Jumat, 05 Juli 2013

Membangun Karakter

Telaah Pustaka

Membangun Karakter Lewat Sekolah?

Judul Buku          : Pembelajaran Al-Islam Reflektif (Reaktualisasi Model Pengajaran Kiai Dahlan)
Penulis                 : Dr. Suliswiyadi, M.Ag.
Penerbit              : UMM Press Magelang
Cetakan               : I, Mei 2013
Tebal Buku         : xii + 171 halaman

                Bisakah membangun karakter hanya lewat Sekolah? Amat berat dan tampaknya mustahil. Sebab minimal tiga ranah harus dirambah yakni budaya, pendidikan dan agama. Pelaku pun harus berasal dari banyak pihak di antaranya ada orang-tua di dalam keluarga, pendidik di sekolah, tokoh di masyarakat dan pejabat di pemerintahan. Oleh karena itu menumpukan persoalan karakter hanya di sekolah sungguh tidak tepat, ibarat menebang pohon besar hanya dengan memakai silet, kapan robohnya. Pembentukan karakter menghajatkan dan melibatkan banyak pihak yang terkait kehidupan peserta didik yang tentu lintas bidang, lintas wilayah bahkan lintas ranah kehidupan.
                Namun sekolah sebagai lembaga simbol kecerdasan-kebaikan-keadaban yang baik-benar-indah sekaligus pusat harapan masyarakat perlu mengoptimalkan diri berperan dalam pembangunan karakter ini. Lewat pendekatan akademik-konseptual penulis buku ini, Suliswiyadi, berikhtiar untuk itu. Penulis yang dikenal menggeluti bidang pendidikan, bahkan tahun 2005-2015 ini menjabat sebagai Ketua Majelis Dikdasmen PDM Kabupaten Magelang apalagi disertasinya juga mengangkat soal PAI ini tentu cukup tepat. Ini memang bukan bahan disertasi Suliswiyadi di UIN Suka 2011 tetapi terkait. Suliswiyadi mengeksplorasi wacana karakter dengan fokus pada model pengajian-pengajaran Kiai Dahlan ketika menafsirkan QS Al-Ma’un yang fenomenal itu.
                Kiai Dahlam dalam kuliah subuh di Langgar dhuwur, Kauman Yogyakarta ketika itu menyampaikan uraian surat al-Maun berulang-ulang. Tidak tahan dengan itu, santrinya, H. Soedja’ memberanikan diri bertanya, “Mengapa pelajaran tidak ditambah, Kiai?” Kiai Dahlan balik bertanya, “Apakah kalian sudah mengerti betul?” “Sudah” jawab mereka. “Apakah kalian sudah mengamalkannya?” “Sudah, yakni dengan membacanya dalam shalat”, jelas Soedja’. Pengamalan yang begitu dianggap belum tepat oleh Kiai Dahlan saat itu. Beliau kemudian menunjukkannya dengan cara meminta para santrinya pergi ke pasar guna mendapatkan anak-anak yatim dan orang miskin lantas membawanya pulang, memberinya makan, perlengkapan hidup dan tempat tinggal. Jadilah kemudian ada rumah Penolong Kesengsaraan Oemat (PKO). Begitulah model yang disebut Suliswiyadi sebagai pembelajaran reflektif.
                Suliswiyadi mengutip J. Drost yang menegaskan adanya lima langkah pembelajaran reflektif, yakni: konteks belajar, pengamalan, refleksi, aksi serta evaluasi. Dengan model ini titik-tekan pembelajaran bergeser dari having religion menjadi being religious dan being humane. Format model Drost ini secara konseptual memang cukup ideal namun apa artinya begitu jika tidak mampu mendorong pada perwujudan yang nyata?
Tiga Penentu Utama
                Azyumardi Azra (2010) menegaskan bahwa pembentukan karakter termasuk dalam pendidikan nilai. Pada pendidikan nilai ini terdapat tiga penentu utama langkah keberhasilannya. Ketiganya adalah (1) hadirnya teladan yang hidup (living exemplary), (2) adanya peran klarifikasi nilai-nilai positif yang ada di lingkungan sosial, serta (3) digunakannya pendekatan berbasis karakter-nilai untuk semua pelajaran yang disampaikan. Suliswiyadi sempat menyebut hal ini (hlm. 99-100) namun hanya sekilas sehingga model pembelajaran yang ditawarkan buku ini menjadi berkesan lebih administratif-akademis. Sedang sesungguhnya persoalan karakter tentu lebih substantif sehingga perlu eksplorasi secara proporsional. Hal ini sejalan dengan ungkapan pendidikan at-tariqah ahammu min al-madah, al-mudarrisu ahammu min at-tariqah, ar-ruh al-mudarris ahammu min al-mudarris (metode-cara lebih menentukan daripada materi, guru lebih menentukan daripada metode-cara, karakter guru lebih menentukan daripada guru).
Pembelajaran Al-Islam Reflektif
                Letak kekuatan buku ini ada pada hubungan tiga tema. Tiga tema itu yakni Kurikulum Al-Islam Kemuhammadiyahan (AIK) yang dibuat Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, model pengajian Kiai Dahlan yang fenomenal serta dilengkapi dengan administrasi implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Penulis dalam lima bab isi buku ini secara rinci menguraikan mulai dari tradisi pengajaran Kiai Dahlan dalam Dakwah Muhammadiyah, model reflektif dalam pembelajaran al-Islam, serta pengembangan silabus dan RPP al-Islam dalam pembelajaran reflektif. Ada pula contoh konkret perangkat pembelajaran pembelajaran untuk mapel Kemuhammadiyahan, Akhlak dan Al-Quran di tingkat SD/MI, SMP/MTs, juga untuk SMA/MA/SMK. Semuanya lengkap unsur mulai dari Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Program Tahunan, Program Semester, Silabus Pembelajaran, RPP berpola Reflektif. Adapun letak pembeda dari seumumnya RPP adalah ditegaskannya karakter siswa yang diharapkan dengan kegiatan inti berupa (i) eksplorasi pengalaman, (ii) refleksi, serta (iii) aksi dan konfirmasi (hlm 120-160). Kata pengantar buku ditulis oleh Haedar Nashir yang sosiolog sehingga mampu jelas memetakan urgensi ide buku ini.
                Tampaknya penulis sedang memprihatinkan secara serius kualitas pembelajaran AIK yang hingga kini berlangsung di Sekolah-sekolah Muhammadiyah. Ada pertanyaan nakal: Mengapa orang mau menyekolahkan anak-anaknya di Sekolah Muhammadiyah? Ya, karena tidak perlu khawatir kalau anaknya yang disekolahkan di Muhammadiyah itu lantas akan menjadi Muhammadiyah, apalagi menjadi kadernya; tidak akan. Demikian pernah dikatakan oleh salah seorang personal PP Muhammadiyah. Penulis buku ini tampaknya ingin membuktikan bahwa pembelajaran AIK itu bisa berefek positif dan secara langsung berdampak; baik bagi peserta didik maupun bagi persyarikatan. Oleh karena itu guru AIK di sekolah-sekolah Muhammadiyah jadi perlu untuk mencermati tawaran solusi yang cukup berani dalam buku ini. Apalagi pendidikan yang bermodel Muhammadiyah Boarding School (MBS), peluang berhasil pembentukan karakternya mungkin jauh lebih besar.  Ya, setelah konsepnya utuh perlu untuk diwujudkan secara nyata!
Muhammad Nasirudin, Kepala Perpustakaan Pondok Pesantren Pabelan, Mungkid, Magelang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar