Sabtu, 10 Desember 2011

Setangkup Cara Berjihad

Oleh: Muhammad Nasiruddin

Dan berjihadlah di jalan Allah dengan hartamu dan jiwamu. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (QS 9:41)

Jelas dan sungguh tegas perintah Allah pada kutipan di atas. Secara otentik kita diperintahkan untuk berjihad di jalan-Nya dengan harta dan dengan jiwa. Jika hal itu dilakukan niscaya akan lebih baik (akibatnya) bagi kita sebagai hamba-Nya. Jihad inilah kunci sukses hidup di dunia baik secara individual maupun secara sosial. Sukses hidup kita di dunia ini yang kemudian mengantarkan pada sukses hidup di akhirat. Berjihad atau 'bersungguh-sungguh' itu seharusnya bisa terbit dari serta dilakukan berdasarkan kebenaran pengertiannya. Barangsiapa berjihad maka sesungguhnya dia berjihad untuk (kepentingan) dirinya sendiri. Demikianlah sesuai dengan perintah otentik Allah pada ayat di atas terdapat dua syarat atau norma dalam berjihad itu, yakni berada di jalan Allah (niat dan semangatnya) serta dengan harta dan jiwa (wujud caranya).
Hal menarik sekaligus tendensius dari perintah itu adalah disebutkannya setangkup wujud cara dalam berjihad, yakni dengan harta dan jiwa, bukan hanya dengan salah satu atau bersifat pilihan saja di antara harta atau jiwa. Maka analogi dan penjelasan berikutnya adalah kita diperintahkan untuk berjihad dengan zakat (harta) dan salat (jiwa); juga untuk berjihad dengan cara berinfaq (harta) dan bertahajud (jiwa); berjihad lagi dengan bersedekah dan menjalankan salat sunnat rawatib; demikian rentetan analogi dan persamaan perintah tersebut selanjutnya. Akan tampak bahwa hubungan setangkup atau sepasang cara dalam berjihad tadi bersifat komplementer, saling melengkapi dan saling menyempurnakan.
Marilah kita kaji dan kita diskusikan bagaimana jika wujud cara berjihad itu hanya salah satunya, alias setengah tangkup. Berjihad hanya dengan harta-zakat-infaq saja akan berkecenderungan memupuk sikap merasa diri sudah berkecukupan, lantas terbit kesombongan atau kibir yang bisa menutup pintu hati kita untuk bersedia tunduk taat pasrah kepada Allah SWT. Hal seperti ini tentu tidak atau belum benar karena belum lengkap. Hal yang sebaliknya juga belum bisa mencukupi, yakni berjihad hanya dengan jiwa-salat-tahajud saja. Sebab tanpa pernah punya pengalaman berjihad dengan mengeluarkan zakat-infaq-sedekah maka perasaan owel (Jawa, terikat pada kepemilikan) akan harta miliknya sendiri cenderung menguat serta bisa melebar hingga menutupi rasa kasih sayang dan kurang peka hati pada kebutuhan sesama.
Sebagai akibatnya laku jiwa yang tanpa laku harta, ataupun amalan salat yang tanpa amalan zakat hanyalah memupuk sisi kehambaan dan kepasrahan total kepada Tuhan tetapi sama sekali tanpa efek sosial. Secara tegas hal seperti ini telah dikecam Allah (QS 107:1-7) sebagai perilaku pendusta agama, yakni orang yang melakukan salat tetapi buah-salatnya tidak berlanjut hingga sampai pada perilaku bermurah hati (al-ma'un). Demikian juga hal yang sebaliknya bahwa amalan zakat yang tanpa amalan salat hanya akan bernilai sebagai kezaliman, yakni penganiayaan kepada diri sendiri (QS 3:117). Na’uzu billahi min zalik.
Muatan surat di sebelahnya dalam susunan al-Quran adalah al-Kautsar (QS 108: 1-3) juga menegaskan hal yang sama. Bahwa hamba-Nya akan diberi anugerah yang banyak (al-kautsar) manakala bersedia dan sudah mengerjakan shalat untuk Tuhan-Nya serta menyembelih hewan qurban. Tampak jelas bahwa terdapat dua sisi hal yang dikerjakan yakni berkaitan dengan jiwa (shalat) serta harta kepemilikan (qurban); ada pula yang menafsirkan hal ini sebagai sisi individual (salat) dan sisi sosial (qurban). Dengan demikian dualisme dalam pengertian yang komplementer dan saling menyempurnakan  seperti ini menjadi hal yang penting lagi utama agar manusia hamba-Nya berperilaku seimbang (tawazun).
Perwujudan cara berjihad yang dua sisi ataupun setangkup seimbang seperti itu tentu bisa beraneka ragam. Paling mudah tentu wujudnya dua hal yang berbeda, tetapi bisa pula hanya satu hal yang tercakup di dalamnya dua sisi komplementernya. Contoh terakhir ini di antaranya pernah ada seorang kyai yang ditanya mengenai tekadnya dalam mengelola sebuah pesantren. Bagaimana jawaban kiai yang berjiwa pendidik-pejuang itu? "Iki bandhaku, iki bahuku, iki pikiranku. Nek perlu sak nyawaku pisan". (Ini hartaku, ini tenagaku, ini pikiranku. Bila perlu nyawaku sekalian). Totalitas. Sesuai sunnatullah (hukum alam) maka wajar dan pantas jika prestasi dan prestise pesantren itu mampu menjulang ke puncak.
Medan untuk berjihad di jalan Allah tentu tidak terbatas di lapangan politik apalagi  sekadar yang berhubungan atau bermakna "perang". Akan bisa banyak sekali medan yang dipilih untuk berjihad itu; ada pendidikan, ada kebudayaan, ada medan pembinaan kehidupan sosial berjamaah, medan peningkatan ekonomi umat, medan rehabilitasi mental dan aqidah ummat, hingga beraneka medan lain yang bisa seluas wilayah hidup manusia itu sendiri. Apapun medannya, tetapi syarat pertama di jalan-Nya serta syarat kedua wujud caranya tadi amat tegas: dengan harta dan dengan jiwa. Bukan hanya dengan salah satunya! Bismillah dan Insya allah.

Penulis adalah anggota Majelis Pendidikan Kader PWM Jawa Tengah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar