Senin, 07 Mei 2012

Relasi Dalil Filsafat dan Dalil Agama


RELASI DALIL FILSAFAT DAN DALIL AGAMA
MENGENAI TEOLOGI METAFISIKA
Oleh: Muhammad Nasirudin


       Tanda seorang kafir adalah ia hilang di dalam cakrawala; tanda seorang mukmin adalah cakrawala hilang di dalam dirinya (Mohammad Iqbal)[1]


Pendahuluan


       Sebelumnya mohon dipahami, kendati tulisan ini sudah diusahakan bisa seobjektif mungkin tetapi keserbaterbatasan pemahaman penulis dalam mengangkat topik ini tentu menyiratkan subjektivitasnya. Artinya, apa yang dipaparkan nanti mungkin belum sampai pada ‘Relasi Dalil Filsafat dan Dalil Agama’ yang sebenarnya, melainkan baru mencapai pernyataan-pernyataan yang penuh keterbatasan pengertian penulis mengenai soal tersebut. Oleh karena itu ‘kebenaran’ ataupun ‘kesalahan’ yang dikandung tulisan ini hendaknya dipandang sekadar sebagai kebenaran dan kesalahan penulis dalam mengeksplorasi topik ini.
       Rumusan masalahnya adalah relasi dalil filsafat dengan dalil agama dalam soal Teologi Metafisika. Seperti kita pahami bersama bahwa dalam tradisi filsafat terdapat bidang Teologi Metafisika yang membicarakan keberadaan Tuhan dengan dalil-dalil filosofis. Ada empat pendekatan yang semuanya sampai pada keberadaan Tuhan, yakni logika ontologis (The Perfect Being), kosmologis (Causa Prima), teleologis (The Greatest Intelligent Designer), serta etika moral (Law Giver). Bagaimana kejelasan keempat dalil tersebut serta bagaimana pula dalil agama, dalam hal ini al-Qur’an, “dipaksa” menanggapinya ?


Hukum Kausalitas : Kosmologi dan Ontologi


       Bahwa manusia hidup di alam ini telah disertai dengan akal yang bisa berfikir mengenai apa saja, termasuk juga mengenai keberadaan “Sesuatu Yang Ideal”. Bermula dari mengamati lantas merenungkan untuk kemudian sampai pada menyimpulkannya. Ibnu Khaldun, filosof muslim, menuliskan hasil perenungannya itu dan dikenal sebagai dalil hudust[2] :
                  Semua yang baru dalam alam ini baik berupa barang/benda atau perbuatan mesti ada sebab-sebab yang mendahuluinya. Tiap-tiap sebab dari rangkaian sebab-sebab itu baharu pula, dan oleh karena itu memerlukan kepada sebab-sebab yang lain. Sebab-sebab tersebut bertingkat-tingkat sehingga sampai kepada sebab dari sebab, yang menjadikan sebab-sebab, dan menciptakan sebab-sebab, yaitu Tuhan yang tiada Tuhan lain selain Dia.
Inilah dalil kosmologis bahwa Dia-lah yang menjadi Sebab Utama,Causa Prima atas segala hal yang tergelar di alam raya ini.
       Sedangkan untuk dalil ontologis, Pascal, filosof-ilmuwan, merumuskan[3] :
                  Pengetahuan kita tentang Tuhan termasuk salah satu pengetahuan pertama yang tidak memerlukan kepada dalil-dalil pikiran karena aku bisa tidak ada kalau ibuku meninggal dunia terlebih dahulu sebelum dilahirkan hidup. Jadi aku bukanlah zat yang wajib al-wujud, dan aku bukan selamanya ada (tidak berkesudahan). Karena itu harus ada zat yang wajib al-wujud yang ada selamanya dan yang tidak berkesudahan dimana wujudku bersandar kepadanya.
Zat yang wajib al-wujud tersebut adalah Tuhan sebagai The Perfect Being. Inilah pendekatan ontologis yang bersama pendekatan kosmologis sebelumnya berpijak pada hukum sebab-akibat (kausalitas).


Pendekatan Teleologis dan Moral


       Dalil yang lain dengan pendekatan teleologis. Dasarnya adalah perenungan akan keteraturan, kerapian, kkemudian perencanaan dan kesengajaan serta hikmah dan kebijaksanaan yang tergelar di alam semesta ini. Ternyata segala hal tersusun rapi, terencana matang, berjalan teratur; kalaupun kemudian tampak ada bencana atau keburukan ternyata terdapat hikmah rahasia yang tersembunyi; sehingga dengan demikian pastilah ada zat yang Maha Perencana, Maha Pengatur, Maha Berkreasi dan itulah Tuhan sebagai The Greatest Intelligent Designer[4].
       Muncul kemudian dalil yang tidak puas dengan ketiga dalil sebelumnya. Bermula bukan dari akal sulit, melainkan melainkan dari akal-praktis (la raison practique) yang dikembangkan Imanuel Kant[5]. Bahwa dalam diri kita ada perasaan kuat yang memerintah kebaikan dan mencegah keburukan serta menyiksa kita ketika kita kerjakan dosa dan kesalahan. Perasaan kuat tersebut bukan datang dari akal teori ataupun dari penginderaan/pengalaman. Inilah akal-praktis yang merupakan undang-undang moral dan menjadi dasar kejadian diri kita. Akibatnya dengan pendekatan moral-etis ini perlu adanya keabadian jiwa pada kehidupan yang lain dan membuktikan pula perlu adanya hari pembalasan. Kelak zat yang Maha Pembalas, Maha Berkuasa dan Maha Adil itulah Tuhan sebagai Law Giver.

 

 

Dalil Al-Qur’an Mengenai Teologi Metafisika


       Al-Qur’an tidak ‘membuktikan’ adanya Tuhan tetapi ‘menunjukkan’ cara untuk mengenal Tuhan melalui alam semesta yang ada, demikian Fazlur Rahman dalam puncak renungannya[6]. Dengan pengamatan serius akan al-Qur’an dia melanjutkan renungannya bahwa setiap sesuatu di alam semesta ini adalah “petanda” Tuhan. Dua renungan Rahman ini sungguh bisa menjadi paradigma yang kemudian jika direlasikan dengan persoalan Teologi Metafisika niscaya sejajar, relasinya amat kuat, bahkan nyaris tidak berselisih.
       Mari kita cermati empat ayat al-Qur’an berikut ini :
Ataukah mereka dijadikan dari tidak ada ataukah mereka menjadikan dirinya sendiri ? (QS 52:35)
Akan Kami tunjukkan kepada mereka tanda-tanda Kami di sekitar jagat dan dalam diri mereka sendiri sehingga nyata bagi mereka bahwasanya Ia (Tuhan) itu benar (QS 41: 53)
Maka apakah kamu sangka bahwa Kami jadikan kamu itu sia-sia dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami ? (QS 23:115)
Dan sebagian dari manusia ada yang membantah tentang (wujud) Allah tanpa ilmu dan ia mengikuti syetan yang inkar (QS 22:3)
       Keempat dalil al-Qur’an tersebut sejajar betul dengan dalil ontologis, kosmologis, teleologis serta moral-etis. Bahkan secara retoris bertebaran ayat al-Qur’an yang diakhiri dengan pertanyaan menggugah : Apakah kamu tidak berpikir? Apakah kalian tidak mengetahui? Apakah kamu tidak menyadari?
       Kesejajaran dan hubungan kuat antara dalil filsafat (benar) dengan dalil al-Qur’an bisa pula kita perluas menjadi kesejajaran antara Ilmu Pengetahuan dengan Agama. Idealnya ada saling dukung dan saling isi di antara keduanya. Bahkan Syekh Nadim Al-Jisr[7] menegaskan bahwa agama yang benar tidak berkeberatan menerima kebenaran-kebenaran ilmu pengetahuan, tidak pula berlawanan, juga tidak membeku terhadapnya.[8]

Penutup


      Sesungguhnya relasi antara dalil Teologis Metafisika dengan dalil al-Qur’an seperti di atas, kendatipun bisa dan ternyata positif, masih berkesan “dipaksakan”. Sebab masing-masing telah punya metode, sistem dan pendekatan yang khas sehingga relasi yang ada sebenarnyalah ‘diada-adakan’ saja sebagai eksplorasi atas curiosity manusia yang memang kreatif. Al-Qur’an dan Agama Islam sungguh sudah lengkap dengan sistemnya sendiri, demikian juga dengan Teologi Metafisika.
       Kemudian sebagai pelengkap topik ini ada pemikiran Toshihiko Izutsu mengenai relasi Tuhan dan manusia menurut al-Qur’an[9]. Lewat pendekatan semantiknya dengan paradigma ontologis bahwa ‘dunia’ al-Qur’an sangan teosentris, Izutsu mendapati relasi yang kompleks antara Tuhan dengan manusia. Relasi kompleks itu secara konseptual bisa dianalisis berdasarkan empat bentuk yakni Relasi Ontologis, Relasi Komunikatif, Relasi Tuan-Hamba serta Relasi Etis. Empat relasi ini sungguh menarik dicermati karena menurut Izutsu bahwa itulah ungkapan aseli al-Qur’an tanpa pretensi penyesuaian apapun dengan konsep di luar al-Qur’an.

       Wallahu a’lam bis sawab.

                                                                                       Muntilan, 23 Januari 2004


[1][1] Lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an (Bandung: Pustaka, 1983) Cet. I hlm. 33
[2] Dalam Syekh Nadim Al-Jisr, Kisah Mencari Tuhan, Uraian Teologis-Filosofis tentang Wujud             Tuhan (Jakarta: Bulan Bintang, 1994) Cet. III hlm. 61
[3] Ibid, hlm. 129
[4] Ibid, hlm. 166
[5] Ibid, hlm. 167
[6] Fazlur Rahman, op. cit. hlm. 15
[7] Syekh Nadim, op. cit. hlm. 211
[8]
[9] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997) Cet. I hlm. 75-80

Tidak ada komentar:

Posting Komentar