Sabtu, 24 Desember 2011

Saya dan Alumni Pondok Pabelan

Saya dan Alumni Pondok Pabelan
Sebuah Esai

Oleh: Muhammad Nasiruddin


Saya bukanlah alumni Pondok Pabelan kendatipun saat ini saya adalah guru (ustadz) di lembaga pendidikan Islam ini. Memang pernah saya dikira sebagai salah seorang alumninya bahkan berkali-kali hal itu terjadi dengan alasan yang berbeda-beda: dekat dengan para alumninya, mengenal Kiai Hamam Dja’far, menjadi ustadz di Pabelan, sering mengisi pengajian, khutbah, dll. Semua alasan itu tidak salah tetapi secara formal saya tetap bukan alumni. Kalau toh harus dihubungkan dengan masa lalu maka maksimal predikat saya adalah santri kalong Kiai Hamam Dja’far, yakni yang biasanya malam-malam sowan berguru kepada beliau. Predikat terakhir inilah yang menjadikan saya yang berdomisili di Muntilan bisa terlibat dalam kegiatan Pondok Pabelan. Namun secara pribadi saat ini rasanya sudah tidak lagi menjadi ‘masalah’ apakah saya alumni ataukah bukan alumni sebab proses yang saya jalani di Pondok Pabelan telah mengaburkan perbedaan itu.

Dinamika Jarak

Dari waktu ke waktu jarak antara saya dengan Pondok Pabelan berubah-ubah, dari awalnya jauh hingga akhirnya dekat. Saat masih di SMA tahun 1980-an saya dan teman-teman saya sungguh merasa minder (minderwaadig complex) kepada para santri Pabelan. Mereka itu ganteng-gagah atau cantik-manis dan yang terutama pintar berbahasa Arab-Inggris hingga sering kami saksikan ‘aksi’ mereka: saat menunggui santri di RSU Muntilan, mengobrol di angkutan umum, apalagi di sekitar Pabelan. Mereka jelas tampak berkelas ‘atas’, meskipun berada di dekat kami tetapi tidak mudah kami bersetaraan: mereka berasal dari kota-kota (besar) Indonesia, penampilannya penuh percaya diri, luwes dalam bergaul dan tangkas dalam berbicara sehingga rasanya bertolak belakang dengan keberadaan kami para ‘pribumi’ Muntilan yang sebayanya.
Berubah jarak itu ketika mahasiswa dan ikut aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) saya mulai sering sowan Kiai Hamam di Pondok Pabelan lantas secara diam-diam saya merasa iri kepada santrinya karena kami tidak mendapatkan pendidikan yang semewah mereka. Mereka amat beruntung dididik langsung Kiai Hamam 24 jam sehari-semalam hingga selama 7 atau 8 tahun; sementara kami anak-anak PII hanya berkesempatan berguru ‘ngalong’ kepada pengasuh Pondok Pabelan itu sekali semalam suntuk dalam tiga atau empat bulan berselang. Selain iri juga timbul rasa sesal saat itu.
Jarak tersebut berubah lagi setelah tulisan-kolom saya yang berjudul “Istirahat” dimuat di rubrik Hikmah SKH Republika (Selasa, 26 September 1995 halaman I, kolom 1-2). Saat itu saya spontan dikira sebagai alumni Pondok Pabelan karena tulisan itu secara gamblang-jelas mengangkat sosok Kiai (Hamam Dja’far) yang enerjik. “Nasiruddin ini angkatan siapa, ya?” tanya seorang alumnus kepada temannya yang dianggap lebih tahu. Apalagi disusul kemudian dengan tulisan saya lainnya di rubrik yang sama  dengan judul “Penegakan Shalat” (Rabu, 15 November 1995) serta “Makan Berjamaah” (Senin, 27 November 1995). Ketiga tulisan itu memang merupakan renungan hasil sowan saya kepada Kiai. Artinya, saya hanyalah santri-kalong yang tidak pernah resmi ataupun tidak pernah tercatat tetapi dikira sebagai alumni tulen.
Pada tahun 1996 ketika saya ikut LSM yang menghajatkan programnya bisa berjalan di Pondok Pesantren maka saya pilih Pabelan. Kegiatan berupa Achievement Motivation Training (AMT) untuk para guru dan pengusaha itu alhamdulillah bisa berjalan sukses, lancar hingga kemudian berakhir; namun tiba-tiba saya di-fait accomply untuk bersedia ikut menjadi guru di Pabelan. Barang satu hari dalam seminggu saya ditantang untuk bisa mengabdikan diri di Pondok Pabelan. Bismillah. Sejak saat itu jadilah saya sebagai ustadz yang membimbing kegiatan jurnalistik dan kemudian menjadi pengajar pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Madrasah Aliyah Pondok Pabelan. Sempat pula dalam perkembangan kemudian saya diamanati sebagai Sekretaris Pimpinan.

Buku “Kiai Hamam Dja’far dan Pondok Pabelan”

Awal tahun 2007 para pimpinan Pondok Pabelan sepakat berniat melanjutkan rencana pembuatan buku tentang Kiai Hamam dengan menggandeng budayawan Ajip Rosidi. Dibuatlah sebuah tim atau Panitia Buku dan saya yang bukan alumni ini diamanati sebagai Ketua dengan tugas utama mengawal dan mengelola proses pembuatan buku tersebut hingga tuntas dan berhasil terbit. Demikianlah hal yang terjadi, berbekal SK dari Pimpinan dengan 12 orang guru, kami bekerja keras-cerdas-ikhlas mulai dari perumusan Term of Reference (TOR), berkoordinasi dengan Ajip Rosidi, menghubungi (calon) penyumbang naskah, konfirmasi kesediaan untuk ikut menulis, menagih tulisan, mewawancarai narasumber, transkrip naskah, mengumpulkan bahan dan foto-foto relevan, print-out, menindaklanjuti hasil penyuntingan, koordinasi dengan penerbit hingga kemudian buku berhasil disusun dan diselesaikan. Edisi awal ini dipatok bisa terbit pada bulan Agustus 2008 dan tirasnya 1500 eksemplar.
Alhamdulilah setelah berproses secara marathon tetapi mengasyikkan selama setahun penuh maka buku yang berisi 43 kesaksian dari para santri, kerabat dan sahabat itu terbit. Namun lazimnya buku terbit perlu ada peresmian dengan Launching Buku. Difasilitasilah kemudian adanya informal meeting dengan perwakilan alumni lantas disusunlah sebuah Panitia Launching yang melibatkan banyak guru dan alumni. Perwakilan alumni dari Jakarta, Bandung, Semarang, Jogja, Sumatera, Kalimantan, Indonesia Timur dan tempat lainnya semua dilibatkan guna mengambil banyak manfaat dari buku yang telah terbit. Format acara pun dibuat disesuaikan dengan harapan besar pimpinan yang terdiri atas tiga hal (acara) pokok: Diskusi Buku, Refleksi Alumni serta Musyawarah Nasional (Munas) Ikatan Keluarga Pondok Pabelan (IKPP).
Karena saya yang bukan alumni ini diamanati (lanjut) sebagai Ketua Panitia Launching maka secara otomatis saya berhubungan dengan banyak pihak termasuk dengan alumni baik yang sudah terkenal maupun yang baru mulai dikenal. Man proposes and God disposes; manusia merencanakan dan Tuhan yang menentukan. Perkembangan rencana acara ternyata cukup cepat terjadi baik mengenai waktu-tempat, orang, format-acara maupun taksiran yang akan (di)hadir(kan); ada yang tetap dan lebih banyak yang berubah. Sebutlah misalnya keynote speaker yang pada awalnya direncanakan menghadirkan Mendiknas, berubah menjadi Menteri Agama hingga kemudian kenyataannya yang bisa hadir di Pabelan adalah Menteri Perhubungan; demikian juga dengan pembahas-buku dan hal lainnya. Semua perkembangan dan perubahan itu tentu menghajatkan adanya sosialisasi tapi juga antisipasi agar penanganan terbaru bisa sesuai dengan keadaan, baik yang bersifat ke luar maupun ke dalam. Demikianlah perencanaan lengkap acara Launching Buku “Kiai Hamam Dja’far dan Pondok Pabelan” (Editor Ajip Rosidi, Agustus 2008, Jakarta: PT Pustaka Jaya, 496 halaman) yang melebar menjadi Munas IKPP, Refleksi Alumni dan Pentas Seni Santri-Alumni bakal digelar di pesantren induk Pabelan, Sabtu-Ahad, 8-9 November 2008.

Diwisuda Sebagai Alumni

Pada waktu koordinasi panitia malam hari menjelang acara di Ruang Kaca, saya dihadapkan pada banyak orang hebat yang namanya sering disebut (orang) ataupun mulai disebut-sebut. Perbincangan bersama pimpinan dan para tamu menjadikan arah juga tingkat pembicaraan saat itu beraneka ragam: mulai dari yang bersifat praktis-operasional, strategis-konsepsional hingga yang wacana-filosofis. Semua itu dilakukan guna menyantuni semua pihak dan dalam kerangka penyuksesan acara besoknya: Sabtu dan Ahad, 8-9 November 2008. Hal-hal yang antisipatif dipilih dan dibagi-tugas meliputi segenap lini serta mencakup semua bagian: acara, sarana, akomodasi, konsumsi, tempat, antar-jemput tamu khusus, transit, parkir, pengamanan, dll. Malam itu merupakan persiapan akhir yang tentu amat menentukan bagaimana wajah depan dan wajah belakang kita pada esok harinya. Para pimpinan memberikan arahan; sedangkan panitia-alumni berkoordinasi agar tidak terjadi saling iren ataupun tumpang tindih dalam pelaksanaannya.
Pagi hari Sabtu, 8 November 2008 pukul 08.00 WIB. Suasana kompleks pondok terasa benar-benar tegang. Rombongan mobil dan KA dari Jakarta sudah datang, tetapi Menteri Perhubungan beserta Yayasan masih dalam perjalanan.  Tempat acara dan seputar kompleks sudah rapi bersih serta siap digunakan. Sebagian panitia sudah pula rapi, sebagian yang lain baru berbenah. Tepat pukul 08.30 WIB terdengar raungan sirene fore rider dari kejauhan dan benarlah hadir Menhub ke pondok untuk acara Makan Pagi bersama pimpinan terlebih dahulu. Sekian tamu terpenting pun mengikutinya masuk ke Ruang Kaca. Suasana semakin menegangkan dengan makin banyaknya tamu dan alumni yang berdatangan. Santri diatur tempat duduknya lantas semuanya tampak siap. Inilah detik-detik yang semakin menegangkan menuju ke acara utama dimulai.
Sooner better. Karena segalanya telah siaga maka pada pukul 09.45 WIB acara dimulai, maju 15 menit dari rencana. Inilah upacara Peluncuran Buku yang dimulai dari mata acara Pembukaan, lantas Pembacaan Kitab Suci al-Qur’an, Pidato Pimpinan, Sambutan Yayasan, Pidato Utama Menteri Perhubungan RI dan Penandatanganan buku serta diakhiri dengan Doa; alhamdulilah semuanya berjalan lancar, baik dan terkendali. Sesaat kemudian setelah meja untuk panel diskusi disiapkan di panggung maka digelarlah acara kedua yakni Diskusi Buku dengan tiga orang pembahas yang juga berjalan dengan lancar, baik serta terkendali. Setelah dilakukan break untuk melaksanakan Salat Dhuhur dan Makan Siang maka pada pukul 14.00 dimulailah acara ketiga yaitu Refleksi Alumni dengan enam orang panelis; meskipun hujan acara tetap terfokus berlangsung secara lancar, baik dan terkendali. Malam harinya selain acara yang keempat yakni Munas IKPP bertempat di Gedung Workshop berlangsung seru juga sempat dimajukan waktunya acara yang kelima yaitu Pentas Seni di Panggung Utama yang nyatanya berjalan lancar, terkendali hingga selesai di waktu tengah malam. Pagi hari Ahad, 9 November pukul 09.00 WIB muncul acara improvisasi yakni Dialog Alumni-Santri yang amat mengesankan bahkan diakhiri dengan ritual saling bersalaman menjelang waktu Dhuhur tiba. Alhamdulillah itulah isi rangkaian acara dua hari yang ruar biasa.
Selama dua hari acara lengkap Peluncuran (Launching) Buku itu saya berinteraksi intensif dengan para alumni, utamanya yang termasuk panitia. Tentu tidak semua alumni yang hadir (tercatat 167 orang) bisa saya kenal, saya pahami sehingga terdapat jarak psikologis yang berbeda-beda. Sesuai karakter masing-masing ada alumni yang gampang akrab, ada yang menjaga jarak, ada yang sok kenal-akrab serta ada pula yang tertutup. Di antara alumni tersebut ada yang secara spontan menanyai saya, “Kamu itu angkatan siapa ya?” Tentu tidak langsung saya jawab bahkan sebaliknya, saya balik bertanya, “Kamu sendiri angkatan siapa?” Begitu dia sebutkan nama seseorang spontan pula kusebutkan nama-nama lain yang seangkatan dengannya hingga dia berusaha untuk membenarkan ataupun meluruskannya. Pembicaraan telah berlanjut terbuka sehingga rasanya tidak lagi perlu kujawab pertanyaan awalnya, sebab jawabannya tidak seperti harapan alumni. Ternyata pertanyaan spontan yang sama masih saya dapati kembali hingga mungkin tiga kali selama dua hari tersebut. Kebetulankah? Oleh karena itu saya berkesimpulan dan wajar mulai merasakan bahwa keberadaan saya di antara (komunitas) alumni telah diterima; sehingga acara Peluncuran Buku ini bagi saya pribadi merupakan upacara wisuda saya sebagai alumni.
 
Pernak-pernik Masalah dan Solusinya

Berkumpul banyak orang di satu tempat selama dua hari untuk acara Launching Buku tentu sebuah tantangan tersendiri agar bisa diatasi dan dikelola; panitia sudah siaga yang memang dibentuk untuk itu. Kendatipun begitu, seberapapun suksesnya perhelatan masih ada saja persoalan yang luput dari rencana ataupun muncul dari ketiadaan antisipasi sehingga kemudian timbul sebagai masalah. Solusi spontan telah dipilih, ada yang secepatnya teratasi dan ada yang berlarut-larut sesuai dengan karakternya, bahkan ada pula yang dengan berakhirnya acara justru masalahnya baru mulai membesar. Di antara masalah itu yang sempat dicatat adalah soal back ground panggung, soal undangan, soal CD rekaman pidato Menhub serta CD Khutbah Wada’ Kiai Hamam Dja’far yang diperjualbelikan atas nama Panitia.
Tidak banyak orang yang mencermati atau peka atau bisa pula hanya rikuh mengatakan bahwa back ground panggung perhelatan sungguh tidak layak, namun waktu yang mendesak menjadikan tidak mungkin untuk menggantinya dengan yang lebih baik. Pertama, soal tulisan yang terpampang besar-besar jelas bermakna bias (tidak sinkron) dengan acara kita, Peluncuran Buku mensle menjadi Launching Biografi, mustinya Kiai menjadi Kyai; hal ini mengakibatkan perhatian imajiner partisipan tidak fokus atau terbelahnya ide utama. Kedua, tiadanya tulisan nama Menteri Perhubungan sebagai keynote speaker dan nama para pembahas buku, yang selayaknya ikut terpampang di back ground. Namun untung desain yang bagus untuk foto Kiai serta warna hitam cukup dominan sehingga bisa menutupi kelemahan dan kekurangan itu. Ketiga, hadirnya pemandangan rusak dan amat mengganggu di belakang panggung yang masih tampak transparan sehingga tanpa perlu diintip pun sudah tampak secara jelas kerusakannya: rumah depan perpustakaan! Itulah ‘menu’ depan latar panggung perhelatan kita.
Desain undangan acara Peluncuran Buku ini alhamdulilah dibuat mirip dengan sampul bukunya, bahkan dengan pilihan warna yang lebih berani sehingga tampak bisa lebih hidup. Sayangnya tulisan di bagian dalam sebagai surat resmi undangan tidak tercetak secara jelas alias kabur-tulisannya. Pilihan warna kuning sungguh lemah karena latarnya berwarna putih. Alasan klasik lagi, waktu mepet tak sempat diganti dengan desain yang lebih hidup. Tapi ada pula yang berseloroh ‘tidak apa-apa toh bisa digunakan sebagai simbol’, [?] bahwa sesungguhnya begitulah potret nyata kondisi luar dan dalam Pondok Pabelan saat ini. Ah, yang ini tentu hanya seloroh.
Akibat saling mengandalkan orang lain maka tidak ada panitia yang bertugas merekam pidato Menteri Perhubungan selaku keynote speaker acara akbar Peluncuran Buku ini. Petugas sound system juga alpa diperintah untuk ini. Lengkaplah sudah keteledoran ini. Alhamdulilah ada alumni yang tampak jelas ikut merekam acara. Kita minta kepadanya copy, tetapi ternyata dia pasang tarif. Setelah ditimbang bahwa tetap diperlukan maka kita bayar tarif tersebut karena ini sangat urgen, eh ternyata kiriman CD-nya yang bisa diputar hanya separuh pidatonya saja. Dengan terpaksa pula maka yang kemudian kita kirimkan ke Kantor Departemen Perhubungan RI adalah berupa transkrip naskah tertulis setelah berhasil diimprovisasi dengan banyak bahan dari bacaan Koran, dll. Pelajaran yang sungguh berharga, panitia apapun tidak boleh alpa akan sesuatu yang urgen, tidaklah benar kita saling njagakake..
Akibat percaya saja kepada orang lain tanpa meneliti isinya juga terjadi pada kasus penjualan CD Khutbah Wada’ Kiai Hamam Dja’far. CD itu merupakan usaha perseorangan yang lantas dijual pada acara kita ini dengan harga eksklusif. Ternyata isinya selain rekaman suara juga gambar berjalan. ‘Kreatif’ memang tetapi ketika informasi yang dimuat di dalamnya tidak benar bahkan bisa ada kesan penyesatan, maka tentu tidak layak diedarkan. Siapapun yang melihat ketidaklayakan itu perlu menghentikannya agar tidak terjadi salah persepsi. Ketika persoalan itu dikonfirmasikan pada pihak pengusaha CD yang notabene alumnus lagi-lagi terjadi salah persepsi. Pondok secara tegas telah menyetop peredarannya dan meluruskan persoalan. Ini tampaknya sudah menyangkut soal sense yakni antara ngerti atau tidak ngerti; dan bukan pinter atau tidak pinter. Bismilah, hidup memang selalu ada masalah. Kita hidup di alam dunia ini dan hadir untuk ikut serta menyelesaikannya, bukan sebagai bagian dari masalahnya. Semoga.


Wasana Kata

There’s different between knowing the path and walking the path. Entah itu kata siapa tetapi tepat menegaskan perbedaan antara manusia pejalan-pelaku yang penuh risiko (positif-negatif) dengan manusia tahu yang bebas (menghindar) dari risiko. Kita tergolong pemilik sifat yang mana: risk taking behavior ataukah risk avoidance behavior? Bismilah.


                                                    

                                                     Muntilan, 4 Desember 2008

4 komentar:

  1. Wah, senang sekali saya menemukan blog Pak Nasir :)

    Saya kangen berbincang-bincang dengan Bapak. Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya trims komentarnya. Jika berkesempatan berbincang mengapa tidak? Atau lewat email ke mnasirudin@rocketmail.com

      Hapus
  2. Ikut melansirkan artikel tentang pak Kyai Hamam ini ke link: http://blog.insist.or.id/insistpress/id/arsip/14077

    BalasHapus
  3. Menarik sekali, pak. Saya pemuda kampung setempat, rumah belakang gedung alamsyah. Sementara merantau ke kota sebelah..

    BalasHapus