Sabtu, 10 Desember 2011

Etos Belajar: Menimba Kearifan dari Pemikiran Klasik guna Penguatan Tradisi Keilmuan Pesantren


 
Alhamdulillah penelitian pustaka dan pelaporannya dalam bentuk Karya Tulis ini telah selesai. Sungguh kalau bukan karena dorongan dari berbagai pihak agar maju mengambil kesempatan; kalau bukan karena tekad untuk mengaktualisasikan kemampuan diri, niscaya Karya Tulis ini belum atau bahkan tidak selesai. Kami bersyukur karena sekian halangan pada saat penyusunannya telah berlalu.
Dengan selesainya Karya Tulis ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
·         KH Ahmad Mustofa, pimpinan Pondok Pesantren Pabelan
·         Ustadz Ahmad Djunaedi, BA pengajar kitab Ta’lim al-Muta’allim setiap Rabu dan Sabtu sore di Masjid Pesantren Pabelan
·         Ustadz Drs. Jumari al-Ngluwary dan Drs. Jamaluddin, M.Hum. yang membersamai penulis mendiskusikan berbagai topik
·         Ayahanda penulis Drs. H. Chamid Hilaly dan almarhumah ibunda Siti Mutmainnah juga adik-adik yang selalu menguatkan pilihan penulis atas berbagai kemungkinan hidup
·         Isteri penulis Siti Nurlaela juga buah hati kami Mustafa Najih Fuadi dan Halida Fatha Arrifa
·         Sekian pihak lain yang tidak bisa disebut satu per satu
Kepada mereka semua, penulis persembahkan Karya Tulis ini sebab secara langsung dan tidak langsung telah berperan dan memengaruhi penulis untuk meneliti dan menyelesaikan prosesnya. Tetapi terhadap kekurangan dan kesalahan yang ada di dalam Karya Tulis ini tentu hanya penulis sendiri yang akan mempertanggungjawabkannya.
Muntilan, 12 Agustus 2009
Penulis,

Muhammad Nasiruddin


Pernyataan Keaslian



Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama                           : Muhammad Nasiruddin
Tempat, tanggal lahir  : Magelang, 19 Oktober 1961
Alamat                                    : Jl. Kartini 10 Kauman Muntilan, Jawa Tengah 56411
Menyatakan bahwa Karya Tulis yang berjudul “Etos Belajar: Menimba Kearifan dari Pemikiran Klasik guna Penguatan Tradisi Keilmuan Pesantren” ini secara keseluruhan adalah ASLI hasil penelitian saya kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya dan disebutkan dalam Daftar Pustaka. Karya Tulis ini juga belum pernah diikutsertakan dalam lomba apapun.


Muntilan, 12 Agustus 2009


DAFTAR ISI



Kata Pengantar                                                                                                           i
Pernyataan Keaslian                                                                                                    ii
Daftar Isi                                                                                                                     iii
  1. Pendahuluan                                                                                                   1
  2. Pesantren dan Kitab Kuning                                                                           3
  3. Kitab Ta’lim al-Muta’allim dan Etos Belajar                                                 6
1.      Az-Zarnuji Sang Pengarang                                                                      8
2.      Latar Belakang Sejarah dan Budaya                                                        9
3.      Ringkasan Isi Kitab                                                                                  11
4.      Faktor Etos Belajar Kitab Ta’lim
a.       Wajib Belajar: Ilmu al-Hal dan Fardu Kifayah                                  15
b.      Niat Belajar: Motivasi dan Cara Mengelolanya                                  17
c.       Sikap Belajar: Memuliakan Ilmu, Ahli Ilmu, Soal Rezeki dan
Pilihan Konteks Pembelajaran                                                            18
d.      Aura Ilmu: Ikhtiar dalam Meraih dan Menjaganya                            19
5.      Faktor Kontroversial
a.       Adat Kebiasaan Klasik                                                                       21
b.      Sikap Pasrah dan Tidak Percaya Diri                                                  23
  1. Relevansi Etos Belajar Klasik                                                                         25
  2. Penutup                                                                                                           26
Lampiran-lampiran
  1. Surat Keterangan dari Pimpinan Pesantren
  2. Fotokopi Kartu Tanda Pengenal
Daftar Pustaka
Biodata Penulis




Etos Belajar: Menimba Kearifan dari Pemikiran Klasik
guna Penguatan Tradisi Keilmuan Pesantren


A.    Pendahuluan
Pandangan hidup khas ummat Islam mengenai belajar dan pembelajaran bisa disebut etos belajar ummat Islam. Kata “etos” pada tulisan ini dipergunakan dalam artinya yang luas yakni sebagai suatu sistem tata nilai moral, tanggung jawab dan kewajiban. Etos belajar tersebut secara genealogis mulai terbentuk bersamaan dengan munculnya komunitas ummat Islam awal mula yang kemudian hidup dan berkembang secara dinamis pada masa-masa berikutnya. Etos belajar inilah yang mewarnai segenap tingkah laku ummat Islam mengenai pembelajaran: mana ilmu yang dipentingkan dan mana pula ilmu yang dihindari, bagaimana ikhtiar mengelola belajar agar efektif, sifat-kebiasaan apa yang perlu ditumbuhkembangkan guna kepentingan hidup, terutama menyangkut pembelajaran, dll. Seperti bisa kita cermati dari sejarah bahwa etos belajar ummat Islam itu mengalami pasang surut, ada saatnya tinggi berprestasi dan pada saat lainnya rendah kalah dengan beralih atau berbedanya generasi kendatipun sesungguhnya sumber nilai normatifnya tetap sama yakni al-Qur’an dan al-Hadits.
Bila etos belajar menekankan pada sikap dan perilaku belajar maka hal yang lebih tampak sebagai produk belajar adalah hasil pemikiran dan artefak perikehidupannya yang sering disebut khazanah pemikiran kebudayaan. Dibandingkan dengan etos belajar yang relatif abstrak tentu khazanah pemikiran kebudayaan yang mencakup bidang keilmuan ini jauh lebih nyata untuk dijadikan tolok-ukur, misalnya bagi pasang surutnya peranan ummat Islam di pentas dunia. Tercatat dalam sejarah bahwa pemikiran kebudayaan ummat Islam pernah maju dan berjaya yang dikenal sebagai zaman keemasan, namun pernah pula mengalami penurunan-kemunduran hingga disebut zaman kegelapan, serta zaman berikutnya hingga kita dewasa ini yang merupakan zaman kebangkitan kembali. Kita sungguh beruntung karena khazanah pemikiran kebudayaan Islam dari berbagai zaman tersebut kita warisi, memang ada yang sedikit namun ada pula yang banyak. Lantas bagaimana memanfaatkan warisan itu bergantung pada seberapa kualitas dan kemampuan kita dalam menyikapi, menggali serta menjelaskannya sehingga muatan pemikirannya bisa diterima bahkan digunakan oleh manusia modern yang biasa mensyaratkan hidupnya dengan format ilmiah ataupun kerangka pikir yang objektif.
Khazanah pemikiran kebudayaan Islam produk para ulama sejak periode klasik hingga periode modern sesungguhnya telah tersimpan dalam kitab-kitab dengan tulisan dan bahasa Arab. Kitab-kitab itulah yang kemudian sering disebut secara peyoratif dengan istilah Kitab Kuning (untuk selanjutnya disingkat KK). Sebagian kecil dari KK itu, terutama produk periode klasik dipelajari di pesantren-pesantren. Menyangkut persoalan ini terdapat dua hal yang segera mengemuka dan perlu diagendakan. Pertama, bahwa KK yang dipelajari di pesantren yakni kitab-kitab yang distandarkan (al-Kutub al-Mu’tabarah) masih relatif sedikit dibandingkan dengan semesta ilmu ke-Islaman yang ada. Artinya masih jauh lebih banyak KK yang belum dipelajari di pesantren. Kedua, perlunya KK untuk dipahami secara baru dengan mempertimbangkan latar belakang keadaan atau konteks sejarah penyusunannya; apalagi KK akhir-akhir ini makin tak diminati. KK tidak  cukup dipahami dan diamalkan sekadar berdasarkan teks harfiah. Inilah bagian dari agenda besar reaktualisasi pemahaman kandungan KK dengan tujuan agar KK mampu berfungsi kembali sebagai rujukan hidup orang Islam yang bersifat inspiratif dan solutif terhadap persoalan konkret umat Islam. Formatnya ke depan adalah pesantren kembali menjadi pusat ilmu, pemikiran dan kebudayaan Islam. 
Tulisan ini merupakan tawaran konsep hasil ikhtiar penulis dalam memahami kandungan KK secara kontekstual tersebut. Secara bertujuan (purposive) dipilih salah satu hasil pemikiran klasik lantas dipaparkan dan ditawarkan sebagai temuan lama yang sesungguhnya menarik dan relevan guna penguatan tradisi keilmuan pesantren. Perlu dipahami bahwa KK sebagai produk pemikiran ummat terdahulu merupakan saksi zamannya, yang disusun sepenuh kemampuan penulisnya sebagai hasil upayanya dalam mengatasi problem kehidupan masing-masing sehingga seberapa pun kontekstualitasnya perlu diapresiasi secara lengkap sesuai latar belakang keadaan dan zamannya. Oleh karena itu menjadi tugas generasi kita saat ini untuk mengkaji secara objektif, apakah layak pemikiran klasik itu dimunculkan sebagai pemikiran unggul ataupun kebudayaan unggul saat ini yang bisa dipilih (optional) untuk kemajuan umat manusia.
Objek penelitian terpilih dan ditetapkan berupa kitab Ta’lim al-Muta’allim Thariq at-Ta’allum ‘Mengajar Pelajar tentang Cara Belajar’ (Pencetak dan penerbit “Karya Toha Putra” Semarang, Tanpa Tahun, 48 halaman). Terdapat dua alasan pemilihannya. Pertama, kitab Ta’lim (untuk selanjutnya disingkat demikian) ini telah dikenal secara luas lagi lama oleh masyarakat muslim, terutama pada komunitas pesantren. Kedua, inilah kitab periode klasik yang materinya langka karena mengangkat topik etos belajar dan pembelajaran, atau ada yang menyebutnya sebagai pendidikan Islam. Kitab ini akan diteliti seumpama teks bahasa-sastra kuno yang didekati dengan metode kualitatif, dikembangkan kajiannya secara gestalt dengan model penemuan-eksploratif, lantas dianalisis data temuannya secara induktif, kemudian disusun laporannya dengan uraian deskriptif. Artinya, kitab akan dikaji tanpa pembanding kitab yang lain serta tidak dipandang dengan cara-pandang tertentu selain hanya bertumpu pada sebuah kitab Ta’lim secara tekstual-kontekstual. Dengan format penelitian yang demikian maka urutan hal (sistematika) tulisan ini adalah A. Pendahuluan, B. Pesantren dan Kitab Kuning, C. Kitab Ta’lim dan Etos Belajar, kemudian ulasannya pada D. Relevansi Etos Belajar Klasik, serta diakhiri dengan E. Penutup yang berisi kesimpulan. 

B.  Pesantren dan Kitab Kuning
Pesantren by design adalah lembaga keagamaan (Islam) dengan pendidikan sebagai bidang utamanya dan arah-tujuan yang bersifat abadi (everlast) yakni untuk mendapatkan ridha Allah SWT ataupun balasan terbaik yakni masuk surga di akhirat kelak. Pesantren disengaja untuk mampu berdiri, mandiri, berkembang dan eksis berperan karena panggilan suci keagamaan, bukan karena motif duniawi yang lain. Dari pemahaman ini tampak bahwa segala hal yang dilakukan di pesantren baik oleh kiai, ustadz-ustadzah maupun santri didasari oleh motif ibadah, meliputi semua perbuatan yang targetnya duniawi apalagi yang ukhrowi dilandasi niat semata untuk menghambakan diri kepada Allah SWT. Adapun bidang pendidikan yang dicakup pesantren dengan terminologi modern meliputi segenap sisi dan jenis baik formal, informal maupun nonformal karena pesantren merupakan kesatuan dari sebuah komunitas luas dengan kompleks pesantren sebagai inti serta masyarakat sebagai plasmanya. Oleh karena itu memahami pesantren perlu secara benar dan menyeluruh.
Pilihan utama pendidikan bagi pesantren itu berakibat pada segala hal yang berkaitan dengan dunia pendidikan menjadi dipentingkan, baik itu menyangkut perangkat keras, materi-isi, metode-cara maupun hakikat-filsafat pendidikannya. Bahkan kemudian semua hal yang ada, terjadi serta dilakukan di pesantren bisa dipandang sebagai proses pendidikan ataupun proses pembelajaran bersama guna ‘mendidik-diri’ dan juga ‘saling mendidik’ sebagai inti dakwah Islam. Rujukan ide pendidikan pesantren sudah tentu model pendidikan yang terjadi pada era generasi awal, periode Nabi Muhammad SAW beserta sahabat-sahabatnya lantas periode penerusnya. Sedangkan rujukan teks bahan pembelajaran di pesantren secara ideal-konseptual adalah semua warisan khazanah pemikiran Islam yang tersimpan dalam KK. Sungguh KK ini merupakan nama umum bagi naskah kitab berhuruf Arab, tanpa syakl ataupun ‘Arab-Gundul’ kebanyakan berbahasa Arab, namun juga berkembang kemudian yang berbahasa Melayu, Jawa ataupun Sunda dengan sistematika pola klasik yang ditulis di atas kertas berwarna kuning karena berkualitas rendah, disusun tanpa dijilid dan hanya disatukan mirip bentuk koran saat ini.
KK biasa dibedakan berdasarkan masa ditulisnya menjadi dua yakni yang pertama al-Kutub al-Qadimah ‘Kitab-kitab Klasik’. Kitab-kitab Klasik ditulis para ulama antara abad ke-2 hingga ke-6 hijriah yang sebagian kecil sudah dikenal masyarakat muslim, terutama komunitas pesantren, bahkan sudah disepakati para alim-ulama sebagai al-Kutub al-Mu’tabarah ‘Kitab-kitab Standar’. Isi materi kitab ini adalah Fiqh, Tasawuf, Tafsir, Hadits, Tauhid/Aqaid, Tarikh, juga Nahwu/Sharf, Balaghah, Mantiq, Falak serta Hikmah. Di antara kitab klasik ini yang cukup dikenal umum hingga sekarang adalah al-Umm ‘Kitab Induk’ karya Imam Syafi’i, termasuk pula kitab pendek yang sedang dikaji ini yakni Ta’lim al-Muta’allim Thariq at-Ta’allum ‘Mengajar Pelajar tentang Cara Belajar’ karya Syekh Burhanul Islam az-Zarnuji. Kitab-kitab klasik ini tidak bisa disangkal telah berperan ikut membentuk kultur dan kepribadian masyarakat muslim Indonesia lewat peranan kuat para kiai kharismatis dan pesantren-pesantren legendaris semenjak bangsa Indonesia dijajah Belanda.
Kemudian yang kedua al-Kutub al-‘Ashriyyah ‘Kitab-kitab Modern’ yang ditulis para ulama zaman berikutnya hingga abad 9 hijriah. Saat itu ilmu telah berkembang pesat bahkan muncul ilmu-ilmu yang baru sesuai perkembangan masyarakatnya. Ibnu Khaldun dalam Muqadimah Kitab al-‘Ibar ‘Pengantar Kitab Nasihat’ pada abad ke-8 hijriah telah membuat daftar ilmu yang ada di dunia Islam. Di antaranya adalah Ilmu Tafsir, Ilmu Dirasat, Ilmu Hadits, Ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Ilmu Faraidh, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, Ilmu Jadal, Ilmu Matematika, Ilmu Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Kedokteran, Ilmu Kimia, Ilmu Astronomi, Ilmu Bayan, Ilmu Bangun Angkasa, Ilmu Pertanian, Ilmu Falak, Ilmu Nomorologi, Ilmu Filsafat, Ilmu Teologi, Ilmu Puisi dan Ilmu Arudh/Syi’ir. Sudah tentu semakin banyak jumlah kitab yang ditulis mengenai masing-masing ilmu tersebut. Di antara yang cukup dikenal dari periode ini adalah kitab Bidayat al-Mujtahid ‘Paparan Orang Berijtihad’ karya Ibnu Rusyd, dan kitab Qanun Fi at-Thibb ‘Kaidah dalam Pengobatan’ karya Ibnu Siena.
Pesantren di Indonesia saat ini tidak sedikit yang mencukupkan diri soal materi pembelajarannya pada pengkajian-pengajian Kitab-kitab Klasik. Itulah kitab yang sudah distandarkan dan diakui keabsahannya. Namun dengan KK yang terbatas itu fungsi keilmuannya menjadi minimal bahkan berubah menciut sekadar hafalan sehingga ruh ilmu yang inspiratif dan motivatif menjadi tumpul, mati. Apalagi persoalan kehidupan yang mucul saat ini sungguh kompleks, rumit sehingga persoalan Fiqh dan Ilmu Syar’iyyah pun membutuhkan pendukung ilmu-ilmu baru seperti Ushul Fiqh, Ilmu Faraidh, Ilmu Bayan, bahkan juga Ilmu Kimia, Ilmu Kedokteran, Ilmu Pertanian, Ilmu Matematika, Ilmu Ukur dan Ilmu Filsafat. Jika pesantren bermaksud ikut menjawab persoalan kemasyarakatan modern, maka perlu ikhtiar baru dengan cara mengkaji KK yang relevan. Sungguh banyak dan beragam ilmu baru tersebut dari KK. Semua ilmu yang disebutkan Ibnu Khaldun banyak jumlah kitabnya. Meskipun kelak akan diminati oleh sedikit santri namun tampaknya pimpinan pesantren perlu membuka kesempatan agar santri memiliki perhatian terhadap ilmu-ilmu baru atau minimal dengan pengajian bandungan KK baru. Sebab jika pimpinan menutup kesempatan tersebut maka perkembangan keilmuan di pesantren dikhawatirkan akan terhenti, bahkan dunia pesantren akan ditinggalkan oleh kebudayaan maju karena dipredikati sebagai penghambat kemajuan ilmu. Oleh karena itu biarlah santri menguasai berbagai jenis ilmu yang tertulis dalam KK, tidak lagi sebatas Fiqh, baik dari periode klasik maupun periode kemajuan berikutnya.
KK menjadi ‘hidup’ di pesantren dan ‘bermakna’ penting jika dan hanya jika pimpinan pesantren berikhtiar membangkitkan semangat keilmuan yang sepuluh abad silam telah berhasil memproses bagi terbangunnya kepustakaan Islam dan KK periode klasik. Itulah reaktualisasi pemahaman kandungan KK yang kunci suksesnya adalah bangkitnya semangat ilmiah, tradisi ilmiah serta disiplin ilmiah. Apalagi Departemen Agama sebagai instansi pemerintah RI yang ditugasi membersamai pergerakan pesantren juga memberikan perhatian yang besar bagi bangkit dan menguatnya keilmuan pesantren. Sinergi dari banyak pihak, termasuk para ulama yang benar-benar alim insyaAllah mampu untuk merealisasikan harapan itu. Program Science and Technology Equity Programme (STEP) dari Depag yang melibatkan 30 buah pesantren se-Indonesia tahun 2005-2008 merupakan sebuah ikhtiar meskipun tampak jelas kekurangannya yakni pada pilihan pendekatan yang bersifat ‘proyek’ sehingga belum berhasil ‘manjing’ untuk ikut dimiliki oleh pesantren, masih sekadar ‘tempelan atau titipan’ dari instansi pemerintah.
Upaya yang lebih terkonsep adalah reaktualisasi pemahaman kandungan KK lewat telaah mendalam secara lengkap dengan latar belakang zaman dan budaya serta teksnya. Untuk membahas hal ini pernah dilakukan sebuah seminar atau halaqah para kiai yang mampu mengubah paradigma di Pesantren Watucongol Magelang tahun 1989. Disepakatilah pada halaqah tersebut adanya agenda dan kegiatan lanjutan. Sungguh hal ini merupakan sebuah lompatan besar yang diharapkan mampu mengaktualisasikan kembali peran dan kewibawaan KK karena akan mampu menjawab persoalan konkret masyarakatnya. Persoalan baru yang diduga tidak lagi bisa diselesaikan oleh dan menurut cara KK secara tuntas adalah kasus-kasus praktis, pendekatan legal-formal, juga orientasi kesalihan individu dan keakhiratan, selain berbagai problem sosial. Artinya dari segi keilmuan memang nampak adanya keterbatasan KK dan sebagai tradisi akan lebih kompleks seperti yang tampak pada berbagai kesenjangan sosial-budaya masyarakat kita. Oleh karena itu reaktualisasi pemahaman kandungan KK dengan cara pemahaman yang mempertimbangkan latar belakang keadaan atau konteks sejarah penyusunannya menjadi hal yang strategis di dunia pesantren. Berikut ini salah satu model hasil kajiannya.

C.    Kitab Ta’lim al-Muta’allim dan Etos Belajar
Dengan asumsi bahwa apa saja yang tertulis dalam kitab Ta’lim ini seluruhnya sebagai etos belajar model klasik yang tidak berselisihan dengan pengertian luasnya maka penelitian ini tidak didahului oleh cara-pandang tertentu ataupun kerangka teori etos kerja melainkan dikaji secara gestalt ‘kesatuan-keseluruhan’, langsung masuk, merasakan, mendeteksi, dan menemukan. Mulai dari depan, bagian pengantar, kemudian 13 pasal/bab hingga daftar isi di bagian belakang dicermati sebagai satu kesatuan. Data berupa kata-kalimat verbal dijajarkan secara acak-bebas untuk kemudian diklasifikasikan berdasarkan kedekatan ide, makna atau kesamaan faktor. Oleh karena itu pelaporan hasil akhir data akan berupa faktor-faktor utama etos belajar yang terklasifikasikan menjadi etos belajar positif dengan etos belajar kontroversial (dibaca: negatif). Demikianlah teknik-metode penelitian terhadap kitab pendek ini.
Dibandingkan kitab lain sezamannya kitab Ta’lim al-Muta’alim ini tergolong pendek, hanya 48 halaman. Di samping itu tema yang diangkat tergolong langka, yakni etos belajar atau metode pendidikan Islam. Tema ini tentu berbeda dari pilihan tema materi seumumnya kitab saat itu yakni tentang Fiqih, al-Dirasah al-Qur’an, Nahwu, al-Hadits, atau Syair dan Tasawuf, Hikmah. Wajar bila kitab ini memiliki tempat yang unik dalam konstelasi dunia keilmuan Islam dan juga penghargaan khas di mata umatnya. Penghormatan yang cukup tinggi ditunjukkan terutama di kalangan pesantren hingga sering dipredikati sebagai kitab pendek yang wajib-baca, tentu setelah kitab al-Quran. Setiap santri diseyogyakan untuk membaca, mempelajari bahkan ada yang sampai menghafalkannya karena diketahui mengandung banyak faedah. Bukan hanya sebagai ilmu pengetahuan namun juga sebagai etika-laku hidup sehingga diamalkan sebagai tuntunan. Kandungan materi dalam kitab ini antara lain adalah cara belajar, cara menghormati ilmu dan guru, kesungguhan, ketekunan dan cita-cita pelajar, memilih ilmu yang dipelajari, memilih guru dan memilih kawan, waktu belajar efektif dan seputarnya yang semuanya penting untuk diketahui dan dipraktikkan oleh siapapun orang yang ingin mencari ilmu.
Sekalipun banyak orang telah membaca dan mendalami kitab ini namun kebanyakan tidak mengenal siapa pengarangnya kecuali sekadar nama az-Zarnuji dengan sedikit tambahan bahwa beliau adalah murid Al-Imam Burhanudin Ali bin Abi Bakr al-Mirghinani pengarang kitab Al-Hidayah. Sebab memang langka informasi berupa tulisan artikel atau buku yang mengupas lebih jauh mengenai pengarang ini. Meskipun sesungguhnya bermunculan kitab saduran, terjemahan atau kutipan serta tafsiran atas kitab Ta’lim ini, terutama yang khusus dipakai di pesantren-pesantren seperti Tafhim al-Muta’alim (1963, PT Menara Kudus) tulisan Hamam Nasiruddin ataupun Mutiara Hikmah Mencari Ilmu (2007, Al-Miftah Surabaya) tulisan M. Ali Maghfur AM Bayyurin. Semua itu belum membahas lebih jauh tentang pengarang, namun mengenai isi-materi yang penuh kearifan klasik. Konon di seantero dunia Islam sendiri, dari hasil penelitian Muhammad Abdul Qadir Ahmad di Cairo tahun 1406H/1986M seperti dikutip Mukti Ali (“Az-Zarnuji dan Imam Zarkasyi dalam Metodologi Pendidikan Agama” dalam Biografi KH Imam Zarkasyi Di Mata Umat. Ponorogo: Gontor Press, 1996) ditemukan bahwa naskah tulis-tangan dan mikro film kitab Ta’lim ini terdapat di perpustakaan Kairo (11 macam naskah), Tunisia (4 naskah), Beirut (3 naskah), Baghdad (1 naskah), Najf Irak (1 naskah), namun terdapat juga di Inggris (1 naskah) dan di Prancis (1 naskah). Kitab Ta’lim ini dicetak di banyak tempat yakni di Jerman, Leipziq, Musyidabat, Tunisia, Mesir, Kaza, Istambul, Senegal dan Beirut.
Termaktub pada bagian pengantar kitab tentang alasan mengapa pengarang menulis wacana ini. Syaikh Burhanul Islam az-Zarnuji sang pengarang menemukan banyak orang yang sudah belajar agama Islam secara bersungguh-sungguh tetapi banyak yang tidak berhasil memperoleh ilmunya; atau ada yang berhasil namun tidak memperoleh manfaat dan buah atas ilmunya, yakni tidak mampu mengamalkan ilmu itu atau tidak bisa menyiarkan-mengajarkannya. Menurut pengarang, mereka yang belum berhasil itu telah salah jalan saat mencari ilmu karena meninggalkan syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi. Untuk itulah az-Zarnuji berkehendak menulis kitab Ta’lim ini dengan rujukan kitab-kitab yang dibacanya dan diperkaya dengan cara belajar yang diperoleh dari guru-gurunya.

1.      Az-Zarnuji Sang Pengarang
Tertulis dalam kitab bahwa nama lengkap pengarang adalah Syaikh Burhanul Islam az-Zarnuji tanpa keterangan yang menjelaskan siapa diri beliau. Sebutan “Syaikh” merupakan nama kehormatan umum bagi orang yang berilmu tinggi di kalangan budaya Islam (Arab). Nama “Burhanul Islam” merupakan nama gelar yang biasa dipakai orang dari Afganistan, Iran dan Khurasan seperti halnya nama Syamsul Islam, Dhuhal Islam karena kesungguhan yang bersangkutan dalam hidup guna menegakkan agama Islam. Sedangkan “Az-Zarnuji” dinisbatkan kepada nama daerah Zarnuj, berada di wilayah Turki atau Turkistan. Demikianlah pengarang kitab ini kurang lengkap jati-dirinya namun meski sedikit data masih bisa dilacak dan dirunut berdasarkan tanda yang menyertai kitab. Tidak jelas kapan beliau dilahirkan namun menilik usia rata-rata ulama generasi beliau yang 81 tahun dan wafat beliau antara tahun 620-630 hijrah, maka bisa diperkirakan tahun lahir beliau sekitar 539 hijriah. Tidak jelas pula siapa nama orang tua beliau, nama negeri kelahirannya, keadaan sewaktu kecil juga masa dewasa dan seanteronya karena tidak ada bukti yang tertulis.
Berdasarkan teks yang tertulis dalam kitab Ta’lim ini secara jelas disebutkan nama-nama guru beliau karena dikutip pendapat maupun syair-syairnya. Delapan nama guru yang disebutkan di dalamnya adalah (1) Ali bin Abu Bakr bin Abdul Jalil al-Farghani al-Mirghinani ar-Rasytani Burhanuddin, (2) Ruknul Islam Sadiduddin Muhammad bin Abi Bakr yang dikenal luas sebagai Jawahir Zadeh, Mufti Bukhara (3) Hammad bin Ibrahim, (4) Fahruddin al-Kasyani, (5) Fahruddin al-Hasan bin Manshur al-Ozajandi al-Farghani atau dikenal sebagai Qadhi Khan, (6) Al-Adib al-Mukhtar Ruknuddin al-Farghani, (7) Al-Imam Sadiduddin as-Syirazi, serta (8) As-Syaikh al-Imam Dhahiruddin al-Hasan bin Ali yang lebih dikenal sebagai Mir Ghinani. Dari pendapat dan mazhab guru-gurunya ini tampak jelas bahwa az-Zarnuji adalah seorang Sunni pengikut mazhab Hanafi, apalagi dari banyaknya pendapat Imam Abu Hanifah yang juga dikutipnya.
Apakah benar bahwa az-Zarnuji hanya mengarang satu buah kitab ini saja sepanjang hidupnya? Hasil penelitian hingga saat ini masih menyepakati hal yang demikian kendati pun sesungguhnya cukup janggal manakala ada seorang alim yang pekerjaannya mengajar ternyata hanya menulis satu buah kitab pendek saja. Ada dua penjelasan tentang hal ini. Pertama, tidak ditemukannya satu pun kitab lain yang dikarang olehnya ataupun kitab yang memiliki kemiripan baik dalam materi, pendekatan maupun dalam gaya bahasa dengan Ta’lim al-Muta’allim ini. Kedua, kalaupun ada karangan beliau yang lain maka telah hilang karena kurang perhatian, baik karena rusak kertas naskahnya maupun karena peperangan Mongol yang nyata-nyata sudah menghancurkan kebudayaan Islam. Seperti diketahui dari sejarah tahun 1220 M atau 627  hijriah bahwa gerombolan-gerombolan Mongol menyerang Baghdad lantas kitab-kitab di perpustakaan kota itu diangkut untuk dibuang di sungai Daljah (Tigris) sehingga konon selama berbulan-bulan air sungai itu menjadi berwarna hitam karena tercampur tinta yang dipergunakan untuk menulis kitab yang dibuang tersebut. 

2.      Latar Belakang Sejarah dan Budaya
Diperkirakan kitab Ta’lim ini disusun sekitar tahun 593H/1197M, atau setelah az-Zarnuji selesai dari proses pembelajarannya kepada banyak guru-ulama. Tahun 593 H hingga 620 H merupakan tahun pertumbuhan az-Zarnuji serta tahun kemasyhuran karangannya itu sehingga bisa dikenal secara luas oleh para ulama serta dihormati karena kepribadiannya. Dalam kitab yang disusunnya itu tampak cukup jelas berbagai kebudayaan yang diserap az-Zarnuji apalagi ketika memberikan contoh-contoh kasus ataupun penjelasan atas pendapat dan keterangan yang diberikannya. Selain kebudayaan Arab juga kebudayaan Persia dan India yang jelas tampak dari syair-syair dan sastranya.
Zaman saat buku ini disusun pada abad ke-6 hijriah pemerintahan Islam yang berkuasa adalah Daulah Abbasiyah dengan khalifah an-Nashir Li Dini ‘l-Lah (Ahmad Abu al-Abbas, 1180-1225 M). Itulah zaman ketika kekuasaan Islam nyaris berakhir karena serangan dari bangsa Mongol. Saat itu pemerintahan Islam sedang mengalami disintegrasi bangsa secara menyeluruh, serangan kecil pun dari luar akan mampu memorakporandakan kesatuan, apalagi gerombolan Mongol yang secara brutal menyerang provinsi-provinsi timur kekhalifahan Islam. Disusul kemudian dengan cucu Chengis Khan bernama Hulagu yang menyerbu dan membumihanguskan kota Baghdad. Praktis keterceraiberaian umat Islam saat itu menjadi-jadi. Peristiwa Perang Salib juga terjadi pada periode tersebut.
Hal yang penting dicatat sebagai latar belakang budaya serta zaman bagi munculnya kitab ini adalah adanya disintegrasi komunitas muslim, baik secara politik, budaya, ekonomi, sosial maupun pemikiran keagamaan dan aliran-aliran keyakinan. Tampaknya az-Zarnuji berkeinginan kuat untuk mengembalikan kejayaan Islam awal mula dengan cara-cara pendidikan puritan. Para pencari ilmu diharapkan kembali pada tradisi klasik yang mencukupkan diri pada Ilmu Fiqh; itulah seutama-utama ilmu agama. Bahkan  pengarang minta pula untuk menghindari dari mempelajari ilmu Jadal dan Ilmu Filsafat dengan ungkapan agar mencari ilmu murni warisan zaman Nabi dan sahabat serta menghindari ilmu-ilmu baru.
Kedudukan ulama pada zaman Dinasti Abbasiyah cukup tinggi. Para khalifah menghormati dan menempatkan ulama sesuai ketinggian ilmunya. Inilah hal yang menyebabkan orang-orang giat belajar agama. Saat itu para ulama umumnya muncul dari kalangan orang miskin dan rakyat biasa. Contohnya ahli syair Abu al-Haliyah dahulunya tukang batu; bapaknya Imam Ghazali adalah penenun bulu. Khalifah Makmun tercatat amat menghormati ulama Muhammad bin Musa al-Khawarizmi ilmuwan pencipta Ilmu Aljabar dan Astronomi. Khalifah Abbasiyah lainnya juga amat menghormati ilmuwan pada masanya seperti Ibnu al-Haitam pemerhati optic ataupun Ubnu Nafis peneliti peredaran darah serta Jabir ibn Hayyan pengarang kitab Kimia.
Secara ringkas bisa disebutkan bahwa sejarah dan budaya atau zaman yang melingkupi masa penyusunan kitab Ta’lim ini adalah (i) Kultur Dinasti Abbasiyah yang amat menghormati kaum cerdik pandai dengan mendudukkan mereka di tempat sesuai dengan ketinggian ilmunya, (ii) Seni-budaya Arab, India dan Persia yang mengapresiasi tinggi kemampuan berbahasa sastra terutama lewat genre ‘arudh/syi’ir, juga (iii) Kondisi kehidupan muslimin yang terancam; baik dari dalam (internal) berupa disintegrasi bangsa yang meliputi politik, ekonomi, sosial dan budaya maupun ancaman dari luar (eksternal) berupa serangan bangsa tartar Mongolia dan juga Perang Salib melawan bangsa Romawi Timur. Oleh karena itu hal yang kemudian ditawarkan oleh pengarang kitab ini sebagai solusinya adalah (iv) Kembali menghidupkan tradisi pembelajaran pola lama yang puritan: mencari ilmu murni (bukan ilmu baru), mencukupkan diri pada ilmu al-Hal dan hifdz al-Hal ‘menjaga tradisi’ serta menghindari munculnya konflik aliran dan pemikiran keagamaan meskipun sebagai akibatnya tumbuh tradisi baru yang kurang ataupun tidak rasional. Mengenai hal ini akan tampak dalam kajian dibedakannya antara etos belajar yang positif dengan etos belajar yang negatif, atau sebutlah kontroversial.   

3.   Ringkasan Isi Kitab
Kitab sepanjang 48 halaman ini dibagi menjadi 13 pasal atau bab, yakni :
Bab
Keterangan/Judul
Panjang

Halaman depan
1,0 halaman

Pembuka kitab
2,5 halaman
1
Ilmu, Fiqh dan Keutamaannya
6,0 halaman
2
Niat Belajar
3,0 halaman
3
Memilih Ilmu, Guru, Kawan serta Konsistensi
3,5 halaman
4
Memuliakan Ilmu dan Ahli Ilmu
4,5 halaman
5
Bersungguh-sungguh, Ajeg dan Bercita-cita tinggi
7,0 halaman
6
Waktu Mulai, Kadar dan Urutan Belajar
6,5 halaman
7
Tawakal
1,5 halaman
8
Waktu Efektif Belajar
0,5 halaman
9
Sikap Pengasih dan Menasihati
1,5 halaman
10
Mencari Faidah
1,5 halaman
11
Menghindari Maksiat
2,0 halaman
12
Mudah Hafal dan Mudah Lupa
2,0 halaman
13
Penyebab Mudah Rezeki dan Penghalangnya; Penambah Umur dan Pengurangnya
4,0 halaman

Daftar Isi di akhir
1,0 halaman

Jumlah  panjang
  48,0 halaman  

Pada bagian Pembuka tertulis secara jelas alasan mengapa pengarang menyusun kitab Ta’lim ini. Bahwa az-Zarnuji menjumpai banyak orang yang serius belajar agama Islam tetapi ternyata banyak yang gagal, kalaupun ada yang berhasil namun tidak memeroleh manfaat dari ilmunya. Hal itu terjadi karena kebanyakan pencari ilmu tersebut telah salah-jalan dengan meninggalkan syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi. Maka secara umum kitab ini merupakan jawaban atau rincian mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang dalam belajar tersebut. Pada Bab I Ilmu, Fiqh dan Keutamaannya; pengarang menjelaskan tentang kewajiban orang Islam umtuk mencari ilmu, ilmu apa yang wajib dicari, serta keutamaan ilmu. Ilmu ialah sifat yang dengan itu orang menjadi jelas apa yang diterangkan. Fiqh adalah pengetahuan tentang apa yang baik dilakukan orang dan yang tidak baik. Ilmu itu adalah amal, dan amal adalah meninggalkan hal-hal yang duniawi dengan menyibukkan diri pada hal-hal yang ukhrawi. Adapun keutamaan ilmu jelas terlekat pada makhluk jenis manusia seperti terjadi saat penciptaan Nabi Adam AS. Itulah sebagian isi pasal/bab ini.
Bab II Niat Belajar; tertera secara rinci apakah niat itu, bagaimana memasang niat secara benar, apa saja yang terlarang tentang niat serta bagaimana cara menjaga niat agar lurus dan benar: mengenai niat dalam belajar, niat untuk mengajar dan niat guna beramal. Tiga wilayah bidang itulah inti yang dibahas bab ini. Lantas Bab III Memilih Ilmu, Guru, Kawan dan Konsisten; tertuliskan empat hal topic tersebut secara rinci. Ilmu yang paling baik dan setiap saat diperlukan adalah Ilmu Tauhid (Ushuluddin) serta iman kepada Allah SWT lengkap dengan dalil-dalilnya sehingga menjadikan pencarinya itu tidak lagi beriman secara taqlid ‘ikut-ikutan’ saja. Sebab, menurut az-Zarnuji, sekalipun iman seseorang itu benar dalam arah dan perilaku namun kalau dia tidak bisa menemukan dalil-dalilnya akan tetap berdosa.
Kemudian Bab IV Memuliakan Ilmu dan Ahli Ilmu; diterangkan secara jelas mengapa hal tersebut perlu dilakukan oleh pencari ilmu, bagaimana cara yang baik untuk memuliakannya, apa saja hal yang perlu dihindari agar pemuliaan itu bernilai benar serta diterima secara benar pula. Cukup rinci az-Zarnuji mengupas topik pada bab ini, bahkan tampaknya terlalu rinci atau bahkan berkesan berlebihan dalam menyanjung-nyanjung pada ilmu dan ahli ilmunya. Sebagai contoh cara untuk memuliakan ahli ilmu (ulama’) itu di antaranya adalah: jangan berjalan di depannya, jangan duduk di tempat duduknya, jangan mulai berbicara kecuali dengan izinnya, jangan menanyakan sesuatu jika ahli ilmu lagi lelah, tidak mengetuk pintu rumahnya hingga ahli ilmu itu keluar sendiri dari rumahnya.
Bab V Bersungguh-sungguh, Ajeg dan Bercita-cita Tinggi; dijelaskan secara menarik ketiga topik penting ini. Dengan sikap siap-siaga untuk melakukan hal yang sulit maka halangan hidup seberapapun banyak dan kualitasnya akan bisa diatasi. Ibaratnya adalah burung yang terbang menggunakan kedua sayapnya maka manusia pun bisa ‘terbang’ menggunakan kekuatan maksudnya. Bangun malam merupakan alat yang akan membahagiakan pelakunya pada siang harinya. Ajeg melakukan amal baik, laku adil dan jujur juga secara pelan-pelan berprosesnya merupakan kunci sukses pencarian ilmu. Tinggalkan hal-hal yang jelek: malas, menunda-nunda. Hal yang terakhir, orang melakukan sesuatu jangan berkehendak karena kekuasaan atau derajat di dunia sebab semua itu bernilai remeh serta tidak luhur.
Bab VI Waktu Mulai, Kadar dan Urutan Belajar dijelaskan hal-hal yang seolah remeh dan sederhana namun mengandung misteri. Jika memulai sesuatu yang baik, sebut az-Zarnuji, maka pilihlah hari Rabu niscaya akan menjadi sempurna dan merupakan hari Mubarak. Kadar belajarnya juga dari sedikit demi sedikit, perlu pakai diulang-ulang serta dimujahadahi. Gunakan kawan untuk saling adu kebaikan: adu ingatan, adu nalar juga berbantahan secara baik. Bab VII Tawakal merupakan wilayah rahasia hati. Janganlah hati tertuju untuk memikirkan rezeki sebab akan menutup kesempatan untuk mendapatkan ilmu. Orang yang suntuk berpikir tentang pangan dan sandang akan melupakan budi pekerti. Oleh karena itu arahkan segenap potensi diri kita untuk menguasai hukum syara’ dan meraih akhlak terpuji.
Bab VIII Waktu Efektif Belajar diterangkan bahwa seseungguhnya tidak ada batas waktu untuk mencari ilmu karena rentangannya dari ayunan hingga liang kubur. Namun ada pula waktu-waktu terpilih untuk belajar yakni pas waktu sahur, antara maghrib hingga ‘isya’ juga sewaktu orang seumumnya mulai tidur. Jika bosan melakukan sesuatu maka lakukan hal lain sebagai selingan dan jika merasa mengantuk hendaklah diatasi dengan berwudhu. Bab IX Sikap Pengasih dan Mudah Menasihati difokuskan pada jangan seseorang memiliki musuh, apalagi musuh itu orangnya bodoh. Konsentrasikan energy diri untuk selalu menambah ilmu jangan pernah terpikir untuk mengalahkan musuh. Oleh karena itu sibukkan diri lewat memperbagus dirimu sendiri. Bab X Mencari Faidah dijelaskan bahwa penting bagi pelajar untuk selalu mencari faedah dengan cara siapkan alat-tulis karena sewaktu-waktu terpikirkan tentang faedah ilmunya. Ini hal yang tampak mudah, ringan, namun jika mampu dilakukan secara terus-menerus niscaya kelak akan memberikan banyak faedah. Malam itu panjang maka jangan pendekkan dengan tidur, dan siang itu terang benderang maka jangan berbuat dosa yang berakibat menjadi keruh atau gelap.
 Bab XI Menghindari Maksiat atau Wara’i merupakan syarat utama saat belajar bahkan bermanfaat bisa menghindarkan seseorang dari cobaan Allah. Sebab cobaan-Nya pada orang yang berbuat maksiat itu ada tiga hal: mati muda, menjadi satu dengan orang-orang yang bodoh, serta menjadi pegawai pemerintah. Kemudian Bab XII Mudah Hafal dan Mudah Lupa menerangkan banyak hal mulai dari yang cukup masuk akal hingga yang sulit dicerna akal. Di antara hal yang memudahkan hafal adalah makan anggur 21 biji, minum madu, ajeg, mengurangi makan, dan salat malam. Yang menyebabkan lupa: makan kazbarah basah, membuang kutu hidup, berbekam pada tengkuk. Bab XIII Penyebab Mudah Rezeki dan Penghalangnya serta Penambah Umur dan Pengurangnya juga berisikan daftar panjang dan rinci tentang topik itu mulai dari yang masuk akal hingga yang tak masuk akal.
Dari tabel isi kitab di atas tampak bahwa panjang masing-masing bab jelas berbeda, ada yang hanya 0,5 halaman namun ada pula yang hingga 7,0 halaman. Tentu dari faktor panjangnya tersebut bisa ditandai mana topik yang dipentingkan, mana yang cukup dipentingkan dan mana pula topik yang kurang dipentingkan. Namun di atas semuanya itu dari kitab ini bisa didapatkan pandangan yang sangat penting serta bernilai klasik mengenai pengajaran dan pendidikan.
Kendatipun demikian perlu dicermati bahwa kitab ini ditulis sudah sembilan abad lalu maka tidak semua pandangan az-Zarnuji bisa diterima masyarakat zaman sekarang. Cukup banyak nilai yang masih relevan, terutama mengenai etos-belajar yang akan dipaparkan berikut ini, namun hal-hal yang tidak relevan pun akan dipaparkan di butir berikutnya lagi. Dengan demikian secara lebih mendalam bisa dicermati mana hal-hal arif yang relevan dan bernilai abadi; serta mana pula hal-hal yang sudah tidak lagi relevan, atau setidaknya cukup kontroversial bagi penguatan etos-belajar ummat Islam. Secara tersurat az-Zarnuji menuliskan bahwa tradisi yang disebutkan dalam kitabnya berlaku pada zamannya, yakni pada abad ke-6 hijiah di seantero kebudayaan Islam.



4.      Etos Belajar pada Kitab Ta’lim
                     Dengan asumsi bahwa segala hal yang tertulis pada kitab Ta’lim ini termasuk etos belajar tradisional, yang tidak berselisihan dengan pengertian luas “etos”, maka setelah membaca keseluruhan isi kitab ini bisa ditentukan faktor-faktornya. Secara umum bisa dibedakan adanya faktor positif dan faktor kontroversial (negatif). Faktor positif terdiri atas empat hal yakni a. Wajib Belajar: Ilmu al-Hal dan Fardu Kifayah; b. Niat Belajar: Motivasi dan Cara Mengelolanya; c. Sikap Belajar: Memuliakan Ilmu, Ahli Ilmu, Soal Rezeki dan Pilihan Konteks Pembelajaran; dan d. Aura Ilmu: Ikhtiar dalam Meraih dan Menjaganya. Adapun faktor kontroversial terdiri atas a. Adat kebiasaan klasik dan b. Sikap pasrah dan tidak percaya diri. Berikut ini penjelasannya. 

a.   Wajib Belajar :  Ilmu al-Hal dan Fardu Kifayah
Ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi banyak yang menunjukkan kewajiban orang Islam untuk mencari ilmu. Tetapi tentu tidak mungkin seseorang mencari semua jenis ilmu yang ada di dunia ini. Lantas ilmu apa (saja) atau ilmu mana yang termasuk wajib dicari itu? Untuk merumuskan hal ini az-Zarnuji terlebih dahulu menggolong-golongkan ilmu, kemudian menetapkan ilmu yang wajib dicari oleh seseorang. Tumpuan utamanya pada apa yang sedang dihadapinya serta bagaimana keadaan sekitarnya. Dari rumusan yang didapat menjadi jelas bahwa terdapat ilmu tertentu yang wajib dicari seseorang tetapi tidak wajib dicari oleh orang Islam yang lainnya. Itulah kemajemukan kehidupan yang benihnya berasal dari pengertian yang sama.
Pada kitab ini disimpulkan bahwa kewajiban orang Islam dalam mencari ilmu dibatasi pada Ilmu al-Hal. Ilmu al-Hal ini meliputi ilmu keagamaan murni dan juga ilmu cara dalam memperoleh rezeki atau menguatkan bidang pekerjaan yang dipilihnya (ma’isyah). Ilmu al-Hal mengenai agama mencakup ilmu Ushuluddin, Fiqh dan isinya seperti ibadah dan muamalah. Sebab setiap orang Islam perlu mengetahui apa-apa yang bisa mengantarnya kepada keimanan agar menjadi mukmin sejati lewat Ilmu Ushuluddin. Kemudian agar seseorang bisa mengetahui apa yang telah Allah SWT wajibkan kepadanya maka ia perlu belajar Ilmu Fiqh; termasuk di dalamnya tentang Shalat dan Puasa; apabila ia juga memiliki kekayaan perlu mempelajari tata cara Zakat serta Haji. Sedangkan untuk ma’isyah bilamana penghidupan orang itu berdagang maka wajib baginya mencari Ilmu Dagang juga pengertian seputar Riba agar terjaga untuk tidak menyalahinya; namun kalau ia seorang tukang kayu maka wajib baginya mencari Ilmu Pertukangan Kayu; dan demikian seterusnya, kewajiban jenis ilmu mengikuti profesi yang dipilihnya.
Kalimat ringkas yang dituliskan az-Zarnuji pada halaman 4 kitabnya adalah
اَفْضَلُ العِلْمِ عِلْمُالحَالِ وَ اَفْضَلُ العَمَلِ حِفْظُ الحَالِ
“Seutama-utamanya ilmu adalah Ilmu al-Hal dan seutama-utamanya amal adalah memelihara keadaan yang dihadapi”.
Ide dan penjelasan ini tampak khas berkarakter kuat sebab az-Zarnuji sang pengarang hadir dengan rumusan yang amat cerdas. Bukankah tidak mungkin seorang muslim mempelajari semua jenis ilmu; dan sebaliknya tidaklah mungkin seseorang menolak ilmu. Oleh karena itu rumusan singkat az-Zarnuji telah memberikan solusi yang bersifat prinsipal-strategis-cerdas. Setiap muslim atau muslimah berhak dan bisa menetapkan bagi dirinya sendiri akan ilmu al-Hal yang wajib dia cari, serta ilmu lainnya yang tidak wajib. Masing-masing muslim dengan demikian memungkinkan untuk berbeda-beda akan jenis ilmu yang wajib dicarinya tersebut.
Kemudian secara menarik az-Zarnuji menawarkan pula metode logika adanya ilmu-ilmu yang tergolongkan sebagai fardu kifayah. Ilmu fardu kifayah terdiri dari ilmu-ilmu yang sesekali saja diperlukan atau sesekali saja terjadi. Apabila di daerah itu sudah ada yang menguasai ilmu tersebut maka orang lainnya tidak wajib mengetahuinya. Namun apabila di kawasan itu tidak seorang pun yang menguasainya maka berakibat segenap penduduk di kawasan itu menanggung dosa. Demikianlah kaidah fardu kifayah. Adapun contoh ilmu yang termasuk fardu kifayah dalam kitab adalah Ilmu Makanan dan Ilmu Obat-obatan. Jika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat modern saat ini yang membutuhkan semakin banyak ilmu dan hal, tentu kasus fardu kifayah ini telah berkembang. Sebutlah seperti Ilmu tentang Tsunami, Gempa Bumi, Ilmu Politik, Ilmu Bank Syariah, Ilmu Akuntansi, Ilmu Flu Babi, Ilmu Pemanasan Global, dll.

b.   Niat Belajar: Motivasi dan Cara Mengelolanya
Niat merupakan jiwa tingkah laku manusia. Lantas niat apa yang harus dipasang jika seseorang mencari ilmu? Niat pertama menurut az-Zarnuji dan paling benar adalah mencari keridhaan Allah SWT atau masuk surga saat di akhirat kelak. Namun bisa pula diniati guna menghilangkan kebodohan orang lain dengan cara mengajarnya ataupun niat menghidupkan agama dan mengekalkan Islam. Hal terakhir ini dibenarkan karena kekalnya Islam harus dengan ilmu, bahkan tidak sah zuhud dan taqwa seseorang bila dilandasi kebodohan. Hal yang dilarang soal niat dalam belajar adalah untuk menarik perhatian orang lain, mencari kemuliaan di hadapan penguasa, serta untuk mencari kekayaan dunia. Namun bilamana niat mencari kemuliaan untuk kepentingan amar ma’ruf nahi munkar masih dibolehkan karena bukan termasuk kepentingan dirinya sendiri.
Tampak bahwa az-Zarnuji pada topik ini menawarkan sudut-pandang baru mengenai niat atau motivasi belajar. Sudut pandang baru bahwa ada eksplorasi niat yang tidak semata duniawi; juga adanya tingkat-tingkatan kualitas niat. Struktur konsepnya unik yakni semakin tinggi tingkatan niat akan semakin mampu untuk mencakup tingkatan niat di bawahnya; namun tidak demikian yang sebaliknya. Sebutlah niat dimiripkan dengan pamrih; pamrih selalu menyertai aktivitas manusia. Mengenakan baju pun pasti ada pamrihnya: agar tampil cantik-gagah, agar tidak kedinginan, agar dikagumi orang lain, atau ikut sunnah Nabi. Pamrih paling tinggi tentu ridha Allah, namun ada pamrih di bawahnya misalnya agar gugur kewajiban, atau bawahnya lagi pamrih agar sehat-wal-afiat, pamrih bawahnya lagi agar dihargai orang lain, kemudian pamrih terbawahnya untuk merasa puas secara emosional. Demikianlah misalnya beramal sesuatu dengan berpamrih rendah maka itulah yang maksimal bisa didapatkan. Namun jika berpamrih atas tentu maksimal didapatnya atas juga, kalaupun meleset tentu masih mungkin akan didapatkan pamrih yang di bawahnya. Sedangkan hal yang sebaliknya tidak terjadi, berpamrih bawah mustahil akan mendapatkan yang atas.
Orang yang sedang mencari ilmu perlu menjaga harga diri, jangan sampai merendahkan diri dengan mengharapkan memperoleh sesuatu yang tidak semestinya, dengan cara selalu bersikap tawadhu’. Tawadhu’ adalah sifat tengah antara sombong dengan merendahkan diri. Ukuran untuk tidak merendahkan diri ini maka seorang pelajar atau penuntut ilmu hendaknya selalu tampak berwibawa dan tercukupi. Bahkan termasuk soal pakaiannya, tertulis di halaman 12 kitabnya:
عَظِّمُوْا عَمَائِمَكُمْ وَ وَسِّعُوا اَكمَامَكُمْ
 “Besarkanlah surbanmu dan luaskanlah lengan bajumu”, nasihat Abu Hanifah seperti dikutip az-Zarnuji karena seringnya orang melihat hanya dari pakaian yang dikenakan seseorang. Boleh jadi inilah sebabnya para ulama di negeri Arab memakai surban besar dan jubah komprang atau bahkan pakaian topi serta toga Guru Besar di universitas-universitas terkemuka dunia.
Az-Zarnuji dalam kitabnya ini tampak hanya membicarakan niat orang yang sedang mencari ilmu (belajar), lantas niat orang yang menularkan ilmu (mengajar) serta sekilas niat dalam beramal. Hal ini bisa dipahami sebab hidup manusia secara kategoris memang hanya berisi aktivitas belajar, mengajar dan aktivitas beramal. Niat sungguh merupakan jiwa tingkah laku manusia, sehingga salah niat akan salah pula jiwa-isinya, tanpa makna. Agar tidak salah niat maka jauhilah pamrih duniawi; karena pamrih dunia hanya akan merusak nilai, menurunkan kadar serta mengecilkan mutu perilaku manusia.

c.    Sikap Belajar: Memuliakan Ilmu, Ahli Ilmu, Soal Rezeki dan Pilihan Konteks Pembelajaran
Memuliakan ilmu, juga memuliakan ahli ilmu dilakukan seorang pencari ilmu guna bisa memperoleh ilmu dan bisa memanfaatkan ilmu yang diperolehnya itu. Jangan sampai memperoleh ilmu namun tidak mengakibatkan manfaat justru sebaliknya memunculkan madharat. Diceritakan bahwa seseorang tidak menjadi kafir karena berbuat maksiat melainkan menjadi kafir karena meninggalkan penghormatan. Az-Zarnuji dalam kitab ini memandang serius sikap hormat atau memuliakan ini. Menghormati ilmu dilakukan seorang pelajar dengan tidak membujurkan kaki ke arah kiblat, meletakkan kitab tafsir di atas semua kitab, menulis dengan jelas dan baik akan ilmu, tidak melipat kitab, jangan menggunakan tinta merah. Kemudian menghormati guru dilakukan dengan memuliakannya, mengikuti kehendaknya, menghormati anak dan orang yang berhubungan dengan gurunya, tidak menyakiti hatinya, memilih jalan kebaikan lewat musyawarah dengan gurunya, tidak duduk terlalu dekat dengannya serta menjauhi akhlak yang tercela.
Soal rezeki saat belajar dianjurkan oleh az-Zarnuji agar pelajar bisa membiayai diri sendiri, atau bekerja sambil belajar, tanpa mengharapkan bantuan orang lain. “Barang siapa menginginkan harta benda orang lain, orang itu adalah fakir. Seorang alim yang menginginkan harta benda orang lain maka kemuliaan ilmu yang ada padanya hilang dan tidak lagi bisa berkata yang hak”. Adapun bekerja sambil belajar sungguh bagus untuk dilakukan karena akan melatih kemandirian pelajar-pencari ilmu sekaligus dengan tanggung jawab ilmiahnya. Pepatah mengatakan bahwa seseorang berbicara bergantung siapa yang memberinya makan; jika pelajar bisa menghidupi diri sendiri maka tentu kemandirian pendapat dan sikapnya menjadi niscaya.
Konteks pembelajaran yang dimaksud di sini meliputi pemilihan guru, pemilihan kawan belajar dan pemilihan jenis ilmu. Guru dipilih berdasarkan kealiman, kewiraian serta ketuaannya. Perlu waktu untuk memilih di antara guru-guru yang ada sehingga bisa mendapatkan gambaran dan pembandingan atas semuanya. Sebagai contoh di Baghdad, kota pelajar yang banyak sekali gurunya, maka perlu waktu untuk memilih guru itu kurang lebih dua bulan agar bisa sesuai dengan tujuan pencarian ilmunya. Sikap dan sifat tergesa-gesa dalam menentukan guru hanya akan menuai sesal di kemudian hari; kendatipun jika terpaksa terjadi juga akan membawa banyak hikmah. Peran kawan belajar dalam menentukan kesuksesan seseorang ketika mencari ilmu sungguh besar. Kawan belajar akan membersamai sehingga perlu dipilih berdasarkan kesungguhannya, wataknya, dan juga kebiasaan-kebiasaannya.  Az-Zarnuji pada halaman 15 menuliskan:
وَ يَفِرَّ مِنَ الكَسْلانِ وَ المُعْطِلِ وَ المَكْثَارِ وَ المُفْسِدِ وَ الفَتَّانِ
“Hindarilah kawan yang pemalas, menunda-nunda, banyak bicara kosong, berbuat kerusakan serta tukang fitnah”. Adapun jenis ilmu yang perlu dipilih untuk dicari adalah ilmu aseli ketika dibandingkan dengan ilmu baru. Ilmu aseli adalah imu yang dipelajari di zaman Nabi, sedangkan ilmu baru adalah ilmu yang muncul setelah habisnya periode Nabi atau terkemudian.
Dengan topik ini sungguh az-Zarnuji mampu menyadarkan pembaca bahwa pada hakikatnya proses pendidikan bersifat individual, yakni diawali serta diproses secara perseorangan, oleh orang per orang. Benar bahwa dalam menjalani belajar perlu melibatkan orang lain, pihak lain serta keikutsertaan banyak faktor lain, namun hakikatnya tetaplah bersifat individual. Perlu ditambahkan bahwa pemilihan guru untuk pendidikan yang klasikal seperti pada umumnya saat ini sungguh sulit, kecuali di pesantren salafiah. Santri pesantren salaf masih memungkinkan untuk memilih guru, bahkan bisa pula memilih pesantren yang akan diikuti pendidikannya.
Seolah sikap belajar seperti yang ditampakkan di sini terkesankan jauh dari pengaruh positif sikap modern yang rasional-objektif. Namun jika bisa diikuti dengan kesadaran penuh maka yang dituju adalah keterlibatan total seorang peserta didik pada proses pendidikan yang diikutinya lengkap dengan kultur dan lingkungan besarnya sehingga akan mendapatkan manfaat secara maksimal. Mirip dengan pemahaman tentang teori quantum yang dengan berubahnya paradigm lantas memunculkan sekian akibat yang bersifat meluas dan mendalam. Quantum biasa dipahami sebagai interaksi yang mengubah energi menjadi pancaran cahaya yang dahsyat; dalam konteks belajar akan mampu mengubah pelbagai potensi yang ada dalam diri manusia menjadi pancaran atau ledakan gairah (dalam memperoleh hal-hal baru) yang dapat ditularkan dan ditunjukkan kepada orang lain. Kendatipun ada yang tampak berlebihan namun sikap belajar dan pemuliaan ini semua lebih merupakan etika atau sopan santun yang mencitrakan keberadaban seseorang, dimensi moralitas daripada kaidah yang bersifat fiqh.

d.   Aura Ilmu: Ikhtiar dalam Meraih dan Menjaganya
Ilmu bagi seorang muslim merupakan cahaya kehidupan sehingga di manapun tempat cahaya itu dan bagamana pun caranya terus akan dicari hingga ditemukan lantas terus dijaga agar bisa bersama cahaya tersebut sampai kapanpun atau ajal menjemput. Sebab apa artinya hidup jika tanpa cahaya? Gelap. Seberapa pun jumlah kekayaan yang dipunyai, seberapa pun tinggi pangkat derajat yang dicapai, seberapa pun cantik-gagah rupa wujud yang diusahakannya semua akan menjadi hambar tanpa cita-rasa keduniaan bilamana tanpa ada cahaya menyertai. Karena itu az-Zarnuji lewat kitab ini berupaya menerangjelaskan aura ilmu, bagaimana meraih serta bagaimana pula menjaganya.
Keutamaan ilmu dibandingkan dengan kebodohan ibarat hidup dengan mati. Hidup di dunia tanpa ilmu, sesungguhnya sudah mati kendatipun masih dianggap hidup, masih bisa berjalan, bernafas, makan dan minum namun nyatanya sudah tiada. Kebodohan adalah kematian. Adapun hidupnya orang berilmu akan hidup selamanya meskipun jasadnya telah wafat dan dikebumikan di perut bumi. Ilmu adalah derajat yang paling mulia dari derajat-derajat yang lain; apalagi bila derajat mulia berada di bawah ilmu maka menyatulah dua kemuliaan. Kemuliaan orang berilmu akan menetap di alam dunia serta akan berlipat ganda di alam akhirat, sementara orang yang bodoh hanya akan menjadi debu di perut bumi. Oleh karena itu sungguh sangat jauh jarak terbentang antara kebodohan dengan ilmu.
Ikhtiar untuk meraih ilmu tidak pernah mudah. Selain adanya niat tulus dan cita-cita luhur diperlukan pula ketekunan; ketekunan inilah yang mampu mengubah persoalan yang semula jauh menjadi dekat serta mampu membuka pintu tujuan yang terkunci. Tingginya kedudukan seseorang disebabkan cita-cita yang luhur sedangkan kunci kemuliaan seseorang terletak pada kurangnya tidur di malam hari. Barangsiapa punya cita-cita luhur tetapi tanpa jerih payah maka ia menyia-nyiakan umur untuk sesuatu yang mustahil terjadi. Waktu malam hari ibarat kendaraan dan alat yang mampu mengantar pengendaranya mencapau segala sesuatu yang ada dalam angan-angannya, cita-citanya. Berjaga di malam hari akan menyebabkan ceria-bahagia di siang harinya. Jauhilah perbuatan maksiat, hindarilah kekenyangan serta kurangilah tidur di malam hari maka dengan jerih-payah itu akan didapatkanlah apa yang selama ini dicari.
Diraihlah ilmu, namun setelah itu diperlukan aktivitas menjaganya agar ilmu tetap menetap dalam diri pemiliknya. Hal yang langsung melekat pada orang berilmu adalah kedudukan mulia. Segera akan dating cobaan yang bertubi-tubi dengan godaan utamanya berupa dunia dan kenikmatannya. Sungguh itu akan menghancurkanmu oleh sebab itu pejamkanlah matamu terhadap dunia karena sesungguhnya ilmu merupakan pemberian dan kenikmatan yang terbaik. Ulangilah ilmu yang telah didapat, pelajarilah kembali, tuliskanlah agar menjadi kokoh serta bergegaslah untuk mempelajari ilmu yang baru. Jangan pernah menyembunyikan ilmu karena akan berakibat hilang dan terlupa. Abdikanlah dirimu kepada ilmu, niscaya manusia lain akan datang mengabdi kepadamu.
Orang berilmu tidak dibenarkan memiliki musuh. Memang ada orang jelek yang memusuhi orang berilmu dengan berbuat maker, namun jangan sekali-kali membalasnya. Menghindarlah dari kejelekan seseorang, barang siapa berbuat baik maka balaslah dengan yang lebih baik. Kalau ingin selamat maka berdamailah atas permusuhan mereka dan diamlah tatkala mereka bersuara. Jika engkau menghendaki musuhmu hina, kalah dan terbakar hatinya, maka carilah kemuliaan yang lebih dan tambahilah ilmumu, karena bila orang yang ilmunya bertambah semakin bertambah pulalah kekalahan dan kehinaan orang-orang yang membencinya.
Terdapat ‘seni hidup’ tertentu manusia sebagai ikhtiar mencapai kemuliaan. Jika tanpa upaya meraihnya tentu mustahil akan mendapatkannya. Namun jika terlalu ‘ngotot’ serius dalam memburunya maka kemuliaan justru bersembunyi menjauhinya. Perhatikan kutipan dari halaman 39 dari kitab berikut ini:
اَرَى لَكَ نَفْسًا تَشْتَهِى اَنْ تُعَزِّهَا فَلَسْتَ تَنَالُ العِزَّ حَتَّى تُذِلَّهَا
“Saya melihat kamu sangat menginginkan kemuliaan. Kamu tidak akan pernah mendapatkannya sampai dengan kamu menganggap hina terhadapnya”. Kemuliaan pada nadham ini bersifat universal, bisa berwujud ilmu, bisa pula jabatan, ataupun berwujud kekayaan dan kehormatan kemanusiaan yang lainnya. Selama seseorang sangat menginginkannya maka yang didapatkan justru yang lain.

5.            Faktor Kontroversial
a.      Adat Kebiasaan Klasik
Tidak sedikit hal yang saat ini disebut janggal, bahkan tidak masuk akal disebutkan az-Zarnuji dalam kitabnya. Misalnya disebutkan hal yang menyebabkan pelajar mudah melupakan pelajarannya di halaman 43:
وَ اَمَّا اَسْبَابُ نِسْيَانِ العِلْمِ فَأَكَلُ الكُزْبَرَةِ الرُّطْبَةِ وَ التُّفَاحِ الحَامِضِ وَ النَّظَرُ اِلَى المَصْلُوْبِ وَ قِرَاءَةُ لَوْحِ القُبُوْرِ
“Hal yang menyebabkan mudah melupakan ilmu adalah makan kazbarah basah, makan apel yang asem, melihat sesuatu yang disalib, dan membaca nisan kubur”. Lantas tertulis lanjutannya adalah berjalan di antara karavan berjalan, meletakkan kutu rambut masih hidup di tanah dan berbekam pada tengkuk. Kemudian disebutkan pula hal-hal yang menyebabkan kefakiran/kemiskinan: tidur telanjang, makan dalam keadaan junub, makan dengan posisi miring sebelah, membiarkan makanan jatuh sewaktu makan, membuang kotoran sampah di dalam rumah, berjalan di depan orang tua, mencungkil gigi dengan sembarang kayu, membersihkan tangan dengan tanah liat dan debu, duduk di undakan pintu, menyandarkan diri pada salah satu daun pintu, mengambil air wudhu di tempat terbuka, menjahit pakaian yang sedang dikenakan di badannya, mengeringkan muka dengan pakaian yang dipakai, menganggap remeh shalat fajar dan cepat-cepat pergi ke pasar, dan bermalas-malas kembali dari pasar, mematikan lampu dengan tiupan nafas, menulis dengan kalam yang patah, memakai serban dengan duduk, memakai celana dengan berdiri, kikir, pelit, boros, malas, tidak segera mengerjakan sesuatu yang baik, menganggap remeh hal-hal yang dihadapi.
Tampaknya az-Zarnuji terpengaruh oleh adat-kebiasaan yang berlaku di kalangan ummat Islam pada saat beliau hidup, abad ke-6 hijriah. Bahkan tampaknya pengarang tidak berikhtiar untuk membersihkan ajaran Islam dari adat-adat seperti itu sehingga menerimanya sebagai bagian dari warisan Islam. Oleh karena itu beberapa hal sulit dinalar, tidak bisa masuk akal. Seperti fase perkembangan ilmu yang mendasarkan diri pada ‘kebiasaan’ ataupun ‘kebetulan’ sehingga disebut sebagai Pra-Psikologi (prae-psychology) sebagaimana yang pernah terjadi pada kebudayaan-kebudayaan lama misalnya budaya Jawa muncul buku-buku Primbon. Oleh karena itu pada kitab ini wajar dimasukkan secara tidak terelakkan kepercayaan dan kebiasaan yang sesungguhnya bersifat kondisional, baik menyangkut selera individual, selera kelompok, selera bangsa maupun selera generasinya.
Namun dari hal yang ditulis bagaimanapun merupakan nasihat dan sopan santun (etika) yang diajarkan kepada pelajar yang sedang menuntut ilmu. Secara kategoris isi nasihat tersebut bisa digolongkan berhubungan dengan kebersihan, sebagian lainnya berkaitan dengan kesehatan, serta ada pula yang berkaitan dengan kesopanan. Apabila dirunut tidak mustahil ada pula yang mempunyai dasar agama Islam, hal yang dilakukan para sahabat Nabi.
Contoh kasusnya jangan duduk di undakan pintu agar tidak fakir. Manakala dicermati nasihat itu tidak ada salahnya karena perbuatan seperti itu akan menghalangi orang yang akan lewat pintu tersebut. Demikian pula jangan menyandarkan diri pada salah satu daun pintu agar tidak fakir, tentu saja berbahaya kalau orang lain membukanya niscaya akan terjatuh. Lain halnya etika agar tidak berebekam pada tengkuk, sebab tengkuk itu pusat syaraf manusia serta hamper selalu difungsikan; manakala tengkuk dibekam akan terasa lebih sakit dan lebih lama. Sedangkan etika untuk tidak kikir, tidak boros, tidak malas, bahkan agar segera mengerjakan sesuatu yang baik, termasuk jangan menganggap remeh hal-hal yang dihadapi; sudah bartang tentu hal-hal ini logis dan sesuai dengan anjuran agama.
Namun tidak sedikit hal yang tampak kurang masuk nalar karena merupakan etika yang kondisional, misalnya jangan makan kazbarah basah ataupun makan apel yang asam serta melihat sesuatu yang disalib karena menyebabkan pelajar mudah melupakan pelajarannya. Asal mengkritik tentu bisa, namun tampak hal-hal ini sekadar kebiasaan sesaat. Ada pula az-Zarnuji melarang pelajar menggunakan tinta berwarna merah dalam menulis. Sebab, alasan yang dituliskan pengarang, tinta merah adalah kebiasaan para ahli filsafat dan bukan kebiasaan ulama salaf. Inilah di antara adat kebiasaan zaman klasik yang kurang masuk akal untuk saat ini.

b.   Sikap Pasrah dan Tidak Percaya Diri
Az-Zarnuji menuliskan sebuah kalimat yang bersumber dari perkataan Abu Hanifah, terdapat di halaman 18, yakni:
اِنَّمَا نِلْتُ هَذَا العِلْمَ بِالتَّعْظِيْمِ
“Saya menemukan ilmu ini dengan penghormatan (puji syukur)”. Spontan kalimat perkataan tersebut dinilai salah oleh Ahmad Fuad al-Ahwani dalam kitab at-Tarbiyah Fi al-Islam 1955 seperti dikutip oleh Mukti Ali (“Az-Zarnuji dan Imam Zarkasyi dalam Metodologi Pendidikan Agama” dalam Amir Hamzah Wirjosukarto Biografi KH Imam Zarkasyi Di Mata Umat. Ponorogo: Gontor Press, 1996). Menurut Ahmad Fuad, penghormatan ataupun “puji syukur” itu hanya bisa dilakukan setelah seseorang mendapatkan “ilmu”, atau setelah mencapai “ilmu” tertentu. “Puji syukur” dan penghormatan dengan demikian bukanlah sebab untuk berhasilnya memperoleh “ilmu” itu melainkan sebagai buah dari pencarian “ilmu”, pencapaian hasil “ilmu”. Oleh karena itu Ahmad Fuad menilai bahwa kalimat az-Zarnuji tersebut telah mengajak pembaca dan pelajar kepada sikap penyerahan diri, malas serta tidak adanya rasa percaya kepada diri sendiri.
Namun Abdul Qadir, seperti dikutip Mukti Ali juga, menolak pendapat Ahmad Fuad tersebut. Tidaklah benar perkataan az-Zarnuji telah mengajak pelajar untuk bersikap menyerah dan malas. Abdul Qadir sungguh memahami bahwa az-Zarnuji sebagai pengikut mazhab Hanafi pasti ingin mengikuti perndapat dan perkataan gurunya tersebut, yakni ia memperoleh “ilmu” dengan penghormatan kepada guru, ilmu dan “puji syukur” kepada Allah SWT. Menghormat itu perbuatan utama. Orang memanjatkan puji syukur kepada Allah ataupun memuji-Nya bisa dilakukan setiap waktu dan di sembarang tempat; apakah dengan hal itu memperoleh ilmu yang sedikit ataupun banyak bukanlah soal, apakah itu sebab ataupun akibat juga bukanlah soal; sebab memuji dan bersyukur itu merupakan salah satu cara bagi orang Islam untuk berhubungan dan menghadap kepada Allah SWT.
Tampaknya persoalan yang diangkat tersebut tidak penting bagi ummat Islam awam, terserah saja apakah “puji syukur” atau “ilmu” mana terlebih dahulu, itu hanya konsumsi para ahli-pikir yang terbatas. Seperti halnya kasus aneh yang tertulis dalam sebuah kitab Fiqh tentang bagaimana hukumnya orang yang mau berpuasa sedangkan ia memasukkan benang ke dalam tenggorokan, kemudian terbit fajar dan benang itu sudah masuk sebagian. Contoh hal yang seperti ini tentu saja berlebihan karena menjadikan kita umat Islam dibuat tenggelam memikirkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Sesungguhnya sikap pasrah kepada kenyataan itu tidaklah salah bahkan harus. Ungkapan yang saat ini berkembang untuk ini adalah “berdamai dengan kenyataan” dalam pengertian menerima kenyataan yang terjadi. Sebab pembentukan karakter yang kuat mensyaratkan hal tersebut, kendatipun harus disertai dengan kepercayaan diri yang besar.

D.       Relevansi Etos Belajar Klasik
Empat faktor pada etos belajar klasik sungguh bernilai universal yang relevan dan mampu menguatkan tradisi keilmuan pesantren. Faktor pertama, wajib belajar tentang ilmu al-Hal akan mendorong setiap muslim untuk menguasai ilmu keagamaan dasar dan juga ilmu ma’isyah sesuai dengan bakat-minat dan jalan hidup yang dipilihnya. Faktor kedua, niat belajar merupakan metode arif untuk mengelola hati agar ruh-jiwa belajar selalu hidup dan menghidupkan serta meluruskan motivasi untuk semata tertuju kepada keridhaan Alah SWT. Faktor ketiga, sikap belajar merupakan etika dan sopan santun pencari ilmu mengenai bagaimana sebaiknya ilmu didapatkan, lewat siapa didapatkan dengan maksud ilmu yang diserap menjadi utuh-lengkap dari sisi kognitif, sisi afektif dan sisi psikomotorik. Faktor keempat, aura ilmu akan menguatkan kesadaran mengenai mengapa ilmu perlu dicari, bagaimana memerolehnya serta bagaimana menjaga agar ilmu tetap menetap dan bermanfaat bagi kehidupan sesama.
Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana agar tradisi keilmuan pesantren itu ada-dimulai, dijalankan dan diteruskan sehingga menguat guna mengembalikan kewibawaan pesantren sebagai pusat ilmu dan kebudayaan Islam? Jawabannya dapat dirumuskan secara verbal-konseptual namun implementasinya harus dilakukan secara praksis-faktual. Sinergi berbagai pihak harus dijalin baik internal pesantren maupun eksternalnya. Intinya memang terletak pada faktor internal yang terdiri dari kiai-pimpinan, ustadz-ustadzah, tenaga penunjang serta santri peserta didik. Sedangkan eksternal sebagai penunjangnya meliputi orang tua/wali santri, masyarakat lingkungan pesantren, pemerintah lengkap dengan departemen dan strata-tingkatannya, lembaga swasta maupun luar negeri. Membangun tradisi atau peradaban pada zaman global hanya akan berhasil jika melibatkan segenap pihak terkait serta meluaskan jaringan.
Faktor kiai atau pesantren sebagai penyelenggara dan pemangku utama pendidikan bertanggung jawab dalam usaha penciptaan lingkungan belajar yang kondusif untuk munculnya tradisi keilmuan. Tradisi keilmuan ini dibentuk dari semangat, disiplin serta pembiasaan kegiatan keilmuan yang diarahkan oleh visi jauh guna meraih prestasi kekhalifahan. Penguat tradisi keilmuan ini dilakukan dengan program reaktualisasi pemahaman kandungan KK, yakni cara baru dalam memahami KK dengan mempertimbangkan latar belakang keadaan atau konteks sejarah penyusunannya. Selain itu bisa dilakukan dengan penambahan materi-ilmu baru dari KK periode modern yang memang beragam-isi untuk mulai diajarkan di pesantren; namun bisa dilakukan dengan cara memahami KK lama dengan cara pemahaman baru. Sebab sudah tidak tepat lagi memahami KK hanya dengan membaca-mengamalkannya tanpa memahami konteksnya.
Faktor santri sebagai peserta didik di pesantren juga merupakan faktor penentu terpenting kedua bagi penguatan tradisi keilmuan pesantren. Santri by design selalu bersifat aktif sesuai dengan pengertian istilah thalib ‘pencari’ sehingga berfungsi sebagai pelaku-subjek. Jika lingkungan belajar sudah kondusif bagi penguatan tradisi keilmuan maka santri akan selalu aktif mengikuti, mencari, menambahi, bahkan membuat dan memroduksi aneka kegiatan keilmuan sesuai keingintahuannnya (curiosity) dan semangat ilmiahnya. Lewat berbagai kegiatan keilmuan yang ada dipandu oleh cara pandang yang standar mondial maka santri akan siap-siaga untuk berpreatsi dalam bidang pemikiran dan keilmuan serta bersaing secara global guna menyongsong kehidupan umat Islam yang lebih baik dan bermartabat di masa depan.
Secara ringkas bisa disebutkan bahwa etos belajar klasik memiliki empat faktor positif yakni wajib belajar, niat belajar, sikap belajar dan aura ilmu. Keempatnya  secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama telah membangun etos belajar umat Islam dari masa ke masa. Tradisi klasik, termasuk Islam ini bukanlah lawan dari kemajuan melainkan sarana untuk kemajuan. Semakin jauh ke belakang kita memandang justru akan semakin berdaya untuk bertolak ke depan, mirip prinsip kerja ‘ketapel’. Jika saat ini umat bersedia menimba kearifan dari pemikiran klasik tersebut dan menginternalisasikannya niscaya hasilnya akan bisa menguatkan tradisi keilmuan pesantren saat ini dan mendatang. Pesantren mendatang akan kembali berwibawa sebagai pusat ilmu, pemikiran dan kebudayaan Islam. Insya Allah.

E.     Penutup
Berdasarkan uraian terdahulu bisa disimpulkan bahwa,
1.      Umat Islam merupakan sebuah konsep longgar atas komunitas muslim sedunia yang wujudnya mulai terbentuk sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW dan terus berkembang hingga saat ini bahkan di masa mendatang. Kesadaran warga muslim akan kebenaran dan keberlakuan konsep tersebut bisa menorehkan warna khas ataupun cara pandang standar tentang ajaran Islam, sejarah umat serta peluang bersama di masa depan. Cara pandang standar tersebut berciri mondial yang terbentuk dari unsur pola pikir yang terbuka, unsur sikap hidup yang merangkum-inklusif serta unsur kesadaran yang historis-faktual. Pemahaman dan kesadaran muslim mengenai konsep-konsep tersenut akan menjauhkan dirinya juga umatnya dari sifat-sifat yang negatif seperti reaktif-emosional, pola pikir tertutup, sikap hidup eksklusif dan kesadaran ahistoris. 
2.      Peran dan prestasi umat Islam di pentas dunia selama 14 abad ini mengalami dinamika yang menarik dan penting dikaji untuk dilanjutkan. Periode klasik (650-1250 masehi) terdiri dari masa keemasan dan masa disintegrasi; periode pertengahan (1250-1800 masehi) terdiri dari masa kemunduran dan masa tiga kerajaan besar; serta periode modern (1800-2000 masehi) yang merupakan rentangan masa kebangkitan kembali. Pada setiap periode dan masa tersebut ummat Islam selalu berbuat, bergerak dengan berprestasi tinggi namun juga berprestasi rendah. Khazanah pemikiran keilmuan dan kebudayaan Islam yang berwujud Kitab Kuning menjadi saksi dan menyimpan dinamika prestasi tersebut, sehingga biasa dibedakan adanya al-Kutub al-Qadimah ‘Kitab-kitab Klasik’ dengan al-Kutub al-‘Ashriyyah ’Kitab-kitab Modern’.
3.      Etos belajar dan etos kerja ummat Islam merupakan faktor penentu prestasi pemikiran keilmuan dan kebudayaan Islam; semakin kuat etosnya maka semakin tinggi prestasi keilmuan dam kebudayaannya. Sebuah kitab dari pemikiran klasik Ta’lim al-Muta’allim Thariq at-Ta’allum karangan az-Zarnuji mengangkat tema etos belajar secara cukup representatif. Terdapat di dalamnya nilai-nilai etos belajar positif-universal namun ada pula etos belajar yang kontroversial-negatif bila dilihat saat ini dari budaya Indonesia. Empat faktor nilai etos belajar positif-universal adalah (i) Wajib belajar: Ilmu al-Hal dan Fardu Kifayah, (ii) Niat belajar: Motivasi dan Cara Mengelolanya, (iii) Sikap belajar: Memuliakan Ilmu, Ahli Ilmu, Soal Rezeki dan Pemilihan Konteks, serta (iv) Aura Ilmu: Ikhtiar dalam Meraih dan Menjaganya. Sedangkan dua faktor kontroversial yang dimuat dalam kitab ini adalah (v) Adat dan kebiasaan klasik, dan (vi) Sikap pasrah dan tidak percaya diri.
4.      Empat faktor pada etos belajar klasik tersebut bernilai universal dan relevan untuk menguatkan tradisi keilmuan pesantren. Adanya sinergi berbagai pihak yang terkait dan pemfungsian jaringan pesantren baik menyangkut internal maupun eksternal sungguh dipentingkan untuk membangun tradisi/peradaban; apalagi pada zaman global seperti saat ini. Pesantren dan kiai sebagai penyelenggara dan pemangku utama pendidikan bertanggung jawab dalam penciptaan lingkungan belajar yang kondusif bagi penguatan tradisi keilmuan; dan diikuti dengan ikhtiar reaktualisasi KK sehingga pesantren akan kembali berwibawa sebagai pusat ilmu, pemikiran dan kebudayaan Islam. Sementara santri atau thalib ‘pencari’ sebagai peserta didik secara aktif akan mengikuti, mencari, menemukan, menambahi dan memroduksi aneka kegiatan keilmuan disertai ikhtiar internalisasi etos belajar klasik tersebut. Bisa diharapkan alumni pesantren itu kelak akan menguasai ilmu, pemikiran dan kebudayaan Islam sehingga siap-sedia berprestasi dan bersaing secara global guna membangun tradisi/peradaban Islam baru yang maju, bermartabat dan berguna bagi umat manusia.
5.      Al-mukhafadhah ala qadim as-shalih wa al-ahdhu bi al-jadid al-ashlah. Itulah kaidah ushul yang menjadi salah satu motto gerakan pesantren. Menjaga warisan lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik. Warisan bukanlah lawan dari kemajuan melainkan sarana. Tercatat dalam sejarah bahwa menjaga warisan baik atau mempertahankan tradisi baik sudah dilakukan oleh pesantren. Namun, yang kedua, yakni mengambil hal baru yang lebih baik, mungkin inilah hal yang  belum dilakukan.

 






















Daftar Pustaka






Az-Zarnuji, Syaikh Burhanul Islam. Tanpa Tahun. Ta’lim al-Muta’allim Thariqah at-Ta’allum. Semarang: Toha Putra.
Anshari, Endang Saifuddin. 1983. Wawasan Islam, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam dan Umatnya. Bandung: Pustaka Salman ITB.
Bayyurin, M. Ali Maghfur AM. 2007. Mutiara Hikmah Mencari Ilmu. Surabaya: Al-Miftah.
Esposito, John L. 1987. Dinamika Kebangunan Islam Watak, Proses dan Tantangan. Jakarta: Rajawali Pers.
Mas’ud, Abdurrahman. 2004. Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LKiS.
Nasiruddin, Hamam. 1963. Tafhimul Muta’allim, Terjemah Ta’limul Muta’allim. Kudus: Menara.
Pabottinggi, Mochtar. 1986. Islam antara Visi, Tradisi dan Hegemoni Bukan Muslim. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Radjasa, Mu’tasim dkk. 2005. Profil Pondok Pesantren Pabelan. Magelang: Pondok Pesantren Pabelan.
Rahardjo, M. Dawam. 1985. Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun dari Bawah. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
Rosidi, Ajip. 2008. Kiai Hamam Dja’far dan Pondok Pabelan. Jakarta: Pustaka Jaya dan Pondok Pabelan.
Wiryosukarto, Amir Hamzah dkk. 1996. Biografi KH Imam Zarkasyi, Di Mata Umat. Ponorogo: Gontor Press.
Pesantren, Berkala Kajian dan Pengembangan. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Edisi No. 3/Vol. III/1986.
Pesantren. Edisi No. 2/Vol. IV/1987.
Pesantren. Edisi No. 3/Vol. V/1988.
Pesantren. Edisi No. 1/Vol. VI/1989.
Prisma, Jurnal Bulanan. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Edisi No. 11/Tahun VII/Desember 1978. 


Biodata Penulis





Muhammad Nasiruddin bin Chamid Hilaly, lahir di Magelang, 19 Oktober 1961 adalah (mantan) Sekretaris Pondok Pesantren Pabelan, tahun 2001-2009. Pendidikan saat SD-SMP-SMA diselesaikannya di Muntilan kemudian kuliah di IKIP Yogyakarta (UNY) serta UGM Yogyakarta tidak tamat. Aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) kemudian di LSM dan menjadi wartawan. Tahun 1996 lewat LSM-nya sebuah kegiatan sosial-ekonomi berupa Achievement Motivation Training (AMT) dia bawa masuk di Pondok Pabelan yang menjadi sebab dia terlibat di dalamnya dan keterusan hingga sekarang. Sambil mengabdi di Pabelan, Nas panggilannya ini sempat pula menyelesaikan pendidikan S1 (2002), serta S2 (2005). Suami dari Siti Nurlaela (38) serta bapak dua orang anak bernama Mustafa Najih Fuadi (16) dan Halida Fatha Arrifa (14) ini kini bermukim di Jalan Kartini 10 Kauman, Muntilan, Jawa Tengah 56411 telepon (0293)586382. Nomor HP 08121581471, 08812680312












Tidak ada komentar:

Posting Komentar