Sabtu, 10 Desember 2011

Ikhlas itu Pamrih Tertinggi

Oleh : Muhammad Nasiruddin

           
Nyaris tiada perbuatan atau amalan kita yang tanpa pamrih. Apalagi bila kegiatan itu punya efek sosial. Seukuran apapun perbuatan itu, sebut misalnya dalam mengenakan pakaian yang bagus saja, hampir pasti tersertakan pamrih: agar dipuji orang lain, maunya dipantaskan atau tidak dipermalukan, agar sehat tidak merasa kedinginan, agar bisa menutupi aurat sesuai keyakinan, untuk menghormati orang lain ataupun pamrih lainnya lagi. Pamrih merupakan harapan akan efek atau akibat dari terlaksanakannya suatu perbuatan amalan tetapi hal itu terbersit muncul sebelum terjadinya perbuatan. Tampak dari contoh tersebut bahwa pamrih bisa beraneka ragam wujudnya mulai dari keinginan untuk dipuji hingga menutupi aurat, dari hal yang bersifat rendah hingga yang tinggi serta dari pamrih yang bisa masuk akal hingga yang tidak logis. Oleh karena itu wajar pula apabila ada pamrih yang bisa muncul-terjadi tetapi ada pula yang tidak bisa kesampaian hingga kapanpun; ada yang saat ini terkabul-terjadi seketika atau setelah sekian lama kemudian baru bisa terjadi. Demikianlah anatomi pamrih atas suatu perbuatan atau amalan yang relatif tertutup dari pandangan orang luar.
            Ikhlas berbeda dengan pamrih, tetapi juga berhubungan. Bila pamrih lebih melihat pada aspek efek-akibat duniawi, maka ikhlas lebih melihat pada aspek motivasi atau maksud "peruntukan" perbuatan amal tersebut. Jelasnya ikhlas lebih merujuk kepada "Siapa" yang sesungguhnya dituju atas terlaksanakannya suatu perbuatan. Perbuatan yang ikhlas tentu tujuan dan ‘transaksinya’ kepada Allah atau lillahi ta'ala, kendatipun "alamat nyata" dari perbuatan itu bisa saja berada di tempat tetangga kita yang miskin, orangtua yang renta, anak yatim yang papa, dll. Sebagai contoh misalnya beramal sedekah yang niat tujuannya semata untuk Allah tetapi alamat konkret sedekah harus diberikan kepada pihak miskin yang membutuhkannya; bukan diberikannya langsung kepada Tuhan.
Oleh karena itu akan tampak bahwa meskipun sama-sama menyertai suatu perbuatan tetapi jelas berbeda fungsinya: Ikhlas sebagai landasan-arah-niat perbuatan yang normatif atau secara hukum dan sifatnya de jure; sedangkan pamrih merupakan efek duniawinya yang tampak secara nyata, atau de facto. Biasanya orang beramal yang masih terikat kuat (mementingkan) hal-hal yang "de facto" (pamrih) akan cenderung lupa pada hal yang "de jure" (ikhlas); sebaliknya pula orang yang mengutamakan "de jure" menjadi cenderung abai pada yang "de facto". Dengan demikian hubungan keduanya secara unik adalah: Ikhlas boleh saja dan bisa digolongkan sebagai pamrih tetapi dengan derajat tertinggi karena orientasinya tidak lagi bersifat duniawi, yakni sudah sampai pada lillahi ta'ala. Ikhlas itu merupakan pamrih yang tertinggi kualitas-tingkatannya.
            Jika amal perbuatan dilandasi dengan pamrih tertinggi seperti itu maka hampir pasti akan bisa didapatkan hal-hal yang substansial dan optimal. Secara hakiki perbuatan itu ada dan bisa tercatat sebagai amalan yang benar karena tersertakannya keikhlasan sempurna sekaligus bernilai sebagai tabungan kebaikan untuk dipanen di akhirat kelak. Sedangkan secara duniawi tentu saja akan mengikuti kaidah yang berlaku, terserah hukum alam (sunnatullah) yang melingkupinya. Misalnya ketika sekian efek-akibat duniawi ternyata bermunculan dan terjadi maka hal itu akan dipandang sekadar sebagai "bonus" karena memang sedari awal tidak "diharapkan" sebelumnya. Kalaupun amalan itu berlalu begitu saja tanpa ”bonus” apapun, tanpa efek-akibat duniawi sama sekali tentu saja akan diterima tanpa ganjalan, diterima secara ikhlas sesuai niatnya semula.
Sayangnya, perbuatan ikhlas begini sungguh-sungguh tidak gampang dilakukan; harus diikhtiyari serius secara terus-menerus untuk bisa terwujud. Amat berbeda halnya dengan perbuatan berpamrih (duniawi) yang jelas segera bisa diketahui dan dirasakan efeknya. Bilamana muncul efek duniawinya maka akan berbuahkan kepuasan karena sesuainya dengan harapan pelaku amal; sebaliknya ketika ternyata tidak muncul harapannya tersebut tentu berbuah kekecewaan. Tidak jarang kekecewaan yang begini menjadi berlarut-larut, sama sekali tidak sehat, tidak logis bahkan cenderung bersifat merusak, destruktif. Inilah salah satu efek negatif salahnya niat. Salah niat akan menjadikan salah semuanya karena amal perbuatan itu berproses tanpa substansi; sedangkan salahnya cara berbuat masih mungkin untuk diluruskan.       
            Berdasarkan al-Hadits tentang niat, kita ketahui bahwa perbuatan yang tidak dilandasi keikhlasan tidak akan punya nilai hakiki apapun; sebab derajat nilainya sudah jatuh menjadi sekadar pamrih duniawinya, kalaupun hal itu bisa muncul-kesampaian. Apalagi jika pamrih tersebut ternyata tidak muncul maka akan sia-sialah amal perbuatan yang telah dilakukannya itu. Sebaliknya amalan yang ikhlas itulah yang secara tegas-jelas punya nilai hakiki karena orientasi utamanya balasan semata dari-Nya kelak di akhirat.
Ringkasnya, amalan berpamrih hanya bersifat duniawi semata yang segera pula bisa dirasakan-diketahui efeknya, memuaskan hati pelakunya ataupun mengecewakan, bahkan seketika-sesaat setelah perbuatan tersebut dilakukan. Berbeda dengan amalan yang ikhlas lillahi ta’ala, terserah muncul ataupun tidak muncul efek duniawinya tetapi jelas masih didoakan bisa "menyisakan" harapan tabungan nilai hakikinya di akhirat kelak. Bukankah akan jauh lebih benar dan akan lebih besar peluang nilainya bila perbuatan-amalan kita semuanya disengaja berlandaskan keikhlasan? Sama-sama dilakukan mengapa tidak disertai ikhlas? Bismillah. Wallahu a'lam bis shawab

Penulis adalah anggota Majelis Pendidikan Kader PWM Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar