Sabtu, 10 Desember 2011

Lapar dan Takut

Hikmah :

Oleh : Muhammad Nasiruddin

Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik Ka’bah ini; yang telah memberinya makanan hingga tidak kelaparan serta memberinya rasa aman hingga tidak merasa takut-khawatir (QS 106: 3-4)

               Rumusan paling sederhana bagi kebutuhan dasar manusia, sesuai isi ayat di atas adalah makanan dan rasa aman. Ada pemenuh kebutuhan fisik dan ada pemenuh kebutuhan nonfisik. Makanan berkemampuan menghindarkan bencana akibat kelaparan serta rasa aman berkemampuan meniadakan rasa takut dan khawatir. Dua kebutuhan pokok ini berlaku universal untuk semua bangsa, sepanjang abad tanpa mengenal usia dan tingkatan sosial-politik-budaya-ekonomi (sospolbudek).
               Lapar dan takut sungguh merupakan ancaman yang asasi lagi fundamental. Jika hal-hal ini tidak bisa diatasi maka yang kemudian terjadi adalah ancaman kehidupan yang lebih serius: matinya manusia secara fisik-biologis dan jatuhnya (degradasi) kemanusiaan secara sikap-mentalnya. Jika kelaparan merajalela maka jangan diharapkan akan hidupnya manusia secara fisik bisa normal-biasa; demikian juga jika ketakutan-kekhawatiran menggejala maka jiwa manusia tidak lagi bisa sehat-produktif.
               Ketakutan hampir pasti bersifat destruktif karena menjadikan penderitanya tidak rasional, tidak waspada, tidak konsisten atau minimal tidak lagi sesuai dengan kemampuan normalnya. Ketakutan ini bisa menuntun orang menjadi destruktif, merusak, yang ujungnya adalah kehancuran. Ketakutan sungguh mampu melumpuhkan energi batin seseorang. Kelaparan jelas jauh lebih konkret dalam kemampuannya menurunkan kondisi fisik seseorang bahkan bisa meniadakan hidupnya alias mematikannya. Dengan demikian makanan dan rasa aman ini secara umum merupakan prasyarat hidup untuk seseorang mampu mempertahankan kedirian dan kenormalannya.
               Siapapun yang tampil menjadi perantara dalam mengatasi kelaparan dan ketakutan itu maka akan tergolonglah sebagai ’pahlawan’. Pahlawan ini bisa tampak jelas ketika hadir secara konkret sesuai momentumnya, sebutlah saat terjadi bencana atau musibah besar yang melanda. Namun ketika zaman normal sesungguhnya pahlawan tadi tetaplah ada meskipun tidak tampak. Yang jelas pada kondisi tertentu akan amat wajar jika mayoritas orang kemudian merasa ’bergantung’ kepada pihak yang memberinya makanan dan rasa aman tadi, yang biasanya menunjuk kepada orang. Bahasa Belanda punya ungkapan tepat tentang ini, ieman spreekt wiens brood ’seseorang berbicara sesuai siapa yang memberinya makanan’. Itulah kedudukan pahlawan makanan dan rasa aman, yakni penentu isi pembicaraan orang-orang yang merasa bergantung atau berutang budi.
               Untuk meluruskan ketergantungan tersebut maka pihak penerima bantuan perlu melakukan pembersihan diri secara konseptual. Ungkapan yang tepat di antaranya adalah : ”Bantuan ini dari Allah SWT lewat bapak Anu atau ibu Anuiah”. Dengan kalimat ini secara filosofis tidak terjadi salah tempat dalam merujuk dan secara praktis tidak ’bergantung’ kepada tuan si pemberi dengan tetap menghormatinya. Ketika hal ini dirujukkan dengan ayat dikutip di atas maka tiada disangkal sesungguh-sungguhnya kita ini bergantung semata kepada Allah SWT pemilik Ka’bah. Dialah pemberi makanan dan rasa aman kepada kita semua manusia makhluk-Nya. Wallahu a’lam bis shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar