebagai sumber pendukung atau data sekunder. Penting dicatat bahwa sejarah lisan yang dipilih sebagai metode-utama ini memiliki kelebihan di antaranya mampu mengungkap informasi, data, fakta juga opini terutama yang bersifat kualitatif seperti pengalaman masa lalu. Asumsinya adalah sejarah lisan akan mampu mengatasi keterbatasan sumber sejarah yang ada ataupun mampu menerangi kegelapan informasi masa lalu Muhammadiyah yang hingga sementara ini masih dirasakan.

Ringkasan Masalah

Sejarah Muhammadiyah Magelang ini disusun secara deduktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat umum menuju pada hal-hal khusus. Untuk itu, semua data hasil penelitian diklasifikasi sesuai dengan pola tersebut. Terdapat empat bab sebagai isi utama, yakni Bab II, Bab III, Bab IV dan Bab V namun diawali dengan pelengkap depan berupa Bab I Pendahuluan serta diakhiri dengan Bab VI Penutup. Dua bab yang disebut belakangan berisikan hal-hal yang berada di luar data sejarah, yakni akan berupa kerangka kajian untuk Bab I Pendahuluan serta berupa refleksi akhir kajian untuk Bab VI Penutup.
Bab I berisikan paparan mengenai Magelang secara menyeluruh meskipun ringkas. Asumsinya untuk menelaah wacana gerakan Muhammadiyah di Magelang diperlukan pijakan dasar sekaligus sebagai peta mengenai daerah yang diteliti. Pemetaan ini bersifat menyeluruh dan multidimensi, tidak hanya secara geografis namun juga secara ekologis, peristiwa atau kejadian signifikan, bidang tata-kelola dan pemerintahan serta sosio-kultural masyarakatnya. Demikian juga cakupan waktu yang dimuat tentu minimal setara dengan rentang objek penelitiannya yakni sepanjang abad ke-20 bahkan kemudian melebihi hingga tahun 2007.
Bab II mendiskusikan hasil-utama berupa rekonstruksi sejarah dari analisis kajian, yakni gerakan Muhammadiyah di Magelang 1917-2007. Seluruh data sejarah yang didapatkan sesudah dicermati kemudian ditemukan polanya secara tepat. Setelah ditinjau dari berbagai segi maka muncul adanya pola gelombang besar atau pola arus-utama gerakan yang merupakan resultante antara karakteristik gerakan dengan tantangan hidup dari zaman yang berbeda-beda. Kemudian ditajamkannya pola yang ditemukan tersebut dengan distingsi yang jelas sehingga didapatkanlah tiga gelombang gerakan yakni kultural, struktural dan reformatif. Tiga jenis gelombang inilah yang sesungguhnya menjadi struktur utama hasil kajian sejarah kita.
Bab III memaparkan narasi besar-atas Muhammadiyah di tingkat daerah. Bab ini merupakan hasil-pelengkap sejarah atas analisis kajian kita. Secara faktual sesungguhnya di daerah penelitian ini hanya terdapat dua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) namun secara historis juga signifikan untuk dipaparkan narasi besar sebelum ‘pecah’, sebelum menjadi kabupaten dan kota Magelang. Itulah institusi sementara PDM Kabupaten-Kotamadya (Kabko) Magelang, bahkan pernah bernama PDM Karesidenan Kedu sehingga pada bab ini terdapat tiga narasi besar. Penting dicatat bahwa kasus ‘pecah’ ini disemangati oleh keinginan untuk “menantang-diri” agar Muhammadiyah semakin bermanfaat bagi lingkungan dan baik, visinya menghidupsuburkan persyarikatan di daerah ini, selain tentu ittiba’ pada kebijakan Pemerintah Daerah Magelang.
Bab V  berisikan paparan rinci narasi bawah mengenai Muhammadiyah Cabang. Isinya narasi lengkap sejarah Muhammadiyah Cabang se-Kabupaten dan se-Kota Magelang, yakni terdiri dari 23 PCM. Sesungguhnya inilah data-utama sejarah lisan kita, paparan per satuan kajian cabang. Urutannya sengaja dipilih berdasarkan alfabet nama resmi PCM. Sempat dipikirkan untuk diurutkan berdasarkan data kronologi berdirinya Muhammadiyah di PCM yang bersangkutan; namun tidak secara otomatis mudah serta guna menyembunyikan ‘senioritas’ PCM. Oleh karena itu dengan urutan alfabetis ini selain akan mudah dibuka-dibedakan berdasarkan namanya juga memberi kesempatan yang sama bagi semua PCM guna mengukir prestasi besar di masa yang akan datang.

Catatan Mengenai Sumber

Sejarah Muhammadiyah Magelang ini disusun dari berbagai sumber: kajian pustaka, kajian arsip/dokumen, prasasti dan kajian sejarah lisan. Sumber pustaka didapatkan dari buku-buku standar ke-Muhammadiyahan, beberapa skripsi dan karya pribadi mengenai pokok masalah, juga buku-manuskrip langka yang terdapat di Pusat Studi Muhammadiyah (PSM) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Bahkan di PSM UMY tersedia pula banyak arsip dan dokumen milik hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah dari tahun-tahun sebelum kemerdekaan. Sedangkan arsip/dokumen yang tersedia di cabang (PCM) atau tokoh lokal sangatlah sedikit, paling-paling berwujud KTA, daftar pengurus, foto tokoh dan kegiatan masa lalu. Sementara prasasti peresmian lembaga/AUM yang ditandatangani oleh pejabat meskipun sedikit juga didapatkan di lapangan penelitian. Secara kebetulan didapatkan pula Naskah Sumber Arsip mengenai Magelang yang diterbitkan oleh Badan Pengelolaan Perpustakaan, Kearsipan dan Data Elektronik (BP2KDE) Kabupaten Magelang, Desember 2008, yang hingga tulisan ini dibuat buku tersebut belum di-launching. Inilah sumber utama untuk Bab I.
Namun sumber utama kajian ini adalah sejarah lisan. Hasil telaah sumber yang lain, yaitu pustaka dan arsip digunakan sebagai pelengkap-penyempurna. Sejarah lisan ini tidak bisa didapatkan kecuali dicari dengan sengaja lewat teknik-wawancara terhadap saksi-saksi mata dan pelaku dengan menanyai silang mereka. Bahkan di banyak komunitas sasaran dilakukan pula Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri oleh para tokoh gerakan dan pimpinan formal organisasi Muhammadiyah, utamanya dari PCM sehingga cukup efektif-efisien untuk penggalian maupun konfirmasi data. Sejak awal proses diusahakan adanya sumber data primer, yakni dari pelaku sejarah dan saksi-mata; sementara data yang selebihnya, sekunder maupun tersier digunakan sebagai penguat. Daftar nama saksi-mata dan informan disertakan pada Lampiran.
Kritik terhadap sumber dan informasi sejarah untuk kajian ini dilakukan beberapa kali; secara internal dilakukan oleh Tim Sejarah yang berjumlah 14 orang, dan secara terbuka dilakukan dengan seminar. Seminar dilakukan tahun 2005 sebanyak empat kali yang berpindah-pindah tempatnya serta tahun 2010 dilakukan sebanyak dua kali. Selain menghadirkan para stakeholder organisasi Muhammadiyah tingkat lokal Magelang juga sejarawan dari Yogyakarta dan peneliti independen guna didapatkan penilaian dan masukan agar lebih baiknya hasil kajian sejarah ini. Revisi dilakukan setelah diterbitkan buku edisi uji-coba tahun 2005 lalu sehingga hasil penelitian sudah beredar, dibaca dan dikaji masyarakat luas, sekaligus sebagai tindaklanjut hasil seminar. Seminar yang bersifat umum beserta keterangannya disertakan pada Lampiran. Hasil optimal sungguh diharapkan guna lebih objektif dan lengkapnya data sejarah yang dimaksudkan.













Bab II
Magelang Sepanjang Abad XX

Magelang dalam kajian ini meliputi daerah kabupaten dan daerah kota. Keduanya menyatu pada mulanya dan berpisah sehingga masing-masing berdiri sebagai Daerah Tingkat II pada tahun 1982. Sungguh penting untuk dicermati segala sesuatu yang terdapat di dalamnya sebagai latar belakang topik utama gerakan Muhammadiyah di daerah ini. Rentangan waktu kajiannya dimulai dari saat sebelum organisasi Muhammadiyah lahir atau semenjak ide tersebut masuk di daerah ini hingga dewasa ini atau saat persiapan kelahiran gerakan yang baru; alias sepanjang abad ke-20. Meskipun tidak memungkinkan pencermatan pada seluruh aspek kehidupan di Magelang masa lalu namun faktor-faktor dominan atau peristiwa-peristiwa signifikan sepanjang abad lalu perlu terpaparkan secara rinci sebagai pemetaan yang menyeluruh. Untuk itu tiga aspek diprioritaskan dalam bab ini, yakni keadaan geografi dan ekologi; tata kelola dan pemerintahan; serta kondisi masyarakat dan kebudayaannya. 

A.    Kondisi Geografi dan Ekologi

Secara geografis daerah Magelang terletak antara 110 01’51” dan 110 26’58” Bujur Timur (BT) serta antara 7 42’16” dan 7 42’16” Lintang Selatan (LS) dengan luas wilayah 1.085,73 km (108.573 ha). Dilihat dari peta Jawa Tengah, wilayah kabupaten dan kota Magelang ini memiliki posisi strategis karena keberadaannya terletak di tengah-tengah sehingga mudah dicapai dari berbagai penjuru dan arah.
Secara topografis daerah Magelang ini merupakan dataran tinggi berbentuk cawan yang dikelilingi oleh 5 (lima) gunung yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo dan Sumbing serta satu Pegunungan Menoreh. Temperatur udara berkisar antara 20-27 Celcius. Daerah ini memiliki curah hujan yang tinggi sebagai daerah tangkapan hujan sehingga merupakan daerah yang subur meskipun di lereng-lereng gunung merupakan daerah yang rawan terhadap bencana tanah longsor.
Secara administratif daerah ini berbatasan dengan Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang di sebelah utara; Kabupaten Semarang dan Boyolali di sebelah timur; Provinsi DIY dan Kabupaten Purworejo di sebelah selatan; serta Kabupaten Wonosobo dan Temanggung di sebelah barat. Di tengah-tengah daerah Kabupaten Magelang terdapat Kota Magelang. Selanjutnya secara administratif terdapat 21 kecamatan dalam wilayah Kabupaten Magelang serta 3 kecamatan di wilayah Kota Magelang.




(peta Magelang, kabupaten dan kota)




Gunung Merapi yang berketinggian 2968 m merupakan fenomena khas bagi daerah ini karena dikenal sebagai gunung paling aktif di dunia. Sepanjang abad ke-20 ini Gunung Merapi telah meletus 36 kali alias rata-rata sekali meletus dalam tiga tahun dengan jumlah korban tercatat lebih dari 1500 orang. Letusan terbesar sebelum itu terjadi pada tahun 1006 yang tak tercatat jumlah korbannya; tahun 1672 jumlah korban 3000 orang, tahun 1822-1823 sebanyak 100 orang dan tahun 1872 sebanyak 200 orang. Setiap kali akan meletus muncul awan panas dari perutnya. Awan panas khas Gunung Merapi ini tampak indah seperti segerombolan domba yang keluar dari kandangnya sehingga biasa disebut “wedus gembel”. Awan panas dan bahan panas lain berupa butiran pasir, serbuk kelabu yang disertai lahar besar material dari ledakannya bertemperatur 1350 Celcius seperti biasanya menyembur dari kawah lantas mengalir melalui sejumlah sungai yang ada dengan merusak dan menghanguskan ataupun membakar segala apa yang ditemuinya.
Letusan Gunung Merapi yang tercatat korbannya sepanjang abad ini adalah :
No.
Tahun
Jumlah korban
Jenis Letusan
1.
1904
16
Letusan Normal, Leleran Lava
2.
1920-1921
35
Letusan Normal, Awan Panas, Kubah Lava
3.
1930-1931
1369
Letusan Normal, Awan Panas, Leleran Lava, Kubah Lava
4.
1953-1954
64
Letusan Normal, Awan Panas, Letusan Freatik, Leleran Lava
5.
1961
5
Letusan Normal, Awan Panas, Leleran Lava
6.
1969
6
Letusan Normal, Awan Panas, Kubah Lava
7.
1976
29
Pembentukan Kubah Lava
8.
1994
60
Letusan Normal, Awan Panas, Leleran Lava
9.
2006
2
Letusan Normal, Awan Panas, Kubah Lava
Sumber: Arsip BP2KDE Kabupaten Magelang

  
B.     Tata Kelola Pemerintahan dan Kepala Daerah

Daerah Magelang ini bersama dengan Kabupaten Temanggung masuk dalam wilayah karesidenan Kedu yang dahulunya merupakan bagian dari Pemerintahan Kerajaan Mataram Islam. Tanggal 13 Februari 1755 sesuai dengan Perjanjian Giyanti, Kerajaan Mataram pecah menjadi dua, Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, lantas Kedu masuk ke Yogyakarta. Tetapi pada tahun 1807 Daendless yang berasal dari tentara Belanda merampas wilayah Kedu ini dari Kasultanan Yogyakarta. Kemudian tahun 1812 Gubernur Jenderal Thomas Stamford Rafless dari pemerintahan Inggris yang meneruskannya telah mengangkat salah seorang karyawannya yang bernama Alwi guna menjadi Bupati Magelang dengan gelar Mas Ngabehi Danoekromo. Saat itu daerah Magelang terbagi ke dalam enam distrik yakni Probolinggo, Ngasinan, Balak, Menoreh, Bandongan, Remame dan Magelang. Adapun perkembangan dan pertumbuhan tata-kelola ataupun pemerintahan di Magelang berikutnya bisa dicermati dari uraian berikut ini.

1.      Pemerintahan Hindia Belanda

Setelah kekuasaan kembali ke Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1816 dari tangan Pemerintahan Inggris, maka Mas Ngabehi Danoekromo ditetapkan kembali sebagai regent namun dengan gelar baru Raden Tumenggung Danuningrat. Peristiwa Perang Diponegoro (1825-1830) merenggut nyawa regent ini. Kemudian tahun 1826 putranya yang bernama Hamdani menggantikan sebagai regent dengan gelar Raden Tumenggung Ario Danuningrat II, yang melepaskan jabatannya 1862. Diturunkan kepada putranya yang bernama Said dengan gelar Raden Tumenggung Danuningrat III hingga tahun 1878. Diturunkan kepada putranya yang bernama Sayid Achmad bin Said Chaiban dengan gelar Raden Tumenggung Danukusumo memerintah hingga tahun 1908. Regent atau bupati ini lantas mengangkat saudaranya yang bernama Muhammad bin Said Chaiban untuk menggantikan kedudukannya dengan gelar Raden Tumenggung Danusugondo sampai tahun 1935. Setelah itu penggantinya dari luar keluarga yakni RAA Sosrodiprojo yang menduduki jabatan bupati Magelang hingga berakhir saat peristiwa besar proklamasi Negara RI, tahun 1945.
Pada era pemerintahan Hindia Belanda ini tercatat adanya pembangunan sarana prasarana penting lagi besar, di antaranya adalah: pembangunan jalan Magelang-Semarang lewat Pringsurat tahun 1833, pembangunan jalan Magelang-Salaman-Purworejo tahun 1851, pembangunan jalur Kereta Api Yogyakarta-Ambarawa-Secang-Parakan tahun 1898, pembangunan kota Muntilan tahun 1900-an serta tahun 1941 pengadaan sarana Rumah Sakit dan Pasar-pasar di Magelang.
Daerah Magelang ini dikenal sebagai daerah perjuangan, di antaranya karena Perang Diponegoro. Sungguh banyak situs peninggalan yang tersebar di pelosok wilayahnya. Daerah Magelang ini pada tahun 1749-1755 juga digunakan oleh Pangeran Mangkubumi sebagai basis pemberontakan dalam melawan Mataram dan Belanda yang mengambil lokasi sekitar Gunung Tidar sebagai basis militernya.

2.      Zaman Awal Kemerdekaan

Sesungguhnya berita proklamasi kemerdekaan RI terlambat sampai di Magelang karena tanggal 21 Agustus baru diketahui secara pasti. Bahkan yang terjadi kemudian adalah Residen Kedu RP Soeroso baru mengumumkan secara resmi bahwa pemerintahan se-Karesidenan Kedu menjadi milik Negara RI pada tanggal 3 September 1945 jam 21.00 WIB. Dengan demikian terdapat kekosongan pemerintahan secara hukum namun baru diketahui kemudian. Bupati Magelang yang menjabat pertama setelah itu bersifat sementara adalah Said Prawirosastro yang memerintah tahun 1945 hingga 1946.
Barulah bupati Magelang berikutnya pada zaman clash, awal kemerdekaan RI dipaksa keadaan menjadi ‘jajah’ karena berpindah-pindah kantor maupun rumah-dinasnya guna menyelamatkan diri dari pengejaran dan pertempuran dengan tentara Sekutu. Bupati R. Judodibroto yang menjabat selama delapan tahun (1946-1954) ini sempat berkantor di Soronalan Sawangan, Bondowoso Mertoyudan, Bojong Mungkid, serta Tamanagung Muntilan. Kemudian penerus berikutnya adalah MG Arwoko (1954-1957), Sugeng Sumodilogo (1957-1960), Drs. Adnan Widodo (1960-1967), serta Drs. H. Achmad (1967-1979). Pada tahun 1957-1960 sempat terdapat kekhasan tata pemerintahan, yakni dibedakannya antara Bupati dengan Kepala Daerah; saat itu Bupati Muhammad (1957-1958) serta Bupati Soetedjo (1958-1960) dengan Kepala Daerahnya sama yakni Soegeng Soemodilogo (1957-1960).

3.      Perpindahan Ibu Kota ke Mungkid

Gagasan pemindahan ibukota Kabupaten Magelang dari Kotamadya Magelang datang dari Gubernur Jawa Tengah lewat suratnya bernomor OP/40/79 tanggal 7 Februari 1979. Setelah dilakukan survey bersama tim PRP Undip Semarang maka tiga alternatif beserta skornya adalah: Mungkid (110), Muntilan (88), Mertoyudan (85) dan Secang (79). Kemudian setelah dimusyawarahkan bersama pihak terkait dan berdasarkan PP No. 21 tahun 1982 maka dipindahlah tempat kedudukan ibukota Kabupaten Magelang ke Kota Mungkid (kesatuan dari Desa Mendut, Sawitan dan Deyangan). Namun karena Bupati Drh. Soepardi jatuh sakit hingga meninggal, 1983, maka proses pemindahan dipimpin oleh Pj Bupati Al. Soelistyo pada tanggal 22 Maret 1984 dengan peresmian oleh Gubernur Jawa Tengah HM Ismail atas nama Menteri Dalam Negeri.
Proses perpindahan ibukota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid dari uraian di atas dimulai dari era Bupati Drh. Soepardi (1979-1983), yang selesai atau berakhir pada era Pj. Bupati Drs. Al. Soelistyo (1983-1984), yakni selama lima tahun. Adapun yang pertama menempati kantor baru di Kota Mungkid adalah Bupati H. Mohammad Solihin (1984-1994). Dilanjutkan kemudian oleh Bupati H. Kardi (1994-1999), Bupati Drs. H. Hasyim Affandi (1999-2004), serta yang terakhir adalah pasangan bupati dan wakil bupati Ir.H. Singgih Sanyoto dan Drs. H. Hartono (2004-2008).

4.      Penguatan Kota Magelang

C.    Keadaan Masyarakat dan Budayanya

Guna bisa memahami keadaan masyarakat Magelang dan budayanya sepanjang abad ke-20 maka tiga faktor penting perlu didiskusikan. Ketiga faktor ini secara sendiri-sendiri dan secara bersama-sama mampu menggambarkan keadaan masyarakat Magelang dan budayanya secara lebih detail sepanjang abad ke-20. Tiga faktor penting itu adalah masyarakat Magelang di awal abad ke-20, penetrasi Kristen oleh pemerintahan Hindia Belanda dan budaya umum masyarakat setelah zaman merdeka. Tiga faktor inilah yang diasumsikan sebagai factor-faktor perubahan sosial sepanjang abad ke-20, saat berikutnya.

1.      Masyarakat Magelang Awal Abad XX

Kita ketahui bahwa masyarakat Magelang pada awal abad XX tergolong sebagai masyarakat yang tradisional, terbelakang, bahkan bodoh dan miskin menurut ukuran kolonial. Bangsa pribumi kita adalah bangsa terjajah. Hanya sebagian amat kecil yang berkesempatan mengikuti modernisme, yakni para priyayi atau kaki-tangan pemerintah karena akibat “politik etis”. Namun dii luar itu sungguh masyarakat Magelang adalah rimba primitif. Agama penduduk memang nyaris 100% Islam karena semua taat pada agama resmi kerajaan, Mataram Islam. Tahun 1930 sebagai gambaran tambahan, kepadatan penduduk rata-rata 402 per km2, tahun 1961 menjadi 567 per km2, bandingkan misalnya dengan tahun 2001 yang kepadatan penduduknya telah berlipat tiga menjadi 1.093 orang per km2.
Masyarakat Magelang tergolong sebagai tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya. Sistem dasar kemasyarakatannya berupa komunitas petani dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak kompleks. Masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya itu mewujudkan suatu peradaban bekas kerajaan pertanian bercampur dengan peradaban kepegawaian yang dibawa oleh sistem pemerintah kolonial beserta Zending dan Missie. Semua gelombang pengaruh kebudayaan asing dialami, yakni kebudayaan Hindu dan Agama Islam.
Agama Islam sebagai agama masyarakat Magelang, bahkan Jawa saat itu tentu merupakan penentu terpenting bagi pengambilan kebijakan akan masyarakat Magelang sepanjang masa. Semenjak berada di bawah budaya Mataram maka Magelang mengikuti dan dipengaruhi oleh budaya Mataram Islam Jawa. Inilah yang kemudian oleh Snouck Hurgronje pada abad ke-19 disikapi dengan tiga cara. Pertama, dalam masalah ritual keagamaan atau aspek ibadah, masyarakat diberi kebebasan penuh untuk menjalankannya. Kedua, soal lembaga social Islam seperti perkawinan, waris, wakaf dan hubungan sosial, pemerintah Belanda menghormatinya dan bila mungkin menggantinya dengan lembaga sosial Barat. Ketiga, dalam soal politik, pemerintah Belanda tidak menoleransi kegiatan apapun oleh kaum muslimin di Indonesia.
Sikap Snouck Horgronje inilah yang dilaksanakan oleh Pemerintah Belanda sehingga kehidupan masyarakat menyangkut pelaksanaan ajaran Agama Islam terpasung. Masyarakat muslim saat itu hanya mungkin melaksanakan ajaran secara sebagian, kecil-sedikit ataupun kompromis setengah-setengah. Apalagi seperti kita ketahui bahwa masyarakat Jawa sejak berdirinya Mataram terpolarisasi menjadi kaum abangan, kaum santri dan kaum priyayi, bahkan hingga saat dewasa ini pun masih tidak berubah. Oleh karena itu membaca masyarakat Magelang pada awal abad ke-20 adalah membaca masyarakat petani tradisional yang terpolarisasi dan terjajah oleh Belanda. Belanda sendiri berkeinginan kuat untuk melestarikan penjajahannya itu, termasuk adanya Politik Etis.

2.      Penetrasi Kristen oleh Pemerintah Hindia Belanda

Faktor ini meskipun relative tertutup tetapi jelas, penting dan menentukan karena dimainkan oleh penguasa saat itu, Pemerintah Hindia Belanda. Agama resmi Pemerintah Belanda adalah Kristen Protestan yang bersifat ekspansif berkeinginan mampu menggembalakan segenap umat, termasuk yang terjajah, untuk mengikuti agamanya lewat Zending dan Missi. Itulah sebabnya pada satu sisi bersikap mengabaikan namun sisi lainnya mengajak masuk agama resminya. Bagaimana mungkin pemerintah Belanda mampu bersikap netral dalam soal agama?
Misionaris dari Eropa cukup banyak yang datang atau terpanggil di wilayah Hindia Belanda ini, dan dua dari tiga orang misionaris agung bertugas di daerah sekitar Magelang ini. Pertama Fr. Van Lith dari Belanda yang datang di Muntilan tahun 1897 berfokus dalam bidang pendidikan. Kedua,. JB Prennthaler dari Jerman yang datang di Perbukitan Menoreh tahun 1927 dengan fokus pelayanan kepada rakyat miskin. Demikian juga dua rumah-sakit berasal dari missi di Magelang dan di Muntilan. Semua itu sungguh tidak mungkin terjadi tanpa seizin bahkan difasilitasi oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi penetrasi Kristen oleh Pemerintah Hindia Belanda tidak bisa dinihilkan. Tentu saja berbagai upaya dilakukan guna keberhasilan program tersebut. Selain secara ideologis dan politis juga dilakukan upaya kristenisasi dengan pendekatan ekonomi berupa pemberian materi (sarimi, pakaian, pangan, uang), pemberian kerja (pelayan toko, karyawan perusahaan), beasiswa pendidikan (gratis sekolah, bantuan SPP, biaya hidup total), juga perjodohan (dicarikan calon isteri/suami) dan pemaksaan-pemaksaan lainnya. Oleh karena itu kepekaan terhadap social sering distigmakan sebagai upaya merayu agama.
“Ternyata pemerintah Hindia Belanda memang tidak mau bersikap netral di bidang agama. Agama Kristen diberikan banyak dukungan di daerah dan bidang tertentu dengan alasan politis: untuk mengusir orang Islam dari daerah tersebut”, demikian kesimpulan dari penelitian H. Aqib Suminto.

3.      Budaya Umum Masyarakat Setelah Merdeka

Proklamasi kemerdekaan RI sungguh bermakna mendalam secara politis. Pemerintahahan penjajah baik Belanda maupun Jepang telah berganti menjadi pemerintahan bangsa sendiri, bangsa Indonesia. Namun hal itu tidak serta-merta mengubah kehidupan masyarakat ataupun kebudayaan pada umumnya, termasuk pula perihal ekonomi dan social. Oleh karena itu selain ada beberapa perbedaan namun jauh lebih banyak kesamaan antara masyarakat sebelum kemerdekaan dengan setelahnya. Hal yang berubah relative hanya manusianya, oknumnya. Bila dahulu orang asing atau kaki-tangannya yang berkuasa menjalankan roda pemerintahan, maka kini bangsa sendiri dan kroninya. Oleh karena itu kesungguhan warga Negara dalam memajukan diri, lingkungan dan bangsa merupakan kata-kunci. Merdeka tidak lagi sekadar kata verbal yang kosong.































                                                    Bab III
Gerakan Muhammadiyah
di Daerah Magelang Tahun 1917-2007

Terhitung sejak ide tentang Muhammadiyah masuk di wilayah Borobudur, 1917, maka usia persyarikatan yang berslogan “Islam berkemajuan” di daerah Magelang ini sudah hampir satu abad. Usia yang relatif panjang dengan wilayah yang kini sudah demikian merata, sekabupaten dan sekota Magelang; pastilah hal itu didukung oleh banyak Sumber Daya Manusia (SDM) yang ikhlas berbakti di dalamnya. Mereka inilah kaki-kaki kecil yang tidak kenal lelah terus melangkahkan perjalanan sejarah Muhammadiyah melintasi zaman: Zaman Penjajahan Belanda, Zaman Jepang, Zaman Awal Kemerdekaan RI, Zaman Orde Lama, Zaman Orde Baru, Zaman Monoloyalitas, hingga Zaman Reformasi terakhir ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan Muhammadiyah saat ini ditentukan oleh pilihan jalan dan cara gerakan dari generasi-generasi terdahulu. Ke depan pun demikian halnya, pilihan jalan dan cara gerakan saat ini akan menentukan warna dan keberadaan persyarikatan ini di masa-masa mendatang. Bagaimana pilihan gerakan Muhammadiyah Magelang dari masa ke masa? Bab ini berupaya mengurainya dengan data dan informasi yang berhasil didapatkan. 

A.    Periodisasi dan Karakter Gerakan Muhammadiyah Magelang
           
Terdapat beraneka ragam warna gerakan Muhammadiyah di daerah Magelang pada rentangan panjang 1917-2007. Tidak saja hal itu diunsuri faktor luar namun juga faktor dalam. Agar mudah dicermati dan ditandai maka perlu dibedakan dan diklasifikasi data berdasarkan tiga pertimbangan yang melingkungi. Pertama, bagaimana situasi-kondisi dominan penentu gerakan, luar-dalam. Kedua, kapan waktu dan bagaimana frekuensi-volume gerakan. Ketiga, bagaimana ciri dan karakter-model gerakan. Atas dasar itu gerakan Muhammadiyah Magelang bisa digolongkan menjadi tiga klasifikasi besar, yakni Gelombang Kultural (1917-1960), Gelombang Struktural (1961-1980) dan Gelombang Reformasi (1981-2007).
Gelombang Kultural menunjuk pada gerakan Muhammadiyah awal-mula yang kendatipun bersifat baru namun jelas mempertimbangkan kebudayaan secara menyeluruh sehingga pilihan gerakannya bersifat strategis, prospektif juga kultural-edukatif. Gerakan Muhammadiyah tampak harmonis meski berada selangkah di depan perkembangan masyarakatnya. Kemantapan para pengikut pada pilihan gerakan itu menyebabkan seolah bersifat tertutup dari pengaruh luar dengan agenda persyarikatan yang jelas, terukur dan terbuka. Tercakup dalam ciri gerakan gelombang ini agen pendidikan yang khas yakni Muallimin-Muallimat sebagai penyemai nilai-nilai ideal yang dibawa oleh gerakan modernis Islam ini. Iklim luar pergerakan yakni zaman penjajahan Belanda-Jepang dan zaman kemerdekaan awal menjadi tantangan tersendiri bagaimana Muhammadiyah memilih gerakan yang bisa diterima masyarakat namun tetap mengarah pada perwujudan visi persyarikatan.
Berbeda lagi Gelombang Struktural yang gerakannya cepat atau tampak serba terburu-buru hingga berebutan dengan kelompok lain selaras dengan iklim politik represif yang gerakannya serba terbatas. Keluarnya Dekrit Presiden 1959 dilanjutkan dengan Keppres No. 200 Tahun 1960 berisi ultimatum terhadap Masyumi menjadi partai terlarang bila tidak membubarkan diri hingga 17 Agustus 1960 sungguh mengubah paradigma gerakan Muhammadiyah. Sebab secara spontan warga Muhammadiyah yang aktif di Masyumi membariskan diri dalam wadah persyarikatan sehingga sedikit banyak gerakannya diwarnai politik yang bersifat struktural, masif bahkan belakangan ideologis. Konkretnya yang terjadi adalah trend pemasangan simbol-simbol Muhammadiyah pada banyak gerakannya, muncul banyak PCM dan PRM juga didirikannya beraneka Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) di bidang pendidikan, bidang kesehatan, juga lembaga sosial seperti MWB, RB/BKIA, PAY. Gelombang gerakan struktural ini berakhir dengan sendirinya saat energinya habis yang waktunya berbeda-beda. 
Gelombang berikutnya bertiup pelan pada awal, hanya dirasakan siapa yang peka membaca perubahan zaman. Munculnya disebabkan oleh faktor ketidakselarasan hal yang ada dengan konteks zaman yang telah berubah. Inilah Gelombang Reformasi, gelombang yang menghendaki keharmonisan kehidupan baru karena berubahnya selera zaman yang sarat akan efektivitas-efisiensi dan menomorsatukan manajemen-pengelolaan kuantitatif. Pertimbangan nilai dan spiritual menjadi berkurang kadarnya, apalagi tergantikan oleh kecepatan penemuan bidang ilmu pengetahuan berikutnya. Oleh karena itu gelombang ketiga ini secara pelan tetapi pasti melindas segala hal yang ada dengan banjir-bandang informasi. Ibarat kereta-api ekspres yang melaju cepat meninggalkan para calon penumpang yang terlambat menyiapkan diri tanpa pandang bulu apa alasannya. Apalagi dengan cepatnya temuan di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) maka persyarikatan Muhammadiyah yang telah berumur menghajatkan benar adanya pembaruan, reformasi di dalamnya. 
Tiga gelombang tersebut hadir sesuai dengan zaman masing-masing, kondisi yang ada dan nyata telah melahirkannya. Meskipun bisa disebutkan waktunya namun sesungguhnya ketiga gelombang tersebut saat ini semuanya masih hidup bergerak di tubuh persyarikatan Muhammadiyah. Sekali hal itu pernah ada-diterima maka selamanya akan menjadi sebagian dari karakter persyarikatan meskipun kadang tertutupi, tersembunyi oleh warna gelombang lainnya. Jelasnya, saat ini di Muhammadiyah Magelang tetap ada gerakan dari gelombang kultural, ada gerakan dari gelombang struktural selain ada gerakan gelombang reformasi. Pengajian al-Qur’an mendalam yang kultural tetap dilaksanakan, pengajian umum yang struktural juga diselenggarakan, namun diskusi tematis tuntas yang reformatif biasa pula diadakan. Mualimin-Mualimat masih terus diminati siswa, Sekolah Umum Muhammadiyah masih terus diselenggarakan, tentu kini muncul pula Sekolah Unggulan Muhammadiyah yang peminatnya makin lama makin bertambah. Ketiga warna gelombang tersebut tampak terus berdenyut dan dipilih, disesuaikan juga dengan situasi dan kondisi yang naik-turun. Bukan lagi ketiganya bersifat substitutif melainkan semuanya bersifat alternatif saat ini, semuanya ada dan bergerak. Perbedaan faktor atas tiga gelombang tersebut bisa dicermati berikut ini.

Table 3.a.
Kontras perbedaan tiga gelombang gerakan Muhammadiyah Magelang

Kultural
Struktural
Reformasi
Era Kemunculan
Dekade 1910-an
Dekade 1960-an
Dekade 1980-an
Penyebab dan pemicu internal-eksternal 
Metode baru dalam memahami dan menjalankan Islam KH Ahmad Dahlan
Bubarnya parpol Masyumi dan ancaman komunisme
Berubahnya konteks dan selera zaman, niatan hidup lebih bermakna
Kegiatan utama
Pengajian mendalam tiap malam Selasa
Pengajian umum, TC, Kursus-kursus
Pengajian, Diskusi tematis tuntas
Sasaran dakwah
Intelektual, rakyat kecil, fakir miskin, hartawan
Idem dengan tambahan Tokoh dan massa pemuda
Idem dengan tambahan Spesialis, professional, ahli
Pendekatan gerakan
Kultural-edukatif-prospektif
Struktural-masif-ideologis
Kontekstual- revisi- reformatif
Karakter gerakan
Aseli persyarikatan
Bergaya parpol
Panggilan terpilih
Agen pendidikan
Muallimin, Muallimat, Wal Fajri
Sekolah Umum Muhammadiyah
Sekolah Unggulan Muhammadiyah
Sasaran komunitas dan perkembangan secara formal-kelembagaan yang signifikan
Borobudur, 1917
Magelang, 1917
Muntilan, 1918
Salam, 1926
Salaman (1962), Salam (1963), Mungkid (1963), Sawangan (1963), Borobudur (1964), Secang (1964), Dukun (1965), Kaliangkrik (1965), Windusari (1965), Srumbung (1965), Bandongan (1966), Grabag (1966),
Magelang (1966)
Kajoran (1967), Ngluwar (1967),
PDM Kab-ko(1969) Mertoyudan (1979),     Tempuran (1979),
Candimulyo (1981),
Magelang Utara (1985);
Magelang Tengah (1985);
Magelang Selatan (1985);
Ngablak (2006), Tegalrejo (2007), (Pakis)
Borobudur (1928)
Muntilan (1935,1943)
Magelang (1930,1945)
Salam (1938)
Mungkid, Mertoyudan, Srumbung, Sawangan, Kaliangkrik
Kajoran, Windusari, Salaman, Dukun, Ngluwar
Grabag, Secang, Tempuran, Bandongan
Rentangan waktu
1917-1960
1961-1980
1981-2007

B.     Gelombang Kultural

Gerakan awal-mula Muhammadiyah di daerah Magelang tampak semuanya bersifat kultural, yakni menghargai tinggi budaya setempat yang ada. Di Borobudur pada tahun 1917 ide Muhammadiyah masuk lewat jalur pernikahan sehingga tercipta ikatan keluarga-kerabat antara Sabrangrowo-Yogyakarta; masih ditambah lagi tokoh dan pengasuh-utama KR Hadjid adalah teman KH Siradj saat masih nyantri di Tremas, Jawa Timur. Latar budaya keluarga Borobudur yang tergolong ningrat-priyayi begini tetap menetap tak diubah. Akan lebih jelas lagi sifat kultural ini pada masuknya ide Muhammadiyah di Magelang. KH Ahmad Dahlan mengajar langsung para siswa Sekolah Pamong Praja, MOSVIA di selatan alun-alun. Secara berkala beliau pergi ke Magelang dengan bersepeda-onthel dari Yogyakarta tentu tanpa hasil yang seketika. Namun pada periode berikutnya ide tentang Muhammadiyah jelas mampu menyebar kemana-mana sesuai lokasi penempatan para purna-siswa MOSVIA tersebut. Kasman Singodimedjo, tokoh nasionalis Islami termasuk salah satu produk itu. Budaya setempat di Magelang tak dicemarinya, bahkan belum disentuhnya.
Sementara di Muntilan peran KH Ahmad Dahlan lebih mengadvokasi daripada memasukkan ide Muhammadiyah. Warga Kauman Muntilan sendiri yang lantas meminta beliau mengisi pengajian setelah selesai ontran-ontran ekspansi tanah untuk misi Katholik oleh Fr. Van Lith SJ. Beliau mengisi pengajian mendalam di mesjid Kauman, yang pada waktu berikutnya didirikan Pesantren Wustha Muhammadiyah. Kiai Dahlan bersikap seolah membatasi diri sekadar apa yang diminta umat. Berbeda lagi dengan di Salam; Sentot yang aseli Kauman Yogyakarta dan kemudian dikenal dengan nama Kiai Siradj berpindah rumah ke Jagalan, Salam. Di lingkungan Jagalan inilah beliau mengajak tokoh setempat, Kiai Abdullah Mursyid dan juga Julaini untuk membentuk dan mendirikan Muhammadiyah.
Tampak apa yang dilakukan KR Hadjid di Borobudur atau Kiai Dahlan di Magelang dan di Muntilan bahkan Kiai Siradj di Salam sungguh semuanya merupakan dakwah dengan pendekatan kultural, yakni dakwah multidimensi yang menghargai tinggi budaya setempat sepanjang tidak menyalahi keyakinan guna perubahan kebaikan yang signifikan di masa depan dan bersifat mendidik. Itu semua dilakukan sebagai cara-jalan masuk. Sifatnya sungguh edukatif-prospektif dan ternyata berhasil dalam menanamkan dasar persyarikatan hingga menjadi groep/kring sebelum Negara RI lahir. Perbedaan keempatnya adalah:

Table 3.b.
Kontras Perbedaan Empat Groep-awal Muhammadiyah di Daerah Magelang

Borobudur
Magelang
Muntilan
Salam
Ide masuk
1917
1917
1918-1919
1926
Jalur dan sebab awal
Jalur dakwah keluarga dan karib
Jalur dakwah khusus ke siswa MOSVIA
Jalur dakwah membendung kristenisasi
Jalur dakwah di lingkungan sosial
Tokoh  pembawa ide
KRH Hadjid
KH Ahmad Dahlan
KH Ahmad Dahlan
Kiai Siradj alias Sentot Kauman
Alamat awal
Sabrangrowo
Kwarasan
Kauman
Jagalan
Tokoh lokal paling awal
KH Siradj bin AQ dan Ny. Siti Aminah
RM Soempeno
KH Ma’shoem dan Mangoenredjo
Kiai Abdullah Mursjid dan Julaini
Groep/kring
1 Juli 1928
1930-an
13 Juli 1935
1938-an
Tahun resmi menjadi eselon persyarikatan
Cabang: tgl. 17 Agustus 1964 (No. 1859/A)
Daerah: Kedu; Kabupaten-Kota 1969
Cabang: Tanggal. 17 Januari 1943
Cabang: Tgl 15 Agusts 1963 (No. 1731/A)

Sesungguhnya Muhammadiyah sebelum tahun 1945 sudah mampu menembus minimal lima kecamatan lainnya di Magelang ini namun semuanya tidak sampai pada taraf berjamaah, masih bersifat individual, perseorangan. Di Mungkid misalnya ide Muhammadiyah masuk lewat Kepala Pegadaian Blabak, Koesoemo yang berhasil memengaruhi Soemo Wirjono dari Butuh, Senden hingga bersedia ikut pengajian Malam Selasa di Kauman Yogyakarta. Jalur lainnya pada seorang Pengulu Landraad KH Ibrahim bin H. Abdul Ghani dari Kalangan, Pabelan hingga sempat ikut kegiatan Tanwir Muhammadiyah di Wiradesa Pekalongan tahun 1938 selain menjadi mubaligh-hijrah di daerah Gunung Kidul semasih penjajahan Belanda. Namun sekali lagi, tidak sampai pada taraf berjamaah di Mungkid, belum menjadi kring atau groep Muhammadiyah.
Di Srumbung ide Muhammadiyah dimasukkan oleh suami-isteri Soemartilah-Soemarlan yang keduanya pegawai RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, sekitar tahun 1941. Namun, apa yang bisa dilakukan sendirian oleh mereka? Dibuatlah pengajian anak-anak, dimasukkanlah ide-ide dasar organisasi dan keyakinan yang benar, dicarilah calon-calon kader. Bertemulah salah satunya dengan Hj. Mutmainnah-remaja yang lantas diarahkannya untuk mau melanjutkan sekolah di Muallimat Yogyakarta, dan benarlah yang terjadi. Muhammadiyah menemukan ranahnya mulai dari Polengan Srumbung. Sedangkan yang terjadi di Mertoyudan sekitar tahun 1941 bermula dari silaturahim antar-keluarga yakni KH Muhammad Fanan, konsul Muhammadiyah dari Jatim dengan Haji Dahlan dari Honggosari Mertoyudan yang melahirkan pengajian berkala. Hampir pasti isi pengajiannya adalah ajaran mengenai Islam berkemajuan. Namun sebatas itu, kegiatan dari perseorangan, belum sampai pada taraf berjamaah, berorganisasi.
Termasuk yang terjadi di Sawangan, aliran ide Muhammadiyah masuk lewat para tokoh Muhammadiyah Muntilan semenjak sebelum Indonesia merdeka, sekitar 1942. Para tokoh muda Sawangan ada Sardjum, Kardanum dan Abdul Jamal juga Karto Suwandar yang awalnya mengikuti kegiatan pengajian di Kauman Muntilan lantas membuat pengajian bergiliran di Sawangan sendiri. Sementara di Kaliangkrik ide Muhammadiyah masuk lewat tokoh NU Toyibal Ardani yang secara tak sengaja bermalam di Kauman Yogyakarta melihat Muhammadiyah secara langsung dan tertarik pada tahun 1944; sedangkan Cholil Giyanto mengetahui Muhammadiyah saat nyantri di Gontor; dan Muchdhori mengetahuinya justru dari tahanan di Magelang saat bersama-sama tokoh Batalyon 426. Namun semuanya masih terbatas perseorangan dan belum berjamaah. Itulah lima titik awal-mula lain tempat Muhammadiyah bersemi di kecamatan-kecamatan daerah Magelang ini pada zaman penjajahan.
Setelah Negara RI merdeka, di atas tahun 1945 Muhammadiyah terus tetap bergerak sebagaimana biasa. Muntilan yang relatif lebih awal berdiri telah menyebarkan idenya ke sekelilingnya hingga sampai ke Sambak-Kajoran 1953 yang berkembang di Salaman dan sekitarnya; serta menyebar ke Dukun 1954 lewat berbagai macam jalan-cara di antaranya memanfaatkan jalur komunitas Sekolah Menengah Islam (SMI) Kauman Muntilan. Sedangkan Salam juga memengaruhi Ngluwar, 1955. Tokoh Windusari mengetahui ide Muhammadiyah justru dari penjara saat ditahan di Magelang lewat tokoh Batalion 426, mirip dengan tokoh yang  dari Kaliangkrik, sekitar tahun 1951-1952. Inilah gambaran pergerakan Muhammadiyah di awal kemerdekaan RI.
Sedangkan empat kecamatan lain memahami dan menerima ide Muhammadiyah menjelang datangnya gelombang struktural, tahun 1960-an. Para tokoh awal di Grabag melakukan kajian tentang Muhammadiyah setelah jelas Masyumi diancam Presiden sebagai organisasi terlarang. Demikian juga dengan Secang yang secara serta merta para aktivis Masyumi membariskan diri di Persyarikatan sehingga meskipun ‘main-tunjuk’ mampu mendirikan Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) di setiap desa yang ada. Tempuran pada tahun 1960 terlebih dahulu kedatangan Prawoto Mangkusasmito, tokoh Masyumi, sehingga menjadi niscaya untuk mengikuti arah tokohnya, meski periodenya belakangan. Sedangkan Bandongan bermula dari para aktivis organisasi underbow Masyumi, yakni Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang pilihannya serupa. Mereka memulainya dengan Pasukan Genderang Terompet (PGT) Bandongan tahun 1963. 

C.    Gelombang Struktural

Inilah periode ketika gerakan Muhammadiyah tampak gegap-gempita, penuh kegiatan peresmian, baik peresmian PCM dan PRM bahkan Organisasi Otonom (Ortom), maupun peresmian Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Tentu di balik peresmian tersebut terdapat serangkaian kegiatan-gerakan yang mengusungnya.
Keppres Nomor 200 tahun 1960 yang berisi ultimatum Masyumi menjadi partai terlarang bila tidak membubarkan diri hingga 17 Agustus 1960 sungguh menjadi pemicu bertiupnya Gelombang Struktural dalam gerakan Muhammadiyah daerah Magelang ini. Para aktivis dan simpatisan menanggapi Keputusan Presiden itu dengan tindakan nyata yakni mencari wadah lain yang tidak terlarang, salah satunya, dan sebagian besar ke Muhammadiyah sehingga Persyarikatan secara tiba-tiba membesar-menguat di semua eselon. Gerakannya pun terpengaruh dengan gaya parpol yang bersifat struktural-masif, bahkan kelak juga bersifat ideologis. Sebagai akibatnya perubahan besar telah terjadi di Muhammadiyah.
Sebagai gambaran konkret adalah proses berdirinya Muhammadiyah di kecamatan Secang dari yang pada gelombang kultural sebelumnya tidak tampak gerakannya sama-sekali. Tiba-tiba pada tanggal 26 September 1964 semuanya sudah siap untuk diresmikan secara serentak 20 Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) yang berarti dari semua desa yang lengkap dengan daftar pengurusnya, termasuk PCM Secang. Hari itu acara utamanya adalah peresmian Muhammadiyah yang dilaksanakan di Balai Desa Payaman dengan menghadirkan Pasukan Genderang Terompet (PGT) dari Yogyakarta. Tentu masyarakat berdatangan karena ada pesona dan keramaian yang memanggilnya. Namun di balik itu, sudah hampir pasti  pemilihan pengurusnya dengan ‘sistem-tunjuk’ atau berdasarkan pertemanan dan klik yang ada sebelumnya, dan hal itu paling mungkin adalah dari jaringan Masyumi warisan tahun 1955.
Hal yang serupa juga terjadi di Grabag, Bandongan, Windusari, bahkan Salaman, Salam, Mungkid, Dukun, Sawangan, Borobudur, Kaliangkrik, Srumbung serta Kajoran. Tentu intensitas, skala dan magnitude-nya bervariasi namun terdapat kesamaan gaya, guna meresmikan berdirinya PCM dan PRM dengan memilih gerakan gebyar dan show of force. Tampaknya model kegiatan yang demikian menjadi trend, pilihan yang selaras kondisi, apalagi mengingat saat itu sedang terjadi rivalitas Muhammadiyah dengan PKI. 
Berikut ini daftar PCM yang berdiri resmi pada era struktural tersebut, lengkap dengan nomor SK dan tanggal resmi berdirinya. Namun guna melengkapi daftar tersebut disertakan PCM Muntilan yang telah berdiri resmi sebelumnya serta PCM Candimulyo, Ngablak, serta Tegalrejo yang berdiri kemudian dalam satu urutan waktu.

Table 3.c.1
Daftar PCM dan peresmiannya diurutkan berdasarkan waktunya
PCM
Resmi Berdiri
Lembaga dan Nomor SK
Kategori
Muntilan
17 Januari 1943
HB Moehammadijah  No. 938
Kultural
Salaman
24 Mei 1962
PP Muhammadijah  No. 1581/A
Struktural
Salam
15 Agustus 1963
PP Muhammadijah  No. 1731/A
Struktural
Sawangan
15 Agustus 1963
PP Muhammadijah  No. 1732/A
Struktural
Mungkid
28 September 1963
PP Muhammadijah  No. 1743/A
Struktural
Borobudur
17 Agustus 1964
PP Muhammadijah  No. 1859/A
Struktural
Secang
19 November 1964
PP Muhammadijah  No. 1908/A
Struktural
Dukun
10 April 1965
PP Muhammadijah  No. 1966/A
Struktural
Kaliangkrik
5 Agustus 1965
PP Muhammadijah  No. 2064/A
Struktural
Windusari
13 Oktober 1965
PP Muhammadijah  No.  2103/A
Struktural
Srumbung
18 Desember 1965
PP Muhammadijah  No. 2105/A
Struktural
Bandongan
22 Februari 1966
PP Muhammadijah  No. 2205/A
Struktural
 Grabag
5 Maret 1966
PP Muhammadijah  No. 2209/A
Struktural
Kajoran
25 Oktober 1967
PP Muhammadijah  No. 2575/A
Struktural
Ngluwar
1967
PP Muhammadijah
Struktural
Mertoyudan
1979
PP Muhammadiyah
Struktural
Tempuran
1979
PP Muhammadiyah
Struktural
Candimulyo
1981
PP Muhammadiyah
Reformasi
Ngablak
2006
PP Muhammadiyah
Reformasi
Tegalrejo
2007
PP Muhammadiyah
Reformasi

Dalam perjalanan persyarikatan, eksistensi Cabang dan Ranting akan tampak lebih jelas pada AUM yang ditanganinya. Pada periode ini karena demam rivalitas seolah terjadi saling mengungguli antar-Cabang dan antar-Ranting seperti berlomba-lomba dalam kebaikan. Sebuah ranting mendirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB), maka ranting lain pun demikian halnya sehingga menjadi trend. Yang termasuk trend adalah Pendidikan Guru Agama (PGA), Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Sekolah Teknik (ST), juga Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Banyak cabang yang lantas memiliki AUM secara lengkap. Bahkan demikian bersemangatnya sampai-sampai mengganti nama dan pemilikan lembaga Islam dari Sekolah Menengah Islam (SMI) di bawah yayasan Al-Islam menjadi Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah (SMPM) yakni yang ada di Muntilan, Mungkid dan Borobudur. Papan-papan nama pun kemudian bermunculan di mana-mana berlogo dan bertuliskan Muhammadiyah dalam periode struktural ini. Pada akhirnya, ‘kekayaan’ PCM akan tampak dari berapa jumlah PRM yang dibawahinya serta berapa AUM yang dimilikinya.
Berikut daftar PCM disertai dengan jumlah PRM dan jumlah AUM yang berdiri ataupun dirintis pada era struktural, tahun 1961-1980.

Table 3.c.2
Rincian Jumlah PRM dan AUM pada gelombang struktural tahun 1961-1980
PCM
PRM
 MWB
SLTP
SLTA
PAY
BKIA
TKA
Jml AUM
Muntilan
13
7
4
3
1
1
22
38
Salaman
9
0
1
1
0
0
4
6
Salam
6
1
2
2
0
0
8
13
Mungkid
15
16
6
2
0
1
20
45
Sawangan
11
4
2
0
0
0
9
15
Borobudur
7
2
1
2
0
1
7
13
Secang
20
3
3
2
0
0
9
17
Dukun
10
3
3
1
0
0
10
17
Kaliangkrik
8
2
1
0
1
0
5
9
Windusari
2
0
0
0
0
0
1
1
Srumbung
12
1
2
0
0
0
11
14
Bandongan
4
4
1
0
0
0
8
13
 Grabag
4
1
0
0
0
0
1
2
Magelang
3
3
1
2
1
1
6
14
Kajoran
9
3
2
0
1
0
9
15
Ngluwar
4
2
2
2
0
0
6
12
Mertoyudan
6
2
2
2
1
1
7
15
Tempuran
3
0
1
0
0
0
2
3
Jumlah
146
54
34
19
5
5
145
262

Pada saat itu Muhammadiyah sebagai organisasi induk sesungguhnya merupakan puncak saja dengan tiang-tiang penyangga yang terdiri dari Ortom yakni Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah serta Nasyiatul Aisyiyah. Di beberapa kecamatan justru ortom inilah yang merintis, misalnya Pemuda Muhammadiyah di kecamatan Srumbung, Bandongan dan Tempuran. Saat itu mereka lebih dikenal dengan gerakan KOKAM. Pada tahun 1962 telah diadakan Training Centre (TC) Pemuda Muhammadiyah di Polengan Srumbung, sementara berdirinya PCM Srumbung baru pada tahun 1965. Demikian pula Bandongan yang telah mengirimkan Pasukan Genderang Terompet (PGT) ke Bandung tahun 1963 sementara berdirinya PCM Bandongan baru pada tahun 1966. Jauh lebih jelas lagi di Tempuran yang Pemuda Muhammadiyah sudah bergerak sejak tahun 1965 sementara PCM Tempuran baru resmi berdiri 14 tahun kemudian, yakni tahun 1979.

D.    Gelombang Reformasi

Betapapun kuat-hebatnya sebuah gerakan namun bila monoton-sewarna selama lebih dari satu periode, apalagi hingga 20-an tahun tentu menjadi bersifat menjemukan sehingga memerlukan perubahan-perbaikan. Gelombang reformasi muncul guna memerbaiki keadaan yang terjadi pada organisasi persyarikatan maupun pada organisasi-unit AUM. Wujud reformasi itu tampak jelas dari bertambahnya jumlah dan jenis AUM dengan yang diharapkan lebih mampu menjawab persoalan sosial di lingkungan yang telah berubah-bergeser itu. Atau bisa pula berupa manajemen baru terhadap organisasi lama atau AUM lama. Itu semuanya dipahami sebagai upaya perbaikan-perubahan guna lebih memberikan makna pada keberadaan Muhammadiyah sesuai tuntutan zaman. Syukur-syukur mampu unggul bahkan menjadi terunggul dalam persaingan dan perbandingan dengan amal-usaha yang sejenis lainnya.
Table 3.d.1 berikut berisikan tambahan AUM dan manajemen baru AUM yang dilakukan PCM pada era Reformasi tahun 1981-2007.

Table 3.d.1
AUM dan Manajemen Baru di PCM tahun 1981-2007
PCM
Tambahan AUM
Manajemen Baru
Muntilan
Kantor PCM DA (1981), SMK2 (1997), Pesantren (2001), SMP Plus (2007)
SD GP (1993), SD1 (1999), SD TA (2002); RSIA (2002)
Salaman
SPG-SMK (1988)

Salam
BKIA (1985), BTM (1994)

Mungkid
PAY (1981), SMA (1989)
SD Sirajudin (2003)
Sawangan
Kantor PCM/Balai Muslimin (1985)

Borobudur
BKIA (1987), SMK2 (1997)

Secang
PAY (2003)
SD Payaman (2003)
Dukun
Ruko BMT (2000)
TK Darusalam (2004)
Kaliangkrik


Windusari
TK (2002), PAY (2007)

Srumbung
MTs (1981), PAY (2007)

Bandongan
PAY (1998) SMK (2007)
SDIT (2002)
Grabag
SMA (1981)

Kajoran


Ngluwar
MTs-MA (1986), Kantor PCM (1989)
SD Bligo (2004)
Mertoyudan
SPP (1981), Ponpes (1984); SMK (1985); UMM II (1998)

Tempuran
SMA (1984), SMEA (1998)
Pesantren SMP (1984)
Magelang Kota
SMA2 (1987) SD Mutual (1991)


Namun anehnya, pada periode ini ternyata masih juga terdapat prestasi penambahan pendirian PCM. Hal tersebut sungguh merupakan credit point bagi eselon di atasnya, yakni PDM yang telah membidani, membimbing dan merawatnya. Tiga PCM muncul meskipun pada tahun yang berbeda-beda, yakni PCM Candimulyo, PCM Ngablak, dan PCM Tegalrejo. Dengan demikian di Kabupaten Magelang ini tinggal satu kecamatan yang belum ada Muhammadiyahnya, yakni PCM Pakis. Pertanyaan berikutnya adalah, adakah pendirian-penambahan PRM pada periode ini? Ternyata belum ada data valid yang bisa digunakan untuk menjawabnya. Meskipun demikian, pada subbab berikut akan disinggung jumlah PRM yang dimiliki masing-masing PCM. Table berikut memaparkan data mengenai ketiga PCM baru dilengkapi dengan data AUM yang tercatat.

Table 3.d.2
PCM baru dan AUM pada gelombang ketiga tahun 1981-2007
PCM (tahun)
Ranting
Amal Usaha Muhammadiyah (tahun)
Candimulyo (1982)
3
SMP1 (1980-2000), SMP2 (1990), PAY (2007)
Ngablak (2006)
1
Pengajian mendalam
Tegalrejo (2007)
1
Pengajian mendalam
(Pakis)
0

Jumlah
5


  1. Antiklimaks: Kabar Lain dari PRM dan AUM

Satuan terkecil-terbawah dalam tata-struktur Muhammadiyah adalah PRM. Lantas gugus kegiatan otonomnya adalah AUM. Bila PRM dan AUM mampu berjalan fungsional lagi kuat maka akan kuatlah bangunan besar Muhammadiyah. Namun bisa juga yang sebaliknya, bila PRM hanya ada secara formalitas dan AUM tidak dikelola professional maka Muhammadiyah di tempat itu tentu jauh dari ideal. Sungguh PRM dan AUM merupakan dua ujung-tombak persyarikatan yang penting untuk diseriusi keberadaan dan fungsinya, ibaratnya adalah ujung akar dan pucuk daun bagi pohon/tanaman yakni sebagai alat-utama bagi hidup-matinya.
Bagaimana dengan keberadaan PRM dan AUM di daerah Magelang?
Data yang masuk belum mampu untuk memetakan secara rinci keadaan PRM: jumlah anggotanya, frekuensi kegiatannya, intensitas dan kualitas pengurusnya, dll. Data yang didapatkan barulah sebatas jumlah PRM yang ada karena memang pernah dirintis, didirikan, dibina namun penanganan berikutnya berupa pemantauan, penguatan dan pemanfaatannya belum ada data yang valid. Oleh karena itu pembanding bagi jumlah PRM adalah jumlah desa yang ada. Apakah di setiap desa sudah berdiri PRM? Demikian juga dengan AUM pada kasus ini yang dipilih jenis AUM paling banyak yakni TK ABA serta jenis AUM paling akhir dan prospektif yakni SMK Muhammadiyah. Keduanya dibandingkan dengan jumlah amal-usaha yang sejenis secara keseluruhan sehingga tampak jelas jumlah dan persentase kepemilikan Muhammadiyah dibandingkan yang dimiliki umum di lingkungan sosialnya. Table 3.e.1 memaparkan data tersebut.

Table 3.e.1
Perbandingan Jumlah Desa dengan PRM, Jumlah TK dengan TK ABA, serta Jumlah SMK dan SMK Muhammadiyah Tahun 2007
PCM
Desa
PRM
Minus                      
TK
ABA
Selisih
SMK
SMK Muh
    Muntilan
14
13
1
31
22
9
5
2
Salaman
20
9
11
14
4
10
2
1
Salam
12
6
6
17
8
9
5
2
Mungkid
16
15
1
25
20
5
2
1
Sawangan
15
11
4
10
9
1
0
0
Borobudur
20
7
13
11
7
4
2
2
Secang
20
20
0
14
10
4
1
1
Dukun
15
10
5
29
10
19
0
0
Kaliangkrik
19
8
11
7
5
2
0
0
Windusari
19
4
17
7
1
6
1
0
Srumbung
17
12
5
20
11
9
0
0
Bandongan
14
4
10
12
8
4
1
1
 Grabag
28
4
24
12
1
11
0
0
Kajoran
28
9
19
13
9
4
0
0
Ngluwar
8
4
4
34
10
24
0
0
Mertoyudan
13
6
7
38
7
31
2
2
Tempuran
15
3
12
8
2
6
0
0
Candimulyo
19
3
16
11
0
11
0
0
Ngablak
16
1
15
4
0
4
1
0
Tegalrejo
21
1
20
20
0
20
1
0
(Pakis)
20
0
20
6
0
6
0
0
Jumlah
369
148
223
326
144
182
23
12
Persentase
100
40,1
59,9
100
44,1
55,9
100
52,17

Disadari bersama pula bahwa AUM merupakan pilihan kegiatan/usaha nyata warga Muhammadiyah setempat agar hidupnya lebih bermanfaat bagi sesama sekaligus sebagai tawaran solusi bagi persoalan umum yang muncul di lingkungan tersebut. Biasanya persyarikatan berdiri diikuti dengan berdirinya AUM. Pilihan jenis AUM bisa saja tepat lantas cepat berkembang hingga besar, bisa pula tidak tepat, adakalanya lantas memilih beralih-fungsi karena adanya perubahan peraturan pemerintah (MWB ditutup; SMEP-ST ditutup; SPG ditutup; STM dan SMEA diubah ke SMK, dst.) bisa pula karena memang terjadi salah kelola (mismanagement), bahkan bisa benar-benar salah pilih jenis AUM. Oleh karena itu sungguh nyata adanya AUM yang tidak lagi bisa bertahan hidup, tidak lagi operasional, alias mati. Bagaimanapun kita berprihatin terhadapnya namun sungguh hal itu merupakan kenyataan dan sejarah.
Table 3.e.2 berikut ini memaparkan data yang bersifat kurang nyaman sepanjang sejarah Muhammadiyah mengenai berbagai jenis AUM yang pernah berdiri-ada di daerah Magelang kemudian mengalami proses sesuai sunnatullah, ada yang beralih-fungsi dan bahkan ada pula yang tidak lagi mampu operasional.

Table 3.e.2
Data AUM yang Alih-Fungsi dan Tidak Operasional
PCM
AUM alih Fungsi
AUM Tidak Operasional
Muntilan
SPGàSMA2, PGAàMTs2, MWBàSD TA
SMP Muallimin Pucungrejo (1971-91); MI Tamanagung
Salaman
PGAàSMA, SPGàSMK
-
Salam
SMAàSMK2, STàMTs
MI Krakitan, MI Somakerto, TK Somakerta, TK Tersan Gede (1988-)
Mungkid
MWBàMIàSD
-
Sawangan
MWBàMI
-
Borobudur
SPGàSMK1
-
Secang
SMPàPAY, PGAàSMP
SMP Secang (1971-94)
Dukun
MWBàMI
ST
Kaliangkrik
MWBàMI
Madin
Windusari
-
-
Srumbung
SMEPàSMP
-
Bandongan
-
SMA (1996)
 Grabag
-
SMA Kalikuto (1981-93)
Magelang
-
-
Kajoran
MWBàMI
TK ABA
Ngluwar
MIàSD, PGAàMA
PGA, MA Bligo (1986-93), MTs1-2, ST
Mertoyudan
-
SMP Jogonegoro (1977-93)
Tempuran
SMAàSMEAàTK ABA
SMA (1984-96), SMEA (1998-2001)
Candimulyo
SMP1àPAY
SMP1 (1981-2000)

Demikianlah warna lain dari perkembangan dan pertumbuhan Muhammadiyah di Magelang 1917-2007 yakni berupa keadaan PRM yang belum/tidak optimal serta kabar AUM yang mengalami sunnatullah berupa alih-fungsi bahkan tidak lagi operasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar