Sabtu, 10 Desember 2011

Pedoman Praktis Hidup Beruntung


Khutbah Pertama

Pedoman praktis agar hidup beruntung? Untuk bisa hidup normal saja pada zaman penuh persoalan seperti sekarang ini sudah beruntung; apakah mungkin untuk hidup selalu beruntung dengan pedoman yang praktis? Jangan-jangan ini hanya permainan kata-kata seperti yang sering dikatakan banyak (calon) pejabat dan tetua publik di berbagai tempat yakni janji-kosong ataupun kampanye. Namun sungguh ini forum khutbah, bukan kampanye politik seperti itu; ini soal hakikat hidup manusia di dunia. Maka mari pada kesempatan ini kita kaji satu persatu, setahap demi setahap, mulai dari ancaman hidup yang semakin serius, makin perlunya kita akan pedoman hidup yang mapan, serta kandungan pedoman hidup praktis yang menuju pada keberuntungan hidup yang sejati.
Jamaah rahimakumullah,
Ancaman persoalan hidup manusia saat ini tampaknya semakin hari semakin menganga, semakin serius mengancam hidup kita. Misalnya perbedaan aspirasi di bidang politik yang semakin banyak dan tampak beraneka ragam. Jika pada Pemilu 2004 ada 24 parpol maka Pemilu 2009 sudah menjadi 38 parpol; apalagi dengan pilihan nama-nama calon legislatif (caleg) yang tentu semakin banyak pula. Jika kemarin perbedaan aspirasi itu hanya terjadi di antara jamaah atau kampung tentu ke depan ini bisa merangseg terjadi perbedaan aspirasi dalam satu jamaah bahkan bisa berbeda pilihan antara mertua dengan menantu, antara suami dengan isterinya dalam satu rumah. Lantas persoalan di bidang sosial juga semakin menyeruak karena makin renggangnya ikatan sosial dan melemahnya solidaritas sosial; masing-masing pihak tampak makin berani dalam menampilkan dirinya, mengemukakan maksud hatinya baik dengan ataupun tanpa bersambungan dengan konstelasi sosial yang terjadi sebelumnya. Kemudian persoalan perbedaan di bidang ekonomi tampak mencolok bukan main; apalagi tuntutan hidup yang semakin materialistik dengan persaingan yang bersifat kapitalistik-liberal maka hidup menjadi tampak semakin berat untuk dijalani, makin kurang nyaman. Sementara kriminalitas dan kejahatan mengancam siapa saja dan bisa terjadi di mana saja serta kapan saja tanpa pandang suasana.
Ya, ketika ancaman persoalan hidup manusia makin tampak serius seperti itu maka sesungguhnya makin serius pula keperluan kita akan pedoman yang benar, baik serta efektif guna mengatasi persoalan hidup. Alhamdulillah ternyata memang tersedia pedoman hidup seperti itu yang praktis, ringkas sekaligus filosofis-strategis. Pedoman ringkas ini jika kita gunakan untuk menjalani hidup secara konsisten maka insya Allah akan mengantar pelaku-pemeluknya pada kehidupan yang benar, baik, efektif bahkan kemudian selalu mendapatkan keberuntungan tanpa sedikitpun merugi. Insya Allah dengan pedoman tersebut kita pelakunya akan mampu mengisi hidup di dunia ini dengan penuh kemanfaatan, penuh amalan dan penuh rahmat bagi sesama.
Ma’asyiral muslimin rahima kumullah,
Pedoman ringkas yang dimaksud tertuang secara jelas dalam al-Quran Surah ke-103 yakni al-Ashr ayat 1-3 yang tentu mayoritas kita telah menghafalnya, bahkan anak-anak pun biasa melantunkannya. Akan kehebatan kandungan surat ini secara ringkas dikemukakan oleh Imam Syafii penulis kita al-Umm: lau fakkara an-Nasu kulluhum fi hadhihi as-Surati lakafathum “Seandainya manusia memikirkan kandungan surat ini niscaya sudah mencukupi dan memadai (untuk hidup)”. Mencukupi di sini bermakna tidak memerlukan yang lain; seandainya tidak diturunkan oleh-Nya surat dan ayat yang lain maka satu surat ini pun sudah memadai. Oleh karena itu surat ini menjadi penting betul dan menjadi prioritas dalam khutbah kita kali ini.
Wahyu yang turun di kota Makah pada urutan yang ke-13 ini secara ringkas memperingatkan manusia akan hakikat setiap perbuatannya dalam mengisi hidupnya di dunia ini. Diawali dengan sumpah Sang Khalik, wal ‘ashr “Demi waktu, demi masa”. Selain sumpah ini menyiratkan pentingnya manusia untuk memperhatikan waktu-masa juga sesungguhnya inilah modal utama yang dimiliki manusia untuk hidup di dunia, yakni waktu. Waktu yang berlalu hari ini tidak mungkin diharapkan esok bisa kembali; berbeda dengan rezeki yang jika tidak bisa diperoleh hari ini maka masih dapat diharapkan esok hari diperoleh hal yang lebih banyak lagi. Demikianlah, waktu secara linear terus berjalan, kadang terasakan cepat dan kadang terasa lambat namun sungguh tidak bisa diputar-ulang apalagi diberhentikan. Waktu selalu berlalu dan hanya menuju ke depan.
Jamaah rahima kumullah,
Karena itulah maka semua manusia dalam posisi merugi, innal insana lafii khusrin, demikian ayat yang kedua. Rugi atau celaka ataupun tertipu sungguh merupakan kesalahan dari sikap manusia dalam menghadapi nikmat utama tetapi paling mudah disia-siakan ini yakni nikmat waktu. Betapa bisa memabukkan perjalanan dan pergantian waktu dari hari ke hari, dari pagi ke siang ke sore ke malam, dari bulan ke tahun sehingga manusia menjadi tidak sadar tahu-tahu sudah tua; atau sebaliknya manusia yang terpesona sehingga tidak sempat beramal kebaikan selain hanya menikmati irama waktunya yang naik dan turun. Oleh karena itu tanpa kecuali, tua-muda lelaki-perempuan elite-awam, semua manusia berpotensi merugi, tidak sadar atau terpesona dengan berjalannya waktu itu.
Namun terdapat juga perkecualian yang tertuang pada ayat berikutnya. Illa alladzina amanu wa amil as-shalihah wa tawashau bi al-haqq wa tawashau bi as-shabr “Kecuali orang-orang yang beriman, dan beramal salih, dan berwasiat dengan kebenaran serta berwasiat dengan kesabaran”. Manusia menjadi tidak merugi dan bahkan menjadi beruntung jika dapat memenuhi rincian pada ayat ketiga ini. Terdapat empat hal di dalamnya, dua hal yang pertama bersifat individual yakni beriman dan beramal salih; serta dua hal berikutnya bersifat sosial yakni saling berwasiat dengan kebenaran serta berwasiat dengan kesabaran. Dengan keempat hal itulah sifat hidup manusia yang semula merugi menjadi berubah sehingga selalu beruntung.
Khutbah Kedua

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Ketika memaknai kandungan surat al-‘Ashr ini Endang Saifuddin Anshari penulis buku Wawasan Islam (Bandung: Pustaka Salman, 1985) menyebutnya sebagai komitmen muslim tentang Islamnya. Setiap muslim hendaknya punya lima komitmen akan ke-Islamannya berdasar hal tersebut. Secara berurutan adalah meng-IMAN-i Islam, meng-AMAL-kan Islam, meng-ILMU-i Islam, men-DAKWAH-kan Islam serta mampu SABAR dalam ber-Islam. Ya, Mang Endang berani menyisipkan satu hal yakni ILMU yang memang wigati dari empat hal yang telah disebutkan sebelumnya guna melengkapi rumusannya disesuaikan dengan perkembangan zaman sekarang yang mengutamakan ilmu ini.
Demikian semoga khutbah singkat ini bermanfaat, khususnya bagi khatib serta umumnya bagi jamaah. Mari kita akhiri khutbah ini dengan memanjatkan doa, memohon kepada Allah ta’ala akan kebaikan, kesadaran, kelancaran, kemanfaatan dan rahmat dalam hidup ini.



Biodata Penulis
Muhammad Nasiruddin lahir Magelang, 19 Oktober 1961 adalah Sekretaris Pimpinan Pondok Pabelan, Mungkid, Magelang juga Sekretaris Majelis Dikdasmen PDM Kabupaten Magelang. Bersama isteri Siti Nurlaela serta dua anak yakni Mustafa Najih Fuadi serta Halida Fatha Arrifa kini berdomisili di Kauman Muntilan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar