Sabtu, 10 Desember 2011

Mendidik: Seni Mengelola Sebab Kebaikan




Sebuah Esai

Future is not determined only by logic, but also by faith and imagination which sometimes contradict with the logic itself – Arthur Clark

            Wilayah pendidikan terletak lebih di daerah sebab dari pada daerah akibat. Maksudnya, pendidikan tepat mengolah dan mengelola aneka faktor di daerah sebab dengan tujuan munculnya akibat yang baik di kemudian hari. Wajar jika pendidikan lantas dipahami sebagai ikhtiar dalam mengubah hal yang ada pada peserta didik secara bertahap dan sistematis menjadi lebih baik, lebih benar dan lebih indah. Bagaimana dengan seni? Bukankah untuk mendidik agar berhasil dibutuhkan totalitas jiwa pendidik sehingga pendidikan ibaratnya adalah ‘karya’ yang unik? Dengan logika demikian maka tampak bahwa aktivitas pendidikan, mendidik, lebih merupakan kegiatan ‘berkesenian’ yang intensif dari pada sekadar kegiatan berkeilmuan apalagi kegiatan berketerampilan.
            Memandang hidup sebagai rangkaian sebab-akibat dan meletakkan pendidikan sebagai seni mengelola sebab kebaikan maka kegiatan mendidik bisa berarti membersamai peserta didik guna mengolah dan mengelola aneka faktor di daerah sebab yang dihadapi saat ini bagi munculnya akibat-akibat yang baik, benar dan indah di kemudian hari.

Pelajaran Deadline
           
Kisah mengesankan positif di sekolah salah satunya diharapkan muncul dari kegiatan terpilih-tuntas yang butuh perjuangan eksistensial, misalnya penerbitan majalah pelajar. Majalah cetakan sederhana ini terbit triwulanan dibuat oleh murid, dari murid dan untuk murid. Programnya sederhana, namun untuk menjaga irama-stamina pengelolaan tentu tidaklah ringan. Mereka masih murid yang tugas utamanya belajar, belum saatnya ‘bekerja’. Apalagi setiap tahun perlu ada regenerasi karena yang ‘lebih-berpengalaman’ alias kelas tiga segera lulus sekolah. Waktu terbitnya yang sering bersamaan dan berbenturan dengan kegiatan lain seperti midsemester, ujian, wasana warsa akan menjadi aroma rutin penerbitan majalah. Oleh karena itu perencanaan terbit jauh hari sebelumnya, pemilihan topik-utama dan liputan-khusus, pembagian tugas, penentuan jadwal aneka kegiatan internal, hingga kapan deadline merupakan ‘pelajaran’ penting karena menyangkut banyak hal yang holistis seperti kapasitas masing-masing siswa dan estimasi pola kerja sama yang dipilih.
            Alhamdulillah bila majalah bisa terbit sesuai rencana, dan masih alhamdulillah jika majalah terbit mundur dari rencana, dan juga tetap alhamdulillah manakala majalah tidak bisa terbit seperti rencana. Masing-masing keadaan tetap alhamdulillah, ada ‘manfaatnya’. Sesekali pengelola perlu dihadapkan pada situasi kritis antara terbit atau tidak beserta risiko masing-masing; ataupun terbit sebelum atau setelah midsemester misalnya. Apapun pilihannya akan ada konsekuensi logis yang membersamai dan itulah proses yang bisa mendewasakan jiwa, meneguhkan komitmen dan seantero sikap bertanggung jawab. Bahkan dalam jangka panjang, kondisi tidak bisa terbit pun bila sudah ada perencanaannya tetap bermanfaat yakni sebagai contoh kegagalan terbit; tentu pada periode berikutnya akan lebih disiapkan hingga matang.
            Ketika pengelola yang murid berani melakukan hal-hal yang baru seperti menentukan topik aktual-kreatif, desain sesuai selera pelajar, pendekatan khas terhadap masalah kepelajaran, maka mereka akan mendapatkan pengalaman dan proses ‘petualangan’ yang baru. Wajar pula jika kemudian didapatkan pemahaman bahwa proses perkembangan (mental, spiritual, teknikal, fisikal) seorang murid bisa tidak terbatas seumumnya pelajar ketika dia bersedia memfokuskan diri, intensif serta tuntas dalam menjalani proses. Itulah dasar spesialisasi-keahlian dalam kehidupan manusia modern.
            Pelajaran deadline penerbitan majalah dan kegiatan terpilih-tuntas lainnya dengan demikian merupakan program pendidikan tentang sikap bertanggung jawab lengkap dengan sikap turunannya seperti komitmen, kesungguhan, dan ketuntasan.

Dibantu Karena Maju
           
Mohon tidak dibalik menjadi ‘maju karena dibantu’ karena kemudian akan bermakna negatif yakni bila tanpa bantuan tidak akan pernah maju. Sikap benar yang mendasar adalah ‘maju bukan karena dibantu’ sehingga dengan ataupun tanpa bantuan tetaplah maju. Maju merupakan proses yang berkelanjutan dari keadaan yang ada saat ini menuju ke depan yang lebih baik, lebih benar dan lebih indah. Dengan kriteria seperti ini maka kegiatan-program apapun bisa dimaknai sebagai maju ataupun sebaliknya justru mundur. Dua pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana sikap dasar kita? Bagaimana sikap kita terhadap ‘bantuan’ dari luar? Bilamana sikap dasarnya adalah ‘maju’ dan bukan ‘dibantu’, bahkan lengkap sebagai ‘maju bukan karena dibantu’ maka hal itu sudah positif sehingga ‘dibantu karena maju’ juga tidaklah negatif karena ‘bantuan’ berfungsi sekadar sebagai pelengkap ataupun penyerta kemajuan yang ada.
Diberlakukannya Ujian Nasional (UN) bisa dimanfaatkan untuk menguatkan otot-otot kemajuan peserta didik. Sebab pilihannya hanya dua, akan menjadi mulia atau menjadi hina dengan barikade UN itu. Ketika memilih mau menjadi mulia maka risikonya adalah siap bersusah-payah, siaga memanjat tahapan, mau berproses naik dan menuntaskannya dengan optimal. Pendidik berfungsi dalam membersamai peserta didik untuk menjalani proses itu dan menjaga irama serta stamina belajarnya sehingga mampu menyelesaikan program. Seberapa besar keterlibatan peserta didik dan juga pendidik dalam penyelesaian program bersama UN itu akan merupakan tanda seberapa besar tanggung jawabnya. Itulah wilayah ikhtiari manusia ataupun faktor di wilayah sebab; sedangkan hasil UN merupakan akibat saja.
Pasti tidak setiap sebab yang baik akan memunculkan akibat yang baik, apalagi pengelolaan faktor sebabnya tidak optimal tentu akan lebih jauh akibatnya dari baik. Secara skematis terdapat empat kelas manusia dalam mengelola hidupnya. Pertama, manusia yang tidak mampu memulai, yakni sekadar menjadi manusia ‘akan’: akan UN, akan sukses, akan kaya, dll. Kedua, manusia mampu memulai tetapi tidak mampu melanjutkan, inilah manusia ‘perintis’: memulai UN tapi tidak tuntas, memulai baik tapi tidak berlanjut, dll. Ketiga, manusia mampu memulai dan mampu melanjutkan tetapi asal-asalan, inilah manusia serba tanggung. Keempat, manusia mampu memulai dan mampu menuntaskannya dengan optimal, hanya mereka inilah manusia yang sukses.
Proses naik-maju yang bertahap dan intensif seperti itu merupakan ikhtiar dalam mengolah sebab-sebab bagi munculnya akibat baik di kemudian hari. Kemudian hari di sini bisa bemakna hari besuk, bisa setahun kemudian, bisa berpuluh tahun berikutnya bahkan hingga setelah wafat. Bukankah tidak sedikit contoh kebaikan seseorang yang baru berbuah setelah perintisnya wafat? Bahkan setelah wafat bisa pula bermakna balasan amalan akhirat yang tidak lagi bersifat duniawi, immaterial. Oleh karena itu proses pendidikan selalu bersenyawa dengan unsur waktu (dekat, menengah, jauh) dan selalu didasari optimisme. Apalagi soal pahala usaha pendidikan sungguh diserahkan sepenuhnya pada hukum alam (sunnatullah). Biar Allah SWT yang mengaturnya: dicicipkan di awal, atau diberikan di tengah ataukah ditunda untuk akhirat.
Adakah kisah mengesankan di pihak peserta didik yang muncul dari proses serius maju-naik secara mentalitas seperti program sukses UN ini?

Cicipan Panen Duniawi

Dalam perjalanan Borobudur-Muntilan tiba-tiba aku merasa lapar hingga kubelokkan motor ke sebuah Warung Sate. Banyak pengunjung di warung itu, termasuk sekelompok polisi. Kudapatkan kursi di pojok, duduk. Tiba-tiba seorang polisi mendekat, “Assalamu’alaikum Pak Nas. Masih ingat saya?” Kujabat tangannya dan kujawab salamnya sambil kuperhatikan wajahnya yang sungguh sudah kulupa tetapi namanya jelas tertulis di baju seragamnya. “Saya dulu murid Bapak saat di SMA Muhi Muntilan,” jelasnya. Hubungannya jelas sudah. Tetapi tidak lama berbincang, segera dia minta doa restu dan pamit. “Maaf, Pak. Saya harus bertugas kembali. Sumonggo sakecakaken anggenipun dahar,” katanya. Mantan murid itu pun menyusul teman-temannya yang sudah menunggu di mobil patroli.
Pesanan tersajikan dan kusantap habis. Namun betapa kagetnya ketika kuraba saku celana untuk mencari dompet. Salah pakai celana? Dompet beserta isinya uang dan surat-surat tertinggal! Ini akibat terburu-buru tadi. Tas yang kubawa pun kuperiksa cermat namun tak kudapati uang cukup, hanya KTP lama yang tidak berlaku lagi. Bagaimana cara membayari makanan-minuman ini? Sembari membaca situasi kudekati kasir dengan kesiapan untuk mengakui khilaf dan menyerahkan KTP lama. “Tambah apa, Pak?” Tanya kasir. “Hanya sate dan minuman, tidak tambah,” jawabku setenang mungkin. “Kalau begitu sudah dibayar tadi, Pak”, kata kasir. Apa? “Ya, rombongan polisi tadi sudah melunasi pesanan Bapak, bila Bapak tidak menambah jajanan,” jelasnya. Alhamdulillah.
Sungguh tidak kutahu apakah mantan muridku itu punya kisah mengesankan dulu atau bahkan ingat proses bagaimana pembersamaanku saat masih menjadi peserta didikku. Tetapi biarlah itu tetap misteri bagiku dan menjadi miliknya. Tentu yang kupedulikan dan menjadi wilayahku adalah bagaimana membersamai murid-muridku secara optimal. Itu saja.
Kupahami peristiwa seperti itu sebagai cicipan balasan yang material-duniawi. Setiap energi positif yang dikeluarkan pasti akan kembali sebagai energi positif pula. Itulah hukum kekekalan energi. Kalau negatif yang kita keluarkan juga akan negatif yang kita terima. Semakin banyak energi dikeluarkan akan semakin banyak pula energi masuk. Tentu rentangan waktu balasannya mungkin abadi, tidak terbatas saat kita hidup di dunia ini. Bukankah ketika tahu bahwa besuk sudah hari kiamat maka benih yang ada di tangan kita pun tetap bernilai penting untuk ditanam? Sungguh harapan dan arah hidup kita tidak terbatas apalagi mandeg di dunia ini.
Memandang hidup sebagai rangkaian sebab-akibat dan meletakkan pendidikan sebagai seni mengelola sebab kebaikan maka kegiatan mendidik bisa berarti membersamai peserta didik guna mengolah dan mengelola aneka faktor di daerah sebab yang dihadapi saat ini bagi munculnya akibat-akibat yang baik, benar dan indah di kemudian hari. Apakah hal seperti itu mampu menorehkan kesan positif mendalam para peserta didik? Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar