Jumat, 11 Mei 2012

KEMAMPUAN MEMORI KHATIB TENTANG MATERI KHUTBAHNYA :


KEMAMPUAN MEMORI KHATIB TENTANG MATERI KHUTBAHNYA :

STUDI LAPANGAN DI KABUPATEN MAGELANG


Oleh : Muhammad Nasirudin



A.   Pendahuluan


Khutbah berbeda dengan ceramah-agama meskipun boleh jadi isi materinya sama. Khutbah tercakup dan masuk dalam prosesi ritual agama. Misalnya dalam prosesi Salat Jumat, khutbah merupakan syarat sahnya[1]. Karenanya, khutbah dan salat merupakan dwitunggal kendatipun khatib dengan imam tidak harus diperankan oleh satu orang. Demikian pula kepaduan keduanya dalam prosesi Salat Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Ada beberapa perbedaan, yakni pada urutan dan hukum keagamaannya. Pada Salat Jumat yang didahulukan khutbah tetapi pada Salat Hari Raya yang didahulukan salatnya. Kemudian secara hukum agama, Salat Jumat wajib ‘ain[2] bagi setiap muslim, sedangkan Salat Hari Raya berhukumkan sunnat mu’akkad.[3]
Kedudukan khutbah yang masuk dalam prosesi ritual agama tersebut mengakibatkan terdapatnya kualifikasi tertentu bagi khutbah dan juga khatibnya. Terdapat syarat-rukun-sunnat khutbah yang kemudian mengarah pada kualifikasi sang khatib. Nyatanya kemudian memang tidak setiap penceramah agama bisa dipercayai untuk menjadi khatib tetapi hampir pasti khatib sering diminta untuk berceramah agama atau mengisi pengajian di berbagai tempat. Dengan demikian mengangkat persoalan seputar khatib dan khutbahnya menjadi jauh lebih penting dan berelasi secara ritual agamis dibandingkan dengan persoalan penceramah dan pengajiannya.
Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan secara khusus kemampuan memori (daya ingat) khatib akan materi khutbahnya. Secara teori Matlin (1998:64-181)  telah mengeksplorasi masalah memori ini dalam berbagai aspeknya. Model struktural memori dibedakannya menjadi memori sensorik, memori jangka pendek dan memori jangka panjang. Kemudian pada level pemrosesan memori bisa dibedakan menjadi pemrosesan secara dangkal dan secara mendalam. Pada substansi memori terbagi menjadi memori episodik, memori semantik dan memori prosedural. Dasar teori psikologi tentang memori ini akan digunakan peneliti untuk membuat refleksi atas hasil studi lapangan. Terus terang peneliti belum mampu untuk menggunakannya sebagai landasan paradigmatik penelitian secara menyeluruh.
 Dalam praktik penelitian lapangan, peneliti membatasi daerah khusus untuk wilayah Kabupaten Magelang. Karena data yang dikumpulkan nantinya lewat wawancara-mendalam maka tentu tidak mungkin mewawancarai semua khatib di Magelang melainkan sekadar secara terpilih (purposive) lewat metode yang tepat dan terpercaya[4]. Adapun hal yang akan disoroti selain aktivitas khatib adalah pola memori dan upaya untuk menjaga/meningkatkan memorinya, Peneliti mengawali penelitiannya dengan survey mengenai daerah Kabupaten Magelang, khususnya tentang pemeluk Islam dan sarana-prasarana ibadahnya. Hasil survey digunakan untuk menentukan subyek penelitian (informan) beberapa orang, kemudian melakukan wawancara-mendalam (terfokus). Penelitian ini dilakukan selama bulan Desember 2004.

B    Metode dan Sumber

             
Pemeluk Islam di Kabupaten Magelang tercatat sebanyak 1.058.046 jiwa atau sebesar 96,70 % dari jumlah penduduknya yang 1.094.075 Jiwa (2001)[5]. Tingkat ketaatan pemeluk terhadap agamanya tergolong tinggi, terbukti setiap hari Jum’at sewaktu jam-jam salat Jum’at, suasana jalan–jalan amatlah lengang. Mereka, kecuali amat sedikit yang wanita, mengikuti prosesi Salat Jum'at di sebanyak 2.269 buah masjid yang tersebar di 21 kecamatan yang ada. Apalagi pada setiap tanggal 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah mereka, pria-wanita, memadati lapangan–lapangan dan masjid-masjid tempat prosesi Salat Hari Raya diadakan. Setelah waktu–waktu prosesi tersebut selesai maka suasana jalanan kembali ramai dan mereka sibuk kembali dengan urusan masing–masing.
 Data di atas mengasumsikan bahwa di wilayah yang diapit oleh Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sumbing dan Pegunungan Menoreh ini terdapat minimal 2.269 orang khatib. Ada khatib-muda yang hanya berkhutbah di satu masjid tertentu, dan ada pula khatib-tua yang berkhutbah di beberapa masjid dengan waktu yang berlainan. Dengan begitu bisa dibedakan adanya khatib tingkat komunitas/desa, khatib kecamatan/antardesa, khatib antarkecamatan dan khatib kabupaten di daerah dengan tiga potensi unggulan: pertanian, pariwisata dan industri kecil ini. Dilengkapi dengan kategorisasi khatib berdasarkan umur, dan latar belakang pendidikan maka didapatkanlah format representasi khatib untuk bisa dipilih sebagai informan (subyek penelitian) .
Kategorisasi khatib berdasarkan wilayah binaan dibedakan menjadi: (1) khatib tingkat komunitas/desa, (2) khatib tingkat kecamatan/antardesa, (3) khatib tingkat antarkecamatan dan (4) khatib tingkat kabupaten. Kategori khatib berdasarkan umur dibagi menjadi : (1) < 30 tahun, (2) 30 – 44  tahun, (3) 45 – 59  tahun dan (4) > 59  tahun. Kategorisasi khatib berdasarkan pada latar belakang pendidikan dibedakan menjadi : (1) Pesantren/Sekolah Agama, dan (2) Sekolah Umum, serta (3) Pesantren plus Sekolah Umum (A+U). Dari kategorisasi ini dibuatlah matriks yang berpeluang sama untuk terpilihnya setiap khatib  sebagai subyek penelitian.

      
      
Wilayah Binaan
Latar Pendidikan
Umur (Tahun)
<30
30-44
45-59
>59
Komunitas/Desa
Agama




Umum




A + U

Dipilih




Kecamatan/Antardesa
Agama




Umum




A + U


Dipilih


Antarkecamatan
Agama



Dipilih

Umum




A + U




Kabupaten
Agama




Umum

Dipilih



A + U




    
Tabel   1  Kerangka Kategorisasi Khatib

Sesungguhnya masih ada satu lagi kategori khatib yakni berdasarkan domisili/tempat tinggalnya yang dibedakan menjadi 21 yakni sejumlah kecamatan yang ada di daerah yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian dari bidang pertanian ini. Tetapi hal itu bisa dilakukan belakangan sesudah didapatkan pilihan berdasarkan matriks dengan prinsip asalkan berbeda-beda daerah asal domisilinya. Dari 48 kemungkinan berdasarkan matriks maka dipilihlah empat orang khatib sebagai informan dengan kualifikasi kategori [6]:
1.    Wilayah binaan tingkat komunitas/desa, berlatar belakang pendidikan Agama plus Umum, serta berumur < 30 tahun.
2.    Wilayah binaan tingkat kecamatan/antardesa, berlatar belakang pendidikan Agama plus Umum, serta berumur 45-59 tahun.
3.    Wilayah binaan tingkat antarkecamatan, berlatar belakang pendidikan agama/pesantren saja, serta berumur > 59 tahun.
4.    Wilayah binaan tingkat kabupaten, berlatar belakang pendidikan umum saja, berumur 30-44 tahun.
Penelitian dilanjutkan dengan wawancara-mendalam kepada informan yang telah ditentukan kualifikasinya tersebut. Wawancara-mendalam ini mencakup tiga komponen, yakni (1) komponen khatib, (2) komponen materi khutbah, serta (3) komponen daya ingat. Dengan tujuan bisa menemukan gambaran rinci mengenai kemampuan memori (capability of memory) khatib akan materi khutbahnya, maka dibuatlah 6 buah indikator yang kemudian dilengkapi dengan 6 buah pertanyaan utama (Pedoman Wawancara, interview guide, terlampirkan). Namun dalam wawancara-mendalam tersebut berbagai pertanyaan sampingan juga muncul dengan tetap mengarah pada fokus penelitian.

C.   Data Lapangan : Profil-Profil Khatib


1.    Khatib Tingkat Komunitas/desa

            Informan terpilih untuk khatib tingkat komunitas/desa ini dipersyaratkan yang berlatar belakang pendidikan Agama plus Umum, berumur kurang dari 30 tahun. Maka ditentukanlah domisili/tempat tinggal khatib informan ini dari Kecamatan Mungkid. Hasil catatan lapangan mengenai informan tersebut bisa dicermati dari uraian berikut ini :

Bernama lengkap Achmad Zabidi, S.H.I. (AZ) kelahiran Magelang, 3 Juli 1974 (30 tahun). Kini masih bujangan, hidup bersama orang tuanya di Pabelan III, Kecamatan Mungkid. Usai SD masuk ke Pondok Pesantren Pabelan selama 6 tahun, kemudian melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tamat tahun 2001. Kesibukannya saat ini sebagai guru (ustadz) di Pesantren Pabelan selain tentunya aktif sebagai khatib di jamaahnya yakni di Masjid Kertotaruno, Pabelan III. Dikenal oleh teman-temannya sebagai pribadi yang penuh semangat hidup dan berterus terang.
Mulai menjadi khatib setahun lalu, 2003 karena permintaan Takmir Masjid. Belum genap 10 kali berkhutbah hingga saat ini tetapi setiap khutbahnya ada arsip naskah lengkap yang ditulisnya. Selapan (35) hari sekali dia berkhutbah, yakni pada setiap hari Jumat Wage.
Persiapan untuk berkhutbah dilakukan dengan cara mengumpulkan buku-buku, memilih tema tertentu, kemudian membuat rangkumannya serta menuliskan naskah khutbah secara lengkap. Sesekali menggunakan rujukan Kitab kuning untuk menyempurnakan naskah selain buku-buku tafsir seperti karangan M. Quraish Shihab.
Kategori materi yang disampaikan dominan masalah Fiqh dengan kesesuaian waktu/momentum saat berkhutbah. Misalnya suasana Isra’ Mi’raj dipilihnya materi tentang pesalatan, atau ketika Ramadhan dipilihnya materi tentang puasa. Ini sejalan dengan disiplin ilmunya, yakni Ilmu Syariah (Hukum Islam).
Merasakan paling berhasil berkhutbah saat bulan puasa 1425 H, ketika mengkangkat tema Husnul Khatimah (Mati/Penutup yang Baik). Saat itu tepat momentum, jamaah sedang berusaha memperbaiki diri menuju kesempurnaan lewat pelbagai kegiatan ibadah dan pelatihan kualitas diri. Usai khutbah itu ada yang berkomentar bahwa isi materi khutbahnya bagus.
Hafalan akan ayat al-Quran atau matan al-Hadis sudah didapatkan ketika dulu belajar di Pesantren Pabelan. Saat itu ada kewajiban pelajaran untuk menghafalkannya. Cara menghafalkannya saat itu dan juga sekarang ini dengan menuliskan dan membacanya berulang-ulang.
Alhamdulillah belum pernah terlupa bunyi ayat/hadis karena ketika berkhutbah semuanya itu sudah dituliskan dan tinggal dibacakannya. Untuk menjadi imam salat juga demikian karena masih sebatas membaca surat-surat pendek di Juz Amma (Juz 30). Menambahi hafalan baru dengan ayat yang sering digunakan para mubaligh terutama sebagai bahan untuk mengajar .


2.    Khatib Tingkat Kecamatan/antardesa

             Pilihan informan untuk khatib tingkat kecamatan/antardesa dipersyaratkan yang berlatar belakang pendidikan pesantren/sekolah agama plus sekolah umum serta berumur 45-59 tahun. Domisili informan harus bukan dari Mungkid, maka ditentukanlah khatib yang bertempat tinggal di Kecamatan Srumbung. Catatan lapangan tentang khatib tersebut adalah :

Namanya Hanafi Abdullah Faqih (HAF), lahir di Magelang, 10 November 1956 (48 tahun). Bapak berputri tiga ini bertempat tinggal di Ngelo, Tegalrandu, Srumbung, Kabupaten Magelang. Usai SD masuk ke Pondok Pesantren Pabelan, kemudian sempat selama 8 tahun bermukim di Arab Saudi sebagai pengelola masjid Al-Fitaihi di Jalan Palestine, Jeddah. Kini dikenal sebagai da’i pengisi tetap Kuliah Subuh di Radio Merapi Indah Muntilan (Gelombang 99,5 FM) dan guru (ustadz) di Pesantren Pabelan, selain petani salak pondoh di kampungnya. Tahun 2002 sempat menyelesaikan pendidikan di STAI Salahuddin Al-Ayubi Jakarta mengambil Fakultas Tarbiyah sehingga bergelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I). Di mata teman-temannya dikenal sebagai sosok yang jujur, berterus terang serta konsekuen apa adanya.
Ada persiapan materi untuk berkhutbah yakni dengan mencari tema dikaitkan dengan momentumnya, misalnya pas haji, lantas dituliskan pokok-pikiran beserta ayat, kemudian dikembangkan sendiri secara bebas. Membuka Kitab Kuning hanya dilakukan bila ada jamaah yang membutuhkan misalnya menanyakan mengenai suatu persoalan yang dihadapinya.
Materi khutbah yang disampaikan beragam, kadang Tafsir, kadang Fiqih, kadang Aqidah, tetapi utamanya pada materi Akhlaq. Pernah merasakan materi khutbahnya mengena di hati jamaah. Saat itu HAF mengangkat materi pendidikan anak. Usai khutbah ada seorang tua yang menanyakan lebih lanjut menganai bagaimana tanggung jawab orang tua terhadap anaknya yang tidak taat.
Hafalan ayat didapatkan ketika masih nyantri di Pabelan. Ada usaha untuk selalu menambah hafalan dengan cara mengulang-ulanginya hingga hafal. Kemudian hasilnya digunakan untuk salat tahajud dan dipakai dalam pengajian/ceramah agama. Secara kolektif ada pula program hafalan lewat dakwah Partai Keadilan Sejahtera (HAF salah seorang yang dituakan dalam orpol ini di tingkat Kabupaten Magelang kendati secara struktural tidak tercantum dalam kepengurusan).
Belum pernah terlupa ayat ketika berkhutbah karena semua ayat dan hadis telah disiapkan dan dihafalkan sebelumnya. Ada persiapan khusus untuk naik mimbar Jumat, melebihi ceramah agama biasa sehingga sering merasa “kemrungsung” bila Jumat tiba. Saat ini berkhutbah di 3 masjid yang berlainan desa di Kecamatan Srumbung, yakni pada setiap Jumat Pon, Jumat Wage dan Jumat Pahing.


3.    Khatib Tingkat Antarkecamatan

              Syarat informan khatib untuk tingkat antarkecamatan adalah yang berlatar belakang pendidikan semata pesantren/sekolah agama, dan berumur >59 tahun. Domisili informan harus bukan dari Mungkid atau Srumbung, maka ditentukanlah khatib yang bertempat tinggal di Kecamatan Muntilan. Catatan lapangan informan tersebut :


Haji Abdul Malik (HAM) dilahirkan di Magelang, 1944 (berumur 60 tahun). Sekolah Dasar diselesaikannya di Payaman Secang Magelang, kemudian melanjutkan pendidikannya di Pesantren Al-Iman Magelang. Kurang suka pelajaran ilmu pasti tetapi amat getol pelajaran Nahwu dan Sharaf. Pada usia 19 tahun sempat melancong selama 3 tahun di daerah Lamongan, Jawa Timur. Sosok pribadi yang penuh semangat dakwah dan berjiwa seniman ini kini bertempat tinggal di Ngadiretno 17 Muntilan.
Pertama kali berkhutbah saat di Lamongan pada usia 20 tahunan. Adapun saat ini menjadi khatib tetap pada 9 buah masjid di Kecamatan Muntilan, Kecamatan Borobudur dan Kecamatan Srumbung. Rentangan waktunya dualapan (70) hari sekali, dan selapan (35) hari yang di Borobudur sehingga praktis setiap hari Jumat pasti HAM naik berkhutbah, tampil sebagai khatib.
Persiapan materi untuk khutbah dilakukan dengan rujukan Mushaf Al-Quran, buku indeks Fatchurrahman serta banyak buku yang lain. Tidak pernah membuat naskah khutbah, kecuali pokok-pokok pikiran saja ataupun bila untuk Khutbah Hari Raya dibutuhkan oleh panitianya untuk digandakan. Materi yang dikhutbahkan terutama masalah Aqidah-Akhlaq yang dikaitkan dengan situasi hangat (sosial-politik). Dipilihnya hal tersebut karena menurutnya paling dibutuhkan jamaah.
Dalam hitungannya sendiri pernah merasakan paling berhasil khutbah ketika menyampaikan materi mengenai penjelasan tauhid secara aqliyah dan naqliyah. Respons jamaah ketika itu pada awalnya terkejut, kaget, namun kemudian bisa menerima dan memahaminya.
Hafalan ayat al-Quran dimulainya ketika masih berada dalam asuhan ibu, berumur sekitar 5 tahun, saat itu menghafalkan surat Al-Mulk (Juz 29, surat ke-67) yang melekat hingga sekarang. Tetapi kemudian selalu menambahi hafalan dengan cara mengulang-ulangi bacaan dan memakainya sebagai bacaan dalam salat, terutama untuk Salat Tahajud. Bila lupa akan ayat, maka dicobanya dengan mengurutkan kembali ayat sebelumnya, tetapi bila juga masih terlupa maka dipilih ayat lain yang masih semaksud dan senada dengan ayat yang terlupakan tersebut.


4.    Khatib Tingkat Kabupaten

               Untuk khatib tingkat kabupaten dipersyaratkan yang berlatar belakang pendidikan semata sekolah umum sejak tingkat dasar hingga lanjut serta berumur 30-44 tahun. Syarat tambahannya tidak berdomisili di tiga kecamatan terpilih, sehingga ditentukanlah kemudian informan khatib yang bertempat tinggal di Kecamatan Mertoyudan. Hasil catatan lapangan menyebutkan sebagai berikut :


Dilahirkan di Magelang, 27 Juli 1967 (37 tahun) dengan nama pendek, Jumari. Tetapi ketika mulai sering menulis di buletin dan majalah, tahun 1990-an, ditambahkannya keterangan ‘Al-Ngluwary’ sesuai asalnya dari Kecamatan Ngluwar, sehingga menjadi bernama ‘Jumari Al-Ngluwary’ (JA). “Agar tampak bernama Islam,” katanya. Sekarang bapak beranak satu ini dikenal sebagai aktivis. Di ormas aktif sebagai Ketua Bidang Dakwah Pimpinen Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Jawa Tengah, di orpol menjabat Ketua Bidang Pemuda & Olah Raga DPD PAN Kabupaten Magelang, selain tercatat sebagai Kepala SMK Muhammadiyah 2 Muntilan. Kegiatannya beragam, mulai dari mengajar, menulis, mengisi pengajian, berdiskusi, rapat dan tentu saja berkhutbah. Khatib Jumat di banyak masjid dan juga khatib Idul Fitri atau Idul Adha di berbagai tempat dalam wilayah Kabupaten Magelang.
Latar belakang pendidikannya bercorak umum. SD dan SMP Muhammadiyah di Ngluwar, lalu di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta, kemudian melanjutkan di Fakultas Filsafat UGM, lulus tahun 1991. Pengagum Plato, filosof Yunani ini kini bertempat tinggal di Banjarnegoro, Mertoyudan sambil mengelola Pusat Dakwah “Ruhul Islam” di dekat SMU Taruna Nusantara. Oleh teman-temannya Jumari ini dikenal sebagai sosok yang hangat, terbuka, kritis dan sering diberi cap “radikal”.
Pengalaman berkhutbah pertama saat masih mahasiswa, 1988-an, di masjid SMP Muhammadiyah, Bligo Ngluwar. Awalnya rutin sebulan sekali. Berikutnya pernah hampir setiap Jumat berkhutbah di banyak masjid. Tetapi saat ini tidak punya jadwal rutin kendati dalam sebulan minimal sekali tentu berkhutbah. Merasa lebih nyaman bila ada jadwal rutin, selain karena pasti menyiapkan diri juga bisa mengatur “kurikulum” sehingga selalu ada hal baru yang segar. Bila tanpa jadwal rutin berakibat kurang belajar, katanya.
Persiapan sebelum berkhutbah yakni dengan mencari ayat-ayat atau matan hadis yang terkait dengan tema yang dipilih. Tidak membaca buku baru khusus untuk persiapan khutbah; materi dari buku secara spontan yang keluar dari dalam ingatan akan buku yang pernah dibacanya.
Kategori materi khutbahnya tergolong Aqidah-Akhlaq. Sebab ada keleluasaan jangkauan materi serta realisasinya dalam kehidupan bermasyarakat, yakni ada kebebasan dan kemerdekaan dalam mengembangkannya. Materi lain Ushul Fiqh. Untuk materi fiqih meskipun diminati jamaah dan diinginkannya tetapi menurutnya sudah kelewat jenuh, dan yang diperlukan adalah Aqidah-Akhlaq-Ushul Fiqh.
Merasa paling matching materi khutbahnya dengan jamaah ketika Idul Fitri di Lapangan Blondo, Mungkid, 2002. Hadirin yang heterogen, suasana yang syahdu dan materi khutbah dengan tema sosial seperti matching benar sehingga respons jamaah tampak benar. Untuk khutbah jumat tampak lebih formal serius, tapi baginya tidak masalah bila muncul joke sehingga ada gaya lain yang lebih akrab, rujukannya seperti pak AR (AR Fachrudin, mantan Ketua PP Muhammadiyah).
Hafalan ayat-ayat istimewa didapatkannya ketika masih di SMA yakni dalam pelajaran al-Qur’an yang setiap minggu diwajibkan menghafal 10 ayat. Tetapi upaya untuk menambahi/meningkatkan hafalan terus saja dilakukan dengan cara menuliskan dan membacanya berulang-ulang. Hasil hafalan tersebut digunakan sebagai bacaan dalam salat serta dipakai untuk mengisi materi dalam pengajian/diskusi/rapat.


D.   Pembahasan Hasil Data Lapangan




        Empat khatib yang dijadikan informan tampak semuanya masih aktif, menguasai materi ke-Islaman, selalu menyiapkan materi untuk berkhutbah, memorinya cukup kuat serta ada upaya untuk menjaga/meningkatkan kemampuan memorinya. Tetapi perlu juga ditelaah secara lebih mendalam masing-masing keterangan tersebut dengan cara diperbandingkan dan ditajamkan kekhususan masing-masing. Untuk keperluan itu maka pembahasan hasil data lapangan ini dibedakan menjadi dua, yakni pembahasan tentang latar belakang dan aktivitas khatib serta pembahasan tentang materi khutbah, memori dan upaya peningkatannya.


1.    Latar Belakang Dan Aktivitas Khatib

Perbandingan data keempat informan mengenai latar belakang dan aktivitas masing-masing serta ringkasannya adalah :

Wilayah Binaan
Inisial
Umur (Thn)
Latar Pendidikan
Mulai khutbah
Profesi
Aktivitas Lain
Frekuensi Khutbah
Desa

Antardesa

Antarkecmt

Kabupaten
AZ

HAF

HAM

JA
30

48

60

37
A+U

A+U

Agama

Umum
2003
(29)
1990
(34)
1964
(20)
1988
(21)
Guru

Guru

Da’i

Guru
_

Petani

Pedagang

Penulis
35 hari

11 hari

7 hari

30 hari


Tabel  2   Latar Belakang Dan Aktivitas Khatib

Tampak dari Tabel 2  bahwa umur khatib informan minimal 30 tahun, dan AZ mulai berkhutbah pada umur 29 tahun. Memang seseorang bisa dipercaya sebagai khatib selain karena penguasaan ajaran Islam, perilaku keseharian juga karena umur. Peneliti di lapangan cukup sulit menemukan khatib yang umurnya kurang dari 30 tahun. Kendati begitu, HAM mulai berkhutbah pada umur 20 tahun dan JA di umur 21 tahun, tetapi tentu tempatnya di masjid yang masih “baru”. Artinya soal regenerasi khatib memang patut diperhatikan dalam arti perlu dipikirkan keberlangsungannya  tanpa mengurangi kualifikasinya.
Dari empat khatib ada tiga orang yang ber-”profesi” sebagai guru. Agaknya memang terdapat kesejajaran antara mengajar dengan berkhutbah, apalagi bila mengajar di sekolah agama/pesantren. Namun untuk mendukung kebutuhan hidup harian nyatanya perlu aktivitas lain. Seperti bertani, berdagang atau menulis, bahkan juga usaha lain yang tidak jauh atau bertentangan dengan citra khatib yang fasih dan faqih dalam soal ke-Islaman.
Latar belakang pendidikan umum tidak mengurangi kesempatan seseorang untuk menjadi khatib. Tetapi kasus JA menegaskan bahwa pendidikan informal-nonformal lewat keaktifannya di organisasi ke-Islaman sejak remaja itulah yang menguatkannya untuk layak karena menguasai ajaran dan berani karena kesadaran dan panggilan sebagai khatib. Sementara untuk AZ, HAF, dan HAM karena berlatar belakang pendidikan pesantren tentu lebih berpersiapan untuk menjadi khatib, kendatipun kenyataannya tidak setiap alumni dari pendidikan pesantren mampu/dipercaya sebagai khatib.
Adapun frekuensi kegiatan berkhutbah seorang khatib jelas berbeda-beda, ada yang setiap minggu, ada yang selapanan, bahkan ada yang hingga dualapan (70 hari). Frekuensi ini ditentukan oleh faktor kesediaan khatib serta kebutuhan-kepercayaan jamaah. Tentu hal ini merupakan hasil bersama antara tingkat keberagamaan jamaah di suatu daerah dengan kesadaran khatib untuk bertandang di masyarakat tersebut.

2.    Materi Khutbah, Memori Khatib dan Upaya Peningkatannya

Secara ringkas perbandingan data khatib informan mengenai materi khutbah, memori khatib dan upaya penjagaan-peningkatannya bisa dicermati dari tabel berikut ini :

Inisial
Persiapan Materi
Metode Khutbah
Tema
Kategori Materi
Mulai Menghafal
Upaya Penjagaan
AZ


HAF



HAM


JA
Baca, tema, rangkum

Materi, momentum, kembangkan

Situasi, ayat, kembangkan

Tema, ayat, kembangkan
Naskah
Baca

Pokok-pikiran


Pokok-pikiran

Spontan
Momentum


Momentum



Sosial


Sosial


Fiqih


Akhlaq



Aqidah


Aqidah
Santri (13-17 tahun)

Santri (13-17 tahun)


Asuhan ibu (5 tahun)

SMA (17 tahun)
Bahan mengajar

Bacaan salat


Bacaan salat

Bacaan salat












Tabel 3  Materi Khutbah, Memori Khatib dan Upaya Peningkatannya

Terdapat beragam cara menyiapkan materi khutbah dan semuanya didasari anggapan bahwa hal itulah yang dibutuhkan oleh para jamaah. Faktor momentum, misalnya menjelang Hari Raya Qurban atau Isra’ Mi’raj biasa digunakan sebagai dasar atau penguat  materi yang disampaikan. Arah dan muatannya bisa ke persoalan Fiqih/Ritual, Akhlaq/Etika, bisa pula ke persoalan Aqidah/Keyakinan. Ada pula yang mendasari dan mendahuluinya dengan persoalan realitas sosial-politik di masyarakat. Kemudian metode penyampaian khutbah juga tampak beragam, ada yang menuliskannya secara lengkap sebagai naskah dan tinggal membacakannya saat berkhutbah. Ada lagi yang menuliskan pokok-pikiran lantas dikembangkan sendiri, ada pula yang semuanya disampaikan secara mengalir mengikuti keadaan berdasarkan tema utama yang dipilih.
Mutlak memang seorang khatib harus fasih melafalkan Ayat Al-Qur’an atau matan Al-hadist yang disampaikan, dan keempat informan semuanya sudah hafal. Hafalan akan hal itu ternyata sudah “dimodali” sejak lama. AZ dan HAF memilikinya sejak berada di Pesantren, JA sejak di SMA ketika diwajibkan guru menghafalkan ayat-ayat “istimewa”, bahkan HAM sejak umur 5 tahun ketika diasuh oleh ibunya menghafalkan surat “Al-Mulk” (Juz 29 surat ke-67). Tentu hingga sekarang masih terus dijaga hafalan itu bahkan ditingkatkan terus. Caranya sama, yakni menghafalkan lewat pembacaan yang berulang-ulang. Kemudian hafalan itu digunakan, dimanfaatkan untuk sesuatu. Bila AZ menghafalkannya untuk bahan mengajar di Pesantren  maka tiga khatib lainnya menggunakan hafalannya sebagai bacaan salat, terutama ketika salat sendirian, misalnya salat tahajjud.

3.    Refleksi Teori Psikologi

Ketika peneliti menentukan calon informan kemudian berhasil menghubunginya maka secara spontan (serta merta) ternyata mereka itu bersedia, bahkan saat itu juga dilakukan wawancara-mendalam dengan mereka, tentu saja secara terpisah dan waktunya berbeda-beda untuk keempat informan tersebut. Artinya, keempat informan ini tidak ada yang mempersiapkan diri terlebih dahulu secara khusus. Oleh karena itu semua jawaban yang diberikan para informan muncul secara tiba–tiba tanpa ada yang membaca terlebih dahulu atau menghafalkan. Sementara wawancara berlangsung banyak ayat alqur’an dan hadis yang dikemukakan, seolah untuk menyakinkan peneliti akan hal yang disampaikannya tersebut. Tidak jarang muncul kesan bahwa peneliti meragukan jawabannya. Termasuk cerita masa lalu para informan.
Berdasarkan hal tersebut maka secara struktural model memori yang dimiliki para informan berjenis memori jangka panjang (Long Term Memory) bahkan ada yang berjangka amat panjang hingga puluhan tahun yang lalu. Kemudian level pemrosessan memori para informan secara jelas diproses secara mendalam. Ketika terungkapkan substansi memori para informan tampak ada memori yang semantik, ada yang prosedural dan ada yang episodik. Cerita masa lalu yang dialami para informan berhamburan keluar baik berupa peristiwa, nama, nilai norma bahkan hingga suasana saat peristiwa dulu itu. Oleh karena itu wawancara yang dilakukan peneliti seolah sebagai stimulus yang kemudian mengaktifkan berbagai simpul informasi (distribusi pemrosesan paralel). Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa para informan khatib ini punya keahlian khutbah dengan akurasi memori yang cukup tinggi.


4.    Refleksi Metodologi

             Studi lapangan ini sedikit menggunakan survei dan leih banyak mengandalkan pada data hasil wawancara. Wawancara-mendalam kepada informan yang terpilih masih sebatas 4 orang khatib meski secara metodologis bisa mewakili kategori masing-masing. Untungnya transkrip data lapangan keempat informan cukup lengkap dan tajam meski hanya berdasarkan pada 6 buah pertanyaan utama. Tampak bahwa jawaban di luar pertanyaan, terutama mengenai jatidiri khatib, sempat didapatkan sehingga melengkapi data yang dibutuhkan.
            Manakala dengan perpanjangan waktu untuk penelitian sehingga bisa dilakukan pengamatan  (observasi)  dan juga wawancara kepada lebih banyak informan, niscaya data yang didapatkan bisa lebih banyak dan lebih detail. Penajaman dengan perbandingan data di antara para informan lengkap dengan kekhususan masing-masing mungkin bisa jauh lebih “berwarna-warni”. Apalagi survei yang dilakukan juga mencakup pada pemetaan mengenai kondisi jamaah/ummat, tentu kelengkapan faktornya menjadi bisa lebih mewakili (representatif).
             Kendati demikian dengan segala keterbatasan, baik waktu, kesempatan maupun sumber maka penelitian ini telah memulai untuk mengkaji secara terbuka mengenai memori khatib tentang materi khutbahnya. Diharapkan kelak ada penelitian lain yang jauh lebih representatif ataupun bisa menindaklanjuti temuan pada penelitian ini.   
    

E.    Penutup



Penelitian lapangan ini dengan segala keterbatasannya telah berhasil menemukan beberapa pokok-jawaban (kesimpulan) yang bisa dirumuskan sebagai

1.    Kemampuan memori khatib tentang materi khutbahnya tergolong cukup kuat. Faktor pengalaman, kemampuan dan kesungguhan khatib dalam menyiapkan setiap materinya menegaskan bahwa Khutbah Jumat bagi mereka selain untuk memenuhi syarat sah ritual Salat Jumat juga diberi makna-bobot kegunaan sehingga bisa membimbing jamaah dalam meningkatkan ketaqwaannya. Dari keempat orang informan, kesemuanya memiliki arah, sasaran, bahkan target materi dalam setiap khutbahnya sehingga keempatnya pernah merasakan terpenuhinya maksud tersebut kendati satu kali. Hal ini menandakan bahwa memori khatib tentang materi khutbahnya tergolong kuat; seperti ketika diminta untuk menceritakannya kembali maka keempatnya secara lancar dalam mengingat dan menjelaskannya.

2.    Kemampuan memori khatib tentang ayat-ayat Al-Qur’an tergolong kuat, lebih kuat daripada memorinya tentang materi khutbahnya. Ada khatib yang mulai memasukkan memori al-Quran saat masih kanak-kanak dan ada pula saat remaja. Keempat informan khatib menyebutkan bahwa hal itu merupakan “modal” mereka dalam berkhutbah. Kemudian upaya untuk menjaga dan meningkatkan hafalan al-Quran selalu dilakukan oleh para khatib secara terus-menerus untuk kemudian menggunakan hafalan tersebut sebagai bacaan dalam salat tahajud atau sebagai bahan untuk mengajar, mengaji dan mengisi ceramah.

3.    Terdapat berbagai spesialisasi (kekhususan) materi yang disampaikan khatib dalam khutbahnya. Adapun keragaman metode penyampaiannya, sesuai dengan arah, minat, kemampuan dan penilaian khatib akan kondisi keberagaman jamaahnya. Tetapi sayangnya  belum ada penataan/pengaturan materi misalnya antarkhatib dalam satu masjid, (kecuali mungkin masjid tertentu di kota besar)  sehingga bisa terjadi upaya sinergis khatib/khutbah untuk meningkatkan ketaqwaan umat. Tema yang dikehendaki takmir-masjid bisa dikemukakan kepada khatib sehingga lewat materinya dan pendekatan masing-masing khatib menyampaikan tema tersebut kepada jamaah.

4.    Kategorisasi memori para khatib berdasarakan penuturan keempat informan menunjukkan bahwa secara struktural tergolong memori jangka panjang (long term memory). Kemudian level memorinya tergolong diproses secara mendalam terbukti dengan kesungguhan persiapan materi khutbah dan hafalan al-Qur’annya. Adapun substansi memori terbagi secara merata menjadi memori episodik, memori semantik, dan memori prosedural. Karena kehadiran peneliti yang spontan langsung diterima dan dilakukan wawancara maka ibarat stimulus telah mengaktifkan berbagai simpul informasi yang dimiliki para khatib informan (distribusi pemrosessan paralel ).

   Sesungguhnya persoalan khatib dan khutbah di lapangan manakala didalami akan banyak dimensi yang bisa ditajamkan. Berdasarkan penelitian sederhana lagi singkat ini maka hal yang perlu direkomendasikan adalah :

1.    Perlunya forum komnikasi antarkhatib, baik dalam batas satu masjid atau dalam lingkup desa/kecamatan. Dengan forum komunikasi antarkhatib tersebut diharapkan terjadinya saling–mengenal (ta’aruf), saling–memahami (tafahum), serta saling–kerjasama (ta’awun) sesama khatib dalam membina ketaqwaan jamaah/umat. Ibarat lidi-lidi bila kemudian disatukan dan dipertalikan maka akan bisa jauh lebih berjalinan, bermanfaat dan kuat dalam membimbing umat.

2.    Perlunya semacam buku panduan materi Ajaran Islam secara terperinci sampai pada kisi–kisi yang terstandar yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadis serta Ilmu Pengetahuan. Dengan buku tersebut maka bobot materi yang disampaikan khatib dalam khutbahnya bisa dipertanggungjawabkan secara materi. Adapun kepekaan dan seni (sense and art) para khatib akan muncul pada kualitas dan kedalaman karakternya yang tampak pada ketepatan metode penyampaian dan pendekatannya terhadap jamaah/umat.

                                                                  Muntilan, 26 Desember 2004










Daftar Pustaka



BPS. Kabupaten Magelang Dalam Angka Tahun 2001. Kota Mungkid: BPS Kabupaten Magelang, 2002
Matlin, M. W. Cognition. Orlando, Florida: Harcout Brace & Company, 1998
Miles, Matthew B dan A. Mitchael Huberman. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press, 1992
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya, 1989
Parkin, A. J. Essential Cognitive Psychology. Hove, East Sussex: Psychology Press, 2000
Rasyid, Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000




       

.








[1] Lihat Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000) hlm. 125
[2] Wajib ‘Ain adalah amalan tertentu yang merupakan keharusan untuk dilakukannya bagi setiap manusia tanpa bisa digantikan
[3] Sunnat Muakkad adalah kegiatan (amalan) anjuran tetapi amat dipentingkan dan dikuatkan untuk dikerjakannya
[4] Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Karya, 1989) hlm. 105
[5] Semua data mengenai Kabupaten Magelang dalam makalah ini diambilkan dari Kabupaten Magelang Dalam Angka 2001. (Kota Mungkid: BPS Kabupaten Magelang, 2002)
[6] Lihat Matthew B. Miles dan A. Mitchael Huberman, Analisis Data Kualitatif (Jakarta : UI Press, 1992) Hlm. 176.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar