Sabtu, 10 Desember 2011

Payung Madinah Mingkup

Payung Madinah Mingkup
 
Rumah saya menghadap ke timur di Jalan Kartini 10 Kauman Muntilan. Di seberang rumah ada kompleks luas Pasturan Muntilan yang memanjang dari utara SMA Van Lith, Gereja Antonius, Perumahan Bruder hingga Susteran. Di sebelah selatan Susteran ada kompleks RSU Muntilan yang nama resminya RSUD Kabupaten Magelang. Kemudian selang tiga petak di sebelah utara rumah saya ada kompleks Pesantren Tahfiz al-Quran yang menghadap ke arah utara, ke Lapangan Pemda. Tiga tempat sekitar rumah ini --Pasturan, RSU dan Pesantren-- yang nantinya dipadati korban dan pengungsi erupsi Merapi 2010.
Selasa, 26 Oktober 2010 sore saya mengikuti rapat Ormas di markasnya, Mungkid, sekitar 6 kilometer sebelah barat Muntilan. Saat kami asyik membahas agenda rapat, tiba-tiba lewat HP isteri saya memberitahu bahwa Merapi meletus dan hujan lebat abu disertai pasir kerikil; melarang saya pulang sebelum hujan reda karena jalanan amat licin. Usai rapat jam 20.00 hujan reda saya pulang ekstra hati-hati: dua pengendara sepeda motor terpeleset di jalan sebelah utara Terminal Muntilan; suasana ramai bahkan panik di RSU Muntilan; di rumah saya lima orang menungguku bersilaturrahmi karena saya salah satu calon jemaah haji kloter 70 Solo yang akan berangkat 2 November. Salah satu pembicaraan silaturahmi di rumah adalah malam itu kami menyiapkan pesantren sebagai alternatif tempat pengungsian.
Saya adalah salah seorang imam di mesjid jami’ al-Fath Kauman Muntilan. Pada dini hari Rabu sebelum Subuh sengaja saya pergi ke masjid lewat pesantren yang terdengar ramai. Benarlah sudah ada 250-an orang dari dusun Dukuh, Mangunsoka, Kecamatan Dukun yang sejak jam 01.30 diangkut truk TNI dari pemukiman mereka di tepi Kali Senowo. Setelah berjamaah Salat Subuh di mesjid jami’ saya umumkan kepada jamaah akan kehadiran warga Dukuh Mangunsoka itu. Sekaligus saya imbau untuk bersedekah membantu kebutuhan darurat pengungsi pagi itu dengan minuman dan makanan. Alhamdulillah itu yang terjadi dan hari-hari selanjutnya warga Kauman bersimpati serta berbagi dengan pengungsi. Mulai Sabtu, 30 Oktober setelah erupsi kedua, masjid al-Fath dipakai mengungsi 100-an orang dari Kalibening, Dukun. Tidak bisa saya saksikan langsung, mulai Jumat, 5 November tempat pengungsian bertambah lagi yakni di surau Mudzakir, tepat di belakang rumah saya.
Jadwal entry di Donohudan Solo untuk kloter 70 dari Kabupaten Magelang adalah Selasa, 2 November pukul 13.00 dan terjadi seperti itu. Namun jadwal untuk terbang ke Arab Saudi hari Rabu mundur menjadi Kamis jam 19.30 bahkan lewat Juanda Surabaya; embarkasi Solo ditutup karena ancaman erupsi Merapi. Di Donohudan kami diinapkan di mesjid al-Mabrur karena menumpuknya calhaj dari kloter 64 hingga 72; sebab kapasitas sesungguhnya Donohudan hanya lima kloter. Bila di daerah Magelang kami mengurusi pengungsi maka di Solo kami ibarat pengungsi. Kamis pagi di atas bus saat menuju Surabaya kami saksikan pemandangan mengharukan: Gunung Merapi tampak kecil di sebelah barat dan tertutup awan hitam bergulung-gulung. Inilah pemandangan yang mengantarkan kami beribadah haji. Sesampai di Jeddah Arab, Jumat 5 November kami dapatkan kabar bahwa semalam terjadi letusan paling besar hingga abunya sampai di Bogor dan hujan pasir di Purworejo. Maka sesaat sebelum melaksanakan Umrah kami berdoa bersama, istighasah. Spontan saat itu muncul perasaan bahwa kami diungsikan Tuhan dari bahaya Merapi dengan program haji ini!
            Di Mekah-Madinah kami terbuai oleh pelaksanaan ibadah meskipun kabar musibah hingga banjir kami ketahui. Maka ketika pulang ke tanah air, mendarat di Adi Sumarmo Solo, 14 Desember pukul 12.15 spontan kami mencari-cari bukti dampak musibah tersebut. Dalam perjalanan Solo, Klaten, Yogyakarta tak tampak jelas itu. Tetapi begitu rombongan bus kami melewati Kali Krasak masuk Kecamatan Salam Magelang mata kami cingak. Berpuluh-puluh pohon kelapa tampak seragam daunnya, semua pelepahnya patah hingga mengumpul di batangnya sehingga tampak menguncup. Ada salah seorang dari kami yang berucap, “Seperti payung Madinah mingkup!” yang lain pun tertawa mengiyakan kesamaan bentuknya dengan payung di mesjid Nabawi Madinah itu. Pencarian bukti berikutnya pemandangan yang memilukan: kebun salak yang pohonnya rusak dan semua daunnya kering, berserakan coklat keputihan. Terkesiaplah kami karena sebagian besar rombongan bus kami adalah petani salak dari Srumbung. Kalau di Salam saja seperti itu apalagi Srumbung yang lebih dekat Merapi. Jauh mengenaskan pemandangan di Kali Putih Jumoyo: kami dibuat tergeragap betapa lahar dingin pasir-batu menenggelamkan rumah-warung dan tentu menghanyutkan yang lainnya.
            Nyaris semua pohon di daerah kami menjadi langsing, patah daun dan cabang, bahkan ditebang tak kuat menahan musibah itu. Ancaman masih terus ada. Namun bagaimanapun pahit getirnya rasa tentu hidup terus kita jalani dengan tabah dan ikhtiar-optimal. Bismilah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar