Minggu, 25 Desember 2011

Doa Klarifikasi

Hikmah :
Doa Klarifikasi
Oleh: Muhammad Nasiruddin


Ya Allah, tampakkanlah kepadaku kebenaran sebagai kebenaran dan kuatkan aku untuk mengikutinya; serta tampakkanlah kepadaku kesalahan sebagai kesalahan dan kuatkan pula aku untuk menyingkirinya (Nabi Muhammad SAW)


Selain mohon klarifikasi atas hal yang belum jelas salah-benarnya, tuntunan doa Rasulullah dari riwayat Imam Ahmad di atas juga mohon kekuatan agar kita kuasa atau mampu bersikap konsekuen terhadapnya. Jikalau hal yang kita mohonkan itu benar maka dikuatkanlah kita untuk mengikutinya serta jikalau salah dikuatkan pula untuk menyingkirinya. Inilah salah satu ikhtiar secara mental-spiritual kita manusia dengan memohon doa kepada Tuhan Allah SWT agar fenomena yang tergelar di hadapan yang sementara ini masih samar-samar mampu terkuak-terbuka sepenuhnya sehingga identitasnya menjadi jelas-tegas. Bilamana biasanya doa itu hanya dilantunkan oleh para pelajar-murid guna memulai proses belajarnya di kelas-sekolah maka sesungguhnya ditilik dari isi dan kepentingannya sangat tepat kita gunakan untuk mengatasi persoalan lainnya yakni masalah kehidupan yang banyak dan beragam: politik, sosial, ekonomi, budaya, dll. Termasuk untuk kita memilih di Pemilu nanti. Lingkup persoalannya pun bisa seluas negara, bahkan seluas dunia, apalagi hanya di tingkatan lingkungan, keluarga ataupun diri-pribadi.
Al-haq ‘kebenaran’ dalam doa itu dipertentangkan secara frontal-tegas dengan al-batil ‘kesalahan atau kebohongan’. Menurut al-Quran memang keduanya tidak boleh kita campur adukkan (QS 2 [al-Baqarah]:42), sebab posisi dan karakternya amat berlawanan. Jika al-haq secara kebahasaan bermakna sesuatu yang nyata ataupun kebenaran objektif dan kebenaran informasi yang sesuai realitas maka al-batil sebaliknya. Al-batil dipahami sebagai suatu kebohongan atau kesia-siaan yang tanpa landasan kuat.
Kemudian sikap konsekuen terhadap al-haq itu disebutkan sebagai tasdiq ‘membenarkannya’, yang diwujudkan lewat ketaatan dan ketepatan dalam mengikuti ketentuan yang menyertainya. Siapa yang tidak bersikap demikian itu, maka akan berarti sebaliknya yakni bersikap takdhib ‘mendustakan atau berkhianat’ terhadap kebenaran sehingga mereka menjadi tergolong pengikut kebatilan. Pengikut al-batil ini menolak ‘realitas’ baik itu datangnya dari Wahyu (qauliyah) maupun dari Sunnatullah (kauniyah); mereka mengatakan bahwa ‘realitas’ itu sebagai kebohongan lantas membuat-buat alasan tanpa dasar yang formatnya hanya khayalan mereka belaka.
Lantunan doa di atas sering kita dengar dari anak-didik ketika di kelas sekolah dengan maksud guna mendapatkan klarifikasi atas pelajaran yang diterimanya. Namun tidak saja berguna bagi anak-didik di sekolah, doa ini juga bermanfaat bagi kita manusia dewasa dalam menghadapi aneka permasalahan hidup, khususnya yang masih samar-samar belum jelas. Artinya, signifikan ketika kita jumpai ketidakjelasan ‘warna’ dari persoalan penting apa pun yang menghadang kita. Mungkin saja sebuah persoalan tidak mudah untuk disebut sebagai berwarna putih-bersih, namun tidak tepat juga disebut berwarna hitam-legam. Oleh karena itu perlu kita menyianginya, memilah-milah dan memilih-milih, sebelah mana benarnya dan sebelah mana pula salahnya tanpa terkontaminasi kepentingan subjektif tertentu sehingga hasilnya objektif sesuai realitas. Doa klarifikasi ini merupakan ikhtiar kita secara mental-spiritual selain ikhtiar fisik dan intelektual-organisasional.
Munculnya kejelasan ‘warna’ dari persoalan tersebut insya Allah memformat sikap konsekuen kita selanjutnya. Namun benar-benarkah kita mampu secara konsekuen? Untuk itulah kita berdoa dan memohon pertolongan kepada Dzat yang Maha Mengetahui. Pertama, kita mengkonsultasikan persoalan kita kepada sumber al-haq sehingga ada dan mendapatkan klarifikasi; serta yang kedua kita memohon ‘doping’ kekuatan agar mampu bersikap konsekuen terhadap hal tersebut.
Menunda untuk berdoa alias menunda adanya klarifikasi sungguh hanya berarti memperpanjang ketidakjelasan persoalan yang bisa berakibat melemahkan kekuatan akses kita kepada Sang Mahakuat, yakni Tuhan Allah SWT. Bukankah hidup kita yang pendek ini harus juga menjadi jelas, kuat dan bermakna sesuai dengan konsep al-haq? Wallahu a’lam bish shawab. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar