Kamis, 10 Mei 2012

Hedonisme Pesimistik


Hikmah:

Hedonisme Pesimistik
Oleh: Muhammad Nasiruddin

Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia ini saja
dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan (QS 6[al-An’am]:29)


Inilah keyakinan orang-orang Jahiliyah Pra-Islam Mekah bahwa eksistensi manusia hanya saat hidup di dunia ini saja yang berujung akhir pada peristiwa ajal. Namun tampak keyakinan yang begitu juga bersifat menular sehingga diwarisi oleh sebagian manusia lain pada setiap zaman dan di banyak tempat. Tanda yang jelas dari keyakinan tersebut di antaranya adalah kepercayaan bahwa sekali hidup di dunia ini dirinya harus merasakan kenikmatan, kepuasan dan bersungguh-sungguh mencapai kemakmuran duniawi sebagai prasyaratnya. Oleh karena itu orientasi hidupnya adalah memiliki dan menikmati makanan lezat, rumah bagus, sarana mewah, jabatan terpandang dan kekayaan melimpah. Dalam sekali hidup di dunia ini isi utamanya hanya bersendau-gurau dan bersenang-senang mengumbar hawa-nafsu; dengan melupakan celaan orang yang marah terhadapnya ataupun melupakan pedihnya hati saat sendiri. Dunia inilah yang paling penting dan paling berharga. Inilah satu-satunya kenikmatan hidup yang harus dirasakan dan dinikmati.
Bagaimana dengan keinginan untuk dikenal dan kelak dikenang orang lain? Seseorang dikenal karena kemuliaannya atau kehinaannya. Lantas bagaimana cara untuk dikenal sebagai orang yang mulia di antara manusia lain? Berbuatlah sosial yang mengagumkan, misalnya berlaku boros dalam memberi tanpa peduli hari esok agar dikenal sebagai dermawan, itulah sebagian kemuliaan dalam bermurah hati. Atau jadilah pemberani yang ganas seperti singa dengan mengambil inisiatif menyerang atau seperti ‘babi-buta’ yang tanpa landasan untuk dipamerkan keberaniannya demi keberanian itu sendiri. Atau kalau tidak ke arah sosial maka carilah harta sebanyak-banyaknya dan nikmatilah sepuasnya; tidak pedulikan orang lain. Sebab setelah kematian datang maka tiada kesempatan untuk memperbaiki diri lagi. Namun bagaimana cara menghadapi kematian yang pasti datang?
Ajal adalah sesuatu yang menakutkan karena gelap dan suram; apalagi tidak terelakkan. Siapa manusia yang bisa lepas dari pintu kematian? Tidak ada karena kita telah ‘terlanjur’ hidup. Tetapi Islam datang dengan membawa kecerahan dan jalan keluar dari kebuntuan paradigma hedonisme-pesimistik seperti itu. Ajal bukanlah batas akhir keberadaan. Justru ajal itu merupakan awal kehidupan baru sebagai kelanjutan hidup manusia di dunia ini. Eksistensi manusia dengan demikian tidak berakhir pada titik ajal. Ada kehidupan akhirat yang jauh lebih kekal setelah setiap manusia melewati peristiwa-peristiwa Kiamat, Hari Perhitungan, Hari Pengadilan dan Hari Kebangkitan. Semua itu bukan wilayah makhluk dan kita manusia melainkan sungguh berada dalam kendali mutlak dzat yang Maha Kuasa, Tuhan Allah SWT.
Pada kehidupan akhirat itu terdapat Surga dan Neraka yang merupakan konsekuensi adanya kehidupan dunia. Kehidupan dunia penuh dengan ketidakadilan sehingga keadilan mutlak mampu terlaksana di kehidupan berikutnya; siapa yang amalnya baik akan diganjar kenikmatan Surga, adapun yang amal jeleknya lebih banyak akan dibalas siksa Neraka. Inilah sumber nilai moral manusia bahwa siapa yang menghendaki Surga hendaklah memilih cara hidup dan cara berperilaku yang sesuai moralitas dan kebenaran. Tuhan Allah telah menetapkan gagasan yang amat jelas sekaligus menantang tentang baik dan buruk lewat ajaran Wahyu, disertai akal dan hati-nurani selain juga dengan Sunnatullah yang tergelar. 
Kehidupan global saat ini sungguh menantang untuk kita bisa menemukan cara hidup berdasarkan moralitas dan kebenaran yang tidak hanya normatif namun juga aplikatif dan solutif terhadap persoalan yang selalu menghadang. Manusia berkepribadian muslim akan selalu mampu untuk menjawabnya dengan wujud kehidupannya yang bermakna bagi dirinya, keluarganya, juga masyarakat lingkungannya. Bismillah, Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar