Minggu, 19 Oktober 2014

tafsir ringkas

Seda Sedherekipun Sare (S3)
ª!$# ®ûuqtGtƒ }§àÿRF{$# tûüÏm $ygÏ?öqtB ÓÉL©9$#ur óOs9 ôMßJs? Îû $ygÏB$oYtB ( ہšôJçŠsù ÓÉL©9$# 4Ó|Ós% $pköŽn=tæ |NöqyJø9$# ã@Åöãƒur #t÷zW{$# #n<Î) 9@y_r& K|¡B 4 ¨bÎ) Îû šÏ9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍËÈ
Allah ngasta nyawane (pawongan) nalikane mati lan (ngasta) nyawane (pawongan) kang durung mati nalikane turu; mula Panjenengane nahan nyawa (pawongan) kang wus katetepake patine lan Panjenengane ngeculake nyawa liyane nganti tumeka mangsa kang wus den temtokake. Satemene ing ndalem kaya mengkono iku ana tandha-tandha kekuasaane Allah tumrap kaum kang gelem angen-angen, menggalih (QS az-Zumar/Rombongan [39]: 42).
Hanya Allah saja yang menggenggam secara sempurna nyawa makhluk ketika tiba masa kematiannya, sehingga nyawa tersebut berpisah dari badannya dan demikian juga hanya Dia yang menggenggam nyawa makhluk yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah dalam genggaman tangan-Nya dan di bawah kekuasaan-Nya nyawa makhluk yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan nyawa yang lain yakni yang tidur agar kembali ke badan yang bersangkutan sampai waktu yang ditentukan bagi kematiannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat ayat-ayat yakni bukti-bukti yang nyata atas kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir (QS az-Zumar [39]:42).
Kebanyakan manusia takut mati. Bukan karena peristiwa mati itu sendiri melainkan lebih karena setelah mati masih amat gelap dan kosong informasi. Didekati dengan apapun tetap sulit terbuka, tidak terkuak. Ilmu, apapun, jelas tidak bisa memberikan informasi karena sifat ilmu yang empiris berdasarkan pengalaman. Siapa di antara kita yang pernah mengalami mati dan kembali hidup dengan info tersebut? Tak ada. Filsafat sebagai pendekatan logika sekadar bisa mengira-ira secara spekulatif. Seni sebagai pendekatan harmoni-indah jelas tidak mampu. Satu-satunya pihak yang mungkin mampu memberi informasi tersebut, bila kita mempercayainya adalah agama. Agama bisa meneranginya dan mengisi kekosongan informasi seputar dan setelah mati itu.
Wafat, mati, meninggal dunia, mangkat, gugur, tewas. Nyawa tidak lagi kembali ke badannya, sebab waktu yang ditentukan-Nya sudah dilalui. Nyawa itu, menurut agama, kini ditahan-Nya guna meneruskan proses menuju Tuhan. Namun sesungguhnya kita telah dilatih untuk menghadapi mati itu, bahkan pernah merasakan mati-sementara, yakni lewat peristiwa tidur. Tidur sungguh merupakan saudara mati (QS az-Zumar [39]:42).
Setiap akan tidur kita berdoa kepada Allah dengan membaca Bismika Allahumma ahya wa bismika amutu, ‘Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup dan dengan nama-Mu pula aku mati’. Ya hidup-mati, tarjaga-tertidur. Kita akan bisa tidur nyenyak jika selagi terjaga kita mampu beraktivitas optimal hingga lelah fisik-psikis. Sebab ikhtiar duniawi yang maksimal disertai dengan sikap ikhlas total akan berefek positif bagi hidup dan istirah yang hakiki. Tidur pulas kualitatif. Bahkan ketika tidur pun kita bisa berbahagia dengan mimpi-mimpi indahnya. Dalam istilah tasawuf ada ru’yah shadiqah seperti apa yang pernah dialami oleh Nabi Ibrahim AS juga Nabi Yusuf AS, mimpi kebenaran, mimpi yang tidak lagi sekadar ‘bunga-tidur’; bahkan kemudian mampu menakwilkannya.

Setelah bangun dari tidur itu kita berdoa dan membaca alhamdulillahi alladzi ahyana ba’da ma amatana wa ilaihin nusyur, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkanku setelah mematikanku, serta hanya kepada-Nya kita akan kembali’. Bangun, sadar, terjaga. Pengalaman mati-sementara itu membekas sebagai komitmen bahwa kita menuju Tuhan di kemudian hari. Akankah kita lupa hal itu? Latihan mati itu kita lakukan setiap hari, bahkan kadang 2-3 kali sehari-semalam, hingga kini. Maka ketika betul-betul mati, sesungguhnya kita sudah tidak lagi ‘terkejut’. Sudah terlatih, sudah terbiasa, mustinya. Namun nyatanya, mudah benar kita terlupa dan terkejut, karena hidup sering lemah atau kurang kesadarannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar